PLTS Berkembang Lambat di 2022, Pemerintah Perlu Pacu Implementasi Kebijakan yang Mendukung PLTS

press release

Fabby Tumiwa menyampaikan kata sambutan pada acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership

 

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Untuk dapat mengejar tercapainya target 23% bauran energi terbarukan pada 2025 dan dekarbonisasi sistem energi pada 2060 atau lebih cepat, Indonesia perlu meningkatkan dan mengimplementasikan kebijakan yang mendorong pengembangan energi terbarukan dengan cepat, terutama energi surya. Pemanfaatan energi surya diyakini merupakan strategi yang cepat dan tepat untuk mencapai target tersebut. Mengulas secara lengkap perkembangan energi surya sepanjang 2022 dan memberikan proyeksi di 2023, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengeluarkan laporan terbaru berjudul Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia menyampaikan bahwa berdasarkan data IRENA, biaya listrik (levelized cost of electricity/LCOE) telah menurun signifikan hingga 88% antara 2010 dan 2021, dari USD 41,7/kWh menjadi USD 4,7/kWh.

“Namun berdasarkan praktik di sektor industri saat ini, kami mendapatkan penawaran hingga USD 3/kWh, termasuk USD 4/kWh biaya baterai,” ungkap Arifin dalam acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia.

Lebih lanjut, ia memaparkan berdasarkan peta jalan transisi energi di Indonesia, energi surya memainkan peran penting dalam ketenagalistrikan di Indonesia dengan 421 GW dari 700 GW berasal dari surya.

“Perlu dukungan dari produsen dan industri lokal untuk memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), mengingat Indonesia memiliki potensi mineral dan bahan penting untuk pembangkit listrik tenaga surya, baterai, dan kabel listrik. Selain itu, aspek kemudahan akses pembiayaan terjangkau, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk menyediakan pembiayaan studi kelayakan dan peningkatan investasi energi terbarukan seperti energi surya,” jelas Arifin.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa secara umum, Indonesia memperlihatkan kemajuan sejak 2018 meski tergolong lambat dalam mendorong pengembangan energi surya. Menurutnya, perlu sejumlah reformasi di sisi regulasi dan implementasinya terutama menjelang tenggat waktu realisasikan target yang hanya tinggal 3 tahun.

“PLTS atap dengan potensi teknis mencapai 655 GWp untuk bangunan rumah saja, bisa dibangun dengan cepat, melibatkan investasi dari masyarakat, tanpa membebani pemerintah. Selain mengharapkan tambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan dari implementasi RUPTL PLN 2021-2030, PLTS atap dapat menutupi kesenjangan dengan target bauran energi terbarukan di 2025 sebesar 3 hingga 4 GW,” ujar Fabby.  

Fabby menambahkan, yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan PLN adalah tidak menghalangi perizinan instalasi PLTS atap dan mendukung pemanfaatan PLTS Atap oleh industri, bisnis dan rumah tangga dengan memberikan kemudahan. 

“Ketersediaan pendanaan berupa kredit lunak dari lembaga keuangan dapat mendukung adopsi PLTS atap skala rumah tangga. Selain itu mendorong pemanfaatan PLTS di kawasan industri dan di wilayah usaha non-PLN juga perlu dilakukan, ” saran  Fabby. 

Berdasarkan catatan ISEO 2023, kemajuan energi surya Indonesia juga terlihat dari turunnya harga listrik PLTS yang diperoleh melalui perjanjian pembelian tenaga listrik (power purchase agreement (PPA)) yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) dengan pengembang listrik swasta. Antara rentang 2015 dan 2022, harga PPA PLTS telah turun sekitar 78% dari USD 0,25/kWh menjadi USD 0,056/kWh. 

IESR meyakini seiring dengan bertambahnya proyek PLTS skala besar, turunnya harga modul surya, dan membaiknya iklim investasi, harga investasi PLTS per unit akan terus turun, mendekati trend harga di dunia. 

