Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy

Brown to Green Report 2019: 

Strategi Transformasi Perekonomian Indonesia menuju Net-zero Emission Economy dalam Menangani Perubahan Iklim sebagai Upaya Pencapaian Paris Agreement

Jakarta, 19 November 2019 — IESR. Emisi karbon dari negara-negara G20 terus meningkat sebagai akibat dari tingginya penggunaan bahan bakar fosil dalam penyediaan energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tidak satupun dari mereka memiliki rencana penurunan emisi karbon yang selaras dengan pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1.5°C. Meskipun mereka memiliki kemampuan teknis dalam meningkatkan upaya pencegahan perubahan iklim dalam mencapai target Paris Agreement, rencana aksi mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC negara-negara G20 tidak ada yang menempatkan mereka berada di jalur 1.5°C.

Apabila negara-negara G20 tidak melakukan peningkatan ambisi iklimnya dan melakukan transformasi perekonomian, dan dengan dokumen NDC yang ada saat ini, suhu bumi akan meningkat lebih dari 3°C. Pembatasan kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C diindikasi akan mengurangi dampak negatif di berbagai sektor di negara G20 lebih dari 70%. Kerugian yang saat ini dilanda oleh negara G20 akibat perubahan cuaca yang ekstrim yakni kematian sebanyak 16.000 jiwa dan kerugian ekonomi sebesar US$ 142 triliun setiap tahunnya. 

Semua negara anggota G20, termasuk Indonesia, dapat meningkatkan ambisi iklimnya dalam upaya penurunan emisi karbon dan mencapai net-zero emission economy untuk mencapai Paris Agreement, dengan langkah yang taktis dan komitmen serta kemauan politik yang kuat. Hal ini merupakan salah satu pesan kunci dari Brown to Green Report 2019: The G20 Transition Towards a Net-Zero Emissions Economy yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform di Jakarta pada 19 November 2019. Peluncuran laporan yang diikuti dengan diskusi panel ini dihadiri sedikitnya 140 peserta yang berasal dari kementerian dan lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum, serta rekan-rekan jurnalis.

Laporan Brown to Green 2019 merupakan sebuah laporan tahunan yang disusun oleh Climate Transparency dengan didukung oleh Federal Ministry of Environment Nature Conservation and Nuclear Safety. Dengan menggunakan 80 indikator penilaian terkait adaptasi, mitigasi dan pembiayaan perubahan iklim untuk dapat mencapai target 1,5°C, laporan ini mengukur aksi iklim dari negara-negara G20 dan bagaimana proses transisi mereka menuju net-zero emissions economy. Sebagai anggota dari kemitraan Climate Transparency, IESR mengukur kinerja Indonesia dalam upaya mengatasi perubahan iklim serta bagaimana Indonesia dapat melakukan transisi perekonomiannya, dibandingkan dengan negara anggota G20 lain.

Membuka acara ini, Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR) menyampaikan bahwa laporan ini memperlihatkan Indonesia masih cukup tertinggal dalam upaya mencapai Paris Agreement. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pembangunan dan investasi untuk mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih hijau, khususnya investasi di pembangkit listrik, transportasi, dan industri manufaktur. Di samping itu, Indonesia membutuhkan strategi untuk membuat ekonomi Indonesia lebih resilient terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini sudah dirasakan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR

Ditegaskan dalam pidato pembukaan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Jend. TNI. (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, bahwa Indonesia berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan juga peningkatan kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi di 2025. “Indonesia berkomitmen untuk menempatkan energi baru dan terbarukan dalam kebijakan negara. Penentu kebijakan harus membuat kebijakan yang tidak mencederai anak cucu” pernyataan Luhut dalam pidatonya.

Ia pun menjelaskan beberapa strategi investasi dan bisnis yang akan diterapkan Indonesia dalam mendorong perekonomian hijau, yakni teknologi yang masuk ke Indonesia harus yang berkualitas tinggi dan ramah lingkungan; harus ada transfer teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah produk mentah yang menjadi komoditas ekspor Indonesia; serta investor harus mengembangkan pelatihan bagi tenaga kerja lokal. Secara khusus, ada beberapa program yang disiapkan pemerintah untuk mendorong perekonomian hijau yaitu biodiesel dan green fuel untuk non listrik, kendaraan listrik, pembangkit listrik energi terbarukan, mendekatkan industri dengan sumber energi, dan pelibatan pihak swasta dalam proyek carbon credit.

Prof. Emil Salim, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga turut hadir dalam peluncuran ini, memberikan Keynote Speech kedua setelah Menteri Kemenko Maritim dan Investasi. Prof Emil turut menekankan bahwa Laporan Brown to Green ini mencerminkan kenyataan yang ada mengingat kebijakan energi Indonesia sudah dicanangkan hingga ke 2050 tapi tidak ada yang menunjukkan bagaimana dampak dari emisi karbon dapat diatasi. 

Prof. Emil Salim, Guru Besar FE UI

“Persoalan climate change adalah persoalan nasional yang sedang sama-sama kita hadapi. Namun, sayangnya faktor lingkungan tidak menjadi pertimbangan penting dalam Rencana Umum Energi Nasional, tapi justru menumpukan pembangunan pada energi konvensional. Jadi pola struktur energi kita didominasi minyak bumi, batu bara dan energi terbarukan hanya kurang dari separuh. Padahal potensinya tinggi. Jika kita merasa Rencana Umum Energi Nasional tersebut tidak tepat maka keinginan saya adalah, bagaimana komposisi energi terbarukan bisa dapat tingkatkan.” ujar Prof. Emil Salim.

Senior ekonom Indonesia ini pun menyoroti peran PLN sebagai BUMN yang menilai bahwa pihak swasta tidak dapat mengembangkan sumber energinya dengan alasan perizinan yang hanya dimiliki oleh PLN, sehingga teknologi pembangkit listrik surya atap masih terhambat hingga saat ini.Beliau menekankan bahwa laporan IESR ini harus dijadikan sebagai lampu kuning bagi seluruh pemangku kebijakan tak sekedar dokumen untuk dibaca. Indonesia tertinggal dalam urusan yang terkait dengan climate change, kebijakan energi sebagai alternatif harus segera dibuat, imbuhnya. 

Erina Mursanti, Program Manager IESR – Green Economy

Beberapa poin penting dalam paparan kedua keynote speech tersebut, selaras dengan isi dari laporan Brown to Green yang dipaparkan langsung oleh Manajer Program, Green Economy, IESR, Erina Mursanti. Laporan ini memperlihatkan posisi Indonesia untuk menuju 1,5°C berdasarkan compatible fair share emission ranges yang merupakan analisa adaptasi dari metodologi Climate Action Tracker yang juga merupakan mitra internasional dari Climate Transparency. Metodologi ini tidak memasukkan LULUCF emission karena tidak semua negara G20 memiliki emisi dari LULUCF (Land Use, Land-Use Change and Forestry) atau penggunaan lahan dan hutan. 

