APLSI Deklarasi Just Energy Transition, Dukung Percepatan Bauran Energi Ramah Lingkungan

press release

Jakarta, 15 November 2022- Peraturan Presiden No. 112/2022  tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik mengamanatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyusun peta jalan pengakhiran masa operasional PLTU lebih awal. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia pada deklarasi Global Coal to Clean Power Transition di Konferensi Tingkat Tinggi Conference of The Parties 26 (KTT COP26) yang mempertimbangkan untuk mengakhiri masa operasional PLTU batubara pada tahun 2040-an, dengan pendanaan internasional dan bantuan teknis, serta mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo.

Institute Essential Services Reform (IESR) memandang tujuan pemerintah ini perlu didukung oleh berbagai pihak, termasuk oleh produsen listrik swasta (Independent Power Producer (IPP)) yang saat ini mengoperasikan lebih dari 15 GW PLTU di Indonesia.

“Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mendukung rencana Pemerintah Indonesia dan kebijakannya yang mendorong dekarbonisasi dan transisi energi dan siap melakukan transformasi agar tetap berkontribusi dalam kelistrikan nasional yang mandiri, semakin ramah lingkungan dan berkelanjutan, demi mendukung target Net Zero Emission Pemerintah Indonesia,” ujar Arthur Simatupang, Ketua Umum APLSI pada kegiatan deklarasi Inisiatif Transisi Energi Berkeadilan oleh Produsen Listrik Swasta Indonesia yang diselenggarakan IESR bekerja sama dengan APLSI seiring dengan penyelenggaraan KTT G20 Indonesia 2022 di Bali. 

“APLSI berkeinginan mengoptimalkan peran swasta sebagai mitra pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal berdasarkan transisi energi yang berkeadilan (just energy transition) dengan melakukan diversifikasi investasi pembangkit dari berbagai sumber energi yang bersifat terbarukan yang potensinya sangat besar di Indonesia,” jelas Arthur. 

Hal ini juga sudah tertuang dalam Expression of Interest antara APLSI dengan Kadin Indonesia  dalam acara Kadin Net Zero Hub pada KTT B20 Indonesia. Dalam acara tersebut, Arthur menyebutkan bahwa pihaknya sudah menandatangani kesepakatan untuk melakukan kajian bersama secara intensif terhadap diversifikasi investasi pembangkit listrik,  sehingga peran swasta akan optimal dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi rendah karbon dengan bermitra bersama pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal, berdikari, dan transisi energi dijalankan secara berkeadilan (just energy transition).

Lebih lanjut, IESR mengatakan transisi energi yang berkeadilan akan berjalan dengan tersedianya ruang lebih luas untuk pengembangan energi terbarukan, diantaranya dengan melakukan pengakhiran masa operasional PLTU lebih cepat.

“Kajian IESR menemukan bahwa untuk konsisten dengan pembatasan kenaikan temperatur 1,5°C, maka seluruh PLTU yang tidak dilengkapi dengan penangkap karbon harus pensiun sebelum 2045. Pada periode 2022-2030, paling tidak 9,2 GW PLTU harus pensiun, di mana 4,2 GW berasal dari listrik swasta, tanpa itu sukar rasanya mencapai NZE,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Pada kesempatan yang sama,  Rida Mulyana, Sekretaris Jendral, KESDM, mengatakan pentingnya kemitraan untuk dekarbonisasi sistem energi. Ia menjelaskan berdasarkan Perpres 112/2022, Indonesia berencana untuk tidak membangun PLTU batubara baru setelah tahun 2030 kecuali yang dalam tahap kontrak (committed) atau dalam tahap konstruksi. 

Lebih jauh, Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan pada Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, KESDM menjabarkan peta jalan pengakhiran masa operasional PLTU batubara di Indonesia.

Melalui pemaparannya, Wanhar menjelaskan pemerintah juga melakukan berbagai langkah untuk  mencapai target NZE 2060 diantaranya, memastikan pengakhiran masa pengoperasian PLTU yang dimiliki oleh produsen listrik swasta setelah perjanjian jual beli (PPA) selesai, mengakhiri masa pengoperasian PLTGU setelah berumur 30 tahun.  Selanjutnya, mulai tahun 2030 terdapat pembangunan PLTS yang semakin masif, disusul PLTB baik di darat maupun di lepas pantai mulai tahun 2037.

Namun demikian, Wanhar menegaskan, ada beberapa ketentuan yang perlu dipenuhi dalam melakukan pengakhiran masa operasional PLTU batubara di Indonesia.

