Smelter Bukan Tujuan Akhir Hilirisasi

Jakarta, 26 Januari 2024– Hilirisasi akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat. Topik ini menguat seiring dengan kampanye salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menekankan agenda hilirisasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hilirisasi atau penghiliran adalah proses pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam “Katadata Forum – Pascadebat Ke-4 Pilpres 2024 “Dilema Hilirisasi Tambang: Dibatasi atau Diperluas?” (25/1/2024) mengungkap berbagai bentuk pengolahan alam harus tetap mengakar pada 3 poin penting yakni kejelasan dan penegakan hukum, perolehan manfaat ekonomi yang optimal, dan rencana jangka panjang setelah sumber daya alam tersebut dikeruk dan cadangannya menipis.

“Siapapun presiden yang akan menjabat, semestinya fokus pada pembahasan rencana jangka panjang pemanfaatan sumber daya alam. Jangan sampai sumber daya sudah habis dikeruk, tetapi setelahnya alam rusak, ekonomi baru tidak ada, maka bisa jadi angka kemiskinan naik lagi. Mitigasi ini harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kita,” tegas Fabby.

Menyoal hilirisari tambang, Fabby menyebut nikel merupakan salah satu mineral penting dalam teknologi energi terbarukan. Ia menuturkan nikel terbagi dalam dua kelas olahan. Nikel kelas satu diperuntukkan untuk bahan baku baterai kendaraan listrik, sementara nikel kelas dua digunakan untuk produk stainless steel. Ia mengamati sejak keluarnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengamanatkan untuk pengolahan mineral dalam negeri sehingga akhirnya mendorong hilirisasi dan membuat rencana pertumbuhan proyek smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang menjadi bahan baku, semakin meningkat. Hingga tahun 2024, tercatat sebanyak 48 smelter kritikal mineral yang akan dibangun.

“Semakin banyak smelter maka semakin banyak ekstrasinya. Hilirisasi tidak cukup berhenti sampai di smelter. Melainkan perlu mengejar manfaat optimal dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan dengan pembangunan industri baterai untuk kendaraan listrik dan berbagai industri energi terbarukan lainnya di Indonesia,” imbuhnya.

IESR membahas pula perkembangan rantai pasok industri baterai di Indonesia yang dapat dibaca dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook 2024.

Memacu Industri Baterai Kendaraan Listrik Secara Berkelanjutan

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR)

Jakarta, 19 Desember 2023 – Dalam beberapa tahun terakhir, transisi energi telah menjadi fokus utama di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mempromosikan peralihan dari sumber energi konvensional ke energi terbarukan. Salah satu langkah strategis yang ditekankan adalah pengembangan kendaraan listrik. Dukungan ini diwujudkan melalui berbagai insentif, termasuk keringanan pajak, untuk mempercepat pertumbuhan industri kendaraan listrik serta perluasan pasar.

Farid Wijaya, Analis Senior Bahan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, salah satu komponen utama dalam kendaraan listrik yang memungkinkan kinerja dan efisiensi tinggi adalah baterai. Untuk itu, nikel menjadi bahan baku kunci dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Berdasarkan International Energy Agency (IEA), tren transisi energi akan meningkatkan permintaan nikel di pasar global. Apalagi dengan adanya permintaan kendaraan ramah lingkungan yang menggunakan baterai listrik. Pada tahun 2040 mendatang, kendaraan listrik diproyeksi akan menguasai 58 persen kendaraan global.

“Sayangnya, peningkatan permintaan nikel dapat mengakibatkan ketergantungan yang lebih besar pada sumber daya alam. Proses penambangan dan pemurnian nikel dapat menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem. Untuk itu, kita perlu memperhatikan pengelolaannya agar memenuhi analisis dampak lingkungan (AMDAL) dan standar lingkungan hidup, serta unsur keadilan sosial,” ujar Farid Wijaya di Forum Group Discussion (FGD) dengan judul “Rantai Pasok Baterai Kendaraan Listrik: Bekerjasama Membangun Rantai Pasok yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Traction Energy Asia pada Selasa (19/12). 

Farid menuturkan,  industri pertambangan dan pemurnian nikel sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan. Untuk itu, berdasarkan analisis IESR terdapat beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan hilirisasi nikel melalui industrialisasi ramah lingkungan. Pertama, perizinan dari tata kelola pertambangan dan pemurnian nikel perlu ditinjau ulang dan berlaku pencabutan izin beserta denda. Misalnya, masalah administrasi, lingkungan dan ketidakadilan sosial. 

“Kedua, pembuatan peta jalah oleh masing-masing industri untuk melakukan dekarbonisasi. Ketiga, pengembangan dan implementasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk pertambangan dan pemurnian nikel,” tegas Farid Wijaya. 

Lebih lanjut, Farid menekankan peningkatan yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan hilirisasi nikel melalui industrialisasi ramah lingkungan, seperti penggunaan teknologi bersih ramah lingkungan, konservasi energi dan kepatuhan terhadap standar lingkungan hidup serta analisis mengenai AMDAL. Tidak hanya itu, perlu pula perhatian terhadap  keamanan dan keselamatan pekerja serta konsultasi pemangku kepentingan. 