“Sekalipun semua kegiatan mitigasi yang ada di dalam dokumen NDC Indonesia dilaksanakan, negara ini tetap berada pada jalur suhu bumi 3°C atau bahkan 4°C, jadi bisa disimpulkan kita masih berada jauh dari jalur 1,5°C.” terang Erina, memaparkan salah satu hasil laporan ini. Laporan ini menunjukkan, selama tahun 2019, ada dua kemajuan Indonesia dalam melakukan transformasi perekonomian yakni adanya peraturan presiden mengenai kendaraan listrik serta pembentukan badan pengelola dana lingkungan hidup terkait upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Meskipun demikian, sayangnya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2019-2028 menunjukkan bahwa kontribusi dari batubara dalam pembangkit listrik naik sebesar 0,2% dibandingkan dengan rencana tahun lalu. 

Terkait rencana pembangunan jangka panjang, laporan ini menemukan bahwa Indonesia belum memiliki rencana pembangunan jangka panjang yang terintegrasi dengan rencana penurunan jumlah emisi gas rumah kaca. Indonesia telah mengeluarkan studi low carbon development initiative namun studi ini belum didokumentasikan secara resmi sebagai dokumen pembangunan pemerintah Indonesia. 

Dilaporkan bahwa Indonesia sudah memiliki target kontribusi energi terbarukan dalam sektor ketenagalistrikan, namun implementasi upaya pencapaian target tidak koheren dengan beberapa kebijakan yang sudah ada. Namun Indonesia belum memiliki target atau kebijakan terkait penghapusan batubara secara bertahap, padahal indikator ini merupakan faktor penting demi menanggulangi perubahan iklim. 

Dalam sektor transportasi, hanya satu hal yang cukup bagus dimiliki oleh Indonesia yaitu adanya beberapa instrumen yang mendukung pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. 

Indonesia belum mempunyai instrumen pembiayaan perubahan iklim yang cukup memuaskan. Catatan penting dari temuan ini adalah Indonesia masih memberikan subsidi kepada bahan bakar fosil yang sangat besar. Demi tercapainya suhu bumi pada 1,5°C Indonesia harus mulai menghapus subsidi tersebut dan memperkenalkan skema pajak karbon. Dana APBN juga semestinya sudah tidak digunakan lagi untuk membiayai proyek – proyek berbahan bakar fosil. Strategi pembangunan jangka panjang Indonesia harus diperjelas agar dapat mengakomodasi pembiayaan jangka panjang untuk perubahan iklim. 

Sebelum menutup paparannya, Erina Mursanti mengingatkan bahwa demi meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia dan untuk berada di jalur 1,5°C, ada tiga hal yang dapat dilakukan negara yaitu: (a) Mengurangi jumlah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menaikkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030. Hal ini sangat penting menurut Erina, karena: merupakan solusi yang layak (mungkin dilakukan) secara teknis tanpa mengurangi keandalan jaringan transmisi (jika daya energi terbarukan sangat besar). Komitmen dan kemauan politik (political will) dalam hal ini sangat dibutuhkan. (b) Meningkatkan tingkat efisiensi dari peralatan rumah tangga & industri termasuk penerangan karena hal ini berkontribusi sekitar 25 GW pada tahun 2030. (c) Indonesia harus melakukan moratorium pembebasan lahan hutan secara permanen termasuk untuk hutan primer, sekunder dan restorasi hutan gambut. 

 

(dari Kiri ke Kanan) Dr. Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, CSIS, Erina Mursanti, Program Manager Green Economy, IESR, Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Kemenko Marves, Dr. Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, KESDM, Kuki H. Soejachmoen.

Galeri acara Peluncuran Brown to Green 2019:

Diskusi Panel: Strategi Indonesia menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050

Menindaklanjuti hasil laporan ini, diskusi panel pun dilakukan dengan mengusung topik Strategi Indonesia Menuju Perekonomian Nir Emisi pada 2050 dan menghadirkan para panelis yang terdiri dari: Kepala Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) – Yose Rizal Damuri; Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Emma Rachmawati; Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang – Saleh Abdurrahman; dan Direktur Eksekutif, IESR – Fabby Tumiwa.

Yose Rizal Damuri, dalam hal ini mengaitkan political will dengan dinamika sosial politik Indonesia yang tidak banyak terafiliasi dengan isu lingkungan. Survei CSIS yang dilakukan di awal tahun mengenai persepsi sosial dan politik terhadap isu emisi menemukan bahwa hanya 1,68% dari 2.000 responden Indonesia yang menjawab bahwa isu lingkungan merupakan salah satu prioritas pembangunan. Yose melanjutkan, di ranah politik, sayang sekali hanya satu partai yang memasukkan kata lingkungan dari visi misi mereka namun sayangnya partai ini tidak masuk ke dalam DPR. Sangat disayangkan politisi – politisi belum banyak berperan di seputar isu lingkungan, padahal mereka punya peran penting dalam memberikan legalitas demi dukungan pendanaan.

Mengamini pernyataan Prof. Emil Salim di keynote speechnya, Yose juga menilai bahwa PLN masih menjadi salah satu penghalang utama untuk pengembangan teknologi energi terbarukan yang berhubungan dengan kelistrikan, karena semestinya menurut Yose, PLN seharusnya bertindak sebagai penyedia jasa bukan sebagai regulator. Political will pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan kendala regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan seperti solar rooftop atau kendaraan listrik.

Menurut pandangan KLHK yang disampaikan oleh Direktur Mitigasi Perubahan Iklim, Emma Rachmawati, kemampuan ekonomi yang dimiliki negara-negara G20 berbeda dari satu dengan yang lainnya. “Kenapa negara berkembang seperti Indonesia kemudian dituntut untuk increase ambition? Indonesia juga mempertanyakan, negara maju penuhi dulu kewajiban nya, jangan lalu dibagi rata menjadi beban negara berkembang.”

“KLK saat ini sedang dalam proses penyusunan roadmap implementasi NDC, dimana NDC dirinci dalam kegiatan di sub-sektor untuk masing-masing sektor. Kita sudah pilah mana yang kemudian bisa dikontribusikan oleh Provinsi dan Kabupaten/ Kota, kemudian oleh swasta, sudah ada dalam road map tersebut. Kemudian juga kemarin kita sudah diskusi mengenai carbon pricing dan bagaimana peran swasta untuk pasar karbon.” imbuh Emma Rachmawati.

