Berbagai Opsi Intervensi untuk Kurangi Emisi Sektor Energi

Jakarta, 30 Mei 2023 – Mentransformasi sektor ketenagalistrikan menjadi sistem energi berbasis energi bersih yang rendah karbon menjadi kebutuhan mutlak. Salah satunya untuk mengejar target penurunan emisi demi menjaga kenaikan rata-rata suhu global untuk  berada pada level 1,5. Disebutkan dalam IPCC AR6 Synthesis Report bahwa sejak tahun 2011 – 2020, rata-rata suhu global telah mengalami kenaikan sebesar 1,1, di tengah berbagai aktivitas manusia yang terus menghasilkan emisi. Sektor energi menjadi salah satu kontributor terbesar emisi di Indonesia setelah kehutanan dan penggunaan lahan. Rencana pengembangan pembangkit energi berbasis fosil menjadi ganjalan dalam upaya pengurangan emisi dari sektor ketenagalistrikan.

Indonesia menduduki peringkat tiga besar sebagai negara dengan proyek perencanaan PLTU setelah Cina dan India. Sebanyak 13,8 GW PLTU dengan berbagai status pengerjaan telah masuk dalam dokumen RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) PLN 2021 – 2030.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam peluncuran laporan dan diskusi publik ‘Delivering Power Sector Transition’ mengatakan bahwa salah satu penyebab naiknya rata-rata temperatur global adalah pembakaran bahan bakar berbasis fosil. 

“Maka, mengurangi kapasitas batubara dalam sistem ketenagalistrikan menjadi salah satu tindakan kunci dalam upaya mencapai target Persetujuan Paris, yakni menjaga kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat Celsius,” katanya. 

Dalam konteks Indonesia, isu komersial menjadi salah satu faktor pemberat penghentian operasi PLTU batubara. Disampaikan Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, bahwa penghentian operasi PLTU batubara masih memerlukan dorongan bersama dari semua pihak.

“Kita masih harus berjuang untuk hal ini (penghentian operasi PLTU batubara dan penambahan kapasitas energi terbarukan). Karena, secara regulasi mereka tidak menjadi satu paket kesatuan (terpisah). Namun saya ingin mendorong bahwa prosesnya harus dilakukan dalam satu tarikan nafas untuk keduanya,” kata Dadan. 

IESR memandang penghentian operasi PLTU batubara di Indonesia merupakan hal yang penting, sebab sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia memiliki kewajiban untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan sebanyak 34% pada 2030. 

“Untuk mengejar target Persetujuan Paris, target yang ditentukan oleh JETP sebenarnya belum cukup. Namun hal ini dapat menjadi titik awal percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” jelas Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR yang tergabung dalam tim penulis kajian.

Raditya menambahkan dalam laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan,  10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW  dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. 

Akbar Bagaskara, peneliti bidang ketenagalistrikan IESR menambahkan bahwa penurunan emisi akan berbanding lurus dengan biaya sistem ketenagalistrikan.

“Pembatalan pembangunan PLTU yang dibarengi dengan pensiun dini untuk PLTU existing akan menjadi skenario terbaik untuk penurunan emisi. Pembatalan PLTU yang berada di dalam pipeline akan mengurangi emisi dengan signifikan. Namun hal ini dirasa masih kurang optimal untuk mengejar target JETP pada tahun 2030,” tambahnya. 

IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.

Gigih Udi Utomo, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, menanggapi bahwa penghentian operasi PLTU dan pembatalan PLTU perlu dilihat sebagai dua hal yang berbeda.

“Jika kita bicara mengenai early retirement road map (peta jalan pengakhiran operasi PLTU secara dini-red), kita mengacu dengan amanat dari Perpres 112/2022. Early retirement itu untuk PLTU yang sudah beroperasi, sementara topik 13,8 GW ini merupakan PLTU yang belum beroperasi dan telah ada di RUPTL sehingga masing-masing opsi dan skenario yang ditawarkan dalam kajian perlu dieksplor lagi dan perlu berdialog dengan stakeholder terkait,” jelasnya.

Pengembang listrik swasta (Independent Power Producers) sebagai tandem PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional menyatakan bahwa para pelaku usaha energi pada dasarnya bersedia mendukung pemerintah dalam bertransisi. 

“Namun yang perlu menjadi catatan adalah keikutsertaan proyek yang akan dibatalkan ataupun unit PLTU yang akan dipercepat masa pensiunnya harus berdasarkan prinsip voluntarily (sukarela) bukan mandatory (kewajiban) karena pada dasarnya pemilik proyek telah mengamankan komitmen pembangunan dan memiliki kesepakatan kerjasama dengan PLN,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang. 

Kirana Sastrawijaya, Senior Partner Umbra, mengingatkan bahwa penting untuk meninjau dokumen PPA (Power Purchase Agreement) antara IPP dan PLN terutama untuk usulan pembatalan pembangunan PLTU. 

