Aspirasi Kelompok Masyarakat untuk RUU EBET

Jakarta, 19 Mei 2022 – Dekarbonisasi sektor energi sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di Indonesia perlu dilakukan untuk mencapai target netral karbon di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, Indonesia seharusnya menyiapkan kebijakan yang mendukung pengembangan energi terbarukan. Namun, mencermati Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang telah memasuki tahap harmonisasi di DPR RI, berbagai organisasi yang mewakili kelompok masyarakat tertentu menilai draf RUU EBET menyimpang dari tujuannya untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang berkelanjutan.

Institute for Essential Services Reform (IESR), Bersihkan Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Adidaya Initiative, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengadakan diskusi dan konferensi pers untuk menyampaikan aspirasinya terhadap RUU EBET tersebut.

IESR menyoroti kerancuan RUU EBET yang mencampuradukkan energi fosil, nuklir dan energi terbarukan dalam satu undang-undang. Menurut IESR, sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batubara dan PLTN ini akan  memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca (GRK).

“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batubara dan nuklir, yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru.  Implikasinya RUU ini tidak fokus mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya butuh dorongan politik dan kerangka regulasi yang lebih kuat sehingga dapat berkembang cepat, mendukung cita-cita transisi energi,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Senada, Ahmad Ashov Birry, Koordinator Bersihkan Indonesia (BI) mendorong DPR RI untuk menyiapkan kebijakan yang secara jelas mendukung energi terbarukan.

“Alih-alih, RUU EBET yang diklaim mendukung energi terbarukan malah terang-terangan mengaburkan masa depan energi terbarukan yang mungkin bagi Indonesia, dengan memberi jalan bagi energi fosil dan berbahaya lainnya untuk diasosiasikan sebagai energi terbarukan. Ini dapat menjadi sinyal yang tak jelas bagi komunitas internasional yang ingin bersolidaritas mendukung Indonesia untuk bertransisi. Masih ada kesempatan untuk perubahan, dan langkah perubahan itu harus berani diambil pemerintah,” ungkap Ahmad.

Co-founder Adidaya Initiative, Aji Said Iqbal Fajri menyampaikan tiga pokok desakan bagi komisi VII DPR RI.

“Kami meminta agar Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) menanggalkan segala bentuk energi tidak terbarukan sebagai sumber energi baru dalam RUU EBET. Kedua, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait untuk meregulasikan insentif bagi penggunaan energi terbarukan dalam rangka mencapai target bauran energi baru dan terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Ketiga, Komisi VII DPR-RI dan pemangku kepentingan terkait untuk mempertimbangkan saran saintifik dan aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan dalam menyusun RUU EBET sebagai upaya pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan upaya dekarbonisasi di sektor energi dalam rangka mencapai keadilan ekonomi dan lingkungan di Indonesia.”

Menyoal insentif terhadap pengguna energi terbarukan, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menuturkan RUU EBET harus mengatur insentif yang signifikan baik fiskal maupun non fiskal bagi konsumen pengguna energi terbarukan. 

“Sedangkan energi yang berasal dari bahan bakar fosil tidak layak untuk diberikan subsidi bahkan perlu dikenakan cukai (disinsentif) karena mempunyai dampak eksternalitas,” jelasnya.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Paul Butarbutar mengatakan keberadaan bahwa RUU EBET ini seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang EBET. 

“RUU ini harusnya fokus ke energi terbarukan, sehingga RUU EBET ini dapat menjadi dasar hukum yang kuat, yang memberikan kepastian hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi terbarukan, sebagai bagian dari transisi energi untuk mencapai net-zero emissions secepatnya. Dengan demikian, semua pasal-pasal terkait energi baru, istilah yang tidak dikenal secara internasional, dapat dihapuskan,” jelas Paul.

Sementara itu, ia juga menambahkan jika pemerintah dan industri PLTN bermaksud  untuk mendorong pemanfaatan energi nuklir, maka pemerintah sebaiknya memprioritaskan revisi UU 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Sedangkan jika terkait transisi energi, maka yang perlu dilakukan adalah merevisi UU nomor 30 tahun 2007. 

