Kesiapan Ketenagakerjaan untuk Energi Terbarukan di Indonesia

Jakarta, Mei 2023 – Indonesia telah membuat komitmen penting untuk mencapai target iklim dan pembangunan, dan mulai memperhatikan pengurangan emisi karbon sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi dan sosial. Sebagai negara berkembang, komitmen untuk melakukan dekarbonisasi pembangunan sambil mempertahankan pertumbuhan ekonomi sangatlah penting, terutama bagi Indonesia yang telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 5,7% dalam rencana jangka panjangnya, Visi Maju 2045. Belum ada negara yang beralih ke status sebagai negara berpenghasilan tinggi sekaligus mengurangi emisi, terlepas dari fakta bahwa ini adalah tantangan implisit dari transisi rendah karbon (Bank Dunia, 2023). Memisahkan pertumbuhan ekonomi dari emisi karbon akan memerlukan perbaikan yang signifikan dan berkelanjutan dalam banyak aspek di luar masalah lingkungan, yang mencakup kebijakan ekonomi, sosial, inovasi, dan fiskal, untuk mendorong perubahan menyeluruh (Fankhauser & Jotzo, 2017; OECD, 2022). Kondisi ketenagakerjaan Indonesia, sebagai salah satu indikator sosial ekonomi dan kesejahteraan, juga akan dipengaruhi oleh berbagai perubahan akibat dekarbonisasi, termasuk peningkatan penggunaan energi terbarukan dan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil. Perubahan ini akan menggeser permintaan akan lapangan kerja ke arah aktivitas ekonomi dan sumber energi yang lebih bersih.

Bagaimana lapangan kerja energi dan sektor terkait di masa depan?

Secara global pada tahun 2019, lebih dari 65 juta orang dipekerjakan di sektor energi dan sektor terkait, dengan pangsa hampir 2% dari pekerjaan formal di seluruh dunia, di mana setengah dari tenaga kerja sektor energi dipekerjakan di teknologi energi bersih (IEA, 2019). Jumlah pekerja yang dipekerjakan di sektor energi pada tahun 2030 secara global dapat meningkat menjadi 139 juta di bawah skenario 1,5°C, termasuk lebih dari 74 juta di bidang efisiensi energi, kendaraan listrik, sistem/fleksibilitas daya, dan hidrogen; sementara saat ini lapangan kerja dunia dalam energi terbarukan mencapai 12,7 juta pada tahun 2021 (IRENA & ILO, 2022). Dengan demikian, masih banyak pekerjaan potensial dalam energi terbarukan secara global, termasuk di Indonesia, di mana kerugian di sektor bahan bakar fosil akan terkompensasi atau lebih oleh keuntungan energi terbarukan dan teknologi transisi energi lainnya.

Indonesia dapat melihat baik perubahan dalam potensi pekerjaan ramah lingkungan baru maupun perubahan dalam sifat pekerjaan yang ada – di mana tidak semua pekerjaan hijau di Indonesia memiliki persyaratan keterampilan yang tinggi, namun tren di negara-negara berpenghasilan tinggi menunjukkan bahwa permintaan akan keterampilan yang berkaitan dengan ramah lingkungan tingkat lanjut akan meningkat, sehingga membutuhkan perubahan yang sepadan dalam pelatihan dan pendidikan (Bank Dunia, 2023). Sekitar 40 persen dari perusahaan Indonesia dilaporkan memiliki strategi hijau; 58 persen perusahaan melaporkan memiliki tim atau personel energi khusus. Sementara sekitar 37 persen perusahaan yang disurvei menunjukkan bahwa mereka memantau emisi dari penggunaan energi, hanya 15 persen yang menetapkan target energi dan emisi (IRENA & ILO, 2022), sedangkan kesempatan kerja juga muncul dengan meningkatnya jumlah perusahaan terkait energi terbarukan dan efisiensi energi di Indonesia. Pekerjaan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan meningkat selama masa transisi, dari 0,63 juta saat ini menjadi 0,74 juta pada tahun 2030 dan 1,07 juta pada tahun 2050, dengan bioenergi dan teknologi surya mendominasi pekerjaan energi terbarukan di Indonesia pada dekade pertama transisi ini (IRENA, 2023). Namun, di sisi penyiapan sumber daya manusia pada tahun 2022, belum ada perbaikan yang berarti dari tahun lalu, dan pemerintah belum menetapkan strategi yang jelas untuk mempersiapkan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam transisi energi apalagi mempersiapkan tenaga kerja yang ada untuk beralih dari pembangkitan energi berbasis fosil ke yang terbarukan (IESR, 2022a).

