Hemat Energi (Seharusnya) Bukan Basa Basi

Jakarta, IESR 28 Mei 2012. Jika tak ada halangan, rencananya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengumumkan gerakan hemat energi pada hari Senin (28/05) di istana negara.

Gerakan ini merupakan satu dari sekian banyak kebijakan yang sudah diwacanakan pemerintah untuk mengatasi masalah energi yang terjadi di Indonesia.

Menanggapai rencana ini, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan rencana penghematan energi tidak akan berjalan secara efektif selama pemerintah tidak juga mencabut atau mengurangi subsidi BBM.

“Selama BBM masih disubsidi, harga BBM masih dianggap murah. Akibatnya, masyarakat (termasuk pemerintah) akan terus melakukan pemborosan energi,” ujar Fabby pada sebuah diskusi yang berlangsung di Radio Sindo FM, Jakarta.

Pemborosan energi ini tampak jelas saat terjadi kemacetan di jalan. Sekarang ini, ujar Fabby, kemacetan tak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, tapi sudah merambah ke kota-kota dengan skala menengah seperti Jogjakarta dan Semarang.

Masyarakat, lanjutnya, semakin tidak sadar bahwa pemborosan energi ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga pada beban anggaran negara. Karena semakin besar konsumsi BBM bersubsidi yang digunakan, itu artinya semakin besar pula uang rakyat yang dihabiskan untuk kebutuhan energi. Padahal, masih banyak kebutuhan masyarakat lainnya yang harus ditanggung pemerintah, seperti pendidikan dan kesehatan.

Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material, Unggul Priyatno menambahkan murahnya harga bahan bakar di Indonesia juga menimbulkan akses lain, yakni maraknya penyelundupan bahan bakar ke luar negeri atau ke sektor.

Dia juga mensinyalir ancaman para gubernur se-Kalimantan untuk menambah kuota BBM ke pulau yang terletak di tengah kepulauan Indonesia ini juga terkait dengan aksi penyelundupan ini.

“Kalimantan merupakan kawasan industri, khususnya pertambangan batu bara. Coba dihitung lebih detil apakah jumlah penduduk dan kendaraan di wilayah tersebut memang membutuhkan konsumsi BBM yang tinggi sehingga kuotanya perlu ditambah? Ujarnya.

Unggul menyangkan karena hingga kini Pemerintah tidak juga a mengambil langkah yang lebih tegas dan strategis mengenai kebijakan energi di negeri ini. Padahal, berbagai alternatif kebijakan sudah ditawarkan oleh berbagai ahli, termasuk model audit energi yang diperkenalkan oleh BBPT.

Dengan audit energi ini pemerintah bisa memperkirakan berapa besaran energi yang bisa disimpan dan nilai finansial yang diperoleh jika sebuah kebijakan penghematan energi akan diterapkapkan.

Sayangnya, dari berbagai masukan yang disampaikan, hingga kini pemerintah tak juga mengambil kebijakan yang tegas untuk mengatasi krisis energi yang kini dialami Indonesia. Pemerintah SBY sepertinya masih suka berbasa-basi atau suka lebih suka membuat wacana sehingga masalah energi ini semakin berlarut.