“Apabila pemerintah ingin mendorong pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan, maka sebaiknya pemerintah memprioritaskan revisi UU 10 tahun 1997, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat untuk investasi PLTN. Lagi pula, pemanfaatan PLTN berdasarkan roadmap pemerintah, masih lama, sehingga pemerintah punya waktu yang cukup untuk merevisi UU 10 tahun 1997. Tidak ada urgensi untuk memasukkan nuklir dalam RUU ini. Terkait transisi energi, kurang tepat apabila dimasukkan dalam RUU ini. Yang perlu dilakukan adalah merevisi UU 30 tahun 2007 untuk mengakomodir isu transisi energi, net-zero emission, NDC dan Paris Agreement di sektor energi,” terang Paul.

Membawa aspirasi dari petani dan nelayan, Harmanto, Ketua Departemen Medkominfo Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) menuturkan pihaknya secara tegas menolak pengembangan PLTN. Menurutnya, petani dan nelayan di sekitar PLTN akan menjadi kelompok yang sangat dirugikan dengan pembangunan PLTN, terutama jika terjadi kecelakaan PLTN.

PLTN membutuhkan zona eksklusif yang cukup luas sehingga berpotensi mengambil lahan yang luas seperti kawasan pantai yang luas. Hal ini dapat menggusur tanah petani dan membatasi akses nelayan ke laut. Ini sudah terlihat dari sejumlah pembangunan PLTU besar di pesisir utara Jawa, yang menggusur tanah petani dan membuat akses nelayan ke laut terhambat, demikian juga wilayah tangkap nelayan berubah. Selain itu risiko kecelakaan PLTN tidak nol. Kecelakaan reaktor bisa mengakibatkan kebocoran radiasi yang berdampak pada tanah, air, dan laut. Di Fukushima, limbah air radioaktif dari PLTN Fukushima dibuang ke laut dan membuat orang takut mengkonsumsi ikan,” jelas Harmanto.

Di sisi lain, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka meminta DPR RI untuk lebih memperhatikan suara dan posisi perempuan dalam pembuatan kebijakan energi. Asas kesetaraan dan inklusi sosial harus menjadi perspektif tata kelola energi dari  hulu sampai hilir dalam kebijakan energi yang tengah disusun oleh parlemen dan pemerintah. Pasal partisipasi masyarakat dalam RUU EBET harus memastikan semua elemen masyarakat seperti perempuan, kelompok marjinal lainnya dapat terlibat secara penuh dalam akses energi bersih yang berkelanjutan, dengan memastikan keterwakilan berbasis gender. Hal ini perlu dilakukan sebab perempuan dan kelompok marjinal lainnya masih diposisikan sebagai konsumen energi yang terbatas sehingga ketika krisis energi terjadi mereka menghadapi dampak buruk yang lebih berlipat. 

“Pengarusutamaan gender tidak hanya sebatas pada penyebutan istilah dalam kebijakan energi, tetapi harus dioperasionalkan dalam kerangka kerja implementasinya. Seperti memasukkan tujuan khusus gender ke dalam desain pembangunan sektor energi, memberdayakan dan melibatkan perempuan dan kelompok marjinal melalui konsultasi, partisipasi dan pengambilan keputusan. Kemudian mengembangkan strategi khusus gender untuk memaksimalkan manfaat bagi perempuan dan kelompok masyarakat miskin mengatasi dampak pembangunan energi baru terbarukan,” tandas Mike.

Sepakat dengan aspirasi yang disampaikan, Sonny Keraf, Akademisi dari Universitas Katolik Atma Jaya,menambahkan bahwa RUU EBET ini malah mirip ‘tarian poco-poco’ yang selangkah maju- selangkah mundur, karena dibajak dan dikerangkeng pedagang fosil yang kotor untuk tetap mengamankan dan melanggengkan kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan bersama umat manusia menyelamatkan krisis bumi.

“Terlalu banyak dampak negatif kalau kita tetap bertahan dengan ‘tarian poco-poco’. Kredibilitas diplomasi global pemerintah di bidang negosiasi perubahan iklim bisa tergerus. Ekspor produk industri dalam negeri bisa terhambat ketentuan standar emisi dalam seluruh rantai produksi dan rantai pasok produk kita. Komitmen mitigasi perubahan iklim kita  terganjal,” ulasnya. ***