Apa yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kesiapan kerja?

Seiring muncul dan berkembangnya sektor energi terbarukan, tenaga kerja energi terbarukan yang terampil perlu muncul, dan untuk menutup kesenjangan keterampilan, diperlukan serangkaian kebijakan pasar tenaga kerja yang dirancang dengan baik serta program pendidikan dan pelatihan berwawasan modern (IRENA, 2023). Khususnya di Indonesia, tidak akan ada satu strategi yang cocok untuk semua guna meningkatkan kesiapan sumber daya manusia; dengan demikian, pendekatan umum dengan pemahaman dan tindakan lokal akan lebih kuat dalam konteks ini karena kondisi ketenagakerjaan dan demografi berbeda-beda. Pertimbangan kebijakan berdasarkan wilayah geografis atau spesifik dampak dan potensi perlu dipikirkan secara hati-hati dalam transisi energi di Indonesia, dengan mempertimbangkan beberapa hal dalam kebijakan hijau antara lain kebijakan industri dan perusahaan, kebijakan pengembangan keterampilan, kebijakan pasar tenaga kerja aktif, keselamatan dan kesehatan kerja kebijakan, dan kebijakan perlindungan sosial (ILO, 2023). Dalam gambaran yang lebih besar, kesiapan lapangan kerja merupakan salah satu aspek penting yang menentukan keberhasilan transformasi ekonomi dalam pembangunan rendah karbon. Selain itu, intervensi pemerintah, pendekatan transformasi, revitalisasi masyarakat, dan keunggulan komparatif diperlukan untuk memastikan pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan di wilayah yang terkena dampak transisi (IESR, 2022b).

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto oleh Heri Susilo di Unsplash

Mempersiapkan Sumber Daya Manusia untuk Transisi Energi

Jakarta, Mei 2023 – Dunia bergerak ke ekonomi rendah karbon. Akibatnya, pasokan energi untuk perekonomian juga bergeser dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Tahun lalu, untuk pertama kalinya, investasi global dalam teknologi energi rendah karbon (termasuk teknologi produksi non-energi seperti transportasi listrik, panas yang dialiri listrik, dan material berkelanjutan) melampaui USD 1 triliun dan menyamai tingkat investasi bahan bakar fosil. Peningkatan investasi dalam teknologi rendah karbon menghasilkan peningkatan lapangan kerja di lapangan. Secara global, lapangan kerja dalam produksi energi terbarukan terus meningkat dari 7,3 juta pada tahun 2012 menjadi 12,7 juta pada tahun 2021.

Meski terlihat lebih lambat dari kecepatan global, Indonesia tidak terkecuali dalam tren ini. Khususnya selama setahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan komitmen transisi energi yang semakin baik. Presiden mengeluarkan peraturan yang menempatkan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara (dengan beberapa pengecualian) dan merombak peraturan penetapan harga yang tidak menarik yang menghambat investasi energi terbarukan sejak 2017. Dua bulan kemudian, tonggak penting dalam perjalanan transisi energi Indonesia diumumkan dalam bentuk Just Energy Transition Partnership (JETP) selama KTT G20 di Bali. Komitmen JETP tidak cukup untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, tetapi komitmen ini jauh lebih ambisius daripada NDC. JETP berkomitmen untuk memobilisasi investasi senilai USD 20 miliar selama 3-5 tahun ke depan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.