Di kesempatan yang sama, Saleh Abdurrahman, Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, merespon wajar jika Indonesia belum mencapai target NDC karena, menurutnya, pertumbuhan GDP Indonesia masih rendah; sehingga kesejahteraan masyarakat Indonesia harus didahulukan dengan terus menumbuhkan sektor manufaktur. Untuk mencapai kesejahteraan Indonesia itu harus bisa menjamin kesejahteraan sosial, maka sektor manufaktur harus terus tumbuh. Sektor manufaktur mendapatkan nilai tambah yang tinggi dan bisa menjangkau pekerja baru sampai 200-300 ribu orang. 

Saleh pun menyatakan bahwa pemerintah tidak dapat melihat kebijakan dalam kurun waktu tahunan (yearly basis), karena kebijakan energi pada khususnya menyangkut sektor riil, dan harus mempertimbangkan faktor ekonomi. Strategi sektor energi dalam menuju nir emisi dapat dilakukan dengan: (i) mencari sumber energi yang memiliki big impact seperti biofuel, (ii) mengoptimalkan energy efficiency, (iii) memaksimalkan PLTS, PLTP, PLTA karena bisa mendorong ekonomi lokal.

Fabby Tumiwa, dalam sesi diskusi panel menyatakan Indonesia sebagai anggota negara G20 tentunya memiliki kondisi ekonomi yang berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat, trajectory yang ada dalam NDC menunjukkan jika kita belum di jalur 1,5°, namun ada di jalur 3° – 4°C dikarenakan Indonesia meningkatkan pembangkit dari minyak bumi cukup masif, dimana sebagian besar dari pembangkit ini baru mulai beroperasi setelah 2023 – 2030 dengan berkekuatan 35.000 MW, meski Indonesia sudah memiliki aset pembangkit energi terbarukan namun tidak on-track sesuai target. Long-term decarbonisation menjadi catatan penting untuk pemerintah Indonesia khususnya BAPPENAS, KLHK dan sektor lain untuk membahas bagaimana target 2050

“Tidak hanya target-target mau turun berapa, tetapi kapan emisi akan peak dan kapan kita bisa mencapai net-zero emission. Ini penting karena bisa melihat apakah kita compatible dengan Paris Agreement.” imbuh Fabby. 


Brown to Green Report 2019 diluncurkan di Jakarta, Hotel Pullman Thamrin 19 Desember 2019.

Materi paparan dari kegiatan ini dapat di unduh di laman agenda 

Anda juga dapat mengunduh: 

Laporan Lengkap Brown to Green 2019 (Bahasa Inggris)

Ringkasan Eksekutif dan Profil Indonesia (Bahasa Inggris)

Laporan Brown to Green 2019 Profil Indonesia (Bahasa Indonesia)

Paris Agreement : Bukti Komitmen Global Untuk Penanganan Perubahan Iklim

Konferensi Perubahan Iklim atau COP 21 Paris akhirnya menyepakati perjanjian baru untuk penanganan perubahan iklim yaitu Paris Agreement sebagai keputusan bersama konferensi pada Sabtu malam (12/12/2015) waktu setempat atau pada Minggu pagi (12/12/2015) waktu Indonesia.

Sebanyak 195 dari 196 negara anggota UNFCCC menyepakati Paris Agreement tersebut sebagai protokol baru yang akan menggantikan Protokol Kyoto sebagai kesepakatan bersama untuk menangani perubahan iklim dengan berbagai aspeknya dan berkomitmen untuk melakukan pembangunan yang rendah emisi.

Konferensi Perubahan Iklim ke-21 Paris Perancis 2015. Sumber : diplomatie.gouv.fr
Konferensi Perubahan Iklim ke-21 Paris Perancis 2015. Sumber : diplomatie.gouv.fr

Berbagai pihak menyambut gembira dengan dihasilkannya Paris Agreement tersebut. Presiden dan CEO World Resources Institute (WRI) Andrew Steer mengatakan perjanjian tersebut menjadi titik balik penanganan krisis perubahan iklim dengan rencana berbagai aksi global untuk pengurangan emisi karbon, mendorong inovasi dan membuat dunia lebih aman untuk anak cucu kita.

Paris Agreement memiliki kekuatan untuk mengirim sinyal yang jelas dan keras kepada pasar ekonomi yang tidak ada jalan untuk kembali dari transisi ke ekonomi zero karbon. Perjanjian tersebut akan membawa kebaikan bagi orang-orang, bagi perekonomian, dan baik untuk planet ini,” kata Steer dalam siaran pers yang diterima Mongabay.

Hasil COP 21 Paris bakal berdampak besar secara global karena didasarkan atas komitmen penanganan perubahan iklim lebih dari 185 negara. “Namun, pekerjaan kita masih jauh dari selesai. Selama bulan-bulan mendatang, kita akan bergabung untuk membangun fondasi yang dibuat dari COP 21 Paris. Pergeseran dari komitmen ke tindakan akan lebih sulit dan perlu tekad yang lebih. Tapi untuk saat ini setidaknya kita bisa mengambil napas karena mengetahui bahwa dunia akan menjadi lebih kuat dan lebih aman untuk anak-anak kita dan generasi mendatang,” katanya.

Sedangkan Jalal, Reader on Political Economy and Corporate Governance Thamrin School of Climate Change and Sustainability mengatakan Paris Agreement merupakan kesepakatan historis untuk menyelamatkan bumi dan umat manusia dari ancaman perubahan iklim.

“Setelah kegagalan di COP-19 Copenhagen 2009, banyak orang skeptis bahwa perundingan perubahan iklim secara multilateral tidak akan berhasil melahirkan kesepakatan yang mengikat secara global. Namun, Paris membuktikan bahwa skeptisisme itu bisa disangkal,” katanya.

Presiden COP 21 Paris, Laurent Fabius (tengah) dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres (tiga dari kiri) meluapkan kegembiraannya setelah Paris Agreement disepakati sebagai keputusan Konferensi Perubahan Iklim ke-21 pada sidang paripurna COP 21 di Paris, Perancis pada Sabtu malam (12/12/2015) waktu setempat. Foto : UNFCCC
Presiden COP 21 Paris, Laurent Fabius (tengah) dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres (tiga dari kiri) meluapkan kegembiraannya setelah Paris Agreement disepakati sebagai keputusan Konferensi Perubahan Iklim ke-21 pada sidang paripurna COP 21 di Paris, Perancis pada Sabtu malam (12/12/2015) waktu setempat. Foto : UNFCCC

Sementara Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Service Reform (IESR) yang hadir dalam COP 21 Paris mengatakan disepakatinya Paris Agreement hari ini menjadi bukti bahwa proses perundingan multilateral masih ada dan semangat kolektif bangsa-bangsa untuk memperjuangkan sesuatu yang bernilai (noble) bagi kemanusiaan.