“Perpres 112/2022 dapat dijadikan basis penghentian operasi PLTU batubara namun perlu ada kriteria yang dipenuhi untuk suatu unit PLTU dipercepat pengakhiran operasinya. Perpres ini juga dapat menjadi basis hukum pembatalan PLTU meski tidak secara spesifik berbicara pembatalan PLTU,” katanya.

Dalam konteks legal hukum, Karina menekankan bahwa potensi perselisihan secara hukum dapat terjadi. Maka selain aturan pemerintah yang berlaku, kesepakatan kerjasama (PPA) harus menjadi dokumen referensi karena secara detail mengatur berbagai pembatasan para pihak dan pemilik modal (funders).

Pilihan untuk PLTU di Tengah Pengembangan Energi Terbarukan

Transisi energi telah menjadi kebutuhan global sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Pembakaran energi fosil terbukti berkontribusi besar pada kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan naiknya rata-rata suhu global. Bagi negara-negara yang sistem energinya banyak ditopang oleh energi fosil, hal ini memerlukan perhatian khusus, sebab mereka juga harus  mengambil langkah yang tepat di tengah  pilihan-pilihan yang tersedia untuk melakukan dekarbonisasi sistem energi yang berarti berujung pada pengakhiran masa operasional PLTU batubara.

Raditya Wiranegara, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam webinar bertajuk “Financing Indonesia’s Coal Phase-Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net-Zero” Sabtu, 19 November 2022, menjelaskan dua skenario yang dapat diambil untuk PLTU batubara. Kedua skenario ini bertujuan untuk memberikan ruang yang lebih lega pada energi terbarukan supaya dapat masuk pada jaringan PLN.

Pilihan yang pertama adalah dengan mempensiunkan PLTU-PLTU yang sudah tua dan tidak lagi efektif dan efisien secara operasional. Untuk mengkaji pilihan ini, IESR bekerjasama dengan Center of Global Sustainability, University of Maryland, Amerika Serikat. 

“Hasil penelitian kami menunjukkan, terdapat 9,2 GW PLTU batubara yang dapat segera dipensiunkan mulai dari 2022-2030,” kata Raditya.

Dengan melakukan pensiun pada seluruh pembangkit batubara, dan membangun pembangkit berbasis energi terbarukan, Indonesia dapat mencapai status net zero emission pada tahun 2050 sesuai dengan Persetujuan Paris. 

Selain itu terdapat berbagai dampak sosial-ekonomi serta lingkungan yang dapat dihindari. Hingga tahun 2050 diperkirakan akan ada 168.000 kematian yang dapat dihindari dengan skenario pensiun seluruh PLTU.

Pilihan kedua yaitu dengan mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Operasi PLTU fleksibel adalah pengubahan pola operasi PLTU dari yang awalnya beroperasi 24 jam dalam sehari untuk menopang beban dasar sistem ketenagalistrikan (baseload), menjadi hanya menopang beban puncak pada jam-jam tertentu saja (peak load).

“Pola operasi fleksibel ini memungkinkan penambahan pasokan energi terbarukan, terutama sumber energi yang bergantung pada kondisi tertentu seperti surya dan angin,” jelas Raditya.

Ditambahkan oleh Raditya, pola operasi fleksibel ini cocok untuk PLTU yang masih berusia muda seperti yang banyak terdapat di Indonesia. Dalam laporan studi “Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-fired Power Plant Flexibly to Enable the High-Level Variable Renewables in Indonesia’s Power System” dijelaskan bahwa secara teknis PLTU-PLTU yang berada di sistem Sumatra, Jawa-Bali, dan Sulawesi dapat dioperasikan secara fleksibel. Akan terdapat perbedaan level efisiensi, besaran emisi, serta biaya investasi yang dibutuhkan dari satu unit PLTU ke PLTU yang lain tergantung pada usia PLTU. PLTU yang berusia muda relatif membutuhkan biaya retrofit yang lebih rendah karena infrastrukturnya masih relatif kuat untuk mendukung pola operasional PLTU fleksibel.

Untuk itu, diperlukan perencanaan matang untuk mengoperasikan PLTU secara fleksibel maupun melakukan pensiun PLTU dan menambah kapasitas energi terbarukan dalam jaringan. Pemerintah melalui PLN juga dapat memasukkan pola operasi PLTU fleksibel dalam dokumen perencanaan penyediaan tenaga listrik untuk memberikan kepastian regulasi pada investor.

Paparan tentang operasi PLTU fleksibel dapat disaksikan melalui kanal berikut ini.

