Bridging the Cross-Sectoral Gap in Pursuing More Ambitious Climate Targets in Indonesia

Latar Belakang

Pada tahun 2022, Indonesia, meningkatkan target penurunan emisi GRKnya, dari 29% dengan kemampuan sendiri menjadi 31,89%, dan dari 41% menjadi 43,80% dengan bantuan internasional. Pemerintah menilai target ini lebih ambisius daripada sebelumnya. Sejumlah kebijakan yang telah berjalan, seperti FOLU Net Sink 2030, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah, peningkatan target di sektor pertanian dan industri, Perpres 18/2021 mengenai Nilai Ekonomi Karbon, serta Perpres 112/2022 mengenai Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menjadi dasar peningkatan target tersebut. .

Menurut analisis Climate Action Tracker (2022), Indonesia telah membuat langkah-langkah positif dalam upaya menurunkan emisi, salah satunya melalui rencana penghentian pembangkit listrik berbahan bakar batubara di 2050. Peran bantuan internasional sangat penting untuk mengimplementasikan penghentian batubara di Indonesia. Walaupun demikian CAT mengevaluasi target dan kebijakan iklim Indonesia sebagai ‘highly insufficient’, yang menunjukkan bahwa kebijakan dan komitmen iklim Indonesia saat ini, tidak konsisten dengan pembatasan kenaikan suhu global dibawah 1,5°C dan akan menyebabkan peningkatan temperatur global.

Indonesia tidak sendiri, demikian juga trend peningkatan emisi GRK akan berlanjut seiring dengan peningkatan konsumsi energi. Menurut ASEAN Center for Energy, emisi GRK dari sektor energi di ASEAN diperkirakan akan naik hingga mencapai 4,171 Mt CO2-eq di tahun 2040. Melalui pernyataan bersama (joint statement), ASEAN berkomitmen untuk mengkomunikasikan masing-masing NDC yang mencerminkan ambisi yang selaras dengan keputusan UNFCCC dan Perjanjian Paris. Dari enam negara ASEAN yang dianalisis oleh CAT (Climate Action Tracker, 2022), 3 negara diantaranya (Singapura, Thailand, dan Vietnam) memiliki status aksi iklim yang ‘critically insufficient’. Peringkat ini mengindikasikan bahwa komitmen dan kebijakan iklim negara tersebut: minim dan sama sekali tidak konsisten dengan Perjanjian Paris.

Dalam kepemimpinannya di ASEAN pada tahun 2023, Indonesia menetapkan pembangunan infrastruktur hijau, implementasi SDGs, dan ketahanan energi sebagai salah satu fokusnya. Dari hasil pertemuan KTT ASEAN ke 42 yang diselenggarakan pada 10-11 Mei 2023, terlihat bahwa tidak ada pernyataan khusus mengenai agenda aksi iklim di ASEAN. Oleh karena itu, dengan momentum kepemimpinan ASEAN ini, penting bagi Indonesia untuk menegaskan kembali komitmen iklimnya yang selaras dengan Perjanjian Paris, dan mendorong target iklim serta pengurangan emisi yang lebih ambisius di tingkat regional Asia Tenggara.

IESR bermaksud mengkaji status kebijakan dan potensi peningkatan ambisi iklim yang selaras dengan target di bawah 1,5°C, melalui seminar bersama dengan berbagai pemangku kebijakan, civitas akademika, dan civil society organizations. Melalui pertemuan ini diharapkan dapat terjadi pertukaran informasi dan diskusi untuk menyelaraskan pandangan para pemangku kebijakan di sektor-sektor yang berpengaruh pada perubahan iklim mengenai perlunya peningkatan ambisi iklim Indonesia, dan translasinya di ASEAN, dengan para praktisi dan penggiat isu iklim. Lebih jauh, seminar ini diharapkan dapat mendorong terjadinya sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam memastikan Indonesia mencapai target iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris.

Seminar ini juga akan mengeksplorasi peluang dan tantangan Indonesia dalam memenuhi target iklim yang sesuai target Perjanjian Paris; membatasi kenaikan temperatur dibawah 1,5°C. Selain itu, hasil dari diskusi ini juga dapat menjadi masukan dan atau rekomendasi terkait agenda iklim dan transisi energi pada kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023.

