Penyelamatan Bumi dimulai dari Rumah

Artikel ini dimuat di Majalah Good Housekeeping, edisi Juli yang berisi tentang hal-hal dan kebiasaan yang dapat dilakukan di rumah untuk mengurangi penggunaan energi, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca, dan mengurangi terjadinya perubahan iklim. Continue reading

Nih…Cara Menghitung Jejak Karbon di Rumah Anda!

Pada kalkulator jejak karbon ini akan dicontohkan kegiatan sehari-hari manusia yang menghasilkan karbondioksida (C02).

KOMPAS.com – Lingkungan dan rumah hijau bisa terwujud bila didukung perilaku hijau penghuninya. Karena tanpa sadar, orang meninggalkan jejak karbon di setiap aktivitas hariannya, yang kemudian menyumbang emisi gas rumah kaca.Continue reading

Pertemuan RIO+20 Hadapi Korporasi, Masyarakat Tak Terlindungi

Jakarta, Kompas – Dokumen keluaran Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB di Rio de Janeiro, 20-22 Juni 2012, dinilai kian melemahkan perlindungan terhadap masyarakat sipil. Masyarakat dihadapkan langsung pada korporasi-korporasi besar dalam kerangka mekanisme pasar. Nyata bahwa peran negara dilucuti.

Demikian antara lain diskusi media dengan Organisasi Masyarakat Sipil di Jakarta, Selasa (12/6). Narasumber adalah Koordinator Forum Masyarakat Sipil (CSF) Siti Maemunah, aktivis Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Rakyat (Kiara) Mida Saragih, peneliti pada Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Dyah Paramita, anggota Divisi Perempuan dan Konflik Sumber Daya Alam dari Solidaritas Perempuan (SP) Aliza Yuliana, serta Nika dari Institute for Essential Services Reform (IESR).

”Dari dokumen yang diajukan Indonesia untuk dokumen ’Future We Want’, peran negara dilucuti, dilemahkan,” kata Dyah. Sementara isi deklarasi tahun 1992 pada Konferensi Lingkungan dan Pembangunan di Rio cukup bagus. Ada 27 prinsip kuat yang mendorong perlindungan hukum di tingkat internasional dan nasional.

Saat ini, rakyat dihadapkan langsung dengan korporasi besar, transnasional tanpa perlindungan pemerintah. Semua diserahkan kepada mekanisme pasar.

Menurut Dyah, dokumen yang bakal keluar dari Konferensi Rio+20 bisa dikatakan mundur. ”Sudah 20 tahun sejak dokumen 1992, mestinya sekarang berbicara implementasi untuk menindaklanjuti, bukan memperbarui komitmen lagi,” katanya.

Tujuan Konferensi Rio+20 antara lain memperbarui komitmen pembangunan berkelanjutan dan membangun kelembagaan demi mencapainya.

Penghancuran lingkungan

Menurut Siti Maemunah, sepuluh tahun terakhir di Indonesia justru terjadi penghancuran lingkungan secara berkelanjutan. ”Indonesia dipuji karena pertumbuhan ekonominya 4-8 persen setahun, tetapi hanya 4 juta orang yang mapan dengan gaji Rp 250 juta hingga Rp 500 juta per tahun. Ada kesenjangan sosial luar biasa. Lebih kurang 56 persen aset negara dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia,” ujarnya.

Di lapangan, pemberian konsesi marak untuk pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan pertanian skala besar. ”Pulau-pulau kecil dan kelautan diberikan kepada konglomerat dan korporasi transnasional,” ujarnya.

Mida mengungkapkan fakta- fakta dalam perkara kelautan dan pesisir. Hal itu di antaranya perubahan fungsi mangrove di Langkat, Sumatera Utara, yang menjadi perkebunan kelapa sawit. Sementara Nika dari IESR menegaskan perlunya pencapaian program akses energi untuk semua agar tercipta tahun 2030.

Keprihatinan juga muncul karena pada dokumen usulan Indonesia sama sekali tak menyinggung soal jender. ”Perempuan berisiko besar menanggung dampak kerusakan sumber daya alam dan lingkungan,” ujar Aliza.

Kemarin, masyarakat sipil menyerukan lima hal penting komitmen negara-negara peserta Konferensi Rio+20 untuk memikirkan nasib penghuni bumi.
Sumber: Kompas.com.