Tidak hanya itu, dari sisi perkembangan project pipeline untuk PLTS skala besar, saat ini terdapat delapan proyek dengan total kapasitas 585 MWp (telah dilelangkan).

“Dalam hal PLTS berskala utilitas, Indonesia memiliki potensi  PLTS terapung. Pengembangannya di masa depan dapat menjadikan Indonesia sebagai leader, dan sekaligus mewujudkan kepemimpinan Indonesia dalam hal transisi energi dan pemanfaatan energi surya di G20 dan  di ASEAN,” tegas Fabby.

Dr. Ajay Mathur, Director General, International Solar Alliance menuturkan energi surya merupakan sumber energi yang potensial untuk dikembangkan menimbang harga teknologinya yang semakin kompetitif. 

“International Solar Alliance (ISA) bangga dapat bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) untuk menjadikan listrik tenaga surya sebagai sumber energi pilihan di seluruh dunia. Energi surya merupakan sumber energi bersih yang tersedia secara berlimpah, dan juga krusial untuk mendorong aksi iklim internasional karena biayanya yang menurun dengan cepat,” jelas Mathur. 

Pada saat yang sama, IESR dan ISA menandatangani nota kesepakatan untuk akselerasi pemanfaatan energi surya di Indonesia. ISA merupakan lembaga internasioanl yang telah mempunyai berbagai pengalaman dan mempunyai anggota dari berbagai negara serta telah melakukan berbagai inovasi dan fasilitasi untuk mendukung pengembangan energi surya secara global. Lingkup kerjasama ISA bersama dengan IESR ini mencakup pemetaan industri surya dalam negeri, peningkatan kapasitas, dan identifikasi skema pembiayaan.

ISEO 2023 menilai penetapan patokan harga tertinggi pada Perpres No. 112/2022 diharapkan dapat memberikan ruang yang lebih leluasa bagi pengembang untuk mengajukan penawarannya. Perpres ini telah dirancang sejak 2019 dan mulanya mempertimbangkan instrumen feed-in-tariff untuk mendorong perkembangan energi terbarukan, khususnya skala kecil. Untuk mendorong implementasi efektif Perpres 112/2022, diperlukan mekanisme lelang yang jelas dan transparan, jadwal pelelangan yang teratur dan terencana, serta memberikan kepastian regulasi dan kemudahan perizinan.

ISEO 2023 mencatat bahwa aturan TKDN masih menjadi salah satu hambatan utama dalam lelang PLTS di Indonesia. Berdasarkan Permenperin No. 5/2017, nilai TKDN minimal barang untuk komponen modul surya harus mencapai minimal 60% sejak 1 Januari 2019. Namun, realisasi nilai TKDN modul surya saat ini baru mencapai 47,5%. Di samping pencapaian nilai TKDN, efisiensi dan harga panel surya domestik masih belum sesuai ketentuan standar bankability pembiayaan internasional. 

“Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan ketentuan nilai TKDN modul surya berdasarkan kesiapan industri sambil mempersiapkan kebijakan industri modul surya jangka panjang untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia,” ungkap Daniel Kurniawan, Peneliti, Spesialis Teknologi & Material Fotovoltaik IESR dan Penulis Utama ISEO 2023.

Di sisi adopsi, meskipun Kementerian ESDM telah menerbitkan Permen ESDM No. 26/2021, beberapa ketetapan di dalamnya urung dilakukan, sehingga menyebabkan pertumbuhan PLTS yang lambat. Kelebihan pasokan listrik PLN ditengarai menjadi penyebab pembatasan pemanfaatan PLTS atap 10 sampai 15 persen dari kapasitas oleh PLN di awal 2022. Jika hal ini  terus berlanjut, maka akan menyulitkan realisasi target PLTS yang pemerintah telah tetapkan, seperti target PSN PLTS atap 3,6 GW pemerintah pada tahun 2025, dan  2,3 GWp project pipeline surya dari 31 deklarator di Indonesia Solar Summit 2022.