Faktor Kedaruratan Iklim Harus Menjadi Pertimbangan Utama Kebijakan Energi

Perlombaan untuk mengatasi perubahan iklim semakin ketat dan menantang. Setiap negara dituntut untuk meninjau kembali kebijakan energinya secara berkala dan menyelaraskannya dengan Persetujuan Paris yakni membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 2 derajat Celcius pada tahun 2050. Sektor energi, sebagai salah satu sektor yang paling banyak menghasilkan polusi, mendapat sorotan, untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya, salah satunya dengan memilih pembangkit listrik yang rendah emisi untuk memasok kebutuhan energi.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berada dalam posisi yang diperdebatkan terkait dengan kemampuannya untuk menyediakan energi bersih. Selama bertahun-tahun, negara-negara seperti Prancis, Jerman, dan Jepang mengandalkan tenaga nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Namun, ada tantangan yang menghantui seperti masa konstruksi yang lama, biaya yang relatif tinggi, dan yang paling mengkhawatirkan adalah masalah keamanan generator jika terjadi kebocoran. Dunia mencatat setidaknya dua kecelakaan nuklir besar yaitu Chernobyl pada tahun 1986 dan Fukushima pada tahun 2011. Bahkan kecelakaan Chernobyl yang terjadi pada tahun 1986 masih membekas di benak kita karena dampaknya yang masih terasa sampai sekarang.

Memperingati kecelakaan Chernobyl, pada tanggal 26 April 2022, Unika Soegijapranata dan Masyarakat Rekso Bumi (Marem) menyelenggarakan webinar bertajuk “Refleksi Kecelakaan Chernobyl dan Opsi Nuklir untuk Sektor Ketenagalistrikan Indonesia”, merefleksikan kecelakaan tiga dekade lalu dan korelasinya dengan wacana Indonesia untuk memiliki PLTN untuk menyediakan pasokan energi yang andal dan untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060.

Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional Indonesia, menyatakan Indonesia masih mampu memenuhi target nol emisi bersih tanpa pembangkit listrik tenaga nuklir.

“Syaratnya dengan memaksimalkan semua jenis (variabel) energi terbarukan di Indonesia, terutama matahari dan angin yang biayanya terus menurun, dengan begitu kita tidak perlu nuklir untuk menjadi net-zero,” kata Herman.

Herman lanjut menjelaskan bahwa kapasitas tenaga nuklir global terus menurun. PLTN baru yang online lebih sedikit daripada yang dinonaktifkan. Selain itu, ada juga faktor keterlambatan konstruksi yang terus terjadi.

“Umumnya ada keterlambatan pembangunan PLTN hingga 3 tahun, bahkan lebih, ini tentu menambah biaya konstruksi dan LCOE.”

Masa konstruksi yang panjang juga menjadi perhatian Mycle Schneider, konsultan nuklir internasional, yang menekankan urgensi waktu dalam memutuskan kebijakan energi.

“Ingat bahwa kita sekarang berada di situasi darurat iklim, yang berarti kita berpacu dengan waktu. Untuk mengatasi hal ini tentunya kita membutuhkan solusi yang cepat dan relatif murah,” kata Mycle.

Dibandingkan dengan opsi lain seperti energi terbarukan atau efisiensi energi, pembangunan PLTN dianggap sebagai opsi yang paling lambat, sehingga tidak relevan untuk mengatasi penyediaan energi bersih agar selaras dengan target nol bersih yang harus dilakukan dengan cepat.

Mycle menambahkan bahwa bahkan industri nuklir sendiri tidak dapat benar-benar meramalkan masa depan PLTN. Satu dari delapan reaktor nuklir yang selesai dibangun tidak pernah berhasil masuk dalam jaringan (grid). 30 dari 55 reaktor nuklir yang sedang dibangun terlambat dari jadwal. Secara umum, ada kesenjangan persepsi yang terus meningkat antara energi nuklir dan realitas industri (nuklir).

“Pada tahun-tahun mendatang, pengambilan keputusan untuk kebijakan energi tidak boleh hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomi, tetapi harus didasarkan pada kelayakan teknologi dan realitas industri,” pungkas Mycle dalam presentasinya.

Refleksi 11 Tahun Kecelakaan Fukushima

Jakarta, 11 Maret 2022 – 11 Maret 2011 gempa berkekuatan 8,9 SR mengguncang Tohoku. Reaktor nuklir secara otomatis berhenti beroperasi dan digantikan pembangkit diesel untuk mendinginkan reaktor inti. Namun, tsunami setinggi 14 meter yang datang kemudian menghentikan pembangkit diesel dan membanjiri PLTN. Akibatnya 3 inti nuklir meleleh dan melepaskan material radioaktif. Bencana Fukushima dikategorikan dalam bencana nuklir level 7 (level tertinggi yang dibuat Badan Nuklir Internasional), dan yang terbesar setelah bencana Chernobyl tahun 1986.

