Suara Pemuda untuk Transisi Energi

Transisi energi menjadi kata yang semakin populer pada tahun 2022. Hal ini merupakan suatu pertanda baik untuk menyebarkan isu transisi energi pada semakin banyak orang. Saat ini kita hidup di masa yang membutuhkan aksi cepat untuk penanganan krisis iklim yang sudah terjadi di depan mata. Transisi energi merupakan suatu solusi sistematik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang menjadi penyebab kenaikan suhu bumi sehingga menyebabkan krisis iklim.

Berbagai kelompok ilmuwan seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperingatkan bahwa waktu kita untuk menahan laju kenaikan suhu bumi semakin sempit. Saat ini suhu bumi telah naik 1,1 derajat celcius dari masa pra-industri, dan seluruh dunia sedang berupaya untuk menahan laju kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat.

Untuk mencapai tujuan tersebut, hingga tahun 2030 kita harus memangkas 45% emisi GRK global. Sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia mendapat tuntutan untuk mengurangi emisi terutama sektor energi dan penggunaan lahan.

Dari sektor energi, untuk menekan emisi GRK dan selaras dengan tujuan 1,5 derajat, Indonesia harus mempensiunkan 9,2 GW PLTU hingga 2030 dan secara bertahap memensiunkan seluruh kapasitas PLTU pada 2045. Penurunan jumlah kapasitas PLTU ini juga harus dibarengi dengan peningkatan pembangkit energi terbarukan secara masif serta peningkatan kualitas jaringan transmisi dan distribusi. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam forum Muda Bersuara yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyatakan bahwa jika Indonesia tetap mengembangkan energi fosil maka emisi dari sektor energi akan terus meningkat.

“Jika kita terus mengembangkan energi fosil, emisi kita akan naik hingga 3 kali lipat. Untuk menghindari hal itu maka PLTU harus dihentikan dan energi terbarukan harus terus ditambah,” jelas Fabby.

Kuki Soejachmoen, Co-Founder dan Executive Director Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menyoroti tentang kebijakan transisi energi yang belum harmoni di berbagai level.

“Ada beberapa kebijakan yang tidak saling mendukung. Contohnya, di forum internasional kita komitmen mau transisi, tapi kebijakan pendukung dan enabling environment-nya tidak ada. Jadi komitmennya tidak bisa dijalankan,” jelas Kuki.

Kuki juga menambahkan bahwa Indonesia sedang dalam masa pembangunan yang berarti permintaan akan energi diprediksi akan terus naik, jika pembangunan energi masih berbasis bahan bakar fosil tentu hal ini akan membuat emisi Indonesia terus naik.

Melissa Kowara, aktivis Extinction Rebellion Indonesia, menilai bahwa, meskipun terminologi transisi energi sudah semakin populer digunakan, namun secara kebijakan masih belum terlihat.

“Walaupun pemerintah Indonesia dan negara-negara di dunia sudah menjadikan transisi energi sebagai isu prioritas namun dalam pelaksanaannya masih belum mewujudkan transisi energi bahkan beberapa cenderung ‘salah arah’ seperti adanya rencana penggunaan CCS/CCUS untuk PLTU,” tutur Melissa.

Menanggapi hal ini Fabby Tumiwa mengatakan memang dibutuhkan dorongan publik supaya terjadi reformasi kebijakan untuk transisi energi. 

“Saat ini ada beberapa perubahan kebijakan, yang jika dilaksanakan dengan baik dapat membantu kita menjalankan transisi energi. Di sini salah satu peran publik dapat menjadi pengawas bagaimana pemerintah melaksanakan aturan-aturan tersebut dan ikut mengingatkan saat ada kelalaian,” pungkas Fabby.

IESR: Perlu Segera Transformasi Ekonomi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 11 Juli 2022- Permintaan terhadap batubara sebagai sumber energi dalam jangka panjang diprediksi akan mengalami penurunan signifikan. Tren ini dipengaruhi oleh menguatnya komitmen iklim dari negara-negara yang mengimpor batubara untuk beralih ke energi yang terbarukan. Institute for Essential Services Reform (IESR) bahkan dalam kajiannya mengungkapkan jika komitmen penurunan emisi pemerintah Indonesia sejalur dengan Perjanjian Paris untuk bebas emisi 2050, maka pada 2045, batubara tidak lagi digunakan dalam sistem energi di Indonesia. Hal ini menuntut keseriusan pemerintah untuk mempersiapkan transformasi ekonomi dan pekerjaan bagi daerah yang dominasi pendapatannya berasal dari sektor batubara.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa pemutakhiran target emisi yang lebih tinggi dalam Nationally Determined Contribution (NDC) negara pengguna batubara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, AS, Uni Eropa, Afrika Selatan dan negara lainnya akan berdampak pada penurunan bahkan penghentian pembiayaan  pada proyek-proyek energi fosil. Mengacu pada Perjanjian Paris, jika negara di dunia mengadopsi penghapusan batubara yang lebih agresif maka pada 2030, produksi batubara akan menurun 20 %, kemudian menjadi 60% pada tahun 2040, dan 90% pada tahun 2050.