“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM beserta PLN, perlu segera memberikan jalan keluar untuk permasalahan tersebut. Tidak untuk menghambat adopsi pada tahap adopsi yang masih sangat awal, tetapi untuk mengasuh pertumbuhan PLTS atap hingga masuk ke tahap pasar yang berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai dengan menyediakan lingkungan kebijakan yang stabil untuk pertumbuhan pasar dan pengembangan industri PLTS,” tandas Daniel.

Laporan Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023 diluncurkan perdana pada tahun ini. Semula progres perkembangan energi surya dalam kerangka transisi energi terintegrasi pada laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO).

PLTS Atap di Stasiun Batang, Energi Bersih untuk Indonesia Mendatang

Selaras dengan KEN dan RUEN Kementerian ESDM

Batang, IDN Times – Berbicara Kabupaten Batang pasti selalu dikaitkan dengan isu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang digembar-gemborkan dalam proyek nasional Indonesia. Ternyata ada hal kecil yang tak banyak diketahui orang di wilayah yang mempunyai luas 78.864,16 hektare itu.

 

Sebuah stasiun kereta api (KA) yang jaraknya kurang lebih 13 kilometer dari lokasi pendirian PLTU Batang melakukan pembaruan dengan menerapkan energi bersih yang ramah lingkungan. Akselerasinya dengan penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

 

  1. Stasiun pertama di Indonesia yang memakai PLTS atap

Stasiun Batang (BTG) adalah stasiun KA kelas III yang terletak di Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Stasiun yang masuk Daerah Operasi (Daop) 4 Semarang tersebut sebenarnya ada dua. Yakni stasiun dengan bangunan lama dengan ketinggian +4 meter dan stasiun baru dengan ketinggian +5 meter.

 

Stasiun baru Batang mempunyai empat jalur KA dengan jalur 2 adalah sepur lurus ke arah Semarang dan jalur 3 merupakan sepur lurus ke arah Cirebon, Jawa Barat. Semenjak 15 Maret 2019, PT Kereta Api Indonesia (KAI) memfungsikan kembali stasiun tersebut sebagai pemberhentian KA penumpang dimana sebelumnya hanya dilewati saja.

 

Stasiun baru Batang berada 1,6 kilometer sebelah timur stasiun lama. Kini, setiap hari KA Kaligung jurusan Semarang Poncol-Tegal berhenti di stasiun yang bangunan arsitekturnya mirip dengan Stasiun Patukan (PTN) di Sleman Yogyakarta itu.

 

Stasiun baru tersebut berinovasi dan berhasil mencetak sejarah sebagai stasiun pertama di Indonesia yang menerapkan energi bersih, menerapkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Berkat prestasi itu Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kategori Stasiun Pertama yang Menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, pada 27 Desember 2019.

 

“Saya malah baru tahu (ada PLTS atap). Bagus,” ungkap salah satu penumpang KA Kaligung yang turun di Stasiun Batang, Fanny Rifqi.

 

  1. PLTS atap terbukti menghemat biaya operasional bulanan

PLTS yang dipasang menggunakan sistem on-grid untuk menopang kebutuhan listrik di Stasiun Batang. PLTS on-grid beroperasi tanpa baterai. Teknologi on-grid mengkombinasikan sumber listrik yang dihasilkan PLN dengan sumber listrik dari panel surya. Keduanya mampu menyuplai kebutuhan listrik secara bergantian, disesuaikan dengan kondisi cuaca yang terjadi secara otomatis.

 

Sedikitnya 16 panel surya berukuran 2 meter x 1 meter dengan kapasitas masing-masing mencapai 375 kilowatt peak (kWp) dipasang di atas atap stasiun. Total secara keseluruhan, panel-panel surya tersebut mampu menghasilkan daya sebanyak 6000 watt.