“Pensiun PLTU hanya dapat dilakukan saat adanya kepastian keandalan jaringan, dengan substitusi dari pembangkit energi terbarukan dan atau instalasi sistem transmisi, adanya kepastian terlaksananya transisi energi yang adil dengan tidak adanya dampak sosial yang negatif dari pensiun dini, harga pembangkit energi terbarukan yang terjangkau, dan ketersediaan dukungan pembiayaan internasional,” jelas Wanhar.

Berdasarkan kajian “Financing Indonesia’s Coal Phase out” IESR bersama Center for Global Sustainability, Universitas Maryland, untuk memensiunkan 9,2 GW PLTU batubara di 2030, Indonesia membutuhkan dukungan pendanaan internasional diperlukan untuk memenuhi biaya pensiun PLTU, sekitar USD 4,6 miliar pada 2030. 

Mendukung upaya dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan, Pemerintah Indonesia akan bekerjasama dengan International Partners Group (IPG) untuk mewujudkan rencana investasi dalam rangka mendukung pensiun dini PLTU dan juga teknologi rendah karbon lainnya. Kerjasama tersebut akan menunjang tercapainya target dekarbonisasi sistem kelistrikan Indonesia, antara lain mencapai puncak emisi sektor kelistrikan sebesar 290 juta ton CO2 pada tahun 2030, menyiapkan proyek-proyek PLTU yang harus dipensiunkan lebih awal, serta memastikan capaian bauran energi terbarukan sebesar minimal 34% pada tahun 2030.

“Agar pengakhiran masa operasional PLTU batubara, terutama yang dimiliki oleh IPP, dapat berlangsung dengan prinsip berkeadilan, maka pemerintah harus membentuk komisi nasional atau gugus tugas yang melibatkan lembaga pemerintah terkait pada akhir tahun ini. Tugasnya antara lain menilai secara komprehensif daftar PLTU yang berpotensi untuk segera dipensiunkan,  serta melakukan negosiasi ulang dengan Produsen Listrik Swasta,” jelas Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi Energi, IESR.

Deon menambahkan negosiasi kontrak PLTU antara PLN dan produsen listrik swasta harus dimulai dengan mempertimbangkan potensi biaya tambahan tanpa membahayakan iklim investasi di Indonesia. 

“Pemerintah perlu pula menilai mekanisme pembiayaan yang sesuai untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga batubara yang dimiliki oleh Produsen Listrik Swasta. Mekanisme pembiayaan juga perlu mendukung keterkaitan antara pembiayaan pensiun dini PLTU dengan investasi ke energi terbarukan sehingga dapat memobilisasi dukungan dana internasional,” pungkasnya.

Kegiatan Deklarasi Transisi Energi Berkeadilan ini dilakukan bertepatan dengan KTT G20. Hal ini diharapkan dapat memberikan sinyal positif bagi kepemimpinan Pemerintah Indonesia di G20 yang juga menyoroti transisi energi atau peralihan dari energi yang polutif menuju energi terbarukan sebagai salah satu isu utama.

“Kepemimpinan Indonesia dalam melakukan pensiun dini PLTU untuk mengakselerasi transisi energi akan menciptakan preseden baik bagi negara G20 lainnya.  Semangat  untuk akselerasi pengakhiran pengoperasian PLTU melalui deklarasi Produsen Listrik Swasta yang didukung oleh pemerintah dan PLN akan menjadi contoh bagi India, yang akan memegang kepresidenan G20 di 2023 dan menjadi contoh bagi negara ASEAN lainnya dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2023,”  tutup Fabby Tumiwa.***

 

Poin-poin deklarasi:

Dukung Peta Jalan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia

  1. Siap melakukan transformasi agar tetap dapat berkontribusi dalam kelistrikan nasional yang mandiri semakin ramah lingkungan dan berkelanjutan demi mendukung target net zero emission.
  2. Mendukung rencana pemerintah Indonesia dan kebijakannya yang mendorong dekarbonisasi dan transisi energi.
  3. Melakukan diversifikasi investasi pembangkit listrik dari berbagai alternatif sumber energi yang bersifat terbarukan yang potensinya sangat besar di Indonesia.
  4. Berkomitmen membuka kesempatan sumber energi ramah lingkungan terbarukan dan ekosistem pasokan energi yang berkelanjutan.
  5. Mengoptimalkan peran swasta sebagai mitra pemerintah dalam membangun sistem kelistrikan yang handal dan transisi energi dijalankan secara berkeadilan (just energy transition).

Pensiun Dini PLTU Faktor Penentu Capai NZE yang Ambisius

Berdialog pada ISEW 2022 dengan topik “Target Ambisi Baru Transisi Energi Indonesia Untuk Mencapai Target NZE Indonesia”

 

Jakarta, 10 Oktober 2022 –  Mempensiunkan seluruh pembangkit listrik berbasis (PLTU) batubara di Indonesia pada tahun 2045 menjadi faktor penentu tercapainya bebas emisi tahun 2050 sesuai dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur rata-rata di bawah 1,5 derajat Celcius. Hal ini ditegaskan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022.