“Penurunan produksi ini harus diantisipasi karena akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan juga berdampak pada pendapatan baik nasional maupun khususnya daerah penghasil batubara. Ancaman ini cukup serius mengingat daerah-daerah penghasil batubara tidak punya banyak pilihan untuk alternatif ekonominya, sementara melakukan transformasi ekonomi post coal mining memiliki memiliki waktu yang cukup panjang. Sekarang saatnya untuk melakukan penyesuaian adaptasi dan menyiapkan pondasi untuk transformasi ekonomi post coal mining dan post coal power plant. Kegagalan melakukan transformasi ekonomi itu akan tidak hanya menyebabkan meningkatnya angka pengangguran tetapi juga akan menyebabkan daya saing ekonomi yang menurun,” ujar Fabby.

Ia menambahkan daerah penghasil batubara tersebut perlu didukung dengan satu kebijakan nasional. Bahkan, IESR  merekomendasikan agar hal tersebut menjadi salah satu isu prioritas yang masuk dalam penyusunan RPJMN 2024-2029.

Julius Christian, Penulis Kajian IESR berjudul Redefining Future Jobs: Implication of coal phase-out to the employment sector and economic transformation in Indonesia’s coal regions mendesak pemerintah pusat dan daerah penghasil batubara di Indonesia untuk segera melakukan berbagai persiapan untuk mengantisipasi pengurangan pendapatan dan penyerapan pekerja dari sektor batubara.

“Kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ini menjadi hal penting dalam mempersiapkan strategi ekonomi jangka panjang untuk mewujudkan struktur ekonomi yang lebih diverse (beraneka ragam) dan tidak bergantung pada batubara,” jelas Julius.

Pada 2020, terdapat sekitar  250 ribu pekerja yang bekerja langsung di sektor pertambangan. Para pekerja ini pada umumnya berusia di bawah 50 tahun sehingga masih memiliki peluang untuk diperlengkapi dengan berbagai jenis pelatihan untuk beralih ke sektor pekerjaan yang lain. Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan tunjangan dan jaringan pengaman sosial untuk mengantisipasi penurunan permintaan batubara yang cepat. 

“Pekerja batubara merupakan salah satu pihak yang paling terdampak oleh penurunan batubara ini. Namun, hingga saat ini para pekerja masih belum menyadari risiko yang mereka hadapi dan belum banyak dilibatkan dalam berbagai pembahasan mengenai transisi energi,” tambah Julius.

Menurutnya Ronald Suryadi, Peneliti di IESR,  yang juga merupakan penulis dalam kajian Redefining Future Jobs ini mengungkapkan bahwa transformasi ekonomi perlu segera direncanakan bagi provinsi-provinsi di Indonesia yang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerahnya berasal dari sektor batubara, seperti Kalimantan Timur yang memproduksi 48 % pasokan batubara nasional, Kalimantan Selatan (32%), Sumatera Selatan (9%), Kalimantan Utara (3%), dan Kalimantan Tengah (3%). 

“Transformasi ekonomi secara bertahap tak hanya diperlukan untuk memitigasi dampak yang dihasilkan, tetapi juga menuju struktur ekonomi yang dapat mengikuti perkembangan zaman ke depannya,” ungkap Ronald.

IESR mendorong proses perencanaan dan penyusunan strategi yang inklusif dengan   melibatkan pihak-pihak yang terdampak, terutama para pekerja dan masyarakat di sekitar tambang agar transformasi ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Diantaranya, transformasi ekonomi di kawasan batubara dapat dilakukan dengan modernisasi di sektor pertanian. Selain itu, pemerintah perlu pula memperkuat industri-industri utama yang sudah ada dengan multiplier effect (efek berganda) yang tinggi, seperti: industri makanan dan kimia. Tidak hanya itu, persiapan untuk membangun ekonomi yang berpusat pada pelayanan dan jasa dapat dilakukan dengan membangun infrastruktur, restorasi lingkungan, dan peningkatan sumber daya manusia. 

Kajian IESR berjudul Redefining Future Jobs ini dapat diunduh di https://s.id/FutureJobs. ***

C20 Indonesia Dorong Transisi Energi Berkeadilan

Jakarta, 30 Juni 2022 – Transisi energi merupakan salah satu isu prioritas dari presidensi G20 Indonesia tahun 2022 ini. Peran sebagai pemimpin kelompok negara G20 ini tentu momentum strategis bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam melakukan transisi energi. Persetujuan Paris pada 2015 telah menyepakati untuk menahan kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius, bahkan berusaha supaya di level 1,5 derajat. Untuk itu, semua pihak harus menekan emisinya dari sektor-sektor yang tinggi emisi seperti energi dan mencapai status karbon netral pada pertengahan abad ini.

Untuk menggali berbagai perspektif tentang transisi energi, engagement group Civil 20 menggelar workshop bertajuk “Making a Just Energy Transition for All” mengundang engagement group Think 20 (T20), Science 20 (S20) dan Business 20 (B20). Hadir pula sebagai panelis,Widhyawan Prawiraatmadja, mantan gubernur Indonesia untuk OPEC. 