 

Kepala Stasiun Batang, Agus Santosa kepada IDN Times mengungkapkan dengan penerapan PLTS atap mampu mengefisiensikan biaya operasional listrik hingga 50 persen. Salah satunya dari segi perawatan dimana perangkat panel surya tersebut relatif lebih mudah dan cepat pemeliharaannya sehingga menghemat biaya untuk alokasi tersebut.

 

“Dari jam 6 pagi sampai 4 sore hari (PLTS atap) efektif digunakan, bisa menghemat 50 persen. Pemanfaatannya untuk operasional seperti AC di ruangan, loket, juga lampu dan sound system. Jadi biaya perawatan bisa dialokasikan ke pemeliharaan lainnya,” kata Agus.

 

  1. Stasiun Batang strategis untuk penerapan PLTS atap

Proses pemasangan PLTS atap berlangsung selama 14 hari, mulai dari perakitan hingga pengoperasian. Yakni 21 November 2019 hingga 4 Desember 2019. PLTS dioperasikan pada 6 Desember 2019.

 

Pemilihan Stasiun Batang untuk pemasangan PLTS atap adalah inisiatif Kepala PT KAI Daop 4 Semarang, Mohamad Nurul Huda Dwi Santoso sebagai langkah realisasi pemanfaatan energi bersih dan ramah lingkungan. Stasiun Batang dipilih karena pertimbangan segi konstruksi bangunan yang cukup memadai. Disamping itu pertimbangan wilayah dimana Batang diproyeksikan sebagai kawasan industri potensial di Pantura, Jawa Tengah dan Indonesia pada umumnya.

 

“Kalau dilihat dari panel-panel surya, yang dipasang itu ada 16 panel dan bentuknya datar. Perlu area yang luas dan datar sehingga secara teknis yang memungkinkan ada di Stasiun Batang. Secara ekonomi juga ada potensi industri dan bisnis, termasuk wisata, sehingga (Stasiun Batang) disiapkan juga untuk stasiun penumpang,” jelas Manager Humas PT KAI Daop 4 Semarang, Krisbiyantoro ketika ditemui IDN Times.

 

Setelah penerapan PLTS atap di Stasiun Batang, hal serupa akan dilakukan pada bangunan lain milik PT KAI Daop 4 Semarang. Seperti kantor PT KAI Daop 4 Semarang dan Stasiun Semarang Tawang.

 

“Tentunya dengan keberhasilan (PLTS atap) ini akan menjadi stasiun percontohan untuk kedepan bisa diterapkan di stasiun-stasiun yang lain atau pun di perkantoran wilayah PT KAI (Persero) Daop 4 Semarang,” terangnya.

 

  1. Sesuai dengan target KEN dan RUEN Kementerian ESDM

Tenaga surya menjadi sumber energi terbarukan yang terus mengalami kemajuan secara pesat dibandingkan energi terbarukan lainnya. Melansir data Bank Dunia dan Solargis pada 2017, hampir sebagian besar wilayah di Indonesia mendapat pasokan sinar matahari secara merata sepanjang tahun dengan intensitas radiasi dan power output yang cukup tinggi, mencapai 3,6-6 kWh/meter persegi/hari dan 1.170-1.530 kWh/kWp.

 

Guna mendorong pemanfaatan energi surya tersebut, mengacu Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 disebutkan bangunan pemerintah diwajibkan untuk menggunakan PLTS sebesar 30 persen dari luasan atap. Salah satunya terimplementasi di Stasiun Batang.

 

Termasuk untuk untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi sebagai sistem pendukung proses pembangunan nasional sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dimana pasokan listrik PLTS di Indonesia ditarget bisa mencapai 6,5 Gigawatt (GW) pada 2025 atau naik sekitar 45 GW pada tahun 2050.

 

Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyebut pemanfaatan EBT menjadi langkah mitigasi perubahan iklim (climate change) yang telah menjadi komitmen pemerintah sejak meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016.