“Menurut kajian IESR, pada tahun 2030, Indonesia perlu menghentikan pengoperasian PLTU batubara sebesar 9,2 GW dan seluruh unit PLTU pada 2045,” ujarnya. Menurutnya, adanya klausul yang memberikan mandat bagi KESDM untuk menyiapkan peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU pada Perpres 112/2022 merupakan langkah awal yang baik.

Senada, Rida Mulyana, Sekretaris Jenderal ESDM, dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa Perpres 112/2022 akan memberikan iklim investasi yang menarik serta pemberian insentif bagi energi terbarukan. Menurutnya, saat ini merupakan momentum yang baik untuk menggenjot pemanfaatan energi terbarukan di tengah tingginya harga energi fosil. Selain itu, permintaan konsumen terhadap energi yang bersumber dari energi bersih pun semakin meningkat.

Rida mengungkapkan bahwa pemerintah telah membuat strategi untuk menurunkan pengoperasian PLTU secara bertahap dengan penetapan kontrak maksimal 30 tahun. 

“Kapasitasnya (PLTU-red) akan meningkat hingga 2030 dan setelahnya tidak ada pembangunan PLTU baru, dan  PLTU terakhir akan pensiun pada 2058,” ungkap Rida.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa untuk mencapai net zero emissions pada 2060 atau lebih cepat sesuai dengan target pemerintah, pihaknya juga berencana membangun supergrid untuk menggenjot pengembangan energi terbarukan sekaligus menjaga stabilitas kelistrikan. Hal ini akan membuka peluang untuk mengekspor listrik ke negara ASEAN lainnya, serta terhubung ke ASEAN supergrid.

Untuk mendukung dan mengakselerasi energi terbarukan, Indonesia membutuhkan 1 triliun USD pada tahun 2060 untuk pembangkitan dan transmisi energi terbarukan. Kebutuhan akan pembiayaan akan semakin besar seiring dengan rencana Indonesia untuk melakukan pensiun dini PLTU di tahun mendatang,” papar Rida.

Kebutuhan pembiayaan ini akan semakin menurun jika teknologi energi terbarukan semakin murah. Selain itu penerapan Perpres 112/2022, pelaksanaan program pensiun PLTU,  tersedianya kemudahan perizinan bagi energi terbarukan, pendampingan, dan sosialisasi tentang regulasi energi terbarukan akan mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia

Vivi Yuliawati, Plt. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, menyebutkan untuk melaksanakan strategi net zero emissions pada 2060,  hal yang krusial adalah memformulasikan kebijakan teknikal untuk memuluskan transisi energi.

Ia berharap hasil diskusi dari ISEW 2022 ini dapat  menjadi bahan dasar penyusunan RPJMN 2025-2029 & RPJP sampai 2045 oleh Bappenas terkait transisi energi sehingga  mampu memitigasi dampak transisi terhadap sosio ekonomi masyarakat indonesia

“Tidak cukup hanya teknologi energi terbarukan, namun perlu orkestrasi kapasitas kepada masyarakat untuk membangun kapasitas baru di energi terbarukan,”ujarnya.

Narasi transisi energi yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat juga  didorong pada ISEW 2022.

“ISEW hadir untuk memfasilitasi diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, agar lebih inklusif, bahkan seluruh pihak yang terdampak  dari transisi energi. Selain itu juga, menjaga momentum menuju KTT G20 pada bulan November dengan membahas salah satu isu utamanya yakni transisi energi,” ujar Director Energy Program Indonesia/ASEAN GIZ Lisa Tinschert.

ISEW terselenggara atas kerjasama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE). CASE merupakan sebuah program kerjasama antar dua negara: Indonesia – Jerman (Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, dan didanai oleh Kementerian Perekonomian dan Aksi Iklim Pemerintah Federasi Jerman). Sebelumnya, diskursus transisi energi di Indonesia secara rutin dilakukan pada acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD), yang tahun ini berpartisipasi dalam ISEW 2022. Perdana dilakukan pada 2022, ISEW akan berlangsung selama 5 hari dari 10-14 Oktober 2022 dengan tema Reaching Indonesia’s Net Zero Energy System: Unite for Action and Strategy. Seluruh lapisan masyarakat dapat mengikuti kegiatan ini secara gratis di isew.live.