Dari diskusi yang berjalan, seluruh narasumber sepakat untuk meletakkan aspek manusia sebagai poros dari transisi energi. Disampaikan Vivian Sunwoo Lee, koordinator Internasional C20, bahwa C20 terus menyuarakan pentingnya untuk segera beralih dari sistem energi berbasis fosil ke sistem energi berbasis energi terbarukan. 

“Terdapat sejumlah risiko terutama dari sisi finansial dan ekonomi dari infrastruktur energi fosil yang berpotensi menjadi aset terdampar jika kita tidak segera bergegas melakukan transisi energi,” katanya. Vivian juga menyoroti besarnya subsidi energi fosil yang masih diberikan oleh negara-negara G20.

Profesor Yunita Winarto, co-chair Task Force 5 S20 menyatakan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam merencanakan dan melaksanakan transisi energi.

“Pendekatan interdisipliner akan menggeser paradigma dari eksploitatif-ekstraktif menjadi environmentally friendly-resilient, dari ekonomi linier ke ekonomi sirkular, dan dari good governance ke proper governance. Dengan begitu niscaya akan tercipta satu keseimbangan sesuai prinsip planet, people, & prosperity for all,” jelas  Yunita.

Moekti H. Soejachmoen, Lead co-chair Task Force 3 T20, menjelaskan pentingnya instrumen nilai ekonomi karbon dalam konteks transisi energi. 

“Pertumbuhan permintaan energi itu pasti akan terus tumbuh. Itu tidak terelakkan lagi, maka kita harus mencari berbagai cara supaya kebutuhan energi ini terpenuhi, namun di sisi lain kebutuhan kita untuk menurunkan emisi juga tercapai. Maka instrumen nilai ekonomi karbon ini menjadi penting,” jelas Moekti.

Moekti juga menambahkan penting bagi Indonesia untuk memastikan isu yang didorong dalam presidensi G20 tahun ini masih tetap dibahas di tahun-tahun selanjutnya. Mengingat transisi energi merupakan suatu proses yang panjang dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. 

Transisi energi akan mengubah total wajah sektor energi Indonesia. Oki Muraza, Policy Manager Task Force Energy Sustainability and Climate, B20, menjelaskan bahwa faktor keterjangkauan harus menjadi salah satu pertimbangan utama dalam melakukan transisi energi.

“Kita harus memastikan faktor keterjangkauan (affordability) dari energi saat proses transisi ini berjalan dapat terjaga. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan orang-orang yang saat ini bekerja di sektor hidrokarbon, bagaimana mereka dapat di training supaya tidak kehilangan pekerjaan dalam transisi energi,” jelas Oki.

Widhyawan Prawiraatmadja mengingatkan bahwa perlu adanya penyelarasan persepsi, aturan dan kebijakan di level kementerian terkait transisi energi dan pencapaian komitmen Indonesia di kancah internasional seperti NDC. Hal ini selain untuk percepatan pencapaian target-target nasional maupun internasional, juga untuk memberikan sinyal yang senada pada investor. 

“Jika sinyal yang dikirimkan pada investor tidak seragam, tentu persepsi para investor adalah risiko berinvestasi di Indonesia tinggi, dan bukan tidak mungkin membuat mereka berpikir panjang untuk berinvestasi,” tutur Widhyawan.

Kemenangan Indonesia 30 tahun Mendatang terhadap Krisis Iklim, Ditentukan Sekarang

Jakarta, 4 Desember 2021-“Semua orang sudah pakai panel surya, dan ada motor listrik juga. Terasa udaranya sangat segar sekali!” begitu ujar Kiara dalam Mimpi Kiara yang menggambarkan suasana Indonesia pada tahun 2050. Mimpi ini seharusnya menjadi mimpi masyarakat Indonesia pada umumnya, terkhusus para pembuat kebijakan yang setiap keputusannya akan menentukan perjalanan bangsa Indonesia. 

Wujud Indonesia pada 2050 sesuai dengan gambaran Kiara, tergantung dari strategi pemerintah Indonesia dalam menyiapkan dan memberikan bumi yang lebih baik bagi generasi masa depan. Langkah tersebut harus dimulai dari sekarang dengan melakukan transisi energi, beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Presiden Jokowi dalam pengarahannya kepada Komisaris dan Direksi Pertamina dan PLN bahkan menegaskan bahwa transisi energi tidak dapat ditunda lagi. Jokowi dengan tegas meminta jajarannya untuk segera menyiapkan grand design transisi energi yang konkret, jelas, detail. Menurutnya, menyambut era transisi energi, semua sektor harus berubah dengan mengembangkan energi terbarukan dibanding fosil. Hal ini merupakan bagian dari gerakan dunia untuk mengatasi krisis iklim.

Krisis iklim menjadi momok menakutkan yang sudah bertahun-tahun menjadi musuh bersama. Perjuangan melawannya ditetapkan dalam jalur Perjanjian Paris pada 2015 yang disepakati oleh 197 negara. Masing-masing negara berusaha menekan emisinya serendah mungkin agar suhu bumi tidak melewati batas kenaikan lebih dari 1,5 derajat Celcius setelah zaman pra industri.