“Paris ternyata membawa energi yang mampu mendobrak perbedaan kepentingan antara negara kaya dan negara miskin; antara negara maju dan negara yang ekonominya sedang tumbuh. Semangat kerjasama sedemikian kuatnya sejak sebelum Hari H, tetap terjaga sejak awal perundingan, dan terbukti dengan pencapaian kesepakatan itu,” katanya kepada Mongabay melalui surat elektronik.

Dia menjelaskan Paris agreement, pada intinya, merupakan kesepakatan yang bersifat seimbang dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak: negara-negara maju,Alliance of Small Island States (AOSIS), Least Developed Countries (LDCs), dan negara-negara yang bergabung dalam Like Minded Developing Countries (LMDCs).

“Dan tugas menyatukan kepentingan-kepentingan yang berbeda itulah yang dianggap maha-berat. Sehingga, ketika akhirnya tercapai kesepatakan yang bisa menjembatani beragam kepentingan itu, dunia menyaksikannya sebagai sebuah keajaiban,” tambahnya.

Komitmen Indonesia

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang hadir pada konferensi tersebut menyampaikan bahwa memang tidak mudah untuk menghasilkan kesepakatan agar dapat mengakomodasi perbedaan kepentingan antara negara maju dan negara berkembang, termasuk negara kepulauan kecil.

Dalam siaran pers Delegasi RI untuk COP 21 yang diterima Mongabay, Siti menambahkan bahwa alotnya untuk mencapai kesepakatan ini menyebabkan proses negoisasi berlangsung hingga Sabtu malam (12/12/2015).

Siti sangat mengapresiasi komitmen dari para negosiator Indonesia yang terus mengupayakan agar proses negosiasi ini dapat menghasilkan keputusan yang dapat melindungi kepentingan nasional dan rakyat Indonesia.

Siti menegaskan bahwa ada beberapa isu penting yang menjadi perhatian. Pertama, berkaitan dengan ambisi untuk penurunan suhu global, pemerintah harus mengambil posisi tegas dalam mengurangi dampak perubahan iklim dengan tetap memperhatikan pembangunan perekonomian nasional secara berkelanjutan sesuai dengan amanat UU Dasar 1945.

Komitmen Indonesia untuk memperjuangkan kepentingan nasional, lanjutnya, seperti isu kehutanan (REDD+) dan pelaksaan kesepakatan yang berdasarkan kesetaraan dengan tanggung jawab yang berbeda antara negara maju dan berkembang (equity and common but differentiated responsibilities) sudah terakomodasi pada Paris Agreement ini

Sementara itu, berkaitan dengan seberapa besar batas kenaikan suhu global yang harus disepakati, Siti mengatakan posisi Indonesia adalah mendorong agar kesepakatan Paris ini dapat menyepakati batas kenaikan suhu 2 derajat celcius dengan komitment untuk menuju batas kenaikan (moving toward) suhu 1,5 derajat celcius. Upaya ini harus didukung melalui penerapan berbagai upaya terbaik, penguatan tata kelola dan kerjasama, serta memastikan adanya enabling actions yang tepat.

Mengenai pendanaan, Siti Nurbaya mengatakan keberadaan sumber daya pendanaan yang berkelanjutan dan predictable juga menjadi perhatian dari delegasi berbagai negara. Ketersedian pendanaan merupakan salah satu enabling condition dari keberhasilan pelaksanaan upaya global dalam pengendalian perubahan iklim, khususnya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang.

“Indonesia menyatakan bahwa negara maju shall provide financial resources dan other party may on voluntary basis provide resource. Indonesia mengusulkan finansial untuk perubahan iklim diluar dari ODA (official development assistance merupakan skema bantuan yang diperuntukkan bagi negara berkembang dari negara maju yang selam ini telah dilakukan). Disamping itu kelembagaan dan upaya untuk mendukung transparansi juga menjadi salah satu isu krusial yang akan disepakati dalam Konferensi ini,” katanya.

Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim yang hadir bersama dengan Menteri LHK mengatakan bahwa pada konferensi ini, selama proses negosiasi, Indonesia telah memainkan peran sebagai poros antar berbagai kepentingan yang ada diantara para pihak yang berkepentingan terhadap kesepakatan-kesepakatan konferensi perubahan iklim ini.

Sumber: mongabay.co.id.

Konferensi Iklim di Paris Dinilai Lamban dan Kurang Gereget

Ratusan aktivis lingkungan mengatur tubuh mereka untuk membentuk tulisan pesan harapan di depan Menara Eiffel di Paris, Prancis, 6 Desember 2015. Diferensiasi yang merupakan kategorisasi tingkat ekonomi negara dan tanggung jawabnya dalam upaya mengatasi perubahan iklim adalah isu paling alot yang diperdebatkan di COP21. Negara maju ingin tanggung jawab penurunan emisi gas-gas rumah kaca juga dipikul semua negara. REUTERS/Benoit Tessier
Ratusan aktivis lingkungan mengatur tubuh mereka untuk membentuk tulisan pesan harapan di depan Menara Eiffel di Paris, Prancis, 6 Desember 2015. Diferensiasi yang merupakan kategorisasi tingkat ekonomi negara dan tanggung jawabnya dalam upaya mengatasi perubahan iklim adalah isu paling alot yang diperdebatkan di COP21. Negara maju ingin tanggung jawab penurunan emisi gas-gas rumah kaca juga dipikul semua negara. REUTERS/Benoit Tessier

TEMPO.CO, Paris – Pekan pertama Konferensi Tingkat Tinggi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Paris atau COP21 menyisakan banyak ketidakpuasan.  Banyak peserta kesal dengan sikap sebagian pemerintah anggota UNFCCC yang masih berkukuh dengan kepentingannya masing-masing.

“Konferensi Paris ini slow banget, kurang gereget, dan para negosiator tak gigih. Posisi pemerintah kalah dengan korporasi besar yang siap melakukan penurunan emisi dengan penerapan teknologi bersih dan aksi-aksi mitigasi lainnya,” kata Avi Mahaningtyas, aktivis lingkungan yang mengikuti Conference of Parties (COP) Ke-21 di Paris, Minggu, 7 Desember 2015.

Menurut Avi, negosiasi pada COP sebelumnya selalu alot hingga tengah malam. Diskusinya juga berlangsung panas. Namun kali ini, katanya, jam sembilan malam tak ada lagi sidang COP. Dia menduga salah satu penyebabnya adalah karena sejumlah negara menerjunkan negosiator yang minim pengalaman.