 

Penerbitan Studi IESR: Financing Indonesia’s Coal Phase Out: A Just and Accelerated Retirement Pathway to Net Zero

Jakarta, 3 Agustus 2022– Pensiun dini PLTU perlu dilakukan untuk mencapai bebas emisi di 2050 sesuai komitmen Persetujuan Paris. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Center for Global Sustainability (CGS), Universitas Maryland dan didukung oleh Bloomberg Philanthropies menemukan bahwa Indonesia dapat mempercepat penghentian pengoperasian PLTU pada 2045 untuk meraup manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih luas. Beberapa manfaat yang dijelaskan dalam kajian berjudul “Financing Indonesia’s coal phase-out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero” diantaranya: meningkatkan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi, meningkatkan kualitas lingkungan dan ekonomi, mengurangi polusi, meningkatkan kualitas udara, dan menurunkan biaya kesehatan. 

Ailun Yang Head of International Program of  Climate and Environment Bloomberg Philanthropies menyatakan bahwa penghapusan batubara bukanlah tugas yang mudah bagi setiap negara. Ailun menyatakan bahwa dibutuhkan kerangka kerja yang konsisten dan  strategi paling efektif untuk menghentikan penggunaan batubara. 

“Untuk itulah studi ini penting untuk melihat skenario yang tepat untuk diterapkan di Indonesia,” ucap Ailun. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menginformasikan bahwa studi ini merupakan investigasi pertama di Indonesia tentang rencana pensiun batubara dan program pembiayaannya. Di samping itu, Fabby menyampaikan informasi bahwa tahun lalu, IESR dan BNEF menghasilkan laporan yang menunjukkan bahwa pada tahun 2027, kapasitas penyimpanan baterai PLTS akan menghasilkan biaya listrik yang 25% lebih murah daripada pembangkit batubara baru. Pada tahun 2032, biaya pembangkitan pembangkit batubara dapat dilampaui oleh PLTS yang dikombinasikan dengan penyimpanan baterai 100%.

“Percepatan pensiun bertahap PLTU pada akhirnya akan memberi PLN peluang untuk mengubah aset coklatnya dengan cepat menjadi aset bersih dan terbarukan, meningkatkan produktivitas, dan menurunkan risiko aset terlantar,” ungkap Fabby.

Fabby berharap bahwa studi ini dapat membantu Pemerintah Indonesia dan PLN untuk mempersiapkan program transisi energi, terutama dalam pembentukan Just Energy Transition Partnership (JETP).

Nathan Hultman, Direktur Global Sustainability Center, Universitas Maryland. Nathan menjelaskan bahwa setiap negara mempunyai strategi berbeda, tetapi terdapat kemungkinan untuk lebih cepat beralih ke energi yang lebih bersih. 

“Dengan menjauhi energi tak terbarukan, kita akan mendapatkan lebih banyak manfaat di bidang kesehatan, ekonomi, dan pembangunan,” jelasnya

Menambahkan, Ryna Yiyun Cui, Assistant Research Professor, Center for Global Sustainability, University of Maryland menyebutkan bahwa agar kompatibel dengan emisi nol bersih dan target global 1,5 C, Indonesia harus mengurangi PLTU sebesar 11% pada tahun 2030, sebesar 90% pada tahun 2040, dan sepenuhnya dihapus pada tahun 2045. Lebih jauh, ia menyatakan dibutuhkan biaya mempensiunkan PLTU sekitar USD4,6 miliar hingga 2030 dan 27,5 miliar USD hingga 2050. “Membatalkan perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) atau pembangunan PLTU dapat menghemat hingga USD18,7 miliar yang dapat diinvestasikan secara alternatif dalam energi terbarukan,” jelasnya.

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan menginformasikan bahwa pensiun dini PLTU sudah menjadi perhatian pemerintah untuk menuju Net Zero Emission tahun 2060. Ia menjelaskan bahwa masih perlu kajian mendalam untuk waktu implementasinya. Ia menambahkan bahwa menurut modelling pemerintah, PLTU masih akan beroperasi hingga 2056 dan jika ingin mendorong pensiun batubara pada tahun 2045, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam lagi.

“Pemerintah sedang merancang peta jalan pensiun dini PLTU batubara. Harapannya jika ada bantuan internasional, diharapkan akan terjadi lebih cepat,” tambah Andriah.

Di lain sisi, Sinthya Roesly, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, PT PLN Persero mengatakan bahwa dari sisi finansial, perlu dilihat sejauh mana APBN Indonesia bisa menyerap biaya yang diperlukan. Ia menambahkan bahwa perlu kesiapan pasar dan pertimbangan sejauh mana investor swasta akan berinvestasi.

“(Biaya pensiun dini PLTU-red) barangkali yang musti kita hitung dan kita lihat secara seksama di tengah kondisi over supply yang ada saat ini. Jadi kita sekarang kita handle dulu over supply dan take or pay serta (dicarikan) solusikan agar tambahan dari EBT ini tidak menambah ongkos,” ungkap Sinthya.