12 Rekomendasi IESR untuk Percepatan Pembangunan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia

Selasa, 23 Februari 2021-Indonesia perlu berupaya lebih keras untuk mencegah peningkatan suhu bumi di bawah 2℃, dengan mengurangi penambahan emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia, di antaranya dengan mendorong penetrasi energi terbarukan dan transportasi yang ramah lingkungan.

Sektor transportasi menjadi penyumbang sekitar seperempat dari total emisi GRK global. Jumlah emisi ini akan semakin meningkat seiring semakin berkembangnya perekonomian suatu negara.  Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 %) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%).Banyak negara di dunia, termasuk Cina, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa semakin mengadopsi kendaraan listrik yang terbukti memiliki emisi rendah dan efisiensi penggunaan energi listriknya lebih baik daripada kendaraan konvensional.

Pada hari ini secara daring, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan  kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina, yang berisi  rekomendasi strategi dan kebijakan penting bagi pemerintah untuk kemajuan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

“Hingga hari ini ada 17 negara yang sudah tidak mengizinkan penjualan kendaraan berbasis fosil fuel dari 2025-2040, salah satunya adalah Norwegia yang akan melarang  kendaraan internal combustion engine, pada tahun 2025,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Kendaraan listrik dipandang sebagai salah satu solusi untuk menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi. Perkembangan kendaraan listrik dalam satu dekade juga semakin pesat. Fabby menambahkan bahwa secara global, mobil listrik mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir, dari 0,1 market share di 2011, menjadi 4,4 % di tahun 2020. 

“Walaupun secara umum, penjualan kendaraan menjadi turun sebesar 15 persen karena pandemi Covid-19, tapi permintaan kendaraan listrik tercatat meningkat di sejumlah negara. Dibandingkan tahun 2019, di Cina naik 5 persen, Eropa meningkat 10 persen, Amerika Serikat naik 4 persen,” paparnya.

Mengutip data dari IEA, Fabby menegaskan bahwa agar temperatur bumi terjaga sesuai kesepakatan Paris, maka adopsi kendaraan listrik haruslah sebesar 13,4% dari total kendaraan dari tahun 2030.

Indonesia Belum Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik Secara Terencana

Idoan Marciano, Penulis Kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina menjelaskan alasan IESR memilih ketiga negara itu sebagai best practices yang bisa ditiru oleh Indonesia. Terbukti, negara yang mencatatkan adopsi kendaraan listrik tertinggi (2019) adalah Cina (3,4 juta unit) dan Amerika Serikat (1,5 juta unit), sedangkan negara dengan pangsa pasar kendaraan listrik terbesar di negaranya di dunia adalah Norwegia (lebih besar dari 50 persen). 

IESR memandang bahwa ekosistem kendaraan listrik di Indonesia belum terbangun dengan baik. Adapun ekosistem yang dimaksud dalam studi ini mencakup beberapa aspek, yaitu: (a)  insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah, (b) infrastruktur pengisian daya; (c) model dan pasokan kendaraan listrik; (d) kesadaran dan penerimaan publik; (e) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga bulan Agustus 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.

“Untuk motor listrik, sebanyak 1.947 unit, belum mencerminkan jumlah adopsi setelah Indonesia meluncurkan program akselerasi pengembangan kendaraan listrik karena angka tersebut masih menggambarkan kendaraan listrik berperforma rendah, sudah ada dari tahun sebelumnya,” imbuh Idoan.

Agar realisasi target terpenuhi, IESR mendorong agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan fiskal sehingga membuat harga kendaraan listrik lebih kompetitif. Berkaca dari pengalaman ketiga negara tersebut, insentif dapat berupa pembebasan PPN, pajak registrasi, bea impor serta pemberian subsidi. Sementara saat ini total insentif yang diberikan pemerintah Indonesia hanya mampu mengurangi sekitar 40 persen dari harga awal kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia. 

Tidak kalah penting adalah pemberian insentif non-fiskal yang sesuai dengan kebutuhan pengguna seperti kemudahan mendapatkan plat nomor (registrasi) yang dinilai sangat menambah daya tarik kendaraan listrik di Cina, pemberian akses ke jalur berpenumpang banyak (high occupancy vehicle) di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, dan pemberian akses jalur bus di Norwegia. 

“Saat ini Indonesia belum mempunyai aturan pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, dibandingkan negara pembanding yg sudah menargetkan 100 persen EV di 5-20 tahun kedepan,” tukas Idoan.

Selain itu, dari sisi pasokan, pemerintah perlu pula meningkatkan kuantitas dan ketersediaan beragam model kendaraan listrik dengan memberikan kebijakan yang mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak kendaraan listrik, seperti dengan penetapan standar efisiensi bahan bakar pada tahap awal dan penggunaan mekanisme kredit kendaraan listrik saat pasar sudah semakin berkembang seperti yang diterapkan di Cina dan California. 

Dalam mendukung terciptanya industri kendaraan listrik domestik, pemerintah dapat belajar dari Cina dengan memberikan insentif khusus bagi produsen lokal dan menggunakan pengadaan umum sebagai alat untuk menggenjot volume produksi kendaraan listrik buatan lokal sehingga mempercepat terjadinya economies of scale.  

Pembangunan dan perluasan jaringan SPKLU dan SPBKLU, serta penyiapan infrastruktur home charging diperlukan untuk menunjang adopsi kendaraan listrik. Rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU pada tahun 2019 di Cina paling masif yakni rasio 6,5:1. Rasio tersebut menggambarkan negara-negara dengan tingkat pengembangan kendaraan listrik yang lebih matang. Sementara Indonesia bila mengikuti peta jalan yang dikeluarkan PLN, hanya akan mencapai sekitar 70:1. 

Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni

  1. Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat. 
  2. Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi
  3. Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil
  4. Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional
  5. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
  6. Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional. 
  7. Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik
  8. Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai 
  9. Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik 
  10. Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target
  11. Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
  12. Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah

 

Laporan kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dapat diunduh di:

Dorong Berkembangnya Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia, IESR Bandingkan dengan Amerika Serikat, Norwegia dan Cina

Jakarta, 23 Februari 2021- Agar selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia perlu mengutamakan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor transportasi sehingga suhu bumi tetap terjaga di bawah 2oC. Di Indonesia, sektor transportasi mengkonsumsi 45% dari total energi final dimana 94% berasal dari bahan bakar kendaraan. Emisi gas buang hampir sepertiga dari total emisi sektor energi. 

Salah satu cara yang sudah diadopsi di banyak negara di dunia adalah dengan penetrasi secara masif dan agresif kendaraan listrik. Tentu saja sumber tenaga listrik kendaraan tersebut harus pula berasal dari energi terbarukan.

Secara khusus Institute for Essential Services Reform (IESR) menelaah upaya penciptaan ekosistem yang mendukung kemajuan kendaraan listrik di Indonesia, dalam kajiannya berjudul Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina. Lebih dari 100 orang mengikuti secara daring peluncuran kajian tersebut (23/2). Hadir dalam kesempatan yang sama Firdaus Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi Kemenko Marves, Alief Wikarta, Dosen dan Peneliti Jurusan Teknik Mesin, ITS, dan Muhammad Samyarto, PT Wika Industri Manufaktur (WIMA) sebagai penanggap.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam pembukaannya mengatakan bahwa Indonesia mesti bergegas membangun ekosistem yang tepat untuk mendukung akselerasi adopsi kendaraan listrik di Indonesia dengan belajar dari pengalaman negara pembanding dalam studi tersebut.

“Penjualan kendaraan listrik di Norwegia mencapai 54,3% pada tahun 2020 dibandingkan pada tahun 2011 yang hanya 1 %. Hal ini merupakan buah dari hasil konsistensi dari pemerintah Norwegia menerapkan kebijakan untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik,” ungkapnya.

Norwegia tercatat sebagai negara yang mempunyai pangsa pasar kendaraan listrik tertinggi yakni lebih dari 50%, sementara total kendaraan listriknya sekitar 430 ribu. Sedangkan Cina di tahun 2019, total kendaraan listriknya sekitar 3,4 juta dan Amerika Serikat sebesar 1,5 juta.

Indonesia sendiri melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga bulan Agustus 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.

 

Lima Ekosistem Kendaraan Listrik  yang Belum Terbangun di Indonesia

Idoan Marciano, penulis kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina menilai ekosistem kendaraan di Indonesia belum terbangun dengan baik, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 55/2019 yang menjadi dasar dalam akselerasi pengembangan kendaraan listrik, namun kebijakan turunannya masih belum mampu untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik secara signifikan. 

Idoan memaparkan bahwa setidaknya ada lima ekosistem yang harus mendapat perhatian khusus, yaitu a) kebijakan, b) infrastruktur/pengisian daya, c) industri/rantai pasokan, d) kesadaran masyarakat, e) pasokan dan ketersediaan model.

“Secara umum, Indonesia masih tertinggal dari semua aspek ini. Dari segi kebijakan finansial, Indonesia memang sudah memberikan berbagai insentif, namun secara jumlah total insentif pemerintah hanya baru dapat mengurangi 40 persen dari harga kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia. Selanjutnya Indonesia juga belum memiliki aturan pembatasan kendaraan fosil, sementara negara pembanding sudah menargetkan 100 persen kendaraan listrik dan melarang kendaraan konvensional,”jelasnya.

Dari segi infrastruktur pengisian daya, Idoan memandang rasio charger dan kendaraan listrik di Indonesia masih sangat rendah, yakni 70: 1 sementara negara dengan penetrasi kendaraan listrik tinggi rasionya kurang dari 25:1.

Menilik rantai industri dan pasokan, Indonesia juga belum memiliki kapasitas produksi yang sudah beroperasi untuk memproduksi komponen kendaraan listrik, terutama baterai, sementara di Cina sudah mampu memproduksi baterai hingga 200 GWh/tahun.

Selain itu, motivasi masyarakat untuk membeli kendaraan listrik di Indonesia lebih mengacu pada alasan ekonomi dan ketersediaan infrastruktur, sedangkan masyarakat di negara pembanding lebih dipengaruhi oleh alasan ekonomi, lingkungan dan teknologi. 

Lebih lanjut, Idoan menemukan bahwa ketersediaan pasokan dan beragam model juga menjadi faktor penting dalam adopsi kendaraan listrik.

“Di Indonesia, sudah ada 15 perusahaan fasilitas produksi untuk kendaraan listrik beroda dua, dengan total kapasitas sekitar 877 ribu unit/tahun. Di Cina, sudah ada 500 perusahaan dengan total produksi lebih dari 3,5 juta unit/tahun,”ujarnya.

Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni

  1. Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat. 
  2. Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi
  3. Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil
  4. Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional
  5. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
  6. Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional. 
  7. Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik
  8. Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai 
  9. Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik 
  10. Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target
  11. Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
  12. Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah

Firdaus Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi Kemenko Marves, yang hadir dalam webinar peluncuran kajian, mengatakan bahwa pemerintah akan mendorong dan memberikan kemudahan bagi pelaku industri

“Agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, kita mengundang industri pabrikan luar, terutama roda empat, dapat terbangun di dalam negeri. Kami juga mendorong asosiasi hotel, retail, supermarket kecil bisa menyediakan SPKLU roda dua, sehingga saat berbelanja dapat men-charging kendaraan listriknya,” ucapnya. Selain itu beliau menekankan pentingnya kerja sama yang erat dengan semua stakeholder termasuk akademisi, private sector, CSO, dan bahkan masyarakat sebagai konsumen agar dapat mewujudkan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. 

