IEVO 2023: Elektrifikasi Transportasi Demi Tekan Emisi GRK

19 Februari 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan Indonesia Electric Vehicles Outlook 2023 untuk pertama kalinya. Laporan ini membahas status perkembangan kendaraan listrik untuk penumpang dan ekosistem pendukung pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. IESR memandang mitigasi perubahan iklim dengan penurunan emisi yang signifikan dari sektor transportasi dapat dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat dengan mengadopsi kendaraan listrik. 

Sektor transportasi menjadi salah satu sumber polusi dan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK). Dari 600 MtCO2-eq emisi GRK Indonesia di sektor energi pada tahun 2021, 23% berasal dari sektor transportasi. Angkutan darat menjadi penyumbang terbesar emisi GRK di sektor transportasi dengan pangsa lebih dari 90%. Emisi dari sektor transportasi diperkirakan akan terus meningkat 53% pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2015 dan hampir dua kali lipat antara tahun 2030 dan 2060. Dekarbonisasi sistem transportasi, dengan percepatan adopsi kendaraan listrik yang ramah lingkungan dan beremisi rendah bisa menjadi salah satu solusi, bersamaan dengan transisi ke energi terbarukan di sektor kelistrikan

“Pemerintah telah memasukkan penggunaan kendaraan listrik sebagai salah satu rencana aksi mitigasi yang termuat dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, target yang ditetapkan masih belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur bumi  1,5 derajat Celcius pada 2050. Menurut studi IESR untuk mencapai bebas emisi pada 2050, jumlah kendaraan roda dua  dan roda empat listrik harus mencapai 110 juta unit di 2030,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Untuk  mencapai target tersebut perlu upaya  akselerasi adopsi kendaraan listrik melalui dukungan kebijakan fiskal dan non fiskal. Sejak 2019, pemerintah tengah gencar mendorong pengembangan industri dan penggunaan kendaraan listrik tetapi pada saat yang sama sejumlah kebijakan yang pro energi fossil masih diberlakukan yang membuat adopsi kendaraan listrik kurang optimal. Misalnya kebijakan pemerintah tetap mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) dan memperpanjang penjualan bahan bakar dengan standar Euro II. Berbagai kebijakan ini membuat daya tarik konsumen mengakuisisi kendaraan listrik menurun dan juga keuntungan ketika beralih ke kendaraan listrik berupa nilai penghematan biaya bahan bakar menjadi berkurang.

“Ketergantungan akan bahan bakar fosil dalam sistem energi kita terutama sektor transportasi membuat sektor energi kita rentan terhadap gejolak  harga. Pemerintah berusaha mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dalam sektor transportasi melalui kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Akan tetapi, masih sulitnya menemukan infrastruktur pengisian listrik, harga pembelian yang mahal, dan performa serta model yang terbatas menjadi halangan utama adopsi KBLBB oleh konsumen. Berbagai halangan ini yang perlu diselesaikan oleh pemerintah,” ungkap Faris Adnan, penulis IEVO yang juga peneliti Sistem Ketenagalistrikan, IESR.

Temuan IESR menunjukan pada 2022, adopsi motor listrik naik lima kali lipat dari 5.748 unit pada 2021 menjadi 25.782 unit. Selain itu, adopsi mobil listrik meningkat hampir empat kali lipat dari 2.012 unit pada 2021 menjadi 7.679 unit pada 2022. Kenaikan ini didorong oleh adanya promosi kendaraan listrik lewat acara G20 yang menjadikan kendaraan listrik sebagai kendaraan resmi delegasi.  

“Meski ada kenaikan, namun  jumlah tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. Populasi motor listrik baru 0,2% dari total motor di Indonesia. Sementara mobil listrik baru mencapai 0,4%. Oleh karena itu agar KBLBB dapat lebih menarik dan terjangkau bagi masyarakat, beberapa instrumen kebijakan tambahan yang tepat sasaran diperlukan,” kata Faris. 

Salah satu instrumen kebijakan tersebut adalah kombinasi insentif untuk produsen dan penciptaan pasar untuk mempercepat skala keekonomian kendaraan listrik, khususnya kendaraan listrik roda dua yang punya potensi pasar besar. Untuk itu IESR merekomendasikan pemerintah mendorong implementasi instruksi presiden untuk pembelian kendaraan listrik oleh instansi pemerintah dan BUMN, dan mendorong adopsi oleh bisnis ride hailing (layanan transportasi berbasis aplikasi) dan logistik untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik oleh pasar dalam 2-3 tahun ke depan. 

Selain itu, untuk mendapatkan manfaat penurunan emisi GRK dan lingkungan yang lebih besar maka peningkatan bauran  pembangkit energi baru terbarukan di sistem kelistrikan juga diperlukan agar emisi yang dihasilkan KBLBB menjadi lebih rendah daripada emisi dari kendaraan motor bakar.