 

“Pemerintah sendiri menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen sebagai energi primer pada 2025 dalam KEN. Kenyataannya hingga semester I tahun 2019, realisasinya baru sekitar 8,85 persen,” jelasnya melansir laman resmi Institute for Essential Services Reform (IESR) saat acara Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri di Kota Bekasi, Jawa Barat, 29 Januari 2020.

 

  1. Program Surya Nusantara menjadi langkah jitu saat pandemik virus corona

Pencapaian target KEN tak semulus yang dibayangkan dan bukan tanpa hambatan. Terlebih saat pandemik virus corona (COVID-19) melanda Indonesia. Dampak pandemik mengakibatkan stagnasi serta penurunan aktivitas ekonomi secara global. Hal tersebut juga menyebabkan turunnya permintaan energi dibandingkan kondisi normal. 

 

IESR menganalisis pertumbuhan terhadap permintaan PLTS atap akan nol atau negatif, yang artinya tanpa ada permintaan baru, hingga akhir tahun 2020. Kondisi itu berimbas pada target bauran energi  23 persen pada 2025 serta penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sesuai Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2029 Kementerian ESDM. Padahal pencapaian target tersebut cukup penting, tak hanya untuk mengamankan penyediaan energi, juga terkait penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green economic recovery melalui Program Surya Nusantara guna mendukung pemulihan ekonomi pasca pandemik COVID-19. Program tersebut berupa pemasangan PLTS dengan berkapasitas masing-masing 1,5-2 kWp untuk 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik yang on-grid.

 

“Program Surya Nusantara memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia. Antara lain penyerapan tenaga kerja hingga 30 ribu orang, penghematan subsidi listrik Rp1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program tersebut diperluas dan dilakukan sampai 2025,” paparnya dalam laporan yang ditulis pada laman resmi IESR, Senin (31/8/2020).

 

Apabila program tersebut dijalankan pemerintah, akan menjadi contoh nyata green economic recovery in action, yang menunjukkan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia Tenggara dan di tingkat dunia. 

 

Artikel ini menjuarai Transisi Energi Ideathon 2020 Jurnalisme Kreatif kategori Hard News

 

ESDM: Aturan PLTS Atap Surya untuk mendorong bisnis dan industri panel surya

Foto udara panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu (21/11/2018). PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) menargetkan PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat berkapasitas 200 megawatt (MW) dan bakal menjadi yang terbesar di dunia ini akan beroperasi bertahap mulai kuartal I 2019. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 49 tahun 2018 tentang penggunaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh konsumen Perusahaan Listrik Negara (PLN). Harapannya dengan aturan ini bisnis dan industri panel suraya bisa berkembang.

Mengenai hal ini, saat dikonfirmasi, pihak dari PLN dan pemerintah belum mau banyak berkomentar. Hanya saja, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Perusahaan Listrik Negara (PLN) Djoko Rahardjo Abumanan menyebutkan, pada Rabu (28/11) nanti, aka ada launching dan sosiasilisasi mengenai Permen PLTS Atap untuk consume PLN ini. “Biar tidak salah persepsi, Rabu anti ada sosialisasi,” kata Djoko, ke Kontan.co.id, Senin (26/11).

Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengklaim bahwa Permen ini sudah cukup akomodatif untuk meningkatkan pangsa pasar energi terbarukan. “Itu untuk mendorong bisnis dan industri panel surya,” ungkapnya.

Hanya saja Harris menekankan bahwa kapasitas PLTS atap yang boleh dipasang maksimal 100% dari kapasitas langganan PLN. Sehingga, mayoritas produksi PLTS atap akan terserap untuk pemakaian sendiri, dan hanya sebagian kecil excess power yang akan diekspor ke jaringan PLN. “Jadi perlu dilihat secara keseluruhan konten, kita bahas (Permen) ini melibatkan stakeholder terkait,” tandasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan, aturan dalam Permen tersebut membuat investasi pada jenis pembangkit enegi terbarukan ini bisa menjadi tidak menarik.