Hingga COP 26 di Glasgow berakhir pada 13 November 2021 lalu, sebanyak 137 negara sudah mempunyai target netral karbon pada 2050-2070. Indonesia sendiri menargetkan netral karbon pada 2060 atau lebih cepat dengan bantuan internasional. Namun, upaya tersebut ternyata dirasa tidak cukup untuk membatasi suhu bumi. Hasil dari Climate Action Tracker bahkan menyebutkan bahwa dengan komitmen negara tersebut untuk mencapai netral karbon pada rentang waktu 2050-2070, bumi tetap akan memanas pada 2,5-2,7 derajat Celcius pada 2100.

Sayangnya, sebagai salah satu kontributor emisi terbesar di dunia, terutama di sektor kehutanan & lahan dan sektor energi, Indonesia belum menetapkan langkah yang ambisius dalam memerangi perubahan iklim. Meski mengambil komitmen positif untuk melakukan pensiun dini pada 9,2 GW PLTU batubara, menurut Institute for Essential Services Reform (IESR) setidaknya total 10,5 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 untuk sejalur dengan Perjanjian Paris.

Di sinilah peran masyarakat Indonesia, termasuk kaum muda, untuk mendesak pemerintah Indonesia untuk lebih berani dalam upaya mitigasi krisis iklimnya. IESR dalam proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) bekerja sama dengan AIESEC UI pada Global Impact Conference yang dihadiri kaum pemuda lintas negara menggarisbawahi hal penting dan berdampak yang kaum pemuda dapat lakukan diantaranya ialah dengan membagikan informasi bahwa sektor energi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah kehutanan dan lahan. 

“Kesadaran akan dampak energi fosil yang merusak bumi, akan mendorong masyarakat untuk memiliki perilaku bertanggung jawab terhadap konsumsi energi, misalnya dengan melakukan penghematan energi,” ungkap Agus Tampubolon (berbaju biru), Proyek Manager CASE, IESR.

Tidak hanya itu, setiap masyarakat Indonesia juga memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas hidup anak-cucu dengan memilih pemimpin yang mempunyai visi dan misi untuk mewujudkan pembangunan minim emisi dan pemanfaatan energi terbarukan secara massif, baik di tingkat regional maupun nasional

Agus menambahkan agar proses transisi energi berlangsung cepat dan sistematis, pemerintah daerah memainkan peranan kunci dalam menetapkan target pencapaian energi terbarukan yang tinggi pada Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Selain itu, pemerintah daerah juga harus, mempunyai pemetaan yang detail terhadap potensi teknis energi terbarukan yang terdapat di daerahnya, memiliki kemampuan untuk membangun jaringan, menyiapkan regulasi yang tepat untuk menarik lebih banyak investasi di energi terbarukan di daerahnya. Dengan demikian, Mimpi Kiara, mimpi kita dan mimpi generasi mendatang dapat menjadi kenyataan.

Krisis Segala Aspek Kehidupan yang Membutuhkan Peran Serta Semua Lapisan Masyarakat

Jakarta, 19 Oktober 2021 – Dua pekan menjelang Pertemuan para Pihak (Conference of the Parties (COP) 26 di Glasgow, isu iklim banyak diperbincangkan di Indonesia salah satunya untuk menggalang suara publik dan memberi masukan pada pemerintah Indonesia yang rencananya akan diwakili langsung oleh presiden Joko Widodo untuk meningkatkan ambisi iklimnya. 

Indonesia telah memperbarui komitmen iklimnya melalui dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) yang dilengkapi dengan dokumen LTS-LCCR (Long Term Strategy – Low Carbon Climate Resilience). Secara angka, Indonesia tidak meningkatkan ambisinya lebih tinggi lagi, yaitu bertahan pada angka 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Indonesia juga berkomitmen untuk menjadi net-zero emissions di tahun 2060 atau lebih cepat. Sayangnya, upaya ini belum cukup untuk membawa Indonesia menjaga kenaikan suhu rata-rata bumi tidak lebih dari 1.5 derajat Celcius.

Dalam webinar bertajuk “Menuju COP26: Perubahan iklim dan peran publik untuk melestarikan bumi”, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute of Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa sejak tahun 1880an Indonesia selalu masuk dalam 10 besar negara penghasil emisi terbesar (carbon brief).

“Kita seharusnya melihat tanggungjawab untuk menurunkan emisi ini bukan sebagai beban namun juga sebagai kesempatan untuk melakukan transformasi ekonomi rendah karbon. Hasil kajian IESR menunjukkan bahwa dekarbonisasi pada tahun 2050 justru membawa manfaat ekonomi yang lebih besar, karena selain menciptakan peluang industri baru, dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar, harga energi Indonesia akan lebih terjangkau sekaligus manfaat sosial dan ekonomi yang bisa dirasakan seperti udara yang lebih bersih dan mengurangi ancaman bencana hidrometeorologi akibat perubahan iklim,” jelas Fabby.

Muhamad Ali Yusuf, Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (NU), menjelaskan bahwa dari sisi organisasi masyarakat berbasis agama mengkomunikasikan isu perubahan iklim penuh tantangan sebab masyarakat pada umumnya akan peduli pada permasalahan yang ada di depan mata, maka perlu pintu masuk yang membumi untuk membicarakan perubahan iklim pada masyarakat. 