Kutukan Sumber Daya Alam di Indonesia – Sekilas Pandang

Selama dua hari Kompas menjadikan pertambangan sebagai tema besar berita-berita mereka. Dengan apik Kompas mengangkat sejumlah isu yang amat meresahkan di sektor pertambangan. Sebut saja maraknya pertambangan emas yang telah mengubah topografi pulau Buru dan membuat resah masyarakat adat di sana (Kompas, 20/02). Atau masalah izin-izin pertambangan di daerah yang dianggap hanya menguntungkan pejabat sementara meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan masalah bagi masyarakat di sekitar tambang. Tulisan ini kemudian berupaya untuk mengajak saudara melihat gambaran yang lebih besar mengenai masalah pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.Continue reading

EITI Diterima dalam Kerjasama Mineral ASEAN

Pertemuan Menteri-Menteri Bidang Mineral ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting on Mineral/AMMin) yang diselenggarakan di Hanoi, Vietnam, 9 Desember 2011 mengesahkan ASEAN Mineral Cooperation Action Plan (AMCAP) 2011-2015: Dynamic Mineral Sector Initiative for Prosperous ASEAN. AMCAP yang baru ini merupakan rencana aksi implementasi kerjasama mineral di kawasan ASEAN. Hingga lima tahun mendatang.

Dalam pertemuan yang dipimpin oleh H.E. Nguyen Minh Quang, Menteri Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vietnam, para Menteri Mineral negara-nengara ASEAN secra aklamis menerima usulan dari Indonesia untuk menyelenggarakan serangkaian kegiatan pengembangan kapasitas (capacity building) tentang Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) di ASEAN sebagai bagian dalam program kerja AMCAP 2011-2015.

Pertemuan Tingkat Menteri di Hanoi merupakan puncak dari serangkaian pertemuan selama empat hari sejak 6 Desember 2012, yang dimulai dengan pertemuan ke-8 empat kelompok kerja ASOMM, diikuti dengan Pertemuan Pejabat Senior ASEAN untuk Mineral (ASOMM) ke-11, ASOMM + 3 (Cina, Korea Selatan dan Jepang) ke-4, ditutup dengan AMMin ke-3.

Delegasi Indonesia di ASOMM ke-3 dipimpin oleh Dr. Ir. Hadiyanto, MSc, Staf Ahli Menteri ESDM bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis. Sedangkan pimpinan delegasi Indonesia di AMMin adalah Wakil Menteri ESDM, Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo. Dirjen Mineral dan Batubara KESDM adalah focal point kerjasama Mineral ASEAN di Indonesia.

Sehubungan dengan agenda keketuaan Indonesia di ASEAN yang baru saja berakhir pada KTT bulan November lalu, delegasi Indonesia sebelumnya telah mempersiapkan proposal untuk memasukan EITI didalam AMCAP 2011-2015. Sebelum disampaikan di ASOMM dan AMMin, usulan tersebut terlebih dahulu dikomunikasikan dengan Vietnam sebagai Ketua ASOMM ke-11 dan Sekretariat ASEAN yang memfasilitasi seluruh rangkaian proses.

Sebagai bagian dari delegasi Republik Indonesia, tim EITI Indonesia yang rangkaian sidang kerjasama mineral ASEAN di Hanoi terdiri dari Bambang Adi Winarso, Asdep bidang Minyak Bumi, dan Agus Wibowo dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, serta Erry Riyana Hardjapekas, Chandra Kirana, Ananda Idris, dari sekretariat EITI Indonesia, dan Fabby Tumiwa, anggota tim asistensi EITI ASEAN, yang juga Direktur Eksekutif IESR serta Lumondang Harahap dari Kementerian Luar Negeri.

Memasuki hari pertama, delegasi RI menyampaikan usulan EITI di dalam pertemuan kelompok kerja, diantaranya Investasi dan Perdagangan (Trade and Investment), Pengembangan Kapasitas (Capacity Building), Pertambangan yang Berkelanjutan (Sustainable Mining), dan Data dan Informasi (Data and Information).