Sebab, tingkat pengembalian investasinya menjadi lebih lama dari hitungan ideal, berdasarkan nilai kilowatt-hour (kWh) Ekspor atau jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi Pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan PLN.

Pasal 6 di Permen ini menyebutkan bahwa energi listrik Pelanggan PLTS Atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65% . Dengan perhitungan ini, Fabby menilai tingkat pengembalian investasi untuk pemasangan panel surya akan menjadi 11-12 tahun.

Padahal, dengan perhitungan tarif ekspor 100% atau 1:1 yang berarti tarif listrik yang dijual ke sambungan PLN sama dengan tarif yang dibeli dari sambungan PLN, pengembalian investasi akan memakan waktu sekitar delapan tahun. Adapun, biaya investasi pemasangan panel surya atap saat ini memang masih belum terjangkau, yakni senilai Rp. 14-15 juta per kilowatt peak (kWp)

“Sekarang dipotong hanya 65%. Jadi justru Permen ini memberikan disinsentif bagi rumah tangga untuk memasang panel surya karena pengambalian investasi bukan lebih cepat, malah lambat,” ujar Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menjelaskan bahwa menurut riset pasar yang telah dilakukannya, ada paling tidak 4-4,5 juta rumah tangga di Pulau Jawa yang akan memasang PLTS Atap. Syaratnya, pertama, ada potensi penghematan listrik lebih besar dari 30%, dan kedua, biaya investasinya harus kembali di bawah tujuh tahun. “Itu hasil market survey kami, hanya di Jawa saja, luar Jawa belum kami lakukan,” kata Fabby.

Dalam perhitungannya, tambahan pengguna 4-4,5 rumah tangga itu setara dengan 15-17 gigaWatt peak. Hal ini, lanjut Fabby, akan bisa membantu pemerintah untuk mencapai target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.

Sebab, di dalam target bauran 23% itu, ada target listrik dari PLTS, baik yang dibangun di atas tanah maupun atap, sebesar 6,5 GigaWatt. Artinya, dengan adanya potensi penambahan 15-17 gigaWatt, itu bisa melebihi hampir tiga kali dari target.

Namun, potensi itu bisa hilang, karena menurut Fabby, Permen yang ada saat ini dibuat lebih fokus untuk melindungi PLN. Padahal, imbuhnya, PLN tidak seharusnya khawatir karena pengembangan PLTS Atap tidak akan merugikan perusahaan listrik plat merah ini.

“Sekarang itu total listrik surya sekiatr 80 megaWatt (MW), kalau dihitung listrik atap paling hanya sekitar 30 MW, seluruh Indonesia. Masih kecil, tidak signifikan,” jelasnya.

Bahkan, Fabby memaparkan, jika saja pada tahun 2020 ada tambahan kapasitas listrik surya menjadi 1 GW, pendapatan (revenue) PLN hanya akan berkurang di bawah 4%. Namun, penambahan sebesar 1 GW itu justru bisa menguntungkan PLN.

“PLN malah untung, karena losses di tegangan rendah yang didistribusikan itu berkurang, karena ada pembangkit-pembangkit surya yang mempertahankan tegangan listrik PLN, sehingga PLN bisa memaksimalkan penjualan energinya,” terang Fabby.

Selain itu, jika PLTS Atap lebih bertambah, maka biaya investasinya pun akan semakin murah, sehingga harga panel surya untuk pembangunan PLTS pun bisa semakin menurun. Alhasil, PLN bisa mengurangi konsumsi bahan bakar gas atau diesel dengan substitusi menggunakan panel surya. “Keinginan kita, pemerintah dorong agar ada akselerasi, jadi pasarnya terbuka, lebih banyak PLTS surya, ujung-ujungnya PLN untung,” kaat Fabby.

Sumber: kontan.co.id.