“Di sisi lain, diskursus agama kita itu masih jauh dari isu ekologis seperti perubahan iklim. Kalaupun sudah ada belum menjadi isu prioritas. Maka sebenarnya literasi tentang perubahan iklim juga perlu untuk para tokoh agama,” jelasnya.

Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pendeta Jimmy Sormin menambahkan bahwa  tokoh agama memiliki peran strategis untuk mempengaruhi cara pandang dan tingkah laku dari umat dan memiliki dampak signifikan untuk mempengaruhi pola pikir dan pandang orang.

“Jadi memang harus punya kreativitas untuk menyampaikan perubahan iklim,” jelas pendeta Jimmy.

Literasi tentang perubahan iklim harus disebarkan kepada masyarakat luas tanpa terkecuali, karena saat muncul dampak dari perubahan iklim seperti bencana hidrometeorologi, semua penduduk akan terdampak. 

Mike Verawati, Sekretaris Jenderal, Koalisi Perempuan Indonesia, menjelaskan bahwa perempuan menjadi pihak yang paling berat merasakan dampak perubahan iklim karena kebijakan dan sistem kita yang tidak inklusif. Kebutuhan warga dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat netral. 

“Persoalan iklim, infrastruktur, dan alam biasanya dianggap narasi besar atau isu maskulin sehingga akhirnya isu ini dianggap bukan isu perempuan padahal mereka tahu detail dan aktif melakukan advokasi, walau kadang mereka tidak bisa menjelaskan secara sains,” jelas Mike.

Bukan hanya perempuan namun anak muda juga perlu diikutsertakan dalam upaya pembuatan kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim.  Sebagai generasi yang akan hidup di masa mendatang, anak-anak muda inilah yang akan menanggung dampak dari krisis iklim yang tidak ditangani dengan serius di masa depan. 

“Pemerintah Indonesia memang sudah memiliki komitmen untuk menurunkan emisi dan mengatasi krisis iklim. Namun, komitmen itu belum cukup untuk mengatasi krisis iklim ini, beberapa produk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seperti UU Minerba, Food Estate, dan Omnibus Law terasa kontra produktif dengan upaya menanggulangi krisis iklim,” terang Melissa Kowara, Aktivis Extinction Rebellion Indonesia. 

Melissa juga menyoroti tentang minimnya literasi tentang perubahan iklim untuk masyarakat luas. Hal ini membuat masyarakat terkesan diam saja atau belum banyak bergerak karena memang mereka belum paham konteks. 

Negara-Negara G20 Telah Memutakhirkan Ambisi Iklimnya Namun Belum Selaras dengan Target Persetujuan Paris

Tahun 2021 ditandai sebagai tahun kembali naiknya emisi terutama di negara-negara G20 seiring dengan dimulainya kembali aktivitas ekonomi dan sosial. Sebelumnya pada tahun 2020, emisi di negara-negara G20 tercatat mengalami penurunan karena adanya regulasi pemerintah tentang pembatasan kegiatan sosial untuk mengatasi wabah Covid-19. Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) 2021 menemukan bahwa beberapa negara seperti Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan akan melampaui tingkat emisi 2019 mereka. Meski 14 negara G20 telah mengajukan target net-zero yang mencakup sekitar 61 persen emisi GRK di dunia, namun masih belum sejalan dengan jalur 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Paris Agreement. Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk mengejar target Persetujuan Paris, negara-negara G20 perlu meningkatkan ambisi iklim mereka lebih tinggi lagi dan bergerak bersama untuk memerangi krisis iklim.

Laporan Transparansi Iklim merupakan laporan tahunan yang mengkaji ambisi dan kebijakan iklim negara-negara G20, mengungkapkan beberapa temuan kunci untuk laporan 2021 yang diluncurkan pada 14 Oktober 2021. Diantaranya adalah:

  • Ambisi Teranyar Belum Mematuhi Perjanjian Paris

Pada tahun 2021, 14 negara G20 memperbarui ambisi iklim mereka dan mengusulkan target net-zero emission. 13 NDC yang diperbarui telah diserahkan ke UNFCCC dan 6 dari negara-negara tersebut yaitu Argentina, Kanada, Uni Eropa (termasuk Prancis, Jerman dan Italia), Afrika Selatan, Inggris dan AS meningkatkan target NDC mereka. Sayangnya, semuanya belum cukup untuk memenuhi target 1,5 derajat. Dengan mengikuti ambisi saat ini, suhu global masih akan naik hingga 2,4 derajat. Upaya yang lebih menyeluruh dan melibatkan semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga suhu global di level 1,5 derajat.

“Jika G20 menyelaraskan target dan kebijakannya dengan jalur satu setengah derajat dan menerapkan kebijakan tersebut, kesenjangan emisi global sekitar 23 gigaton dapat dikurangi secara signifikan,” kata Justine Holmes, Solutions For Our Climate menjelaskan.