Tujuan

  1. Mewadahi pertukaran informasi dan perspektif praktisi dan ahli serta ekspektasi CSO atas kondisi, potensi, serta tantangan untuk target iklim yang lebih ambisius, selaras dengan 1,5°C;
  2. Menginformasikan arah keketuaan Indonesia terkait agenda iklim dan transisi energi di ASEAN pada berbagai sektor

Simak 6 Perbedaan pada NDC Indonesia Tahun 2015 dan NDC Hasil Pemutakhiran 2021

Sejak menandatangani Persetujuan Paris pada tahun 2015, Indonesia mulai menyusun dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai pernyataan resmi untuk komitmen penurunan emisinya. NDC pertama Indonesia diserahkan kepada UNFCCC pada tahun 2015. Dalam perjalanan, banyak pihak menilai bahwa NDC yang dimiliki Indonesia belum mampu menjawab tantangan krisis iklim dan upaya penurunan emisi. 

Pada tahun 2021, atas masukan berbagai pihak Indonesia memperbarui dokumen NDC-nya. Secara target pengurangan emisi tidak ada yang berubah, namun perbedaan yang sangat terasa adalah dibuatnya berbagai penyesuaian dengan RPJMN 2020 – 2024 dan Visi Indonesia 2045, selain itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengeluarkan dokumen Long Term Strategy untuk melengkapi NDC terbaru ini. Hal lain yang ditambahkan pada NDC Indonesia yang terbaru dapat dilihat pada tabel perbandingan berikut.

NoHalNDC 2016NDC 2021
1Penyelarasan dengan strategi nasional

Selaras dengan konsep Nawa Cita

Penyelarasan dengan RPJMN 2020-2024 dan Visi Indonesia 2045 melalui NDC

2Proyeksi emisi GRK pada BAU

Energi CM2: 1.271MTon CO2e

FOLU CM2: 64 MTon CO2e

Target penurunan emisi

Energi CM2: 398 MTon CO2e

FOLU CM2: 650 MTon CO2e
Energi CM2: 1.407 Mton CO2e

FOLU CM2: 68 Mton CO2e

Target penurunan emisi :

Energi CM2: 441 MTon CO2e

FOLU CM2: 692 MTon CO2e
3Dokumen Long Term Strategy (LTS)

Tidak ada

Ada, untuk memenuhi mandat Persetujuan Paris Pasal 4.19 (memasukkan isu kesetaraan gender dan pekerjaan yang layak)

4Penjelasan asumsi dalam proyeksi business as usual (BAU) dan target

Tidak ada

Ada
5Komitmen Indonesia dalam berbagai konvensi Internasional

Tidak adaAda
6Menerjemahkan Katowice Package sebagai Pedoman pelaksanaan Persetujuan Paris

Tidak

Diterjemahkan

Dalam dokumen termutakhir ini Pemerintah Indonesia memaparkan 3 skenario mitigasi risiko perubahan iklim yaitu CPOS (Current Policy Scenario), TRNS (Transition Scenario), dan LCCP (Low Carbon scenario Compatible with Paris Agreement). Selain pada target penurunan emisi, ketiga skenario ini berdampak langsung pada pendapatan per kapita dan biaya investasi yang harus dikeluarkan pemerintah. 

Apakah target penurunan emisi Indonesia sudah relevan untuk mencapai target Persetujuan Paris?

Langkah Indonesia memperbaiki NDC-nya menuai apresiasi dan kritik. Apresiasi diberikan atas upaya untuk memperjelas poin-poin yang belum termasuk dalam dokumen NDC seperti aspek kesetaraan gender dan kelayakan pekerjaan (decent job), menambahkan dokumen Long Term strategy (LTS), dan memasukkan komitmen Indonesia dalam Konvensi Internasional di bidang adaptasi. 

Di sisi lain, kritik datang karena ambisi untuk menurunkan emisi tidak berubah dari dokumen terdahulu. Target penurunan emisi dalam NDC Indonesia belum mencerminkan sense of urgency untuk merespon krisis iklim yang sedang terjadi saat ini. Bahkan, laporan IPCC AR6 yang diluncurkan bulan Agustus 2021 menyebutkan bahwa waktu untuk mencegah kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius hanya kurang dari satu dekade lagi. Sebagai salah satu dari 10 besar negara penghasil emisi terbesar di dunia, seharusnya Indonesia lebih ambisius lagi untuk mengurangi emisinya.