Memang persidangan pekan pertama COP masih berputar pada perdebatan untuk  mengakomodasi prinsip responsibility (tanggung jawab menurunkan emisi gas-gas rumah kaca) dan capability(kemampuan tiap negara melakukan penurunan emisi) yang dapat diterima semua pihak. “Dua hal itu bakal merefleksikan keadilan dan kesetaraan dalam perjanjian yang tercapai di akhir pertemuan nanti. Termasuk dalam pembahasan pendanaan iklim (climate financing),” kata Efransjah, CEO WWF Indonesia yang hadir di Paris.

Isu besar yang mengganjal adalah target jangka panjang penurunan emisi di atmosfer. Perdebatan keras antara kelompok negara yang ingin batas kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius dan kelompok yang bersikukuh batas kenaikan suhu global adalah 1,5 derajat. Negara miskin dan kepulauan bakal terkena dampak paling parah jika kenaikan suhu global terlalu tinggi.

Delegasi Indonesia, kata Efransjah, perlu mempertimbangkan batas aman dengan dukungan tegas agar batas kenaikan suhu global yang disepakati berada di bawah dua derajat. Hal ini, ujarnya, untuk menghindari dampak perubahan iklim yang parah, khususnya bagi negara-negara kepulauan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menepis kekesalan para koleganya. Menurutnya, pekan pertama setiap COP memang selalu berlangsung lamban karena setiap negara memang saling lihat terlebih dulu. Pada pekan lalu terjadi perdebatan keras antara kelompok negara LMDC (Like Minded Developing Countries), seperti  India dan Cina, dandeveloped countries.

“Indonesia berada di tengah-tengah, tapi dalam konteks tertentu berpihak pada negara berkembang, misalnya dalam hal dukungan negara maju untuk implementasi,” kata Fabby yang menjadi negosiator delegasi Indonesia.

Utusan Khusus Presiden Indonesia Bidang Perubahan Iklim Rahmat Witoelar menjelaskan posisi Indonesia adalah poros yang diterima semua pihak. Di kelompok  G-77 dan Cina (kelompok negara-negara berkembang), katanya, Indonesia juga menjadi kekuatan penting. “Indonesia dan negara-negara berkembang jelas tidak mau jika dituntut terlalu tinggi oleh negara maju,” katanya.

UNTUNG WIDYANTO (PARIS)

Sumber: tempo.co.

Pengamat : Jangan Alihkan Kasus Setya Novanto dengan Membentuk Pansus Freeport

Sejumlah massa menggelar aksi unjuk rasa terkait kasus pencatutan nama Presiden RI oleh Ketua DPR Setya Novanto di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/11/2015). Aksi tersebut menuntut Ketua DPR Setya Novanto untuk mundur dari jabatannya serta menuntut untuk segera kocok ulang jabatan Pimpinan DPR. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sejumlah massa menggelar aksi unjuk rasa terkait kasus pencatutan nama Presiden RI oleh Ketua DPR Setya Novanto di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/11/2015). Aksi tersebut menuntut Ketua DPR Setya Novanto untuk mundur dari jabatannya serta menuntut untuk segera kocok ulang jabatan Pimpinan DPR. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa meminta agar kasus dugaan pelanggaran etik Ketua DPR Setya Novanto tidak dialihkan ke pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Freeport.

Apalagi, menurut Fabby, pembentukan pansus Freeport juga tidak relevan.

“Karena tidak ada kasus yang extraxordinary,” tegas Fabby kepada Tribunnews.com, Selasa (1/12/2015).

“Intinya, pembentukan kasus tidak perlu karena pada dasarnya tidak ada dasar dan indikasi pelanggaran dalam kasus Freeport. Persoalan utama adalah pelanggaran etika Setya Novanto,” dia menambahkan.

Karena substansi kasus adalah dugaan pelanggaran etik Setya Novanto, maka Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang layak memprosesnya, bukan dalam forum Pansus.

“Jangan dialihkan kasus MKD ini dengan usulan pembentukan pansus,” ujarnya.

Karenanya, dia mendorong agar proses di MKD segera dilakukan tanpa menunda-nundanya lagi.

Sumber: Tribunnews.

Dipuji, Upaya Menteri ESDM Ungkap Politisi yang Catut Nama Jokowi dan JK ke Freeport

menteri esdm
menteri esdm

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms (IESR), Fabby Tumiwa, percaya fakta seperti disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.

Menteri ESDM menyebut ada tokoh politik yang sangat berkuasa mencoba menjual nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kepada Freeport.

“Saya percaya bahwa itulah yang terjadi. Banyak pihak yang mencoba mencari keuntungan dari keinginan Freeport mendapatkan perpanjangan kontrak,” ujar Fabby kepada Tribunnews.com, Rabu (11/11/2015). Kata Fabby, bukan hal yang baru pola tokoh politik yang mencatut nama Presiden dan Wapres untuk kepentingan pribadi semata-mata. “Itu bukan hal baru kan? Dari dulu pejabat kan minta jatah tanpa malu-malu,”jelasnya.

Karena itu, dia memuji Menteri ESDM berani membuka fakta ini ke publik. “Sekarang saja menteri berani buka. Dulu diam saja kan,” ujarnya. Pengamat pertambangan dan listrik ini juga menilai sikap dan langkah Menteri ESDM atas Freeport selama ini telah tepat. “Saya kira Menteri ESDM sudah merespon dengan baik atas situasi Freeport,” ucapnya. “Ikut saja prosedur yang ditetapkan peraturan dan tidak perlu mengacuhkan tekanan dari politisi-politisi tersebut,” tandasnya memotivasi Sudirman Said.

Sebelumnya, Sudirman menuturkan dengan mencatut nama Presiden dan Wapres, politisi itu menjanjikan ke Freeport agar kontrak bisa segera diberikan.

“Seolah-olah Presiden minta saham. Wapres juga dijual namanya. Saya sudah laporkan kepada keduanya. Beliau-beliau marah karena tak mungkin mereka melakukan itu,” ujar Sudirman Saidseperti dikutip dalam acara Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV dan dikutip Kompas, Selasa (10/11/2015).

Namun, dia mengaku tak bisa menyebut siapa politisi yang coba menjual nama dua pimpinan tertinggi republik itu. Hanya, Sudirman mengatakan bahwa orang itu cukup terkenal. Selain mencoba menjual nama Presiden dan Wapres, Sudirman menyebut orang itu juga meminta proyek pembangkit listrik di Timika dan meminta bagian saham Freeport. “Saya berani mengatakan, karena terjadi dua kali diskusi dan (dia atau mereka) dua kali konsisten mengatakan, ‘Saya bisa.