Semua investasi yang dilakukan untuk transisi energi akan diterjemahkan menjadi kebutuhan sumber daya manusia. Hal ini terutama berlaku untuk investasi energi terbarukan yang umumnya lebih padat karya daripada industri fosil. IESR memperkirakan bahwa investasi untuk mencapai emisi net-zero pada tahun 2050 akan menghasilkan sekitar 800.000 pekerjaan baru pada tahun 2030 hanya di sektor ketenagalistrikan (tidak termasuk pekerjaan di kendaraan listrik, material berkelanjutan, dll.). Lapangan kerja akan meningkat menjadi 3,2 juta lapangan kerja pada tahun 2050. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan lapangan kerja saat ini di sektor ketenagalistrikan yang berjumlah 270.000.Namun, Indonesia tampaknya agak tidak siap menghadapi transisi angkatan kerja. Pemerintah tidak memiliki strategi yang jelas untuk mengembangkan kapasitas tenaga kerja yang dibutuhkan dan penelitian tentang energi terbarukan cenderung menurun. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas perencanaan tenaga kerja, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, sejauh ini tidak disertakan dalam pembahasan transisi energi. Ketidaksiapan ini bahkan lebih krusial bagi ratusan ribu orang yang saat ini bekerja di industri pasokan bahan bakar fosil. Tidak semua dari mereka memiliki keterampilan yang dapat dialihkan yang dapat digunakan di sektor energi terbarukan, misalnya operator alat berat yang sebagian besar menyerap tenaga kerja di industri fosil. Suatu perangkat kebijakan yang lebih komprehensif dan koordinasi yang lebih baik di antara para pembuat kebijakan, terutama untuk melibatkan badan-badan yang bertanggung jawab atas pengembangan tenaga kerja, sangat diperlukan. Jika tidak, Indonesia mungkin kehilangan manfaat ekonomi (tenaga kerja) dari transisi energi.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Foto milik Verhalenhuys di Unsplash

Usulan Perubahan Permen ESDM tentang PLTS Atap Berpotensi Melemahkan Minat Pasar Residensial

Jakarta, 6 Januari 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sedang melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum. Perubahan ini dimaksudkan untuk menjawab kendala-kendala pemasangan PLTS atap yang terjadi dalam setahun terakhir sejak peraturan menteri tersebut resmi dikeluarkan.

Dalam public hearing yang dilakukan Jumat, 6 Januari 2023, Kementerian ESDM memaparkan usulan perubahan substansi di antaranya: tidak ada pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem, ekspor listrik ditiadakan (tidak lagi dihitung sebagai pengurang tagihan), biaya kapasitas untuk pelanggan industri dihapuskan (tidak lagi 5 jam), dan aturan peralihan untuk pelanggan eksisting diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.

“Sejak diundangkan pada Agustus 2021 lalu, Permen ESDM No. 26/2021 praktis tidak berjalan karena PLN menolak pelaksanaannya. Akibatnya target pemerintah mencapai 450 MWp tambahan kapasitas PLTS di 2022 tidak tercapai. Revisi ini sepertinya merupakan titik temu kepentingan pemerintah dengan PLN dan sangat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering karena kondisi overcapacity. Tapi AESI menyayangkan bahwa akomodasi ini justru berpotensi memangkas keekonomian dan minat PLTS Atap golongan residensial, yang berpotensi tumbuh,” kata Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) di Jakarta.    

Sejak Januari 2022, pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15% terjadi di berbagai wilayah di Indonesia untuk beragam pelanggan, baik residensial dalam skala kilowatt hingga ke pelanggan industri dengan kapasitas dalam skala megawatt. Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 (maksimum 100% daya listrik terpasang) dan menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap. 