  • Subsidi Bahan Bakar Fosil Masih Terus Dilakukan

Selama pemulihan ekonomi, sebagian besar negara G20 menyuntikkan subsidi untuk sektor bahan bakar fosil. Padahal, besaran subsidi BBM jauh lebih besar dari paket pemulihan hijau yang disiapkan pemerintah G20. Dari Januari 2020 hingga Agustus 2021 negara-negara G20 mengucurkan dana sebesar USD 298 miliar untuk mensubsidi industri bahan bakar fosil. USD 248 miliar dari USD 298 miliar mensubsidi sektor bahan bakar fosil tanpa syarat, artinya industri bahan bakar fosil tidak berkewajiban misalnya menurunkan emisinya, atau kesepakatan lain untuk mempertimbangkan lingkungan atau situasi perubahan iklim.


  • Emisi yang Kembali Naik

Saat aktivitas ekonomi dimulai kembali, emisi di negara G20 kembali meningkat. Total emisi pada tahun 2020 turun hingga 6% dan diproyeksikan meningkat 4% tahun ini. Negara-negara seperti Argentina, China, India, dan Indonesia bahkan diproyeksikan melampaui tingkat emisi 2019. Hal ini sebenarnya diprediksi, bahwa penurunan emisi pada tahun 2020 terkait erat dengan pembatasan aktivitas sosial selama wabah pandemi.

  • Penting untuk Segera Menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara

Pembangkit listrik tenaga batu bara dikenal karena emisi karbonnya yang intens. Hingga 2020, China (163 GW), India (21 GW), Indonesia (18 GW), dan Turki (12 GW) masih memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara. Semua anggota G20 perlu menghapus batubara antara tahun 2030 – 2040 untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparannya menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih didominasi oleh batubara dalam bauran energinya. Pada bulan Oktober, pemerintah Indonesia mengeluarkan RUPTL baru yang mengakomodasi lebih banyak porsi energi terbarukan daripada rencana pembangkit listrik termal, ditambah rencana PLN untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batubara superkritis mulai tahun 2030.

“Baru-baru ini kami juga membahas kemungkinan untuk melakukan moratorium batubara lebih awal sebelum tahun 2025 tetapi itu masih rencana, belum diselesaikan dan kami masih memberikan subsidi bahan bakar fosil. Penghapusan subsidi bahan bakar fosil akan membantu mempercepat transisi energi,” pungkasnya.

Emisi kembali meningkat di negara G20 – wanti-wanti sebuah laporan

Meskipun komitmen netral karbon dan NDC dimutakhirkan, aksi iklim negara G20 masih menjauh dari pemenuhan batas pemanasan global 1,5°C

Jakarta, 15 Oktober 2021-Sempat menurun dalam waktu singkat akibat pandemi COVID-19, emisi gas rumah kaca (GRK) kembali meningkat di seluruh G20, dengan Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan melebihi tingkat emisinya pada 2019. Hal ini merupakan salah satu temuan utama dari Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) – catatan tahunan paling komprehensif di dunia dan perbandingan aksi iklim negara G20. 

Pada tahun 2020, emisi CO2 yang berasal dari energi turun 6% di seluruh G20. Namun, pada 2021, emisi tersebut diproyeksikan akan melambung hingga 4%. 

“Melonjaknya emisi di seluruh G20, sebagai kelompok negara yang bertanggung jawab atas 75% emisi GRK global, menunjukkan bahwa pengurangan emisi yang menyeluruh dan secepatnya saat ini sangat dibutuhkan untuk mencapai maklumat netral karbon,” ungkap Gahee Han dari NGO Korea Selatan Solutions For Our Climate, salah satu penulis utama laporan ini.

Laporan tersebut juga mencatat beberapa perkembangan positif, seperti pertumbuhan tenaga surya dan angin di antara anggota G20, dengan rekor baru datang dari kapasitas terpasang pada tahun 2020. Pangsa energi terbarukan dalam pasokan energi diproyeksikan tumbuh dari 10% pada tahun 2020 menjadi 12% pada tahun 2021. Di sektor ketenagalistrikan (energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik dan panas), energi terbarukan meningkat sebesar 20% antara tahun 2015 dan 2020, dan diproyeksikan menjadi hampir 30% dari bauran energi G20 pada tahun 2021. Namun, di saat yang bersamaan, para ahli mencatat bahwa selain Inggris, anggota G20 tidak memiliki strategi jangka pendek maupun jangka panjang untuk mencapai 100% energi terbarukan di sektor listrik pada tahun 2050. 

Terlepas dari perubahan positif ini, ketergantungan pada bahan bakar fosil tidak menyusut. Sebaliknya, konsumsi batubara diprediksi meningkat hampir 5% pada 2021, sementara konsumsi gas memuncak 12% di seluruh G20 dari 2015-2020. Laporan ini menemukan bahwa pertumbuhan batubara utamanya terkonsentrasi di Cina – produsen dan konsumen batubara global terbesar – diikuti oleh AS dan India.