Sumber: TRIBUNNEWS.COM.

Studi : Perubahan Iklim Mengancam Pembangunan Indonesia

Ross-Island

Jakarta – Di tahun 2050, Indonesia akan mengalami dampak perubahan iklim yang lebih berat berupa cuaca ekstrim diantaranya meningkatnya intensitas angin puting beliung, gelombang panas (heat waves) dan kekeringan yang sangat sulit untuk ditanggulangi, demikian menurut laporan terbaru Bank Dunia (World Bank) yang menganalisis dampak perubahan iklim di wilayah Asia Tenggara.

Laporan, Turn Down the Heat – Climate Extremes, Regional Impacts and the Case for Resilience – yang baru diluncurkan Bank Dunia pada tanggal 19 Juni 2013, mengingatkan bahkan kenaikan temperatur sebesar 2 derajat C sejak masa pra-industri akan memberikan tantangan yang sangat besar bagi pembangunan di sebagian besar wilayah Indonesia.

Namun, apabila kenaikan temperatur menjadi 4 derajat C, dampak perubahan iklim di Indonesia akan bertambah parah; beberapa di antaranya adalah terjadinya badai tropis yang lebih ekstrim dan memberikan dampak signifikan pada sektor-sektor pariwisata, bisnis, dan pertanian.

Studi terkini Bank Dunia ini menunjukkan bahwa kawasan Asia Tenggara akan menghadapi dampak yang serius dengan kenaikan temperatur termukaan bumi 2 derajat C sampai 4 derajat C. Pesisir pantai di seluruh kawasan Asia Tenggara akan mengalami kenaikan air laut 10-15 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata kenaikan muka air laut global. Kenaikan temperatur sebesar 4 derajat C akan menyebabkan kota-kota yang terletak dipesisir dengan kepadatan populasi yang tinggi akan terpapar oleh intensitas badai yang meningkat, kenaikan permukaan air laut dalam jangka panjang, serta banjir di pesisir seketika (sudden onset).

Kenaikan muka air laut 50 cm lebih tinggi dari tinggi muka laut saat ini pada tahun 2050, dan 100 cm di tahun 2090. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bangkok, Ho Chi Minh, Manila, dan Yangon, dan kota-kota lain yang terletak di pesisir diproyeksikan menjadi kota-kota yang terkena dampak paling besar.

Risiko kenaikan muka air laut yang lebih besar juga terjadi akibat penurunan tanah (land subsidence) di kawasan pesisir pantai, seperti yang terjadi di Semarang. Diperkirakan daratan seluas 2,227 ha di wilayah pesisir kota Semarang akan berada di bawah permukaan air pada tahun 2020.

Laporan tersebut juga memprediksi terjadinya penipisan stok ikan di laut Jawa, dikarenakan kenaikan temperatur air laut serta menurunnya kadar oksigen, yang akan menyebabkan menurunnya populasi ikan di tahun 2050. Hal ini dapat berimbas pada pendapatan masyarakat yang bergantung pada perikanan laut, dan ketersediaan bahan pangan bagi penduduk di Pulau Jawa.

Intrusi air laut juga diperkirakan terjadi secara lebih luas. Dalam kasus wilayah Sungai Mahakam, diperkirakan intrusi air laut dapat meningkat 7-12 persen pada skenario 4 derajat C. Intrusi air laut diyakini dapat mengakibatkan dampak pada kesehatan manusia diantaranya darah tinggi, keguguran, infeksi pernapasan akut, dan diare.

Koordinator Indonesia Climate Action Nerwork (ICAN) dan juga Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan bahwa pemerintah, kalangan bisnis/swasta dan masyarakat umum harus menanggapi serius dampak jangka pendek dan panjang dari perubahan iklim yang berpotensi menghambat kemajuan pembangunan, meningkatkan kemiskinan, dan meningkatkan biaya mitigasi dan penanggulangan bencana yang dapat menggerus sumberdaya keuangan negara.

ICAN juga menekankan bahwa kegiatan adaptasi perubahan iklim sudah semakin mendesak untuk dilakukan di Indonesia. Adaptasi perubahan iklim harus diintergrasikan dalam strategi dan rencana pembangunan di pusat dan daerah.

Fabby mengkritik lambatnya penyelesaian dan sosialisasi Rencana Aksi untuk Adaptasi Perubahan Iklim untuk Indonesia. Padahal di beberapa tempat di wilaya Indonesia, masyarakat sudah mengalami dampak perubahan iklim, terutama untuk masyarakat pesisir yang tak jarang kehilangan mata pencaharian mereka.

Pentingnya melakukan adaptasi bulan berarti melupakan kegiatan mitigasi. Dengan melakukan mitigasi sejarang maka akan semakin sedikit upaya adaptasi yang diperlukan, sehingga akan menghindari terjadinya kerusakan permanen. Biaya untuk melakukan mitigasi saat ini, akan lebih murah daripada biaya untuk melakukan adaptasi.

Kelalaian dalam melakukan mitigasi dan lambatnya adaptasi perubahan iklim akan berdampak pada kerugian sosial ekoomi dan lingkungan yang tidak dapat dikembalikan lagi (irreversible).

Indonesia telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen dibandingkan dengan Busiess as Usual dengan dana sendiri dan akan menambahkan 15 persen lagi jika ada bantuan dana dari luar yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No 61 tahun 2011 tentang rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan telah ditindaklanjuti dengan terbitnya DAD-GRK di sebagian besar provinsi di Indonesia. Namun, setelah dua tahun semenjak peluncurannya, RAN-GRK maupun RAD-GRK belum diimplementasi secara penuh.

Banyak instansi kementrian dan lembaga serta Pemerintah Daerah belum dapat melaksanakan rencana tersebut karena faktor perencanaan, kapasitas, dan pendanaan. Situasi ini tentunya berdampak pada efektivitas emisi GRK yang dapat dikurangi.

ICAN mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk dapat mengimplementasikan RAN GRK serta RAD GRK secepatnya dan dilakukan secara konsisten. Walaupun hingga saat ini Indonesia bukanlah negara yang wajib menurunkan emsi GRK tetapi hasil penurunan emisis GRK di Indonesia dapat mmberikan kontribusi positif terhadap upaya penurunan emisi global dan mengurangi resiko kenaikan rata-rata temperatur melebih 2 derajat C bahkan 3 derajat C.

Sumber: beritasatu.com.

ASEAN Forum : Menyebarkan Inisiatif Tata Kelola Sumber Daya Alam ke Wilayah ASEAN

Jakarta. Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Pusat Studi ASEAN, Universitas Indonesia menyelenggarakan ASEAN Forum on Natural Resources Governance: Toward ASEAN Economic Community 2015 and beyond yang berlangsung di Jakarta, tanggal 17 April 2013.