Selain itu, di sektor energi sub-sektor ketenagalistrikan, PLTU batubara yang menghasilkan emisi tinggi masih tetap dipilih sebagai sumber pembangkit listrik bahkan hingga tahun 2050. Hanya saja, tidak dijelaskan secara rinci alasan pemilihan implementasi teknologi CCS/CCUS baik secara teknis maupun ekonomis. Tidak dijelaskan pula perbedaan asumsi yang digunakan antar skenario CPOS, TRNS, LCCP. Kurangnya transparansi mengenai asumsi yang digunakan dalam dokumen ini menyulitkan akademisi, pembuat kebijakan, atau masyarakat umum untuk mempelajari dokumen LTS LCCR ini

IESR menilai bahwa kepentingan untuk menaikkan ambisi iklim bukan hanya semata-mata memenuhi komitmen perjanjian internasional namun untuk mewujudkan ketahanan ekonomi nasional dan memitigasi risiko terjadinya pengeluaran biaya yang besar untuk membenahi masalah iklim di masa mendatang. Meresponi hal tersebut, IESR menyusun rekomendasi untuk Presiden RI terkait pemutakhiran komitmen nasional Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC) 2021 yang dapat diunduh berikut ini Rekomendasi IESR untuk Presiden Joko Widodo tentang Pemutakhiran NDC – IESR

Melihat Potensi Kendaraan Listrik dalam Dekarbonisasi Sektor Transportasi Darat di Indonesia

Pada tahun 2018, sektor transportasi di Indonesia mengkonsumsi 45% dari total energi final, dimana 94% berasal dari bahan bakar minyak. Dengan begitu, sektor ini menyumbang hampir sepertiga dari total emisi sektor energi. Angka ini diprediksi akan terus meningkat oleh beberapa ahli. Bahkan, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memprediksi bahwa emisi dari sektor ini akan meningkat 53% pada tahun 2030 dan hampir dua kali lipat pada tahun 2050 jika dibandingkan dengan angka pada tahun 2015. Dalam memenuhi tekanan pembatasan kenaikan suhu secara global, upaya dekarbonisasi atau pengurangan emisi di sektor transportasi memegang peranan penting, terutama mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kontributor emisi keenam di dunia.

Di antara moda transportasi angkutan, moda transportasi di darat merupakan kontributor emisi terbesar. Banyak studi menunjukkan bahwa kendaraan listrik merupakan satu opsi penting untuk melakukan dekarbonisasi di transportasi darat. Sayangnya, rencana mitigasi perubahan iklim di sektor ini masih terbatas pada penggunaan bahan bakar nabati. Untuk melihat seberapa besar potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia maka IESR melakukan diskusi sekaligus meluncurkan laporan terbarunya secara daring pada Hari Minggu, 29 Maret 2020, yang disiarkan di kanal Youtube IESR Indonesia.

Bertujuan untuk meluncurkan laporan terbarunya, tajuk dari diskusi ini menggunakan tajuk yang sama dengan tajuk laporannya, yaitu The Role of Electric Vehicles in Decarbonizing Indonesia’s Road Transport Sector. Dipandu oleh Erina Mursanti, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, diskusi ini menghadirkan Julius C. Adiatma, Peneliti Bahan Bakar Bersih IESR, yang merupakan penulis dari laporan ini. Di samping itu, Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT, dan Damantoro, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, turut hadir dalam diskusi ini untuk memberikan tanggapan atas laporan yang diluncurkan dalam diskusi ini.

Diskusi ini diawali dengan pemaparan presentasi oleh Julius C. Adiatma terkait kajian mengenai dekarbonisasi sektor transportasi untuk mendorong ambisi iklim negara dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu yang ada di dalam Kesepakatan Paris. Bahkan, menurut laporan spesial IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), pembatasan kenaikan suhu diusahakan mencapai 1,5 derajat C untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar.

Salah satu kajian yang dikeluarkan oleh Climate Action Tracker menjabarkan skenario yang kompatibel bagi Indonesia untuk dapat berkontribusi dalam mencapai target pembatasan kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat C. Salah satu caranya adalah elektrifikasi kendaraan penumpang darat seperti bis, motor, dan mobil secara 100% pada tahun 2050.

Kendaraan listrik dinilai bisa menjadi alternatif penurunan emisi karena memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi. Selain itu listrik bisa diproduksi tanpa menimbulkan emisi apabila menggunakan energi yang terbarukan. Belajar dari beberapa negara, kendaraan listrik akan tumbuh apabila ada dukungan kebijakan dari pemerintah. Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang dapat menstimulasi supply dan demand dari pasar kendaraan listrik.