Di lain sisi, Farid juga memaparkan, dunia akan dibanjiri dengan baterai lithium ion besar yang sudah habis masa pakainya dan perlu dibuang seiring peningkatan jumlah kendaraan listrik di jalan raya secara global. Untuk itu, proses daur ulang dibutuhkan untuk memulihkan sebagian besar bahan aktif baterai. Pada tahun 2040, IEA memperkirakan 10% permintaan dapat dipenuhi dengan mendaur ulang baterai bekas. 

“Apabila baterai lithium ion (LIB) bekas dibuang begitu saja dan ditimbun dalam jumlah besar bisa menyebabkan infiltrasi logam berat beracun ke dalam air bawah tanah, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Begitu juga LIB bekas dibakar sebagai limbah padat, hal tersebut akan menghasilkan sejumlah besar gas beracun. Misalnya hidrogen fluorida (HF) dari elektrolit di dalam LIB, yang dapat mencemari atmosfer. Oleh karena itu, penanganan limbah dari baterai bekas ini sangat dibutuhkan. Tak hanya itu, daur ulang menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor luar negeri,” tukas Farid Wijaya.

Kolaborasi Multisektoral di Teknologi Untuk Mempercepat Transisi Energi di Indonesia

Kolaborasi Multisektoral

Jakarta, 6 Maret 2023 –  Program Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) Indonesia bersama Kementerian PPN/Bappenas meluncurkan  rangkaian diskusi dengan aktor multisektoral dalam persiapan menuju Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober 2023. Rangkaian diskusi dibuka dengan tema “Emerging New Technologies to Support Energy Transition in Indonesia” yang mendatangkan ahli-ahli pada bidang energi untuk membahas teknologi yang dapat digunakan Indonesia dan tantangan yang dihadapi dalam pengimplementasiannya.

Devi Laksmi, Koordinator Kelompok Kerja Pengembangan Usaha Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia menerangkan tentang perkembangan energi terbarukan di Indonesia yang harus mencapai 23% pada bauran energi primer di tahun 2025, namun jarak target tersebut masih sangat besar dari apa yang sudah dicapai. Kementerian ESDM tengah menyusun strategi untuk memaksimalkan potensi energi terbarukan di Indonesia.

Sementara itu, Mentari Pujantoro, Manajer Proyek Transisi Energi, Agora Energiewende menyatakan, emisi karbon dunia telah mencapai tingkat baru di tahun 2022 yang disebabkan oleh konsumsi energi dan penggunaan bahan bakar fosil. Sumber energi terbarukan, efisiensi energi dan elektrifikasi berbasis energi terbarukan akan berkontribusi sekitar 70% pada penurunan emisi di seluruh dunia.

“Untuk itu, Indonesia perlu untuk mengidentifikasi teknologi yang sudah ada serta perannya, sebelum membicarakan tentang teknologi baru yang dapat digunakan,” tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, Badariah Yosiana, Programme Officer International Renewable Energy Agency (IRENA) menuturkan, peluang pengembangan perekonomian Indonesia melalui penggunaan energi terbarukan. Teknologi energi terbarukan dapat membuka peluang, khususnya untuk sektor industri. 

“Misalnya saja hidrogen hijau bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi bersih untuk sektor industri dan sebagai produsen nikel, Indonesia dapat berkembang menjadi produsen dan eksportir baterai yang dapat berkontribusi pada pasar kendaraan elektrik dan produksi panel surya,” paparnya. 

Beni Suryadi, Manajer ASEAN Center for Energy menerangkan, walaupun energi bersih seperti tenaga bayu atau surya akan mendominasi bauran energi di indonesia pada tahun 2031, namun, tidak ada negara yang bisa mencapai 100% energi terbarukan hanya dengan memanfaatkan keduanya. 

“Di bagian dunia lain, banyak negara yang berdebat tentang kesiapan nuklir sebagai pilihan yang aman dan dapat diandalkan sebagai pengganti batubara. Namun, karena alasan keamanan dan regulasi yang ketat, energi ini masih dianggap tidak fleksibel,” ujarnya.

Prof. Dr. Ir. Suwarno, M.T., Dosen Institut Teknologi Bandung, Guru Besar Sekolah Teknik Elektro dan Informatika menyatakan, pentingnya sumber daya manusia yang dapat ditingkatkan melalui pendidikan, keterbukaan dan kesadaran dari masyarakat, badan penelitian,  serta regulasi untuk memastikan proses transisi energi di Indonesia dapat berjalan dengan baik.  

Sesi diskusi diakhiri oleh presentasi dari PLN yang diwakili oleh Zainal Arifin, Wakil Direktur Eksekutif Bidang Mesin dan Teknologi. Indonesia tengah mengalami beberapa isu di bidang energi seperti over kapasitas dan trilema energi untuk memastikan energi dapat memiliki harga terjangkau, dapat diandalkan dan berkelanjutan. Hingga saat ini, hanya pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Ia menambahkan, bahwa dalam pembahasan mengenai teknologi energi, fleksibilitas dan adaptabilitas harus diutamakan, karena pembahasannya tidak linier dan strategi implementasinya berjangka panjang.

Pada akhir acara ditutup oleh pernyataan Agus Tampubolon, Program Manajer CASE. Dia menyampaikan timeline seri diskusi yang akan diadakan empat kali dengan topik yang berbeda. 

“Keempat diskusi akan fokus pada satu topik yang berbeda di setiap bahasannya untuk menghasilkan pembahasan yang lebih dalam dan seluruh temuan akan dipresentasikan pada acara puncak Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) di bulan Oktober 2023”, kata Agus.