Setelah usulan Indonesia mendapatkan persetujuan di tingkat kelompok kerja, di sidang ASOMM ke-3, Ketua Tim Formatur EITI Indonesia, Erry Riyana Hardjapamekas, mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan presentasi tentang EITI secara umum dan usulan Indonesia. Hasilnya proposal Indonesia diterima dan ditetapkan untuk dimasukkan kedalam rancangan AMCAP 2011-2015 yang dipersiapkan untuk disetujui oleh para Menteri.

Pada pertemuan AMMin, Indonesia kembali mengusulkan pernyataan terkait dengan EITI sebagai hasil dari ASOMM untuk dimasukan dalam Joint Press Statement ASEAN Ministerial Meeting on Mineral yang merupakan rangkuman hasil AMMin ke-3 yang disampaikan kepada publik. Setelah melalui pembahasan para Menteri, AMMin kemudian menyepakati rumusan teks sebagai berikut: “The Ministers noted the Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) that is known as international quality standard on revenue collection in mineral sector, and agreed to the proposal to include capacity building on EITI in ASEAN Mineral Cooperation Action Plan (AMCAP) 2011-2015.”

Fabby Tumiwa menyatakan diterimanya EITI didalam AMCAP cukup monumental, dan dapat menjadi pijakan untuk memperluas pengertian dan manfaat EITI di ASEAN. Menurutnya, untuk pertama kalinya frasa “EITI” disebut secara lugas dalam pernyataan kerjasama ASEAN di bidang mineral dan di dalam pernyataan para menteri mineral ASEAN.

Selain itu EITI dapat menjadi alat yang dapat memfasilitasi proses harmonisasi kebijakan di sektor mineral di ASEAN untuk mendukung tercapainya terbentuknya masyarakat ekonomi ASEAN tahun 2015 yang berkelanjutan.

Lebih lanjut kata Fabby, yang juga menjadi salah satu anggota delegasi RI pada pertemuan ini menambahkan bahwa masuknya EITI di dalam program kerja kerjasama mineral ASEAN diharapkan dapat membantu negara-negara ASEAN lainnya untuk memahami EITI dan manfaatnya serta memperbaiki tata kelola bagi pengelolaan sumberdaya mineral di kawasan ini.

Sebelumnya, upaya Indonesia untuk memperkenalkan EITI di dalama kerjasama ASEAN juga dilakukan melalui Pertemuan para Staf Senior bidang Energi dan Pertemuan para Menteri Energi AMEM) di Brunei, Juni dan September 2011 yang lalu. Dalam pertemuan tersebut para menteri energi ASEAN mengapresiasi usulan Indonesia dan meminta agar pengertian dan manfaat EITI dalam mendukung keamanan energi di ASEAN dilanjutkan untuk dikaji dan dikomunikasikan kepada negara-negara anggota lainnya, serta dilaporkan hasilnya di sidang AMEM tahun 2012.

Kemajuan dalam mewacanakan gagasan EITI di ASEAN diharapkan dapat menjadi pemacu implementasi EITI di Indonesia, kata Chandra Kirana, anggota sekretariat EITI Indonesia.

“Keberhasilan Indonesia melaksanakan EITI dengan kualitas proses dan hasil yang baik, tentunya dapat menjadi acuan bagi negara-negara ASEAN lainnya di kemudian hari,” kata Chandra.

Sebagai negara pertama yang menerapakan EITI di Asia Tenggara, Indonesia juga dapat memberikan bantuan teknis kepada negara-negara ASEAN lainnya tentang EITI, imbuhnya.

Di tahun 2012/2013, sesuai dengan AMCAP 2011-2015, Indonesia merencanakan sejumlah lokakarya bagi para pengambil kebjakan serta kementerian teknis dari negara-negara ASEAN. Indonesia juga terbuka untuk berkolaborasi dengan negara-negara anggota ASEAN untuk mempercepat implementasi rencana aksi mineral ASEAN. (FT)

Referensi: Joint Press Statement 3rd ASEAN Ministerial Meeting on Mineral

Download PDF

Durban Platform

Fabby Tumiwa [1]

Setelah memperpanjang perundingan hingga 2 hari, pada 11 Desember 2011 pagi hari Presiden COP-17 Maite Nkoana-Mashabane, yang juga adalah Menteri Kerjasama dan Hubungan Internasional Afrika Selatan, menutup COP-17 secara dramatis.Continue reading

Konferensi PBB Mengenai Perubahan Iklim di Durban

Selama dua minggu mulai 28 November 2011, delegasi dari 190 negara berkumpul di Durban, Afrika Selatan. Mereka berkumpul dengan harapan untuk mengatasi kebuntuan pengurangan emisi karbon dioksida dan polutan lainnya.