Alief Wikarta, Dosen dan Peneliti Jurusan Teknik Mesin, ITS memandang bahwa kajian IESR ini dapat menjadi solusi bagi diversifikasi bahan bakar. Ia menitikberatkan pada ekosistem kesadaran masyarakat yang menjadi tantangan yang patut menjadi perhatian.

“Konsumen Indonesia itu kebanyakan aware but not care. Jadi mereka tahu bahwa misal teknologi tertentu dapat mengurangi polusi tapi tetap belum memakai teknologi tersebut. Ditambah lagi konsumen kita mempunyai sensitivitas tinggi pada harga, beda harga seribu saja, orang akan cenderung memilih yang lebih murah. Hal ini menjadi tantangan yang butuh strategi marketing dari produksi dan kebijakan dari pemerintah,”tambahnya. Indonesia juga dapat mulai mengembangkan konsep circular economy (ekonomi sirkular) untuk daur ulang baterai yang merupakan salah satu komponen utama kendaraan listrik.

Muhammad Samyarto, PT Wika Industri Manufaktur (WIMA), sepakat pada pemaparan Idoan mengenai kualitas kendaraan listrik yang lebih baik dari kendaraan konvensional.

“Persoalan charging  hanya sebuah kekhawatiran saja, sebenarnya jika sudah menggunakan motor listrik kita bisa mengatur sendiri penggunaan kendaraan listrik sehari-harinya. Namun hal tersebut tetap menjadi tantangan kita bersama sehingga menjawab kekhawatiran masyarakat,”ulasnya.

Saksikan siaran tundanya:

Anda juga dapat mengunduh laporan lengkapnya di: 

Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia

Penggunaan kendaraan listrik sebagai salah satu aksi penurunan emisi di sektor transportasi diharapkan dapat menggantikan kendaraan berbasis bahan bakar fosil. Kendaraan listrik yang memiliki efisiensi lebih tinggi, membuat konsumsi energi yang diperlukan jauh lebih sedikit dibandingkan kendaraan konvensional, sehingga dapat menghasilkan emisi yang jauh lebih rendah. Apabila didukung dengan penggunaan energi terbarukan di sistem kelistrikan, kendaraan listrik berpotensi menjadi solusi dekarbonisasi yang efektif di sektor transportasi. Di sisi lain, adopsi kendaraan listrik
dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian negara, terutama melalui penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan peluang pengembangan industri kendaraan listrik lokal.

Secara global di tahun 2019, terdapat 7,2 juta unit mobil listrik dan sekitar 350 juta unit kendaraan listrik roda dua/tiga yang mayoritas berada di Cina, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa. Negara-negara tersebut berhasil mengadopsi kendaraan listrik dengan menerapkan strategi dan kebijakan tertentu yang membangun ekosistem kendaraan listrik. Penulisan studi ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi strategi dan kebijakan bagi pemerintah Indonesia untuk dapat membangun ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri dari pembelajaran tiga negara pembanding, yaitu Norwegia, Cina, dan Amerika Serikat. Adapun ketiga negara ini dipilih melihat tingkat adopsi kendaraan listriknya yang tinggi, dan mempertimbangkan beberapa faktor lainnya. Cina dan Amerika

Serikat telah sukses mencatatkan penjualan kendaraan listrik tertinggi, sedangkan Norwegia memiliki pangsa pasar kendaraan listrik terbesar di dunia.

Studi ini mendefinisikan ekosistem kendaraan listrik mencakup beberapa aspek, yaitu: (a) infrastruktur pengisian daya; (b) model dan pasokan kendaraan listrik; (c) kesadaran dan penerimaan publik; (d) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik; (e) insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah. Dalam studi ini, strategi dan kebijakan yang dipakai tiga negara pembanding dianalisis untuk setiap aspek ekosistem kendaraan listrik.

Materi Paparan

FT_OpeningRemarksEV_2021

Unduh

Launching Presentation

Unduh

Kontribusi Sektor Transportasi dalam Proses Dekarbonisasi untuk Mencapai Target Kesepakatan Paris

Pembatasan kenaikan emisi dalam rangka penyelamatan bumi dan umat manusia menjadi perhatian global. Kesepakatan Paris memanggil 193 negara anggota UNFCCC untuk melakukan sejumlah aksi dalam upaya penurunan jumlah emisi sehingga dapat menekan kenaikan suhu bumi jauh di bawah 2˚ atau bahkan hingga 1,5˚C. Dalam memenuhi pembatasan kenaikan suhu, upaya penurunan emisi di sektor transportasi memegang peranan penting karena sektor ini mengonsumsi 45% dari total energi final, dimana 94% di antaranya berasal dari bahan bakar minyak (BBM).

Sektor transportasi dituntut untuk dapat berkontribusi dalam proses dekarbonisasi dengan melakukan transisi menuju sistem transportasi berkelanjutan. Dalam proses transisi ini, perlu diketahui terlebih dahulu apa saja peluangnya dan apa saja tantangannya. Untuk membahas bagaimana strategi yang tepat dalam mewujudkan sektor transportasi berkelanjutan, IESR melakukan diskusi daring dengan tajuk “Strategi Dekarbonisasi Sektor Transportasi di Indonesia: Peluang dan Tantangan” pada Jumat, 28 Agustus, 2020.

Dimoderatori oleh Julius C. Adiatma, Periset/Spesialis Bahan Bakar Bersih IESR, diskusi ini meghadirkan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Jakarta, dan Prayoga Wiradisuria, GM Corporate Strategy Blue Bird Group sebagai narasumber dan menyampaikan paparannya. Selain itu, Putu Juli Ardika, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan dari Kementerian Perindustrian, serta Firdaus Komarno, Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan dari Kementerian Perhubungan turut hadir sebagai panelis yang memberikan tanggapan atas paparan narasumber dari perspektif mereka.

