Kembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi untuk Transisi Energi

FT

Jakarta, 24 Februari 2023 –  PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) akan menggelar penawaran saham perdana  atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia pada Jumat (24/2/2023). PGE akan melepas 25 persen saham dengan target perolehan dana hingga Rp 9,78 triliun. Dengan dana tersebut, PGE bakal mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas 600 megawatt hingga 2027. Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan, terdapat dua urgensi dari proses IPO saham PGE. Pertama, target Indonesia yang akan mengembangkan energi terbarukan dan melakukan transisi energi. Oleh karena itu, Indonesia perlu memanfaatkan semua sumber energi terbarukan yang dimiliki, apalagi Indonesia juga perlu mengurangi secara bertahap pengoperasionalan PLTU batubara sampai tahun 2050. Hal ini diungkapkannya ketika menjadi narasumber di acara Sapa Malam Indonesia, Kompas TV pada Kamis (23/2/2023).

“Urgensi yang kedua yakni mengenai PGE memiliki strategi bisnis dan perusahaan ini akan bertransformasi dari perusahaan minyak dan gas ke perusahaan energi. Salah satunya yang akan didorong pengembangan energi terbarukan, seperti panas bumi,” terang Fabby. 

Fabby mengungkapkan, Pertamina memiliki cadangan panas bumi yang cukup besar dan kualitas cadangannya cukup bagus. Hal ini lantaran Pertamina telah melakukan eksplornya sejak tahun 1980an. Lebih lanjut, Fabby menilai, selama ini cadangan tersebut tidak dapat dikembangkan secara maksimal karena beberapa faktor. Salah satu faktornya yakni pendanaan. Mengingat, pengembangan cadangan panas bumi membutuhkan investasi yang cukup besar karena harus melakukan eksplorasi (ngebor) dan memastikan berapa persen dari cadangan tersebut yang dapat digunakan untuk operasional listrik. 

“Di Indonesia, biaya pengeboran satu sumur saja memerlukan dana sekitar USD3-5 juta. Dengan tingkat rasio keberhasilan 30% dan kira-kira kita melakukan pengeboran tiga sumur maka dapat satu sumur yang berhasil untuk membangkitkan listrik sekitar 30 – 50 megawatt (MW), kita harus menghabiskan USD15 juta untuk pengeborannya. Belum mengenai infrastruktur dan sebagainya. Proses ini memakan waktu yang lama dari pengeboran sampai menjadi pembangkit listrik,” ujar Fabby. 

Menurut Fabby, Pertamina perlu mengoptimalkan potensi cadangan panas bumi yang ada. Untuk itu, Pertamina memerlukan dana. Dana tersebut bisa didapatkan dengan salah satunya melalui IPO saham. IPO menjadi langkah tepat untuk pengembangan Pertamina ke depan. 

“Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia, totalnya sekitar 28 gigawatt (GW) atau 28 ribu megawatt (MW), yang baru termanfaatkan sampai hari ini kurang 10%. Jika kita bisa mengembangkan ini, maka diharapkan energi  terbarukan semakin kompetitif, terutama listrik dari panas bumi yang bisa lebih murah,” papar Fabby. 

Dibutuhkan, Pengaturan Tarif Kontrak Baru

Dibutuhkan, Pengaturan Tarif Kontrak Baru

Jakarta, Kompas. Pemerintah perlu menertibkan jual-beli uap panas bumi untuk pembangkit listri lewat pengaturan tarif bagi kontrak baru.

Terkait negosiasi harga uap panas bumi antara Pertamina Geothermal Energy dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), kedua pihak sudah menyepakati harga.

Pengamat ketenagalistrikan Fabby Tumiwa mengatakan, masalah harga jual-beli uap panas bumi untuk kontrak jual-beli uap panas bumi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, sebaiknya diberlakukan secara berbeda untuk kontrak baru. Pemerintah perlu mengantisipasinya lewat peraturan baru membahas masalah tersebut.

“Untuk kontrak pertama, misalnya berlaku selama 15 tahun dan secara investasinya sudah impas, tentu harganya tidak perlu sama atau sebaiknya lebih murah dalam kontrak kedua,” ujar Fabbt, Jum’at (8/1), di Jakarta

Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) selaku induk perusahaan Pertamina Geothermal Energy mengeluhkan harga penawaran PLN terhadap uap panas bumi dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang 1-3 di Jawa Barat. Pertamina menawarkan harga 7,43 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh), sedangkan PLN menawar 3,3 sen dollar AS per kWh untuk kontrak per Januari 2016.

Dalam pernyataan resmi, kedua belah pihak saling sengketa pendapat mengenai harga uap panas bumi itu. Mentri BUMN Rini Soemarno menengahi masalah itu. Lewat rapat yang dihadiri pimpinan Pertamina dan PLN diputuskan, harga uap panas bumi PLTP Kamojang 1-3 sebesar 6 sen dolar AS per kWh.

Adapaun harga uap panas bumi PLTP Kamojang 4 diputuskan sebesar 9,4 sen dolar AS per kWh. Harga itu lebih rendah daripada penawaran Pertamina, 10,11 sen dolar AS per kWh, tetapi lebih tinggi daripada penawaran PLN yang sebesar 5,82 sen dolar AS per kWh.

“Kami menyambut baik langkah pemerintah yang memfasilitasi kesepakatan harga uap panas bumi antara Pertamina dan PLN” kata Vice President Corporate Communication Wianda Pusponegoro.

Sebelumnya, Manajer Senior Public Relations PLN Pusat Agung Murdifi menyatakan, alasan PLN menawar harga lebih rendah lantaran harga jual yang ditawarkan Pertamina terlampau mahal untuk kontrak jangka pendek. Padahal menurut dia, PLN telah sepakat kerjasama dengan PLTP 1-3 lebih dari 30 tahun.

“Kami sudah membeli uap panas bumi Kamojang selama 32 tahun. Lalu kenapa Pertamina menawarkan harga yang lebih mahal untuk kontrak jangka pendek selama lima tahun saja.” kata Agung.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo mengatakan, uap panas bumi yang merupakan energi terbarukan selayaknya harus dibeli oleh PLN. Apabila tidak, investor enggan mengembangkan panas bumi di Indonesia lantaran khawatir tidak terbeli. Pengembangan energi terbarukan, termasuk panas bumi , harus terus didukung untuk merealisasikan target capaian bauran energi.

“Pemerintah juga harus mendukung pengembangan panas bumi, misalnya memberikan insentif di bagian hulu. Insentif bisa berupa pembebasan pajak (tax holiday) atau keringanan pajak (pajak allowance),” kata Agung.

Sumber: Kompas.