Harapan mengenai perjanjian yang mengatur tentang emisi karbon secara global telah terenggut saat kegagalan pembicaraan pada KTT Iklim di Kopenhagen dua tahun lalu. Pendekatan “Big Bang” telah digantikan oleh sejumlah upaya tambahan untuk membangun lembaga-lembaga baru yang menggantikan ekonomi dunia dari generasi energi dan transportasi berbasis karbon kepada teknologi yang lebih ramah lingkungan.

Namun adanya jurang perbedaan antara kelompok negara-negara kaya dan negara-negara miskin telah menjadi penghalang proses negosisasi akan masa depan Protokol Kyoto 1997. Para pejabat PBB berharap adanya keputusan untuk memperpanjang komitmen dalam pengurangan emisi berdasarkan kesepakatan Kyoto yang telah tertunda selama dua tahun. Perjanjian sebelumnya akan berakhir pada tahun depan. Berikut ini adalah sejumlah isu yang hangat diperbincangkan pada meja perundingan di Durban dan apa saja yang dipertaruhkan.

Apa yang dimaksud dengan konferensi perubahan iklim di Durban, Afrika Selatan?

Konferensi di Durban sering diartikan berbeda-beda oleh berbagai kelompok. Ada yang menyebutnya sebagai Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim, Sesi ke 17 para pihak untuk Konvensi Kerangka kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), COP 17 dan/atau Sesi ke tujuh Konferensi Persiapan Pertemuan Kelompok Protokol Kyoto (CMP 7).

Apapun masyarakat menyebutnya, tujuan uatama konferensi ini adalah untuk mencapai kesepakatan baru untuk pengurangan emisi gas rumah kaca dan polutan lainnya. Konferensi ini berlangsung pada tanggal 28 November – 9 Desember 2011.

Siapa yang menghadiri konferensi tersebut?

Mereka yang hadir adalah perwakilan pemerintah dari 190 negara (termasuk Kanada), organisasi internasional serta lembaga swadaya masyarakat lainnya.


Apa UNFCCC?

UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) atau Konvensi Kerangka kerja PBB untuk Perubahan Iklim adalah kesepakatan perubahan iklim yang dicapai pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 dan ditandatangani oleh 154 negara.

Perjanjian yang tidak mengikat ini bertujuan untuk mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, dimana negara-negara maju memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mencapai tujuan tersebut.

Setiap tahun setelah perjanjian selesai berlaku, dilakukan sebuah konferensi, dan menjadikan Durban sebagai Konferensi Para Pihak ke-17, atau COP17.

Apakah Protokol Kyoto?

Protokol adalah kesepakatan internasional yang ditandatangani pada konferensi COP 3 di Kyoto, Jepang tahun 1997. Protokol ini menetapkan sejumlah target bagi negara-negara industri maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan komitmen 37 negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tertentu sebesar 5,2 persen mulai dari level 1990.

Pada saat berlaku di tahun 2005, sebanyak 141 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto. Namun sejumlah negara seperti Cina, Australia dan Amerika Serikat menolak meratifikasi. Dalam kesepakatan ini setiap negara harus bertanggung jawab dengan mengurangi seperempat emisi yang dihasilkan karena dianggap sebagai penyebab pemanasan global (AS menandatangi perjanjian ini tetapi menolak meratifikasi protokol).

Ketika Kyoto menerapkan agenda untuk pengurangan emisi gas rumah kaca yang “ekonomis dalam transisi” negara seperti Rusia yang memilih dasar tahun yang berbeda. Ada berbagai target pengurangan dan beberapa negara telah diijinkan untuk mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang lebih dari yang mereka lakukan pada tahun 1990. Negara berkembang tidak memiliki batasan pengurangan.

Kyoto dianggap sebagai langkah awal untuk mengatasi pemanasan global yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk memecahkan persoalan dunia mengenai perubahan iklim pada komitmen pertama yang berakhir pada tahun 2012.

Apa yang dimaksud dengan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim?

Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC) adalah badan ilmiah yang didirikan pada tahun 1988 oleh World Meteorological Organization dan United Nations Environment Program. Melalui panel ini, PBB berupaya untuk memberikan pandangan ilmiah kepada pemerintah di seluruh negara mengenai perubahan iklim yang terjadi di dunia. Panel yang terdiri dari para ilmuan terkemuka tidak melalukan riset, tapi mengkaji data ilmiah dan teknis dari berbagai sumber internasional. Sebanyak empat laporan kajian telah dipublikasikan, dan laporan ke lima akan dikeluarkan pada tahun 2013-2014.

Apa dana Iklim Hijau?

Negara-negara berkembang yang menghasilkan sedikit karbon dioksida per kapita sedang berhadapan dengan efek pemanasan global. Prioritas utama dalam agenda konferensi adalah pengelolaan dana scaling up selama delapan tahun ke depan sebesar $ 100 miliar dollar AS yang dikeluarkan setiap tahun untuk membantu negara miskin menanggulangi kondisi perubahan iklim.

Dana Iklim Hijau sebesar $ 30 Milyar bertujuan untuk membantu negara-negara berkembang menyiapkan diri menghadapi perubahan iklim. Dana ini merupakan bagian dari dana sebesar $100 milyar yang merupakan komitmen dari negara-negara maju yang dibuat pada pembicaraan iklim di Cancun, Mexico, pada Desember 2010. Dana ini tidak akan disalurkan hingga tahun 2010.

Di Durban, topik utama yang akan dibahas adalah apa perkembangan yang bisa dicapai dari dana tersebut. Sebuah komite dari 40 negara bekerja telah bekerja pada tahun lalu untuk merancang rencana pengelolaan dana tersebut, namun kesepakatan draft terakhir dihadang oleh Amerika Serikat dan Arab Saudi.

Persoalaan lainnya adalah bagaimana dana tersebut bisa diambil dari sumber-sumber baru diluar saluran pembangunan yang dibangun dari Barat. Gagasan lainnya misalnya memasukan biaya tambahan karbon pada pelayaran internasional dan tiket pesawat, dan retribusi atas transaksi keuangan internasional-yang biasanya disebut pajak Robin Hood.

Tiga profesor Universitas British Columbia mengatakann perlu dibuat sistem akuntablitas untuk untuk memastikan bahwa dana tersebut benar-benar digunakan untuk mempersiapkan negara berkembang menghadapi perubahan iklim.

Apa saja isu yang menjadi perdebatan pada perubahan iklim?

Perbedaan posisi anatara negara kaya dan miskin mengenai masa depan Protokol Kyoto 1997 telah menghalangi proses negosisasi Negara-negara miskin menuntut negara- negara industri maju untuk bertanggung jawab atas perubahan iklim dan berkomitmen mengurangi emisi pada periode kedua. Mereka mengatakan, protokol ini merupakan satu-satunya instrumen hukum yang diadopsi untuk mengendalikan karbon dioksida dan dan gas lainnya yang menimbulkam perangkap panas bumi.

Namun negara-negara kaya berdalih, mereka tidak bisa menanggung beban ini sendirian dan menginginkan agar negara-negara berkembang seperti China, India, Brasil dan Afrika Selatan, yang memiliki tingkat emisi rumah kaca yang semakin tinggi untuk segara bergabung dengan mereka dan terikat hukum, atau setidaknya memperlambat emisi mereka.

Bagaimana posisi Kanada?

Pemerintah Harper ingin menjaga target Kanada sejalan dengan Amerika Serikat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya integrasi ekonomi dua negara. Dalam pidatonya di Toronto tanggal 8 November, Menteri Lingkungan, Peter Kent menjelaskan posisi pemerintahnya mengenai konferensi Durban; “Kami hanya akan mendukung kesepakatan perubahan iklim yang ditandatangani dan diratifikasi oleh mayoritas emitter (penghasil emisi)”. Dia menambahkan, “Hal tersebut dilakukan karena kami telah menyatakan, betapapun beratnya tekanan internasional, kami tidak akan setuju untuk mengambil komitmen pada periode kedua Protokol Kyoto.” Kent menegaskan keputusannya karena Protokol Kyoto belum ditandatangani oleh seluruh emitter gas rumah kaca terbesar di dunia seperti Amerika Serikat dan Cina. Dia mengamati posisi Kanada sebagai “sesuatu yang mungkin akan menyebabkan turbulensi dalam minggu mendatang.”