Meski 11 tahun berlalu sejak kecelakaan reaktor nuklir di Fukushima, dampaknya masih dirasakan oleh masyarakat Jepang. Selain itu, kejadian ini mempengaruhi a sistem energi Jepang yang saat itu banyak bergantung pada pembangkit nuklir dan perkembangan energi nuklir di seluruh dunia.

Tercatat sejak kejadian tragis itu, kapasitas pembangkit nuklir di dunia terus menurun, sejumlah negara mengkaji ulang rencana energi jangka panjangnya. Jerman misalnya, memutuskan untuk melakukan phase-out PLTN, 3 PLTN terakhirnya akan dipensiunkan pada akhir tahun 2022. Beberapa negara lain juga merencanakan phase-out PLTN pada 2025 – 2030. World Nuclear Industry Status Report 2021 mencatat Jepang sempat menghentikan sementara penggunaan pembangkit nuklirnya bahkan mencapai 0 pada tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2015, Pemerintah Jepang mengoperasikan lagi pembangkit nuklirnya, dan saat ini sebanyak 10 unit PLTN beroperasi dan memasok 3,9% bauran energi Jepang.

Tatsujiro Suzuki, Profesor dan Wakil Direktur Research Center for Nuclear Weapon abolition Nagasaki University (RECNA), dalam webinar bertajuk “Dinamika Pengembangan PLTN Pasca Kecelakaan Fukushima” yang digelar Jumat, 11 Maret 2022, mengatakan bahwa dampak kecelakaan Fukushima belum selesai sampai hari ini. Sejumlah area di Fukushima masih ditutup, meski luas daerah terdampak berkurang. Kontaminasi pada air dan hasil pertanian juga masih terjadi hingga saat ini. 

“Dari sisi operasional pembangkit nuklir yang saat ini berjalan, terdapat tambahan biaya untuk memastikan keamanan operasional tiap-tiap pembangkit,” jelas Suzuki.

JCER (Japan Center for Economic Research) memperkirakan kebutuhan untuk pemulihan pasca kecelakaan Fukushima mencapai 322 – 719 triliun USD. Angka ini lebih besar dari perkiraan pemerintah Jepang yaitu sebesar 74.3 – 223.1 triliun USD. Perhitungan pemerintah lebih rendah sebab biaya pembuangan akhir limbah tidak dimasukkan dalam perhitungan. 

Persepsi masyarakat Jepang pada PLTN juga berubah arah setelah kecelakaan Fukushima. Lebih dari separuh penduduk Jepang (56.4%) menyatakan bahwa PLTN harus dihentikan operasinya dan ditutup segera.

Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim, menyoroti biaya investasi pembangkit nuklir yang cenderung semakin meningkat, dan risiko keamanannya yang tinggi.

“LCOE dari nuklir tinggi sebesar 8-12 sen USD menurut badan nuklir dunia, bahkan mencapai 12-16 sen USD menurut Schneider. Adanya PLTN juga menimbulkan perasaan tidak aman bagi penduduk sekitar,” jelas Herman.

Pembangkit listrik energi nuklir (PLTN) diwacanakan sebagai salah satu strategi Indonesia untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dengan pemanfaatan energi terbarukan besar-besaran (75% variabel energi terbarukan masuk dalam jaringan listrik), pengembangan sistem penyimpanan energi sehingga mengurangi biaya pengembangan energi terbarukan akan membuat tren penurunan LCOE (Levelized Cost of Electricity) untuk energi surya dan bayu dengan baterai akan lebih ekonomis daripada biaya pembangunan PLTN. 

M.V Ramana, Profesor dan Direktur Liu Institute for Global Issues dari British Columbia University, sepakat bahwa pembangkit nuklir mengandung risiko besar. Saat ini tidak ada pembangkit nuklir dengan ‘zero risk accident’ bahkan teknologi SMR (Small Modular Reactor) yang digadang-gadang aman pun masih mempunyai potensi kecelakaan.

“Secara teknis, tidak ada desain universal untuk berbagai tempat dan situasi geografis untuk pembangunan PLTN. Risiko kecelakaan, dan limbah radioaktif membutuhkan sistem yang dirancang secara kontekstual dengan lokasi dan situasi setempat. Hal ini membutuhkan kajian mendalam,” jelas Ramana.