Di waktu yang sama, ragam pemberitaan mengisyaratkan bahwa sebagian besar pemerintah G20 menyadari perlunya transisi ke ekonomi rendah karbon. Target nir emisi harus dicapai paling lambat tahun 2050 untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C. Hal ini merupakan sesuatu yang menurut Laporan Transparansi Iklim, telah diakui oleh sebagian besar pemerintah G20. Pada Agustus 2021, 14 anggota G20 telah berkomitmen untuk mencapai target netral karbon yang mencakup hampir 61% emisi GRK global. 

Sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Paris, masing-masing pihak diharapkan untuk menyerahkan Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution) – rencana iklim yang menjabarkan target, kebijakan, dan langkah-langkah yang ingin diterapkan oleh masing-masing pemerintah. Pada September 2021, 13 anggota G20 (termasuk Prancis, Jerman, dan Italia di bawah NDC Uni Eropa) telah secara resmi menyerahkan pemutakhiran NDC, dengan enam negara menetapkan target 2030 yang lebih ambisius. Namun, tetap saja komitmen tersebut belum memadai, bahkan jika diterapkan sepenuhnya, target saat ini, yang dinilai pada April 2021, masih akan menyebabkan pemanasan 2,4°C pada akhir abad ini, demikian para ahli memperingatkan. 

“Pemerintah G20 perlu berunding dengan target pengurangan emisi nasional yang lebih ambisius. Angka-angka dalam laporan ini mengonfirmasi bahwa kita tidak dapat membuat perubahan signifikan tanpa negara G20 – mereka tahu itu, kita semua tahu itu – mereka harus melakukan sesuatu menjelang COP26,” kata Kim Coetzee dari Climate Analytics, yang mengkoordinasikan analisis keseluruhan.

Temuan penting dari laporan Transparansi Iklim

  • Hasil respon pemerintah terhadap pandemi COVID-19, emisi CO2 terkait energi menurun sebesar 6% pada tahun 2020. Namun, pada tahun 2021, emisi CO2 diproyeksikan meningkat sebesar 4% di seluruh G20, dengan Argentina, Cina, India dan Indonesia diproyeksikan melampaui tingkat emisi mereka pada 2019
  • Pangsa energi terbarukan G20 meningkat dari 9% pada tahun 2019 menjadi 10% pada tahun 2020 dalam Total Pasokan Energi Primer (TPES), dan tren ini diproyeksikan akan terus berlanjut, naik menjadi 12% pada tahun 2021. 
  • Antara tahun 2015 dan 2020, pangsa energi terbarukan dalam bauran energi G20 meninggi sebesar 20%, mencapai 28,6% dari pembangkit listrik G20 pada tahun 2020 dan diproyeksikan mencapai 29,5% pada tahun 2021.
  • Dari tahun 2015 hingga 2020, intensitas karbon di sektor energi mengalami penurunan sebesar 4% di seluruh G20. 
  • Konsumsi batubara diproyeksikan meningkat hampir 5% pada tahun 2021, dengan pertumbuhan ini didorong oleh China (menyumbang 61% dari pertumbuhan), Amerika Serikat (18%) dan India (17%). 
  • Amerika Serikat (4,9 tCO2/kapita) dan Australia (4,1 tCO2/kapita) memiliki emisi bangunan per kapita tertinggi di G20 (rata-rata 1,4 tCO2/kapita), yang mencerminkan tingginya pangsa bahan bakar fosil, terutama gas alam dan minyak, digunakan untuk memproduksi panas.
  • Antara 1999 dan 2018 telah terjadi hampir 500.000 kematian dan hampir USD 3,5 triliun biaya ekonomi akibat dampak iklim di seluruh dunia, dengan China, India, Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat sangat terdampak pada tahun 2018.
  • Di seluruh G20, pangsa pasar rata-rata kendaraan listrik (EV) saat ini dalam penjualan mobil baru tetap rendah pada 3,2% (tidak termasuk Uni Eropa), dengan Jerman, Prancis, dan Inggris memiliki pangsa EV tertinggi. 
  • Antara tahun 2018 dan 2019, anggota G20 menyediakan dana publik sebesar USD 50,7 miliar/tahun untuk bahan bakar fosil. Penyedia keuangan publik tertinggi adalah Jepang (USD 10,3 miliar/tahun), China (hanya di atas USD 8 miliar/tahun), dan Korea Selatan (di bawah USD 8 miliar/tahun).

 

Sebagian besar anggota G20 juga melewatkan peluang terkait pemanfaatan paket pemulihan COVID-19 untuk mempromosikan tujuan mitigasi iklim. Hanya USD 300 miliar dari total USD 1,8 triliun dana pemulihan yang digembar gemborkan, digunakan untuk pemulihan “hijau”, sedangkan bahan bakar fosil terus disubsidi. 

“Sangat mengecewakan bahwa satu dekade telah berlalu sejak komitmen untuk merasionalisasi dan menghapus subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien dibuat, tetapi anggota G20 masih menyalurkan miliaran dolar AS ke bahan bakar kotor, yang menyebabkan perubahan iklim,” kata Enrique Maurtua Konstantinidis dari Fundación Ambiente y Recursos Naturales (FARN) di Argentina. Pada 2019, anggota G20, tidak termasuk Arab Saudi, memberikan subsidi setidaknya USD 152 miliar untuk produksi dan konsumsi batubara, minyak, dan gas.