Berdasarkan Protokol Kyoto, Kanada berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 6 persen di bawah tingkat 1990 pada 2012. Pada tahun 2009 Kanada menghasilkan emisi CO2 gas rumah kaca 20 persen lebih tinggi dari pada tahun 1990.

Dalam Copenhagen Accord, Kanada berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 17 persen di bawah tingkat 2005 pada tahun 2020. Kent mengatakan bahwa Kanada telah mencapai 25 persen dari untuk target itu.

Lembaga Pembina bereaksi terhadap pidato Kent dan mengatakan Kanada “terus membenamkan kepalanya di pasir” dengan mental yang rendah dan menjauhkan dari harapan masyarakat internasional. Lembaga tersebut meminta penjelasan dari pemerintah federal agar Kanada membantu menghindari bencana perubahan iklim dengan menjadi “pemain yang konstruktif dalam perundingan internasional.”

Guy Saint-Jacques, ketua perundingan Kanada untuk Konferensi Perubahan Iklim di Durban, mengatakan kepada media dia akan mendorong, “putaran baru perundingan yang membawa pada rejim perubahan iklim tunggal yang lebih komprehensif. Sebuah rejim yang mengajak semua emitter terbesar untuk berperan aktif secara bersama.

Lembaga Pembina mengatakan, “Kanada selalu menjadi salah satu alasan mengapa sulit untuk bersikap optimis. Kanada datang dalam perundingan dalam posisi yang lemah dan tidak siap untuk berkontribusi lebih banyak untuk mencapai solusi yang positif.”

Apakah negara di dunia mengurangi emisi gas rumah kaca mereka?

Sebetulnya ada beberapa berita baik disini. Negara-negara yang menjadi menjadi bagian dari Protokol Kyoto pada tahun 2009 memiliki emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 14,7 persen di bawah tingkat 1990.

Secara bersama-sama tahun 2009 negara-negara maju berada di 6,4 persen di bawah tingkat 1990, atau mengelami penurunan sebesar 6,5 persen antara 2008 dan 2009, akibat terjadinya resesi ekonomi. Gambaran ini diperoleh dari sebuah laporan yang dipersiapkaan oleh Badan Energi Internasional untuk konferensi Durban.

Emisi CO2 di seluruh dunia menurun 1,5 persen dari 2008 hingga 2009.Namun, IEA memperkirakan bahwa tingkat emisi meningkat pada tahun 2010 dan akan terus meningkat, demikian pula dengan konsumsi bahan bakar fosil. IEA mengharapkan peningkatan tersebut akan “sesuai dengan skenario worstcase disajikan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dalam Laporan Penilaian Keempat (2007), yang memproyeksikan rata-rata dunia kenaikan suhu antara 2,4 ° C dan 6,4 ° C pada tahun 2100.”

Tingkat emisi CO2 tahun 1990-2009

Berikut adalah perubahan tingkat emisi CO2 antara tahun 1990 dan 2009 untuk pilihan negara dan daerah:

Perubahan Secara Global +38%

Cina + 206%
Timur Tengah + 171%
Amerika Latin + 63%
Spanyol + 38%
Kanada +20%
Amerika Serikat + 6,7%
Jerman -21%
Eropa Timur peserta Kyoto- 36%
Latvia -64%

(Sumber: Badan Energi Internasional, emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar laporan)

Negara mana yang merupakan penghasil emisi CO2 terbesar?

Sejak 2008, perkembangan dunia telah menyumbang sebagian besar emisi CO2 dunia (54 persen pada 2009). Tetapi hanya 10 negara bertanggung jawab untuk dua-pertiga emisi CO2 global, China dan AS keduanya menyumbang hingga 41 persen dari emisi global. Sedangkan Kanada berada pada urutan ke 8 pada daftar itu.

Berdasarkan basis per kapita, posisi Cina sebesar sepertiga emisi negara Amerika Utara. Namun, tingkat per kapita China 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan pada tahun 1990, sedangkan tingkat per kapita AS menurun sebesar 13 persen.

Bagaimana kemungkinan keberhasilan di Durban?

Singkatnya, Rendah! “Harapan mengenai arsitektur perubahan iklim internasional pada KTT telah terbenam di bawah batu, tidak ada alasan untuk mengharapkan apapun,” ujar Divya Reddy dari konsultan Eurasia Grup kepada Reuters.