Menurut Nanto, sapaan akrab dari Dr. Mohammad Mustafa Sarinanto, kajian yang dilakukan oleh Julius menjawab pertanyaan besar BPPT terkait potensi kendaraan listrik dalam dekarbonisasi sektor transportasi darat di Indonesia. BPPT sendiri telah mengembangkan platform-platform kendaraan listrik pada tahun 2018 sebelum diterbitkannya Peraturan Presiden No. 55 tahun 2019 terkait industri dalam negeri. Namun, sekarang BPPT lebih fokus kepada charging station atau stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Indonesia termasuk terlambat dalam menerapkan penggunaan kendaraan listrik bila dibandingkan dengan negara maju. Industri lokal terkait kendaraan listrik perlu untuk didorong dan hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Berbicara tentang industri kendaraan listrik maka bisa dilihat berbagai lembaga pengembangan kendaraan listrik baru berfokus pada research and development (R&D) dan manufaktur. Padahal kedua hal tersebut belum cukup. Kendaraan listrik adalah teknologi baru, dimana teknologi baru ini tidak akan berjalan dengan baik kalau hanya berkutat pada area R&D. Dengan demikian, Nanto menekankan bahwa aspek bisnis dari sisi manufaktur dan sisi infrastruktur pengisian baterai perlu diperhatikan.

Di samping itu, kendaraan listrik akan jauh bermanfaat dalam dekarbonisasi apabila Indonesia turut fokus mengembangkan pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Lebih jauh lagi, ekosistem kendaraan listrik harus mulai dikembangkan untuk mempercepat masa transisi kendaraan listrik, dimana ekosistem kendaraan listrik tersebut terdiri dari lima komponen yaitu: (a) research and development; (b) design and innovation; (c) fabrication/manufacture; (d) business; (e) implementation. Kelima komponen ini saling terkait dimana apabila implementation tidak jelas, maka tidak akan ada business sehingga  tidak ada research and development untuk melakukan design and innovation dalam fabrication/manufacture.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia untuk wilayah Jakarta, mengapresiasi kajian terbaru dari IESR yang menyatakan bahwa adanya kendaraan listrik tidak akan mempengaruhi APBN apabila ada insentif-insentif fiskal. Torri, sapaan akrab dari Damantoro, berharap skenario yang dilaporkan oleh IESR berjalan sukses sehingga bisa terlihat market size dari kendaraan listrik. Market size tersebutlah yang mampu mengundang investor untuk berinvestasi pada manufaktur kendaraan listrik.

Torri mengingatkan bahwa ada proyeksi yang menyatakan bahwa sekitar 60% penduduk Indonesia akan tinggal di daerah urban pada tahun 2030 ke atas, dimana ini berdampak pada kegiatan mobilisasi yang sangat tinggi. Dari perspektif sistem transportasi, akan sangat bagus apabila pemerintah dapat melakukan sinkronisasi antara sistem tata ruang dan transportasi maka kegiatan mobilisasi bisa dilayani dengan memuaskan. Tetapi selama tidak ada integrasi tata ruang dan transportasi maka masih akan mempertinggi penggunaan kendaraan pribadi. Di samping itu, jenis kebijakan yang diprioritaskan pemerintah untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan listrik sebaiknya dapat dibedakan berdasarkan jenis kendaraan, dimana kebijakan insentif fiskal untuk meningkatkan kepemilikan kendaraan roda empat listrik sedangkan penyediaan stasiun pengisian baterai untuk kendaraan roda dua listrik.

Terkait dengan emisi yang dihasilkan, Julius kembali menekankan bahwa sektor transportasi dan ketenagalistrikan saling berkaitan satu sama lain. Apabila kendaraan listrik akan dikembangkan maka perlu juga untuk mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan.

Pada akhirnya kendaraan listrik dan industrinya bisa berkembang apabila ada dukungan dari semua pihak. Di berbagai negara juga demikian, keberhasilan kendaraan listrik menembus pasar bukan hanya keberhasilan satu pihak namun karena dukungan berbagai pihak utamanya adalah pemerintah. Perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam hal penciptaan pasar dan kebijakan supply and demand.

Materi presentasi

The Role of EV

 

Unduh laporan lengkap
Unduh ringkasan untuk para pembuat kebijakan
Unduh infografis