Negara-Negara G20 Telah Memutakhirkan Ambisi Iklimnya Namun Belum Selaras dengan Target Persetujuan Paris

Tahun 2021 ditandai sebagai tahun kembali naiknya emisi terutama di negara-negara G20 seiring dengan dimulainya kembali aktivitas ekonomi dan sosial. Sebelumnya pada tahun 2020, emisi di negara-negara G20 tercatat mengalami penurunan karena adanya regulasi pemerintah tentang pembatasan kegiatan sosial untuk mengatasi wabah Covid-19. Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) 2021 menemukan bahwa beberapa negara seperti Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan akan melampaui tingkat emisi 2019 mereka. Meski 14 negara G20 telah mengajukan target net-zero yang mencakup sekitar 61 persen emisi GRK di dunia, namun masih belum sejalan dengan jalur 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Paris Agreement. Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk mengejar target Persetujuan Paris, negara-negara G20 perlu meningkatkan ambisi iklim mereka lebih tinggi lagi dan bergerak bersama untuk memerangi krisis iklim.

Laporan Transparansi Iklim merupakan laporan tahunan yang mengkaji ambisi dan kebijakan iklim negara-negara G20, mengungkapkan beberapa temuan kunci untuk laporan 2021 yang diluncurkan pada 14 Oktober 2021. Diantaranya adalah:

  • Ambisi Teranyar Belum Mematuhi Perjanjian Paris

Pada tahun 2021, 14 negara G20 memperbarui ambisi iklim mereka dan mengusulkan target net-zero emission. 13 NDC yang diperbarui telah diserahkan ke UNFCCC dan 6 dari negara-negara tersebut yaitu Argentina, Kanada, Uni Eropa (termasuk Prancis, Jerman dan Italia), Afrika Selatan, Inggris dan AS meningkatkan target NDC mereka. Sayangnya, semuanya belum cukup untuk memenuhi target 1,5 derajat. Dengan mengikuti ambisi saat ini, suhu global masih akan naik hingga 2,4 derajat. Upaya yang lebih menyeluruh dan melibatkan semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga suhu global di level 1,5 derajat.

“Jika G20 menyelaraskan target dan kebijakannya dengan jalur satu setengah derajat dan menerapkan kebijakan tersebut, kesenjangan emisi global sekitar 23 gigaton dapat dikurangi secara signifikan,” kata Justine Holmes, Solutions For Our Climate menjelaskan.

  • Subsidi Bahan Bakar Fosil Masih Terus Dilakukan

Selama pemulihan ekonomi, sebagian besar negara G20 menyuntikkan subsidi untuk sektor bahan bakar fosil. Padahal, besaran subsidi BBM jauh lebih besar dari paket pemulihan hijau yang disiapkan pemerintah G20. Dari Januari 2020 hingga Agustus 2021 negara-negara G20 mengucurkan dana sebesar USD 298 miliar untuk mensubsidi industri bahan bakar fosil. USD 248 miliar dari USD 298 miliar mensubsidi sektor bahan bakar fosil tanpa syarat, artinya industri bahan bakar fosil tidak berkewajiban misalnya menurunkan emisinya, atau kesepakatan lain untuk mempertimbangkan lingkungan atau situasi perubahan iklim.


  • Emisi yang Kembali Naik

Saat aktivitas ekonomi dimulai kembali, emisi di negara G20 kembali meningkat. Total emisi pada tahun 2020 turun hingga 6% dan diproyeksikan meningkat 4% tahun ini. Negara-negara seperti Argentina, China, India, dan Indonesia bahkan diproyeksikan melampaui tingkat emisi 2019. Hal ini sebenarnya diprediksi, bahwa penurunan emisi pada tahun 2020 terkait erat dengan pembatasan aktivitas sosial selama wabah pandemi.

  • Penting untuk Segera Menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara

Pembangkit listrik tenaga batu bara dikenal karena emisi karbonnya yang intens. Hingga 2020, China (163 GW), India (21 GW), Indonesia (18 GW), dan Turki (12 GW) masih memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara. Semua anggota G20 perlu menghapus batubara antara tahun 2030 – 2040 untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparannya menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih didominasi oleh batubara dalam bauran energinya. Pada bulan Oktober, pemerintah Indonesia mengeluarkan RUPTL baru yang mengakomodasi lebih banyak porsi energi terbarukan daripada rencana pembangkit listrik termal, ditambah rencana PLN untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batubara superkritis mulai tahun 2030.

“Baru-baru ini kami juga membahas kemungkinan untuk melakukan moratorium batubara lebih awal sebelum tahun 2025 tetapi itu masih rencana, belum diselesaikan dan kami masih memberikan subsidi bahan bakar fosil. Penghapusan subsidi bahan bakar fosil akan membantu mempercepat transisi energi,” pungkasnya.