Fabby Tumiwa memulai paparannya dengan memberikan data-data mengenai konsumsi BBM dalam sektor transportasi yang merupakan kontributor utama terhadap kenaikan emisi. Laju pertumbuhan konsumsi BBM dapat ditekan melalui pendekatan ASI (Avoid, Shift, Improve).

Salah satu implementasi dari pendekatan ASI ini adalah dengan pemanfaatan kendaraan listrik yang memiliki tingkat efisiensi energi yang lebih baik dari kendaraan konvensional. Namun pengembangan kendaraan listrik masih memiliki banyak tantangan diantaranya keekonomian kendaraan listrik yang belum bisa bersaing dengan kendaraan konvensional. Penyediaan insentif fiskal maupun non fiskal serta penyediaan infrastruktur pengisian baterai dari kendaraan listrik menjadi salah satu aspek utama dalam meningkatkan laju pertumbuhan kendaraan listrik.

Dalam studi IESR, ditemukan bahwa sejumlah kondisi harus diberlakukan pemerintah dalam meningkatkan penetrasi kendaraan listrik sehingga berkontribusi pada dekarbonisasi sektor darat. Selain itu, dekarbonisasi pembangkit listrik harus dilakukan bersamaan dengan peningkatan penetrasi kendaraan listrik.

Di sisi lain untuk moda transportasi konvensional, bahan bakar alternatif akan diperlukan untuk moda yang belum dapat dielektrifikasi. Namun, sayangnya aspek hulu dari bahan bakar berbasis CPO masih di ”hantui” aspek-aspek yang tidak mendukung  aspek keberlanjutan; sehingga transparansi data di sektor hulu harus didorong untuk menunjang implementasi standar keberlanjutan. Sedangkan hidrogen dan bahan bakar sintetik masih belum kompetitif saat ini walaupun memang menjanjikan di jangka panjang.

Di akhir paparan, Fabby menyatakan bahwa peta jalan yang terintegrasi diperlukan dalam upaya mencapai dekarbonisasi transportasi.

Sebagai praktisi yang telah berkecimpung di bidang transportasi lebih dari 10 tahun, Damantoro menawarkan konsep yang terbilang baru yaitu melakukan dekarbonisasi transportasi dengan menggunakan teknologi informasi atau yang biasa disebut dengan “Mobility as a Service”. `

Pada dasarnya teknologi informasi membuat jarak bukan merupakan masalah lagi dalam melakukan mobilisasi barang, orang maupun ide, sehingga struktur bisnis seharusnya bersiap dalam melakukan inovasi atau revolusi. Kehadiran teknologi informasi dapat membuat efektivitas dan efisiensi dalam sektor transportasi tercapai yang kemudian membuat masyarakat lebih kreatif dalam melakukan inovasi.

Damantoro mengingatkan bahwa dekarbonisasi transportasi semakin penting peranannya dalam beberapa tahun ke depan mengingat adanya konsep urbanisasi dan pemekaran kota yang akan menyebabkan mobilisasi barang/orang akan semakin tinggi. Ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan jumlah emisi yang dihasilkannya, yaitu konsolidasi pergerakan untuk mengecilkan jumlah emisi per orang dengan mengumpulkan pergerakan (CO2/capita), integrasi layanan transportasi untuk memperpendek jarak (VKT), dan efisiensi perjalanan untuk mengurangi VKT dan fuel/km. Dan lebih lanjut dijelaskan bahwa teknologi informasi dapat berperan dalam ketiga hal tersebut:

  • KONSOLIDASI à mempromosikan moda angkutan umum/masal hingga ke tingkat individu melalui gawai komunikasi;
  • INTEGRASI à mengintegrasikan informasi layanan, estimasi waktu perjalanan, dan pembayaran sebagai fondasi awal integrasi perencanaan pergerakan;
  • EFISIENSI à melakukan efisiensi pergerakan dengan memberikan informasi sesuai kebutuhan dalam perencanaan pergerakan.

MAAS (mobility as a service) adalah kelanjutan dari tren MOD (mobility on demand) yang sudah digunakan masyarakat Indonesia sejak 2010.

Menanggapi paparan narasumber, Putu Juli Ardika memberikan penjelasan bahwa Indonesia sudah melakukan beberapa hal dalam dekabornisasi dari sektor transportasi, dimana salah satunya melalui program Low Carbon Emission Vehicle yang bermula dari LCGC/KBH2 (Kendaraan Bermotor Hemat Energi dan Harga Terjangkau). Memiliki pangsa pasar sebesar 20%, kendaraan ini dapat melakukan penghematan sebesar 50% dari kendaraan lain yang memiliki jenis yang sama. Setelah KBH2, Indonesia sedang menyiapkan program kendaraan listrik dan meningkatkan komposisi bahan bakar nabati di mesin kendaraan bermotor (biofuel/green fuel). Dari sisi industri, peta jalan industri otomotif nasional pun sudah menyertakan aspek-aspek dalam melakukan dekarbonisasi di sektor transportasi. Dan mulai tahun 2022, spesifikasi bahan bakar diesel akan setara dengan EURO 4.

Kemudian, Firdaus Komarno menyatakan bahwa konsep MAAS ini cepat atau lambat akan segera diadopsi oleh Kementerian Perhubungan. Secara umum, pandangan dan atau rencana dekarbonisasi sektor transportasi yang dimiliki Kementerian sejauh ini sudah sejalan dengan apa yang telah dipaparkan oleh narasumber seperti pendekatan ASI, Transit Oriented Development, pembangunan transportasi umum massal. Satu strategi terbaru yang ditawarkan oleh Kementerian saat ini yaitu penerapan program Bis dengan Buy the Service, dimana program ini diberlakukan untuk angkutan massal perkotaan yang dilakukan dengan membeli layanan angkutan massal perkotaan kepada operator dengan mekanisme lelang berbasis standar pelayanan minimal atau quality licensing.