Sebuah laporan tanggal 24 November yang dikeluarkan oleh kelompok lingkungan Kanada Lembaga Pembina mengemukakan pandangan tersebut. “Membandingkan lambatnya perundingan internasional mengenai perubahan iklim dengan kemajuan pengetahuan mengenai perubahan iklim membuat kita sulit untuk bersikap optimis.

Kelompok ini melihat posisi dunia yang tidak bisa berbalik dan terancam akan perubahan iklim.”

”Seandainya skenario tersebut akan dihindari, dunia harus melakukan upaya yang lebih banyak upaya untuk menstabilkan suhu global dan keberhasilan tersebut sangat bergantung pada kemampuan untuk mencapai kesepakatan secepat mungkin.”

Harapan untuk perjanjian yang menyeluruh mengenai emisi karbon global sangat rendah sejak kegagalan konferensi Kopenhagen tahun 2009, dan dianggap sebagai kemerosotan ekonomi yang kian memburuk. “Ini adalah perintah yang sulit bagi pemerintah untuk menghadapi ini,” “kata Figueres dari UNFCC. “Seandainya mudah, kita pasti sudah melakukan melakukannya beberapa tahun lalu.”

Sumber: cbc.

RAN GRK : Rencana, Implementasi dan Sistem MRV untuk Mencapai Penurunan Emisi GRK 26% (atau 41%) Pada 2020

IESR menyelenggarakan diskusi ahli mengenai Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK)

(Jakarta, IESR) Pada tanggal 12 September 2011, IESR mengadakan sebuah diskusi ahli mengenai rencana kebijakan Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) di Jakarta. Diskusi ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan dan status serta penjelasan mengenai perhitungan dari penurunan 26% (dan 41%) yang tercantum dalam RAN GRK. Sebagai narasumber diskusi adalah Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, pakar NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions), dan juga Sekretaris Pokja Mitigasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Adapun sekitar 25 orang peserta dari sejumlah Kementerian diantaranya Kehutanan, Pertanian, Perhubungan dan ESDM, serta anggota Dewan Energi Nasional, dan kelompok masyarakat sipil.

Dalam paparannya, ketiga narasumber menjabarkan bagaimana sebenarnya isi dan status dari draft Peraturan Presiden tentang RAN GRK yang telah disusun oleh Bappenas dan bagaimana hubungannya dengan dokumen NAMAs yang harus disusun oleh negara berkembang, serta pengaruhnya pada posisi Indonesia di area negosiasi perubahan iklim internasional.

Kesimpulan dari diskusi ini menggambarkan adanya kebutuhan untuk memiliki pendalaman khusus terhadap angka penurunan emisi yang dicantumkan di dalam lampiran RAN GRK, karena perhitungan baseline yang tidak jelas. Bappenas menjelaskan bahwa angka tersebut adalah angka indikatif, dan ada kemungkinan berubah, disesuaikan dengan hasil studi dari kelompok kerja yang telah dibentuk oleh Bappenas terkait dengan monitoring implementasi RAN GRK.

Diskusi ini juga mengusulkan agar kelompok kerja yang terbentuk, menyusun indikator-indikator keberhasilan guna memonitor implementasi dari RAN GRK tersebut.

Missing link

RAN GRK dan NAMAs seharusnya memiliki kaitan yang sangat erat, karena NAMAs secara konsep adalah rancangan kegiatan mitigasi negara berkembang untuk skala domestik dan skala internasional. Itu sebabnya, adopsi skema NAMAs sudah seharusnya dilakukan, dalam pengembangan RAN GRK, yang merupakan dokumen kerja penurunan emisi baik oleh usaha sendiri, maupun dengan bantuan internasional.

Hal terpenting yang harus tersedia dalam menentukan NAMAs adalah bagaimana menentukan reference level dari masing-masing sektor yang tercakup dalam NAMAs tersebut. Tentunya, dalam rencana penurunan emisi sebesar 26%, harus jelas tahun referensinya. Dengan demikian dapat diketahui, berapa jumlah yang terproyeksi di tahun yang terkait (dalam hal ini 2020), dan berapa banyak emisi yang dapat direduksi di tahun yang telah disepakati (dalam hal ini 2020).