Forum yang dihadiri oleh enam puluh peserta yang mewakili pihak pemerintah, kelompok masyarakat sipil, dunia usaha dan universitas ini bertujuan untuk berbagi pengalaman para pihak yang telah mendorong upaya perbaikan pengelolaan sumber daya alam di kawasan, serta mendorong ASEAN untuk menyiapkan prinsip-prinsip tata kelola sumber daya alam yang baik menjelang terbentuknya ASEAN Economic Community di tahun 2015.

“ASEAN Charter telah menyatakan bahwa tata kelola yang baik merupakan prinsip dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam agar proses pembangunan dapat berjalan secara berlanjutan” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam pembukaanya.

Dari kiri ke kanan: Jose Melvin (Bantay Kita), Hendra Sinadia (IMA) dan T Nirarta Samadi (UKP4)

Forum ini menghadirkan sejumlah pembicara seperti T. Nirarta Samadi, Wakil Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang membahas tentang upaya pemerintah Indonesia mendorong keterbukaan informasi melalui pengembangan portal peta digital “One Map” dalam program Open Government Partnership (OGP).

Dengan peta one map ini seluruh data mengenai wilayah pertambangan, hutan, dan lahan gambut dintegrasikan secara digital, dan memungkinkan masyarakat mengakses berbagai informasi seperti peraturan pemerintah, wilayah sumber daya alam dan pihak-pihak yang berwenang dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Selain mengintegrasikan data dari Kementerian Lingkungan, Energi dan Sumber daya Mineral serta Kehutanan, peta ini juga memungkinkan masyarakat untuk mengakes dan memberikan informasi terkini mengenai kondisi yang terjadi di lapangan, seperti koreksi wilayah konsensi hutan yang dilakukan oleh LSM Green peace dan komunitas GIS Indonesia. Peta ini juga dipantau oleh lebih dari 80 perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan dan perkebunan” jelas Samadi.

Hendra Sinadia dari Asosiasi Pertambagan Indonesia menambahkan, koordinasi data yang disediakan peta digital bisa menjadi langkah awal perbaikan untuk perbaikan tata kelola sumber daya alam, khususnya pertambangan, namun untuk langkah selanjutnya perlu dilakukan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Hendra juga menyoroti kasus yang terjadi di Indonesia dimana juga perlu dilakukan secara sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti yang terjadi di Indonesia, sejak diberlakukannya otononomi daerah, kekuasaan pengelolaan tambang berpindah dari pusat ke daerah, namun kondisi ini tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas dalam pengelolaan tambang.

“Pertambangan menjadi komoditas politik bagi pemerintah daerah, dengan mengeluarkan berbagai macam ijin pertambangan tanpa menghiraukan prinsip-prinsip dasar pengelolaan tambang seperti daya dukung lingkungan.

Secretary Elisia “Bebet” Gozun,

Sementara di Filipina, buruknya pengelolaan pertambangan telah menimbulkan berbagai dampak negatif, mulai dari kerusakan lingkungan hingga konflik sosial dan politik yang melibatkan masyarakat adat, perusahaan, pemerintah dan aparat keamanan. Pertambangan juga dianggap sarang praktek korupsi dan menimbulkan proses kemiskinan yang berkepanjangan.

“Pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi dalam Extractive Industry Transparansi Initiative (EITI)merupakan bukti komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dan kemiskinan, EITI juga mendorong terbukanya pintu dialog antara pemerintah, kelompok masyarakat sipil dan perusahaan untuk mendorong perbaikan pengelolaan tambang”ujar Elisia “Bebet” Gozun, Penasihat Presiden untuk Perubahan Iklim dan ketua Tim Pelaksana EITI Filipina.

Ditambahkan oleh Jose Melvin, anggota koalisi masyarakat sipil Filipina, Bantay Kita, penerapan prinsip transparansi juga harus dilakukan sejak awal proses pengolahan pertambangan, dengan memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat megngenai rencana pertambangan dan konsekwensi dan dampak kegiatan pertambangan terhadap kehidupan dan lingkungan mereka

“Pemerintah dan perusahaan harus konsisten untuk menerapkan prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) dan melibatkan masyarakat untuk membuat keputusan, apakah mereka setuju atau tidak setuju dengan kegiatan pertambangan. Prinsip ini harus menjadi pedoman bagi semua pihak, sehingga tidak ada pemaksanaan dalam kegiatan pertambangan.”tegasnya

Industri Ektraktif untuk masa depan

Forum ini juga mempresentasikan hasil scoping study mengenai tata kelola industri ektraktif di lima negara di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Kamboja, Vietnam, Myanmar dan Timor Leste.

Dalam presentasinya, Direktur Eksekutif Energy Analystics and Consulting menjelaskan industri ekstraktif merupakan merupakan sumber bagi pendapatan utama bagi negara-negara di kawasan ini. Namun pengelolaan yang tidak transparan telah mendorong para pemimpin negara di kawasan ini menggunakan sumber daya alam sebagai komoditas ekonomi dan politik yang hanya menguntungkan segelintir golongan.

Pemerintah di negara kaya sumber daya, cenderung untuk memberikan subsidi energi yang tinggi bagi warga negarannya, ketimbang penerapkan kebijakan pajak. Akibatnya, masyarakat kehilangan kekuatan untuk mengawasi dan mendesak pemerintah menjalankan program pembangunan yang sehat dan akuntabel.

“Penerapan EITI adalah salah satu inisiative untuk mendorong perbaikan tata kelola tersebut, tapi pemerintah juga perlu menyiapkan pengelolaan dana yang transparan dan akuntabel dalam bentuk Sovereign Wealth Fund untuk memastikan bahwa negara tetap memiliki sumber keuangan bagi pembangunan jangka panjang dan generasi mereka di masa depan” Ujar Doshi.

Dari kiri ke kanan: Professor Zainuddin Djafar (Universitas Indonesia), Dr. Tilak K. Doshi (National University of Singapore) and Evy Firiani Ph.D (Universitas Indonesia)

Selain itu, tambanya, pemerintah juga harus membentuk badan pengatur sumber daya alam yang independen, menyiapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang jelas, termasuk menentukan badan, tingkat pemerintah dengan wewenang yang jelas, serta penerapan hukum yang jelas dan berlaku pada semua pihak untuk mendorong iklim investasi yang sehat bagi investasi asing dan lokal.