Skema penetapan harga karbon yang efektif dapat mendorong transisi ke ekonomi rendah karbon, menurut penulis laporan tersebut. Namun, hanya 13 anggota G20 yang memiliki beberapa bentuk skema penetapan harga karbon nasional yang eksplisit. Brasil, Indonesia, Rusia, dan Turki saat ini sedang mempertimbangkan untuk memperkenalkan skema serupa.

Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) dikembangkan oleh 16 organisasi penelitian dan LSM dari 14 anggota G20 dan membandingkan upaya adaptasi, mitigasi, dan pendanaan G20; menganalisis perkembangan kebijakan terkini; dan mengidentifikasi peluang iklim yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah G20. Laporan ini adalah edisi ke-7 dari tinjauan tahunan aksi iklim G20.

Tentang Transparansi Iklim (Climate Transparency):

Climate Transparency adalah kemitraan global dari 16 think tank dan LSM yang menyatukan para ahli dari mayoritas negara G20. Misi kami adalah untuk mendorong aksi iklim yang ambisius di negara-negara G20: kami memberi tahu pembuat kebijakan dan menstimulasi diskusi nasional.

Peluncuran dan Diskusi Climate Transparency Report 2021: Mengangkat Ambisi Iklim untuk Mencapai Keadilan Iklim dan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Pasca Pandemi

Siaran Tunda


Dalam upaya memenuhi Paris Agreement, Indonesia telah memperbarui Nationally Determined Contribution (NDC) beserta Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR) ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun Juli 2021. Untuk berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi 29% pada tahun 2030 di bawah BAU tanpa syarat dan 41% dengan syarat, Indonesia harus mempercepat respon untuk mengatasi perubahan iklim.

Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi cuaca ekstrim yang menyebabkan bencana alam yang parah, terutama bencana terkait hidrometeorologi. Temperatur yang lebih besar juga mengubah pola periode musim kemarau dan musim hujan. Kekeringan parah telah terjadi di beberapa tempat di mana orang menderita kelangkaan makanan dan air. Masalah ini mempengaruhi kebutuhan sehari-hari dan kegiatan ekonomi mereka terutama bagi masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan pada tahun 2021 terjadi hampir 2000 kejadian bencana. Banyaknya kejadian banjir menyebabkan bencana utama di Indonesia karena intensitas hujan yang tinggi. Sekitar 4 juta orang menderita bencana sementara 500 ribu orang diungsikan dari rumah mereka.

Sebagian besar negara Asia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap risiko perubahan iklim terutama Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir dan tropis. Lebih jauh lagi, ilmu pengetahuan terus menunjukkan bahwa ketika dampak perubahan iklim semakin cepat, peristiwa cuaca ekstrem berdampak besar di negara-negara berkembang, khususnya di Asia, sebagai rumah bagi beberapa populasi pemuda terbesar di dunia. Tidak hanya menurunkan kualitas alam, tetapi perubahan iklim menyebabkan hilangnya nyawa, harta benda dan mata pencaharian. Selain itu, perempuan, penyandang disabilitas, dan anak-anak termasuk kelompok terancam yang terkena dampak risiko iklim.

Komitmen Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim telah diterjemahkan oleh Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui Kebijakan Pembangunan Ketahanan Iklim Indonesia 2020-2045, dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan roadmap adaptasi iklim sebagai respon untuk memerangi untuk ancaman global perubahan iklim. Dengan semakin panjangnya dampak perubahan iklim maka dapat menimbulkan malapetaka bagi dunia di masa depan. KTT COP26 berikut pada bulan November di Glasgow membawa momen yang tepat bagi Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah untuk meningkatkan ambisi iklim dan mempercepat transisi energi untuk mencegah memburuknya dampak perubahan iklim.

Dalam memperkuat kerangka transparansi aksi adaptasi dan mitigasi global, Transparansi Iklim menghasilkan Laporan Transparansi Iklim tahunan. Laporan ini memberikan penilaian emisi dan proyeksi adaptasi iklim G20, mitigasi, dan mobilisasi keuangan untuk mendukung tindakan tersebut. Selain itu, laporan tersebut menyajikan analisis tanggapan COVID-19, langkah-langkah stimulus, dan rekomendasi untuk pemulihan hijau yang selaras dengan Perjanjian Paris. Climate Transparency Report 2021 akan diluncurkan secara global pada 14 Oktober 2021. Sebagai mitra Climate Transparency di Indonesia, IESR akan meluncurkan Climate Transparency Report 2021 dan Indonesia Country Profile dalam acara virtual satu hari yang akan diselenggarakan pada 28 Oktober 2021.


Materi Presentasi

IESR

IESR-Climate-Transparency-Report-2021_Indonesia_271021.pptx

Unduh

BNPB

BNPB-20211028_-IESR_Climate-Related-Hazards_compressed

Unduh

UI

UI-CC_ClimateTransparancy_102021

Unduh

GENERATE

Generate-CLIMATE-JUSTICE_DESY-PIRMASARI.pptx

Unduh

UCLG ASPAC

UCLG-ASPAC_Climate-Transparancy-Report-IESR-211027_rev.pptx

Unduh