Pesan untuk Para Pemimpin Negara Jelang COP 28

Jakarta, 3 November 2023 – Pertemuan para Pihak untuk Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP 28) akan segera diselenggarakan di Dubai, Uni Arab Emirate. Salah satu agenda pertemuan tahunan ini adalah untuk melihat perkembangan aksi berbagai negara untuk menangani krisis iklim. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) hari Jumat 3 November 2023, Marlistya Citraningrum, Program Manajer Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa menyongsong pertemuan tahunan para pemimpin dunia ini, Pemerintah Indonesia baru saja merilis dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan) dan berencana untuk mengumumkan dokumen resmi ini pada COP 28.

“Dalam dokumen ini, secara esensi cukup mengecewakan karena meski menjanjikan proyek-proyek energi terbarukan, namun masih sangat fokus pada energi terbarukan berskala besar (base-load renewables) seperti hidro (PLTA) dan geotermal (PLTP). Energi terbarukan yang bersifat Variable Renewable Energy (VRE) seperti surya dan angin dianggap sebagai proyek berisiko tinggi,” jelas Citra.

Selain keberpihakan pada VRE yang kurang, Citra juga menyoroti rendahnya komitmen untuk pensiun dini PLTU batubara. Dalam dokumen CIPP yang saat ini sedang dalam proses konsultasi publik, negara-negara IPG hanya bersedia memfasilitasi pensiun dini PLTU sebesar 1,7 GW. Dalam draf dokumen tahun lalu, Amerika Serikat dan Jepang awalnya bersedia untuk membiayai 5GW pensiun dini PLTU batubara.

“Padahal untuk mencapai target net zero emission Indonesia butuh mempensiunkan sekitar 8 GW PLTU batubara,” tegas Citra.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, menyetujui pentingnya kenaikan komitmen dan aksi iklim bukan semata-mata sebagai aksi iklim namun juga sebagai bagian dari pembangunan.

“Dalam draf RPJPN yang saat ini sedang digarap, kami menargetkan target pengurangan emisi kita naik ke 55,5% pada tahun 2030 dan 2045% pada tahun 2045 sebesar 80%. Hal ini menjadi keharusan untuk meningkatkan target dan ambisi iklimnya,” kata Medril.

Menghitung Biaya Pengakhiran Dini Operasional PLTU Batubara dan Intervensi Dekarbonisasi Lain

Jakarta, 11 Oktober 2023 – Pengakhiran dini operasional PLTU batubara dari tahun pensiun PLTU alaminya dipandang memiliki biaya yang lebih rendah dibandingkan memperpanjang usia PLTU batubara dengan penambahan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS). Hal tersebut disampaikan oleh Fadhil Ahmad Qamar, Staff Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara (SEA), Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023.

Fadhil menyampaikan biaya penambahan teknologi CCS cenderung tinggi disebabkan oleh besarnya biaya pengadaan atau modal awal (capital expenditure, Capex) dan pengeluaran operasional (operating expenditure, Opex) CCS. Selain itu, menurutnya, pengakhiran dini operasional PLTU batubara berpotensi untuk menghasilkan pengurangan emisi PLTU yang mirip dengan pengurangan emisi yang dihasilkan dari penerapan CCS, dengan biaya yang lebih rendah.

“Untuk dapat menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari pengakhiran dini operasional PLTU batubara dan penerapan teknologi CCS pada PLTU batubara dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian dari pembiayaan inovatif sehingga tidak membebankan anggaran negara,” ungkap Fadhil.

Raditya Wiranegara, Analis Senior, IESR pada kesempatan yang sama, juga menekankan kembali pentingnya aspek sosial dan ekonomi dari pengakhiran dini operasional PLTU batubara, terutama jika kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap beroperasinya PLTU batubara. Selain itu, pemangku kebijakan juga perlu untuk menggunakan pendekatan perumusan kebijakan terkait rencana penghentian pengoperasian PLTU batubara yang berbasis data, baik itu data aset pembangkitnya sendiri maupun biaya-biaya eksternalitas yang terkait dengan operasinya, seperti biaya sosial akibat polusi lokal yang dihasilkan oleh PLTU batubara. 

“Sehingga, penting untuk ke depannya, rencana penghentian operasi PLTU batubara ini masuk ke dalam RPJPN, sehingga dapat dipersiapkan jaringan pengaman sosial seperti apa dan berapa banyak yang diperlukan untuk meminimalisir dampak pengakhiran operasi PLTU batubara, baik pada masyarakat di sekitar pembangkit maupun di daerah penghasil batubara. Langkah-langkah antisipasi lainnya, seperti penyiapan peralihan tenaga kerja dari PLTU batubara ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam RPJPN,” jelas Raditya.

Jakarta Post | Ahli: Program Penghentian Penggunaan Batubara di Indonesia Bergantung Pada Kesepakatan Cirebon Power

Pembangkit listrik tenaga batubara Cirebon 1 yang dimiliki oleh PT Cirebon Electric Power (Cirebon Power) dianggap memegang peran penting dalam transisi energi Indonesia, dengan para ahli menyarankan bahwa apakah pembangkit lain akan bergabung dalam program penghentian dini pemerintah untuk pembangkit listrik tenaga batubara akan bergantung pada kesuksesan atau kegagalan pembangkit ini.

Baca selengkapnya di Jakarta Post.