Dalam sesi tanya jawab, dibahas pula bahwa perpindahan orang yang menggunakan kendaraan DAMRI merupakan kontributor emisi terbesar dari transportasi darat sedangkan perpindahan barang di lintasan darat diutamakan dengan moda kereta api dibandingkan dengan truk bermuatan besar. Namun sayangnya industri belum dapat semuanya pindah ke moda kereta api dalam melakukan pemindahan barang dikarenakan lokasi stasiun saat ini belum terintegrasi dengan lokasi distributor lainnya yang ada di dalam supply chain (lokasi gudang, lokasi Pelabuhan). Di samping itu, penggunaan kereta akan lebih ekonomis jika barang yang dipindahkan itu menempuh jarak lebih dari 500Km. Jika kurang dari 500Km, masih lebih baik melalui truk.


Materi Paparan

Fabby Tumiwa

IESR_Strategi Dekarbonisasi Transportasi

Unduh

Damantoro

MTI Jakarta Dekarbonisasi Sektor transportasi

Unduh

Prayoga Wiradisuria

Blue Bird Group_Strategi Dekarbonisasi Transportasi

Unduh

Melihat Potensi Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat di Indonesia

Pada tahun 2018, sektor transportasi di Indonesia mengkonsumsi 45% dari total energi final, dimana 94% berasal dari bahan bakar minyak. Dengan begitu, sektor ini menyumbang hampir sepertiga dari total emisi sektor energi. Angka ini diprediksi akan terus meningkat oleh beberapa ahli. Bahkan, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memprediksi bahwa emisi dari sektor ini akan meningkat 53% pada tahun 2030 dan hampir dua kali lipat pada tahun 2050 jika dibandingkan dengan angka pada tahun 2015. Dalam memenuhi tekanan pembatasan kenaikan suhu secara global, upaya dekarbonisasi atau pengurangan emisi di sektor transportasi memegang peranan penting, terutama mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kontributor emisi keenam di dunia.

Di antara moda transportasi angkutan, moda transportasi di darat merupakan kontributor emisi terbesar. Banyak studi menunjukkan bahwa kendaraan listrik merupakan satu opsi penting untuk melakukan dekarbonisasi di transportasi darat. Sayangnya, rencana mitigasi perubahan iklim di sektor ini masih terbatas pada penggunaan bahan bakar nabati. Untuk melihat seberapa besar potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia maka IESR melakukan diskusi sekaligus meluncurkan laporan terbarunya secara daring pada Hari Minggu, 29 Maret 2020, yang disiarkan di kanal Youtube IESR Indonesia.

Bertujuan untuk meluncurkan laporan terbarunya, tajuk dari diskusi ini menggunakan tajuk yang sama dengan tajuk laporannya, yaitu The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector. Dipandu oleh Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, diskusi ini menghadirkan Julius C. Adiatma, Peneliti Bahan Bakar Bersih IESR, yang merupakan penulis dari laporan ini. Di samping itu, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, turut hadir dalam diskusi ini untuk memberikan tanggapan atas laporan yang diluncurkan dalam diskusi ini.

Diskusi ini diawali dengan pemaparan presentasi oleh Julius C. Adiatma terkait kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi untuk mendorong ambisi iklim negara dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu yang ada di dalam Kesepakatan Paris. Bahkan, menurut laporan spesial IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), pembatasan kenaikan suhu diusahakan mencapai 1,5 derajat C untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar.

Salah satu kajian yang dikeluarkan oleh Climate Action Tracker menjabarkan skenario yang kompatibel bagi Indonesia untuk dapat berkontribusi dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat C. Salah satu caranya adalah elektrifikasi kendaraan penumpang darat seperti bis, motor, dan mobil secara 100% pada tahun 2050.

Kendaraan listrik dinilai bisa menjadi alternatif penurunan emisi karena memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Selain itu listrik bisa diproduksi tanpa menimbulkan emisi apabila menggunakan energi yang terbarukan. Belajar dari beberapa negara, kendaraan listrik akan tumbuh apabila ada dukungan kebijakan dari pemerintah. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang dapat menstimulasi supply dan demand dari pasar kendaraan listrik.

Menurut Nanto, sapaan akrab dari Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, kajian yang dilakukan oleh Julius menjawab pertanyaan besar BPPT terkait potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia. BPPT sendiri telah mengembangkan platform-platform kendaraan listrik pada tahun 2018 sebelum diterbitkannya Peraturan Presiden No. 55 tahun 2019 terkait industri dalam negeri. Namun, sekarang BPPT lebih fokus kepada charging station atau stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Indonesia termasuk terlambat dalam menerapkan penggunaan kendaraan listrik bila dibandingkan dengan negara maju. Industri lokal terkait kendaraan listrik perlu untuk didorong dan hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Berbicara tentang industri kendaraan listrik maka bisa dilihat berbagai lembaga pengembangan kendaraan listrik baru berfokus pada research and development (R&D) dan manufaktur. Padahal kedua hal tersebut belum cukup. Kendaraan listrik adalah teknologi baru, dimana teknologi baru ini tidak akan berjalan dengan baik kalau hanya berkutat pada area R&D. Dengan demikian, Nanto menekankan bahwa aspek bisnis dari sisi manufaktur dan sisi infrastruktur pengisian baterai perlu diperhatikan.

Di samping itu, kendaraan listrik akan jauh bermanfaat dalam dekarbonisasi apabila Indonesia turut fokus mengembangkan pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Lebih jauh lagi, ekosistem kendaraan listrik harus mulai dikembangkan untuk mempercepat masa transisi kendaraan listrik, dimana ekosistem kendaraan listrik tersebut terdiri dari lima komponen yaitu: (a) research and development; (b) design and innovation; (c) fabrication/manufacture; (d) business; (e) implementation. Kelima komponen ini saling terkait dimana apabila implementation tidak jelas, maka tidak akan ada business sehingga  tidak ada research and development untuk melakukan design and innovation dalam fabrication/manufacture.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, mengapresiasi kajian terbaru dari IESR yang menyatakan bahwa adanya kendaraan listrik tidak akan mempengaruhi APBN apabila ada insentif-insentif fiskal. Torri, sapaan akrab dari Damantoro, berharap skenario yang dilaporkan oleh IESR berjalan sukses sehingga bisa terlihat market size dari kendaraan listrik. Market size tersebutlah yang mampu mengundang investor untuk berinvestasi pada manufaktur kendaraan listrik.