Ramana menyinggung persepsi yang berkembang mengenai pembangkit nuklir sebagai  salah satu solusi untuk mengatasi masalah perubahan iklim sebab dapat menghasilkan energi dengan emisi yang rendah. Menurutnya, justru biaya pembangunan pembangkit nuklir lebih tinggi dibandingkan teknologi yang saat ini tersedia  seperti pembangkit surya ataupun bayu (angin) yang  lebih aman, dan terjangkau

Ramana memaparkan secara statistik, jumlah pembangkit nuklir di dunia terus berkurang. Salah satunya karena nuklir tidak lagi ekonomis. Puncak perkembangan pembangkit nuklir lebih dari 3 dekade lalu, setelah itu jumlah pembangkit yang dibangun terus menurun. 

“Ke depannya, dalam skenario paling optimis sekalipun, pembangkit nuklir hanya akan berkontribusi 10% pada bauran energi global,” Ramana menjelaskan.

Utamakan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia, PLTN menjadi pilihan akhir

Sejak awal kemunculannya energi nuklir telah menimbulkan suatu dialog bahkan perdebatan tentang manfaat dan risiko yang dibawanya. Di satu sisi nuklir dapat memenuhi kebutuhan energi, dan dapat digunakan dalam berbagai bidang seperti medis dan militer. Namun nuklir juga membawa risiko kebocoran radiasi. Terdapat peristiwa kecelakaan nuklir yang patut dicatat mulai dari Three Mile Island (1979), Chernobyl (1986), dan Fukushima (2011). Dari sini muncul pertanyaan, apakah nuklir masih layak untuk dikembangkan dalam skala besar? Jika iya, aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam pengembangannya? Menghadirkan tiga pembicara dengan latar belakang yang berbeda, FISCO UGM menggelar webinar Potensi dan Kontroversi Nuklir untuk mencoba mengurai pertanyaan tersebut. 

Dalam kesempatan tersebut, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan terkait pengembangan energi nuklir di antaranya  tiga faktor keselamatan reaktor nuklir yaitu regulasi atau badan regulator, keamanan operasional, dan sistem keamanan. 

“Perdebatan tentang PLTN dari awal bukan semata-mata teknologinya. Tapi lebih banyak tentang risiko keamanannya. Bencana yang paling ditakutkan dari nuklir adalah bocornya radiasi ke lingkungan luar, jadi kontroversinya bukan semata-mata teknologi tapi lebih kepada lingkungan di mana PLTN itu berada,” jelas Fabby.

Untuk memastikan aspek keamanan ini, selain badan regulasi dan prosedur keamanan yang ketat, masalah keekonomian atau biaya yang dibutuhkan juga perlu dicermati ulang. 

“Tren investasi PLTN dari tahun ke tahun semakin mahal. Jika tujuan pembangunan PLTN adalah untuk memenuhi permintaan listrik yang terus tumbuh, maka ada alternatif energi terbarukan lain yang lebih terjangkau dan tidak berbahaya,” sambung Fabby.

Faktor lingkungan termasuk penerimaan masyarakat ini menjadi hal penting dan membuat isu nuklir ini menjadi dinamis. Derajad S. Widhyharto, Dosen Sosiologi Fisipol UGM, mengungkapkan pula bahwa kekhawatiran masyarakat pada nuklir baik itu sebagai PLTN maupun  energi baru  ada pada isu pengelolaan. 

Aspek pengelolaan yang menjadi kekhawatiran masyarakat ini makin diperburuk dengan dinamika regulasi nuklir yang tidak saling terkait dengan temuan survei atau riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga. 

Alexander Agung, dosen Teknik Nuklir UGM, melengkapi diskusi ini dengan perspektif yang lebih bersifat teknis tentang energi nuklir. Nuklir terutama PLTN dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, serta mendukung industrialisasi. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa memang memenuhi kebutuhan listriknya dari pembangkit nuklir. 

“Adanya badan regulasi yang khusus mengatur dan mengawasi pengembangan dan pengerjaan membuat keamanan dari PLTN ini terjamin sejak awal, saat survei pemilihan lokasi hingga pembangunan,” pungkas Alexander.

Namun, dalam perkembangannya, perlu pula memastikan agar badan regulasi ini tetap bekerja secara optimal agar pengembangan energi nuklir tidak membahayakan masyarakat dan lingkungan sekitar.