“Kajian IESR menunjukan bahwa manfaat emisi baru akan didapatkan jika bauran energi terbarukan di sistem kelistrikan PLN di atas 20%,” lanjut Faris  

Sebagai upaya mendorong akselerasi kendaraan listrik di Indonesia dan mempertemukan berbagai pemangku kepentingan terkait dan mempercepat  langkah Indonesia untuk melakukan transisi energi, IESR akan menggelar peluncuran dan diskusi Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) 2023, pada 21 Februari 2023, pukul 09:30 – 12:00 WIB secara online melalui Zoom Conference + livestream Youtube (IESR). Acara ini akan dihadiri oleh Ketua Forum Transportasi Lingkungan dan Energi Masyarakat Transportasi Indonesia, Indira Darmoyono, Director of Business Development Strategy & Special Projects Grab Indonesia, Rivana Mezaya, dan lainnya. 

Kata Data | Outlook 2023: Utak-Atik Anggaran Subsidi Kendaraan Listrik

Berdasarkan data Indonesia Energy Transition Outlook yang diterbitkan IESR, adopsi kendaraan listrik memang meningkat di 2022. Motor listrik misalnya, naik lima kali lipat dari 5.748 unit pada 2021 menjadi 25.782 unit di tahun ini. Adapun adopsi mobil listrik meningkat hampir empat kali lipat dari 2.012 unit pada 2021 menjadi 7.679 unit pada 2022.

Baca selengkapnya di Kata Data.

PR Panjang Transisi Energi Pemerintah Indonesia

Jakarta, 12 Januari 2023 – Transisi energi, secara definisi, adalah upaya perubahan suplai energi dari yang sebelumnya bergantung pada batubara ke energi yang lebih bersih. Upaya inilah yang terus didorong pemerintah Indonesia untuk menuju negara yang mandiri dan tahan energi. Namun, sebelum meraih hal tersebut, masih banyak tugas yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia.

Handriyanti Diah Puspitarini, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Ruang Publik KBR: Transisi Energi di Indonesia, Sampai di Mana? yang diselenggarakan oleh Berita KBR (10/01) menjelaskan bahwa kajian IESR mengenai transisi energi memantau kesiapan publik lewat survei, dan kesiapan pemerintah lewat riset.

“Kesiapan publik (bottom up) sudah mendukung pengadaan energi yang lebih bersih, namun berdasarkan kerangka kesiapan transisi yang dikaji dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2023, pemerintah (top down) masih punya banyak hal yang harus ditingkatkan, terutama dari segi komitmen dan regulasi,” ungkap Handriyanti.

Sementara dalam kesempatan yang sama, Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menyatakan bahwa dari sisi bahan bakar fosil, pemerintah masih belum memperhatikan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri pertambangan, minyak, dan gas. 

“Pemerintah masih memantau emisi karbon dioksida (CO2) saja, dibandingkan metana yang memerangkap panas 29-30x lebih besar. Padahal, apabila terjadi pengurangan akan gas metana sebesar 30% saja, akan membantu mengurangi kenaikan suhu sebesar 0,5°C,” tegas Raditya.

Handriyanti dan Raditya kemudian membahas mengenai tren adopsi kendaraan listrik yang meningkat. Harganya yang masih tinggi kemudian memunculkan usulan pemerintah untuk subsidi kendaraan ini, yang diharapkan akan mendorong permintaan publik dan menurunkan harga kendaraan listrik pada akhirnya. 

Namun menurut mereka,  terdapat beberapa titik resistensi masyarakat mengenai transisi energi dan penggunaan kendaraan listrik ini. Pertama adalah paradigma bahwa bahan bakar fosil lebih hemat dibandingkan energi terbarukan. Padahal, harga tersebut merupakan hasil dari intervensi pemerintah berupa price capping, subsidi, dan kompensasi. Dampaknya, ketika harga minyak dunia tinggi, tentu ini akan membebani APBN. Kedua, adanya range anxiety yang artinya ketakutan akan kurangnya daya kendaraan listrik dalam melakukan perjalanan jauh. 

“Pemerintah kemudian harus menyiasati ini dengan memperbanyak stasiun pengisian daya di titik-titik perjalanan jauh seperti di pemberhentian tol,” ungkap Raditya.

Handriyanti dan Raditya membagi pembahasan kemajuan dan tugas pemerintah dalam soal transisi energi dari sisi tekno ekonomi, regulasi, dan pendanaan. Mereka menyampaikan bahwa harga teknologi energi terbarukan semakin terjangkau tiap tahunnya, misalnya seperti harga modul surya 70% lebih murah dibandingkan 7-10 tahun lalu dan diprediksi dapat lebih menurun lagi. Regulasi yang baik seperti Perpres 112/2021 yang menetapkan menteri untuk membuat peta jalan pemensiunan PLTU perlu didukung. Namun, regulasi ini masih harus dipantau pelaksanaannya dan diperbaiki, terutama mengingat pendanaan batubara dan fosil 10 kali lebih besar dibandingkan pendanaan energi terbarukan. 