Torri mengingatkan bahwa ada proyeksi yang menyatakan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia akan tinggal di daerah urban pada tahun 2030 ke atas, dimana ini berdampak pada kegiatan mobilisasi yang sangat tinggi. Dari perspektif sistem transportasi, akan sangat bagus apabila pemerintah dapat melakukan sinkronisasi antara sistem tata ruang dan transportasi maka kegiatan mobilisasi bisa dilayani dengan memuaskan. Tetapi selama tidak ada integrasi tata ruang dan transportasi maka masih akan mempertinggi penggunaan kendaraan pribadi. Di samping itu, jenis kebijakan yang diprioritaskan pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan listrik sebaiknya dapat dibedakan berdasarkan jenis kendaraan, dimana kebijakan insentif fiskal untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan roda empat listrik sedangkan penyediaan stasiun pengisian baterai untuk kendaraan roda dua listrik.

Terkait dengan emisi yang dihasilkan, Julius kembali menekankan bahwa sektor transportasi dan ketenagalistrikan saling berkaitan satu sama lain. Apabila kendaraan listrik akan dikembangkan maka perlu juga untuk mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan.

Pada akhirnya kendaraan listrik dan industrinya bisa berkembang apabila ada dukungan dari semua pihak. Di berbagai negara juga demikian, keberhasilan kendaraan listrik menembus pasar bukan hanya keberhasilan satu pihak namun karena dukungan berbagai pihak utamanya adalah pemerintah. Perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam hal penciptaan pasar dan kebijakan supply and demand.

Materi presentasi

The Role of EV

 

Unduh laporan lengkap
Unduh ringkasan untuk para pembuat kebijakan
Unduh infografis 

Kendaraan Listrik dan Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat Indonesia

Siaran Pers

Transportasi darat sumbang emisi tertinggi dari total emisi gas rumah kaca sektor transportasi di Indonesia

  • Kurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi, Indonesia perlu menerapkan instrumen kebijakan untuk meningkatkan jumlah kendaraan listrik dalam menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil
  • Di saat harga minyak dunia sedang turun saat ini, pajak karbon yang diterapkan pada bahan bakar fosil merupakan suatu instrumen yang dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan jumlah kendaraan listrik sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca

Jakarta— 29 Maret 2020 — Institute for Essential Services Reform sebagai anggota dari Climate Transparency melakukan kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi, dengan menganalisis rangkaian instrumen kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan peran kendaraan listrik dalam mendorong ambisi negara mencapai Persetujuan Paris, agar dapat berada di jalur untuk mencapai batasan target kenaikan suhu 2/1,5°C.

Julius C. Adiatma, Clean Fuel Specialist IESR, memaparkan laporan “The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector” yang di luncurkan dalam kegiatan Webinar pada Minggu 29 Maret 2020 dan juga melibatkan panelis secara daring, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi, BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Jakarta.

“Hasil pemodelan dari studi kami menunjukkan bahwa masuknya kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi darat, terutama dari penggunaan kendaraan pribadi. Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan dari pemerintah, baik kebijakan fiskal maupun non fiskal seperti penyediaan infrastruktur pengisian kendaraan listrik umum. Yang tidak kalah penting adalah mengganti pembangkit batubara dengan energi terbarukan supaya emisi gas rumah kaca tidak berpindah dari transportasi ke pembangkit” menurut Julius.

Di Indonesia, emisi dari sektor transportasi hampir mencapai 30% dari total emisi CO2, dimana emisi tertinggi terutama berasal dari transportasi darat, yang berkontribusi pada 88% dari total emisi di sektor ini (IEA, 2015). Termasuk di dalamnya adalah mobil penumpang dan sepeda motor, yang tumbuh dengan pesat seiring dengan penggunaannya sebagai moda perjalanan utama di daerah perkotaan. Misalnya, penjualan mobil domestik telah bertumbuh lebih dari dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir (dari 480 ribu unit pada tahun 2004 menjadi di atas 1 juta unit pada tahun 2019). Tren ini diprediksi akan terus meningkat, dan dengan demikian, sektor transportasi akan terus menjadi salah satu penghasil emisi utama di negara ini. Namun, rencana mitigasi dari pemerintah untuk sektor transportasi yang tercantum dalam NDC, masih terbatas pada pengalihan bahan bakar menjadi bahan bakar nabati dan perluasan stasiun pengisian bahan bakar gas bumi. Sementara itu, peran kendaraan listrik (termasuk hibrida, hibrida plug-in, dan kendaraan listrik baterai), yang banyak dilihat oleh beberapa pakar sebagai kunci dalam mengurangi emisi GRK di sektor ini, masih belum dimasukkan dalam NDC Indonesia.

Indonesia harus mengambil tindakan mitigasi perubahan iklim secara drastis di sektor transportasi. Menurut proyeksi The Climate Action Tracker, total emisi Indonesia (tidak termasuk LULUCF) setara dengan 3,75 – 4% dari total emisi global pada tahun 2030. Agar sejalan dengan 1,5°C, proporsi bahan bakar rendah karbon di bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Climate Action Tracker menjabarkan skenario 1,5°C yang kompatibel untuk Indonesia, yang membatasi emisi dari sektor transportasi menjadi 2 MtCO2e pada tahun 2050. Skenario ini mencakup peningkatan penggunaan transportasi umum, peningkatan ekonomi bahan bakar kendaraan konvensional, dan elektrifikasi 100% kendaraan penumpang darat (mobil, motor, dan bus) pada tahun 2050. Untuk mencapai 100% elektrifikasi kendaraan pada tahun 2050, Indonesia perlu menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil antara tahun 2035 s.d. 2040, dengan asumsi masa pakai kendaraan 15 tahun. Dengan penetrasi pasar kendaraan listrik yang sangat rendah saat ini, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung untuk mencapai target ini.