Peluncuran dan Diskusi Climate Transparency Report 2021: Mengangkat Ambisi Iklim untuk Mencapai Keadilan Iklim dan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Pasca Pandemi

Siaran Tunda


Dalam upaya memenuhi Paris Agreement, Indonesia telah memperbarui Nationally Determined Contribution (NDC) beserta Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR) ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun Juli 2021. Untuk berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menjadi 29% pada tahun 2030 di bawah BAU tanpa syarat dan 41% dengan syarat, Indonesia harus mempercepat respon untuk mengatasi perubahan iklim.

Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi cuaca ekstrim yang menyebabkan bencana alam yang parah, terutama bencana terkait hidrometeorologi. Temperatur yang lebih besar juga mengubah pola periode musim kemarau dan musim hujan. Kekeringan parah telah terjadi di beberapa tempat di mana orang menderita kelangkaan makanan dan air. Masalah ini mempengaruhi kebutuhan sehari-hari dan kegiatan ekonomi mereka terutama bagi masyarakat yang bekerja di sektor pertanian. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan pada tahun 2021 terjadi hampir 2000 kejadian bencana. Banyaknya kejadian banjir menyebabkan bencana utama di Indonesia karena intensitas hujan yang tinggi. Sekitar 4 juta orang menderita bencana sementara 500 ribu orang diungsikan dari rumah mereka.

Sebagian besar negara Asia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap risiko perubahan iklim terutama Indonesia sebagai negara kepulauan, pesisir dan tropis. Lebih jauh lagi, ilmu pengetahuan terus menunjukkan bahwa ketika dampak perubahan iklim semakin cepat, peristiwa cuaca ekstrem berdampak besar di negara-negara berkembang, khususnya di Asia, sebagai rumah bagi beberapa populasi pemuda terbesar di dunia. Tidak hanya menurunkan kualitas alam, tetapi perubahan iklim menyebabkan hilangnya nyawa, harta benda dan mata pencaharian. Selain itu, perempuan, penyandang disabilitas, dan anak-anak termasuk kelompok terancam yang terkena dampak risiko iklim.

Komitmen Indonesia dalam mitigasi perubahan iklim telah diterjemahkan oleh Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui Kebijakan Pembangunan Ketahanan Iklim Indonesia 2020-2045, dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan roadmap adaptasi iklim sebagai respon untuk memerangi untuk ancaman global perubahan iklim. Dengan semakin panjangnya dampak perubahan iklim maka dapat menimbulkan malapetaka bagi dunia di masa depan. KTT COP26 berikut pada bulan November di Glasgow membawa momen yang tepat bagi Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah untuk meningkatkan ambisi iklim dan mempercepat transisi energi untuk mencegah memburuknya dampak perubahan iklim.

Dalam memperkuat kerangka transparansi aksi adaptasi dan mitigasi global, Transparansi Iklim menghasilkan Laporan Transparansi Iklim tahunan. Laporan ini memberikan penilaian emisi dan proyeksi adaptasi iklim G20, mitigasi, dan mobilisasi keuangan untuk mendukung tindakan tersebut. Selain itu, laporan tersebut menyajikan analisis tanggapan COVID-19, langkah-langkah stimulus, dan rekomendasi untuk pemulihan hijau yang selaras dengan Perjanjian Paris. Climate Transparency Report 2021 akan diluncurkan secara global pada 14 Oktober 2021. Sebagai mitra Climate Transparency di Indonesia, IESR akan meluncurkan Climate Transparency Report 2021 dan Indonesia Country Profile dalam acara virtual satu hari yang akan diselenggarakan pada 28 Oktober 2021.


Materi Presentasi

IESR

IESR-Climate-Transparency-Report-2021_Indonesia_271021.pptx

Unduh

BNPB

BNPB-20211028_-IESR_Climate-Related-Hazards_compressed

Unduh

UI

UI-CC_ClimateTransparancy_102021

Unduh

GENERATE

Generate-CLIMATE-JUSTICE_DESY-PIRMASARI.pptx

Unduh

UCLG ASPAC

UCLG-ASPAC_Climate-Transparancy-Report-IESR-211027_rev.pptx

Unduh

Peluncuran Daring Laporan Climate Transparency 2021

Dua minggu sebelum KTT G20 di Roma dan COP26 di Glasgow, Climate Transparency meluncurkan edisi 2021 dari tinjauan komprehensif tahunan aksi iklim G20 – Laporan Transparansi Iklim. Kami mengundang Anda ke acara peluncuran online internasional kami pada 14 Oktober 2021 pukul 14:00-15:00 CEST (19:00-20:00 WIB) yang akan dilakukan melalui Zoom. Selama acara, Anda akan memiliki kesempatan untuk mempelajari tentang temuan-temuan kunci dari aksi iklim G20 menuju net-zero serta perspektif regional dan politik.

14 Oktober 2021 (Kamis)
19:00-20:00 WIB

Dikembangkan oleh para ahli dari 16 organisasi mitra dari mayoritas negara-negara G20, laporan ini menginformasikan para pembuat kebijakan dan memicu diskursus nasional. Berkat informasi yang sebanding dan ringkas yang disajikan dalam bentuk yang menarik secara visual, Laporan Climate Transparency berfungsi sebagai referensi yang berguna bagi para pembuat keputusan dan aktor terkait.