“Pemerintah juga harus mendorong perusahaan nasional yang mengelola sumber daya alam secara professional yang menjamin kedaulatan energi dan keuntungan buat negara,” tegasnya

Professor Zainuddin Djafar dari Universitas Indonesia menambahkan, selain mendorong perbaikan pengelolaan sumber daya alam secara teknis, pemerintah juga perlu mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk lebih mandiri dan tidak bergantung pada kekayaan alam saja” ujar Djafar.

Forum ini juga memberikan rekomendasi bagi pemerintah ASEAN untuk menyiapkan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan aspek perlindungan pada hak asasi manusia, lingkungan, pembagian keuntungan yang adil serta transparansi dan akuntabilitas

Materi Presentasi dapat diunduh di halaman berikut:

  1. Extractive Industries Governance in Southeast Asia
  2. The Philippines Experiences in improving transparency and management in Mining Sector.
  3. Indonesia Country Lesson: Transparency, Participation and Innovation in Natural Resources Management

 

COP 18 – Minggu 2 : Strong Political Decisions Are Highly Needed!

COP 18aCOP 18 merupakan salah satu COP yang paling penting di dalam sejarah dimulainya negosiasi mengenai perubahan iklim. Protokol Kyoto menghadapi akhir dari periode pertamanya, dengan kelanjutan periode yang kedua dimana negara-negara yang seharusnya meletakkan komitmen penurunan emisinya, satu per satu berguguran. Jepang yang mengedepankan masalah ketahanan energi mereka semenjak peristiwa Fukushima menyatakan tidak sanggup untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka. Kanada yang menyatakan tidak tertarik, Rusia yang juga menyatakan akan mundur.

Anehnya, masalah hot air kemudian muncul ke permukaan di area Ad hoc Working Group on Kyoto Protokol, tentang penggunaan carry over hot air ke periode komitmen kedua. Bahkan, ada skenario untuk melanjutkan hot air setelah tahun 2020. Tidak menemukan solusi, masalah hot air ini sepertinya akan diteruskan ke pihak dengan otoritas lebih tinggi, yaitu pemimpin-pemimpin negara yang berkepentingan di minggu ke-2 ini.

Masalah lain yang juga akan menjadi sangat panjang adalah pendanaan. Keputusan mengenai pendanaan terlihat terombang-ambing seiring dengan akan ditutupnya LCA. Padahal, sebagai Ad hoc Working Group yang seharusnya keluar dengan ‘means of implementations’ dari komponen-komponen Bali Action Plan, LCA harus mengeluarkan mandat yang jelas mengenai mitigasi dan pendanaan.

Adaptasi sendiri, kebanyakan komponennya sudah mulai mendiskusikan masalah teknis pelaksanaannya (seperti loss and damage, pembuatan National Adaptation Plans, dan yang terkait). Sementara di mitigasi, keluaran dari Decision 1/CP 13 untuk pasal 1bi (peningkatan ambisi mitigasi negara maju) dan 1bii (peningkatan ambisi mitigasi negara berkembang), harus menghadapi tembok yang tinggi.

Tuntutan bagi negara berkembang semakin tinggi dengan keharusan pengembangan MRV untuk mitigasi dan juga MRV support (pendanaan khususnya), serta format pelaporan setiap 2 tahun dengan format yang akan disepakati di tingkat internasional. Dengan tuntutan yang lebih tinggi, namun tidak ada komitmen pendanaan konkrit oleh negara-negara maju, hal ini menimbulkan kesulitan bagi negara berkembang.

Hal ini juga menyalahi konvensi, dimana konvensi dengan jelas menyatakan bahwa negara maju HARUS mengambil tongkat kepemimpinan dalam melakukan pledges, baik mitigasi dan kegiatan-kegiatan pencapaian tujuan tertinggi konvensi dalam mencegah kenaikan temperatur bumi hingga, 2 derajat celcius. Transfer teknologi menemui kendalanya untuk masalah IPR (Intellectual Property Right).

COP 18bEquity menjadi masalah krusial lainnya. Proposal pimpinan sidang LCA, untuk membentuk Work Programme on Equity dengan masa kerja 2 tahun dan akan memberikan feed-in kepada ADP, banyak mendapatkan kontroversi dari Parties.

Dua tahun masa kerja dari WP yang tidak memiliki kekuatan politik akan menjadi terlampau lama, setelah dua tahun kerjanya, sudah tahun 2014, sedangkan di tahun 2015, mandat dari ADP sudah habis, dan pada tahun 2015 juga, sebuah instrumen yang mengikat secara hukum, sudah harus disepakati. Equity sebenarnya bukan isu yang baru, namun, sebagai salah satu prinsip konvensi yang berulang kali berusaha untuk dihilangkan, equity menjadi prinsip konvensi yang harus dipertahankan dan harus dimasukkan, serta diterapkan, baik secara politik maupun teknis, di dalam kegiatan-kegiatan pre-2020 dan post 2020.

LCA menjadi sangat krusial dengan beberapa outstanding issues yang belum diselesaikan, belum menemukan ‘rumah’nya untuk kelanjutan diskusi. Sedang Protokol Kyoto, merupakan satu-satunya instrumen yang memiliki kekuatan legal, serta komponen environmental integrity; walaupun harus diakui, komponen environmental integrity yang dimiliki, jauh dari sempurna. ADP membuka sebuah lembaran baru untuk sebuah instrumen legal setelah tahun 2020.

Jika Protokol Kyoto kemudian ‘dimatikan’ di Doha, maka dunia ini tidak lagi memiliki instrumen berkekuatan legal sebelum tahun 2015, dan belum dapat ‘diaktifkan’ sebelum tahun 2020. Selama periode tersebut, akan berapa banyak lagi emisi yang dihasilkan, dan entah seperti apa dampak-dampak perubahan iklim yang dialami oleh berbagai macam negara di dunia?

Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami oleh negara berkembang saja; negara maju pun mengalaminya. Perbedaannya adalah kemampuan negara maju dalam ‘mengembalikan’ kehidupan mereka, jauh lebih tinggi dari negara berkembang, terutama dari segi kemampuan ekonomi. Dengan jumlah pulau lebih dari 13.000 di Indonesia, berapa banyak dana yang harus dikeluarkan oleh Indonesia untuk mengembalikan kondisi suatu propinsi ke tingkat kehidupan yang semula, seperti sebelum dampak perubahan iklim, belum terjadi?

Political will sangat diperlukan di minggu ke-2 ini, terutama karena negara maju diharapkan untuk mengambil tongkat kepemimpinan dalam mencapai tujuan tertinggi dari konvensi, untuk menjaga kenaikan temperatur bumi tidak melebihi 2 C. Apabila para pemimpin negara maju tidak memberikan sinyal positif dalam aspek ini, kepercayaan dari negara berkembang pada negara maju, sepertinya akan hilang.