Di sisi lain, dengan bauran listrik saat ini, penetrasi kendaraan listrik akan meningkatkan emisi karbon di Indonesia. Peningkatan emisi ini, sebagian besar terkait dengan pembangkitan listrik dari sumber bahan bakar fosil. Selain itu, emisi juga berasal dari produksi komponen dalam kendaraan listrik, terutama baterai. Namun, sekalipun Indonesia dapat mencapai daya bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, penggunaan mobil listrik diprediksi akan menghasilkan emisi karbon sekitar 2,6% lebih rendah dibanding mobil konvensional.

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy IESR, mengatakan, dalam situasi rendahnya harga minyak dunia saat ini yang turun hingga lebih dari 50% (dari harga acuan yang tertera pada Nota Keuangan APBN 2020), pemerintah sebaiknya menerapkan pajak karbon pada pemakaian bahan bakar fosil, alih-alih menurunkan harga bahan bakar minyak dalam negeri; dimana hasil penerimaan pajak ini dapat digunakan untuk pengembangan industri kendaraan listrik.

Unduh siaran pers


Narahubung Pers:

Gandabhaskara Saputra, ganda@iesr.or.id

 

Gunakan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi CO2

Meski demikian pengurangan emisi dari sistem kelistrikan harus menjadi prioritas utama!

Sama seperti panel surya (Photovoltaic/PV) yang semakin populer, demikian juga halnya dengan kendaraan listrik. Bahkan laporan dari International Energy Agency (IEA) tahun 2019 yang berjudul Global EV Outlook 2019 menyebutkan, bahwa perkembangan kendaraan listrik akan semakin pesat dan pada tahun 2030, penjualan kendaraan listrik per tahun akan mencapai angka 44 juta kendaraan.  

Kendaraan listrik muncul sebagai teknologi disruptif bagi mayoritas industri otomotif. Di tengah dunia yang masih didominasi oleh kendaraan bermesin bakar yang sangat tergantung pada konsumsi bahan bakar minyak (BBM), kendaraan listrik hadir dengan terobosan baru – menggunakan tenaga listrik. Tanpa konsumsi BBM, kendaraan listrik tidak akan menghasilkan emisi. Karenanya, kendaraan listrik menjadi kendaraan yang ramah lingkungan dan menjadi salah satu solusi mengatasi perubahan iklim. 

Namun, apakah benar kendaraan listrik 100% bebas dari emisi? 

Di luar emisi yang dihasilkan saat memfabrikasi kendaraan listrik, emisi tak langsung kendaraan ini diproduksi saat kita mengisi baterai kendaraan tersebut, yakni dari emisi pembangkit tenaga listrik. 

Faktor emisi CO2 di sistem Jawa-Bali mencapai 0.817 ton CO2/MWh

Berdasarkan data dari RUPTL 2019-2028, faktor emisi pembangkit untuk Jawa-Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2019 adalah sebesar 0,817 ton CO2/MWh. Artinya, untuk tiap 1 mega-watt (MW) pembangkit yang beroperasi selama satu jam (1 hour) – berdasarkan komposisi pembangkit saat ini di Jawa dan Bali – emisi CO2 yang dihasilkan adalah sebesar 0,817 ton. Semakin banyak MW pembangkit yang beroperasi untuk jangka waktu yang lama, semakin besar pula MWh-nya sehingga total emisinya pun semakin besar. 

Faktor emisi dihitung dari total emisi CO2 yang dihasilkan oleh seluruh pembangkit energi fosil di suatu sistem dibagi dengan total energi listrik dalam MWh atau GWh yang dihasilkan oleh seluruh pembangkit di sistem tersebut, baik pembangkit fosil maupun terbarukan. Artinya, semakin banyak pembangkit energi terbarukan di suatu sistem, semakin kecil pula faktor emisinya.

Dengan menggunakan data di RUPTL 2019-2028, total emisi gas rumah kaca (GRK), komposisi pembangkit, dan faktor emisi GRK untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali pada tahun 2019 dapat dirangkumkan sebagai berikut:

Dari faktor emisi di atas dapat dilihat bahwa emisi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara sangat dominan dibanding dengan pembangkit-pembangkit tenaga fosil lainnya. Hal ini berarti, dengan semakin banyak PLTU yang digunakan di sistem kelistrikan Jawa-Bali, semakin besar pula total emisi CO2-nya.

Pembangkit berbahan bakar fosil masih mendominasi sistem kelistrikan Jawa-Bali

Berdasarkan RUPTL 2019-2028, pada tahun 2018, pembangkit listrik tenaga fosil memiliki total kapasitas terpasang sebesar 33,8 GW sedangkan pembangkit listrik energi terbarukan hanya sebesar 3,9 GW. Kemudian di tahun 2028, pembangkit fosil diprediksi meningkat sebesar 57,4% atau menjadi sebesar 53,2 GW, sedangkan pembangkit energi terbarukan hanya menjadi sebesar 11,9 GW, walaupun tingkat pertumbuhannya jauh lebih tinggi, yakni sebesar 205%.

Setiap pembangkit listrik memiliki daya mampu netto (DMN), yakni besarnya daya output pembangkit yang dapat dimanfaatkan untuk menyuplai beban sebab telah dikurangi dengan pemakaian sendiri pembangkit tersebut. Total DMN ini kemudian menjadi dasar bagi PLN untuk mengalokasikan pembangkit-pembangkitnya guna menyuplai permintaan listrik setiap hari. 