Dalam usulan perubahan substansi Permen tersebut, pembatasan kapasitas hingga 100% tidak akan diberlakukan kembali melainkan didasarkan pada sistem kuota per sistem dan bersifat first come, first serve. Perubahan ini menjawab langsung pembatasan kapasitas yang terjadi di lapangan, namun teknis penentuan kuota sistem perlu diperjelas terutama dalam kaitannya dengan rencana pengembangan energi terbarukan di daerah. Selain itu periode waktu penetapan kuota per 5 tahun yang terlalu lama karena dinamika teknologi penyediaan listrik.

AESI mendukung penetapan kuota dengan mempertimbangkan kehandalan jaringan listrik IUPTLU tapi mengusulkan agar penentuan kuota kapasitas dilakukan setiap 2 tahun, denga peninjauan (review) dilakukan setiap enam bulan.

Peniadaan net-metering dengan penghapusan ekspor listrik ke jaringan PLN yang berlaku untuk semua kategori pelanggan tanpa terkecuali akan berdampak besar pada pasar residensial (rumah tangga). Tingkat keekonomian PLTS atap saat ini masih dipengaruhi oleh net-metering karena profil beban rumah tangga yang kebanyakan di malam hari. Tidak adanya ekspor akan menurunkan pengurangan tagihan listrik rumah tangga dan memperpanjang masa balik modal (payback period) pembelian sistem PLTS atap, membuat PLTS Atap tidak menarik secara ekonomi untuk pelanggan rumah tangga. 

Survei pasar yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) di 7 provinsi di Indonesia pada 2019 – 2021 menunjukkan bahwa keekonomian menjadi salah satu faktor penting dan penentu bagi pelanggan residensial untuk menggunakan PLTS atap. Mayoritas responden juga ingin mendapatkan penghematan minimal 50% dan prosedur pemasangan yang jelas serta cepat,” Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menambahkan.

Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTS atap dengan target 3,6 GW pada tahun 2025 dan pencapaian target energi terbarukan 23% justru mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat. Dengan pangsa pasar 20% saja untuk pelanggan golongan R2 dan R3 (3.500 VA ke atas), terdapat potensi 400.000 rumah tangga di seluruh Indonesia – setara dengan 1,2 GWp PLTS atap jika masing-masing memasang minimal 3 kWp. 

Dampak pada PLTS Atap residensial akan menurunkan manfaat penciptaan lapangan kerja hijau yang terjadi oleh pelaku usaha instalasi PLTS skala kecil yang menyasar segmen pasar rumah tangga yang sudah mulai tumbuh sejak 2018 lalu. Dengan potensi penggunaan tersebar di berbagai kota di Indonesia, pasar PLTS atap residensial juga berkontribusi pada terbukanya lapangan kerja hijau, misalnya teknisi dan pemasang, dan tumbuhnya UMKM pemasang PLTS atap. Jika revisi Permen terbaru disahkan dengan klausul usulan saat ini, pertumbuhan dan peluang usaha hijau ini tentunya akan terhambat. AESI dan IESR merekomendasikan net-metering tetap diberlakukan untuk pelanggan residensial dengan perhitungan ekspor-impor yang dapat didiskusikan kemudian.

Dalam public hearing tersebut, terdapat banyak pertanyaan yang disampaikan oleh pengembang energi surya (developer), pemasang (perusahaan EPC), pemerintah daerah, hingga pengguna PLTS atap

AESI menilai alih-alih mendukung transisi energi terbarukan, revisi Permen ini justru akan menghambat penambahan PLTS Atap. Untuk itu AESI mengusulkan agar ketentuan ekspor listrik dari pelanggan residensial tetap diijinkan dengan syarat kapasitas terpasang 100% daya pelanggan. Ketentuan ini ditinjau ulang dalam waktu 5 tahun atau setelah PLTS Atap residential mencapai kumulatif 5% dari total kapasitas terpasang pembangkit di sistem tersebut. 

Kementerian ESDM membuka kanal penyampaian masukan untuk proses ini hingga tanggal 13 Januari 2023.