“Keberadaan forum-forum internasional seperti G20 telah mendorong Indonesia untuk membuat komitmen menuju transisi energi dan menarik pembiayaan untuk upaya terkait. Diharapkan, pembiayaan ini bisa membantu Indonesia mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025,” pungkas keduanya.

Target Infrastruktur Kendaraan Listrik Pemerintah masih Menciptakan Range Anxiety

Kendaraan listrik menjadi semakin populer dalam beberapa waktu belakangan ini. Pemerintah Indonesia sendiri telah menyatakan bahwa penggunaan kendaraan listrik menjadi salah satu strategi transisi energi Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengumumkan target penetrasi kendaraan listrik sebesar 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik pada tahun 2030.

Besarnya target penetrasi kendaraan listrik ini tentu perlu dibarengi dengan ekosistem pendukung seperti tersedianya charging infrastructure, ketersediaan model yang beragam, serta, adanya insentif bagi pengguna kendaraan listrik. Zainal Arifin, executive vice president engineering and technology PLN, dalam IETD 2021, mengatakan untuk menjawab kebutuhan ekosistem energi listrik, pemerintah membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk mengembangkan infrastruktur pengisian daya. Sejauh ini, adopsi kendaraan listrik belum  terlalu menggembirakan. Hingga tahun 2021, tercatat sebanyak 5486 unit kendaraan roda dua dan 2012 kendaraan roda empat telah tersertifikasi. Namun untuk angka adopsi baru sebanyak 654 unit mobil. 

Masih terbatasnya jumlah stasiun pengisian daya untuk umum menjadi salah satu faktor pertimbangan yang memberatkan  calon konsumen untuk membeli kendaraan listrik. Orang memerlukan jaminan kepastian (assurance) jika dirinya kehabisan daya di tengah perjalanan, tersedia banyak stasiun pengisian daya.

Meskipun untuk perjalanan dengan jarak terukur, kebutuhan pengisian daya ini dapat diatur dan diperhitungkan, namun perlu untuk mempertimbangkan rasio antara jumlah kendaraan dan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum). Jika mengikuti target pemerintah, rasio perbandingan kendaraan listrik dan SPKLU akan sekitar 1:70. Rasio ini masih terlalu kecil dan menimbulkan kecemasan saat orang menggunakan kendaraan listrik karena jumlah SPKLU yang terbatas. 

Berkaca pada pengalaman beberapa negara yang telah berhasil melakukan penetrasi kendaraan listrik besar-besaran seperti Cina, Amerika Serikat dan Norwegia, dalam hal penyediaan stasiun pengisian daya umum, rasio antara SPKLU dan kendaraan listrik rata-rata sebesar 1:20. Indonesia diharapkan untuk terus meningkatkan ekosistem pendukung kendaraan listrik salah satunya, stasiun pengisian daya.

“Pemerintah harus memiliki skema bisnis yang menarik supaya investor berminat untuk ambil bagian dalam menyediakan salah satu komponen ekosistem kendaraan listrik yaitu SPKLU,” Idoan Marciano, Peneliti Spesialis Kendaraan Listrik, IESR menjelaskan.

Kendaraan listrik diyakini menjadi solusi transportasi bersih yang rendah emisi. Penggunaan kendaraan listrik secara masif dapat menekan emisi sektor transportasi. Dalam konteks Indonesia, penetrasi masif kendaraan listrik juga harus dibarengi dengan mendorong energi terbarukan di sektor pembangkit listrik sebagai penghasil daya utama yang akan digunakan kendaraan listrik ini. 

Harga kendaraan listrik yang masih lebih tinggi dari kendaraan konvensional juga disorot. Intervensi pemerintah untuk menurunkan harga kendaraan listrik ini diperlukan, namun juga perlu bijak dalam merancang skema intervensinya mengingat kendaraan listrik saat ini masih menyasar kalangan ekonomi menengah ke atas. 

Perhatian khusus dapat diberikan pada pengembangan kendaraan listrik roda 2 yang lebih cepat untuk didorong penetrasinya di masyarakat. Selisih harga yang tidak sebanyak kendaraan roda 4 akan menjadi salah satu faktor pendorong elektrifikasi kendaraan roda dua. Selain itu pengadaan kendaraan dinas bagi pemerintah dan transportasi umum dapat menjadi strategi baik untuk melakukan mentransformasi sistem transportasi di Indonesia.