COP 27: Indonesia Perlu Menarik Dukungan Internasional untuk Transisi Energi dengan Target Pensiun Dini PLTU dan Pengembangan Energi Terbarukan yang Ambisius

Jakarta, 8 November 2022- Indonesia menyampaikan pernyataan nasionalnya pada Konferensi Tingkat Tinggi Conference of The Parties 27 (KTT COP27) di Sharm El-Sheikh, Mesir, melalui Wakil Presiden, Ma’ruf Amin. Ia menyebutkan berbagai komitmen iklim yang Indonesia lakukan, termasuk peningkatan ambisi iklim dengan menyerahkan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) pada September lalu. Tidak hanya itu, Ma’ruf menegaskan agar kesepakatan iklim perlu segera diimplementasikan dengan dukungan internasional yang jelas di tingkat nasional dalam pendanaan aksi iklim, penciptaan pasar karbon dan investasi transisi energi. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang selain perlu meningkatkan lagi ambisi iklim Indonesia, untuk mempercepat implementasi transisi energi, Indonesia perlu mendorong masuknya dukungan pembiayaan internasional untuk mitigasi perubahan iklim melalui penguatan perencanaan pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, penguatan sistem energi bersih, dan persiapan proyek-proyek yang bankable. Hal ini perlu didukung oleh kebijakan dan regulasi yang memberikan kepastian berinvestasi dengan risiko yang rendah dan transparansi informasi bagi publik, serta mendorong keterlibatan masyarakat.

Pada Enhanced NDC, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi GRK  dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri  (unconditional) dan dari 41% menjadi 43,2% dengan bantuan internasional (conditional). Meski merupakan langkah maju, IESR  menilai target ini masih belum selaras dengan Persetujuan Paris yang mendorong upaya yang lebih ambisius bagi negara di dunia untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Salah satu yang menjadi faktor peningkatan target penurunan emisi adalah naiknya target reduksi emisi di sektor energi  dari 11% di Updated NDC menjadi 12,5% (unconditional) dan dari 13,9% menjadi 15,5% (conditional). 

“Agar selaras dengan target Persetujuan Paris, Indonesia perlu meningkatkan target bauran energi terbarukannya menjadi 42% di 2030. Sementara, di Long Term Low Carbon and Climate Resilience Strategy (LTS-LCCR) 2050 yang menjadi landasan Enhanced NDC ini, bauran energi terbarukan hanya 43% di 2050,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Menurutnya, peluang peningkatan target bauran energi terbarukan terbuka lebar dengan pelaksanaan komitmen pensiun dini 9,2 GW PLTU batubara. 

“Melalui Perpres 112/2022, pemerintah membuka kesempatan untuk melakukan percepatan penghentian operasi PLTU sebelum 2050. Di COP ini, komitmen tersebut harus digaungkan dan kebutuhan pendanaan untuk pensiun dini PLTU, yang rata-rata berusia 13 tahun, dan dukungan pendanaan dari negara maju harus disampaikan lugas, diikuti dengan target yang ambisius. Saat ini kepastian target pensiun dini PLTU sebelum 2030 belum disepakati oleh pemerintah, dan masih menggunakan target PT PLN yang berbeda dengan target 9 GW oleh Kementerian ESDM,” ungkap Fabby.

Berdasarkan kajian “Financing Indonesia’s Coal Phase out” IESR bersama Universitas Maryland, pada 2030 dibutuhkan biaya sekitar USD 4,6 miliar untuk pengakhiran 9,2 GW PLTU dan USD 27,5 miliar hingga 2045 untuk seluruh PLTU. Sementara, untuk dekarbonisasi sistem energi di Indonesia, setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030. Meski terlihat jumlahnya besar, namun manfaat yang diraih dari pensiun  dini PLTU  jauh lebih besar di sisi ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Biaya pembangkitan listrik energi terbarukan seperti PLTS sudah lebih murah dibandingkan membangun PLTU baru, dan bahkan dalam dekade ke depan akan lebih murah dibandingkan mengoperasikan PLTU batubara yang ada saat ini. Secara ekonomi, manfaat dari pensiun PLTU dan menggantikannya dengan energi terbarukan dapat mengurangi biaya pembangkitan listrik rata-rata dalam jangka panjang. Selain itu, tersedia manfaat kesehatan, naiknya ketersediaan pekerjaan hijau di sisi sosial, serta secara lingkungan, dapat menghindari biaya retrofit pengendalian polusi udara, peningkatan kualitas udara, penghematan air dan kualitas air, dan pengurangan emisi GRK,” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem ketenagalistrikan Indonesia mencapai USD 135 miliar menuju tahun 2030 dan meningkat menjadi USD 455 miliar dan USD 633 miliar dalam masing-masing dekade berikutnya. Investasi ini untuk membangun energi terbarukan dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik, sistem penyimpanan listrik (storage), investasi efisiensi energi, dan juga pengembangan jaringan transmisi dan distribusi. Oleh karena itu, penting agar fokus pembiayaan publik dan juga dukungan pembiayaan internasional diarahkan ke penciptaan iklim investasi yang positif untuk sistem energi bersih.

Bisnis | Pendanaan Program Pensiun Dini PLTU Masih Seret, Ini Usulan IESR

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengusulkan struktur pembiayaan untuk program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara digabungkan dengan rencana investasi energi baru dan terbarukan (EBT). Usulan itu disampaikan untuk mengakomodasi kebijakan sejumlah negara dan lembaga keuangan internasional yang tidak dapat mendanai program pensiun dini PLTU berbasis energi fosil tersebut.

Baca selengkapnya di Bisnis.com.