Kurva beban sistem Jawa-Bali tanggal 5 November 2019 dan perkiraan komposisi pembangkitnya

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Pengatur Beban (P2B) Jawa-Bali, pada tanggal 5 November 2019, beban puncak sistem Jawa-Bali mencapai 27.000 MW, sementara daya mampu netto pembangkit sebesar 27.432 MW, seperti ditunjukkan oleh kurva di bawah ini.

Untuk menyuplai beban ini, PLN mengalokasikan pembangkit-pembangkit yang ada di sistem Jawa-Bali, yang dapat diakses dari situs PLN P2B. Untuk tanggal 5 November 2019, total kapasitas pembangkit yang dialokasikan oleh PLN adalah sebesar 27.158 MW (untuk pukul 13.30) dan sebesar 27.435 MW (untuk pukul 18.00) dengan komposisi sebagai berikut: 

Pembangkit-pembangkit yang tersedia tersebut kemudian akan diatur waktu operasi dan besar pembangkitannya sesuai dengan dispatch order PLN.

Dispatch Order

Dispatch order dapat diartikan sebagai urutan pembangkit listrik mana yang harus dinyalakan guna menyuplai beban pada suatu waktu tertentu. Dispatch order ini biasanya didasarkan pada biaya kapital, biaya operasi, dan kecepatan suatu pembangkit untuk dinyalakan dan diatur daya keluarannya (ramping-up). Berdasarkan kriteria-kriteria ini, pembangkit dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok:

  1. Pembangkit yang memiliki biaya investasi besar, namun biaya operasi murah dan ramping-up lambat akan digunakan untuk menyuplai beban dasar (base load). Pembangkit base load ini umumnya memiliki capacity factor (CF) cukup tinggi dan jenis pembangkitnya antara lain pembangkit listrik tenaga uap (dengan batu bara) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi. 
  2. Pembangkit berikutnya adalah pembangkit untuk menyuplai beban menengah. Biaya kapital pembangkit ini umumnya lebih murah dan CF-nya sedang. Pembangkit combined-cycle dan pembangkit listrik tenaga gas adalah jenis pembangkit yang umumnya masuk dalam kategori ini. 
  3. Pembangkit terakhir adalah pembangkit yang dioperasikan untuk menyuplai beban puncak. Pembangkit pada kategori ini umumnya memiliki biaya kapital rendah, biaya operasi tinggi, dan CF-nya rendah. Pembangkit listrik tenaga air, minyak (diesel), dan pump storage adalah beberapa pembangkit yang masuk dalam kategori ini.

Dengan melihat jenis-jenis pembangkit yang dimiliki oleh PLN untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali dan penjelasan sebelumnya, maka dispatch ordernya dapat diasumsikan sebagai berikut: PLTP – PLTU – PLTGU – PLTG – PLTA – PLTDG – PLTD. Namun, di tengah kondisi harga gas yang mahal, urutan dispatch pembangkit Jawa-Bali untuk contoh di atas dapat diatur ulang menjadi PLTP – PLTU – PLTGU – PLTA – PLTG – PLTDG – PLTD. Dispatach order ini kemudian disusun untuk menyuplai seluruh kebutuhan beban sehingga diperoleh kurva sebagai berikut.

Dengan melihat profil suplai pembangkit Jawa-Bali yang sangat didominasi oleh pembangkit berbahan bakar fosil, tidak heran jika faktor emisi CO2nya tinggi. Akibatnya, setiap konsumsi listrik di jaringan tersebut secara tidak langsung memiliki besaran emisi yang melekat padanya. Kita ambil misalnya mobil listrik sebagai contoh. Bila ada sepuluh ribu mobil listrik (asumsi kapasitas baterai 80 kWh dan diperlukan 1 jam untuk mengisi penuh dari kondisi kosong) melakukan pengisian bersamaan selama satu jam, maka kurang lebih 3.200 MWh listrik akan dikonsumsi. Dengan konsumsi sebesar itu, maka 2.614,4 ton CO2 akan dihasilkan sebagai akibat aktivitas pembangkitan listrik, walaupun saat beroperasi mobil-mobil listrik tersebut tidak akan menghasilkan CO2. Karena itu, agar penggunaan mobil listrik benar-benar dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi CO2, maka emisi sistem kelistrikannya harus terlebih dahulu dikurangi, untuk sistem Jawa-Bali, bahkan diperlukan pengurangan yang drastis.


[1] Kendaraan listrik yang dimaksud di sini adalah kendaraan listrik dengan baterai, bukan kendaraan listrik plug-in (plug-in EV) ataupun kendaraan listrik hybrid

[2] Berdasarkan skenario EV30@30

[3] Lebih dari 95% kapasitas terpasang pembangkit di sistem Jawa-Bali dan Nusa Tenggara berada di Jawa-Bali, sehingga dalam kasus ini faktor emisi Jawa-Bali dan Nusa Tenggara digunakan menjadi factor emisi sistem Jawa-Bali.

[4] Dapat diakses di: https://hdks.pln-jawa-bali.co.id/app4/system.php?fnp=1&setdate=2019-11-06&sSession=TEMP-XXXXXX-DVZbLQSBFzLCOeutMNcpnrsYJtBKlrco&sys=LDC&regcode=101&setdate=2019-11-05&dl=7519

[5] Capacity Factor (CF) adalah perbandingan antara produksi energi listrik suatu pembangkit dengan maksimum produksi energi listrik pembangkit itu, dalam suatu rentang waktu tertentu (biasanya satu tahun).

**

Tulisan lain terkait emisi dari sistem kelistrikan dalam kaitannya dengan penggunaan kendaraan listrik juga dapat dibaca di laporan IESR ICEO 2020 bagian laporan khusus tentang kendaraan listrik.