Pada kenyataannya, proses penyusunan RAN GRK di Indonesia, tidak melalui tahapan tersebut. Melalui diskusi terbatas pada tanggal 12 September 2011 di Hotel Puri Denpasar, Jakarta, Indonesia, telah dikonfirmasi bahwa jumlah emisi yang tercantum dalam RAN GRK tidak memiliki tahun dasar (base year) yang jelas [1]. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut, adalah sulit untuk masing-masing sektor dapat menentukan berapa banyak emisi gas rumah kaca yang dapat direduksi secara optimum. Hal ini lah yang sebenarnya terjadi dalam proses penyusunan RAN GRK itu sendiri.

Pada diskusi tanggal 12 September tahun 2011 tersebut, Bappenas menyatakan bahwa seluruh angka potensi penurunan emisi yang tercantum di RAN GRK adalah angka-angka indikatif yang dapat dicapai oleh masing-masing sektor dan disampaikan oleh masing-masing sektor tersebut. Walau demikian, seharusnya, angka-angka tersebut bukan berasal dari hasil indikasi masing-masing sektor, namun berdasarkan perhitungan yang sebenarnya dengan memperhitungkan baseline sebagai acuan emisi.

RAN GRK kemudian ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 20 September 2011 lalu. Hal ini berarti, pemerintah akan mulai mengimplementasikan seluruh rencana penurunan emisi seperti yang tercantum dalam Perpres 61 tahun 2011, dimana Bappenas akan membentuk sebuah kelompok kerja, dengan tanggung jawab untuk memonitoring jalannya implementasi kerja dari RAN GRK yang telah tersusun.

Indonesia: Memastikan Implementasi NAMAs

Ketiadaan koordinasi antara kementerian dan departemen di Indonesia membuat perlu diadakannya koordinasi kembali antar pihak. Sebuah perhitungan yang lebih komprehensif seharusnya dilakukan untuk dapat menentukan besaran emisi gas rumah kaca yang dapat dilakukan dengan APBN dan mana yang dapat dilakukan dengan dana internasional.

Dalam presentasi mengenai NAMAs, disampaikan bahwa biaya kegiatan penurunan emisi, berkaitan erat dengan pemilihan kegiatan penurunan emisi apakah itu dengan APBN ataupun dengan bantuan internasional. Hardiv Situmeang, mengatakan bahwa seharusnya ada prioritas berdasarkan biaya yang harus dibuat oleh Pemerintah sebelum menyusun RAN GRK. Prioritaskan teknologi-teknologi dengan biaya termurah untuk didanai oleh APBN, sedangkan yang mahal, seharusnya diajukan ke dalam skenario penurunan emisi 41%. Hal ini tidak didapati di RAN GRK itu sendiri.

Kesimpulan

Walaupun Presiden telah menandatangani RAN GRK sehingga sudah memiliki kekuatan untuk diimplementasikan, namun dalam diskusi tanggal 12 September lalu, Pemerintah masih perlu melakukan kajian lebih lanjut mengenai aksi-aksi terukur yang bisa dilakukan dari berbagai sektor untuk mendapatkan penurunan emisi 26% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional secara nyata.

Beberapa hal yang harus kembali dikaji adalah:

  1. Penentuan baseline dari emisi BAU (Business as Usual). Bagaimana metode perhitungan tersebut harus dibuat transparan untuk konsumsi publik.
  2. Perlu dikaji kembali rencana aksi untuk setiap sektor dan target penurunan emisi yang diusulkan.
  3. Perlunya disusun sebuah metode monitoring untuk dapat memonitor apakah jumlah emisi yang tereduksi dari sebuah kegiatan yang tercantum di RAN GRK, adalah benar dengan jumlah emisi yang terukur secara langsung.
  4. Bappenas akan membentuk sebuah kelompok kerja yang memiliki tugas untuk merancang indikator keberhasilan penurunan emisi dari masing-masing sektor.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

Henrietta Imelda (imelda@iesr.or.id) dan Fabby Tumiwa (fabby@iesr.or.id)


[1] Presentasi Bappenas menunjukkan bahwa baseyear yang digunakan adalah tahun 2005, sedangkan menurut DNPI (presentasi dapat dilihat di OECC Japan), baseyear yang digunakan bukan tahun 2005.