Peran Energi Surya dalam Mendukung Pencapaian NZE dan JETP

Jakarta, 10 Maret 2023 – Dukungan yang jelas dan serius dari pemerintah terhadap pengembangan energi surya perlu ditunjukkan, terutama dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat dan target bauran energi terbarukan pada Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 34% pada 2030.

“Diskusi JETP sejauh ini masih berfokus pada pensiun dini PLTU saja, belum terlihat elemen akselerasi energi terbarukannya. Hal ini perlu menjadi catatan, khususnya untuk mengakselerasi pengembangan energi surya yang diproyeksikan menjadi salah satu tulang punggung pembangkitan listrik dalam pencapaian NZE, mengingat potensinya yang besar di Indonesia, keekonomiannya yang semakin kompetitif dan konstruksinya yang relatif singkat,” ujar Daniel Kurniawan, Peneliti, Spesialis Teknologi Fotovoltaik dan Material, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Bincang Energi Surya: Teknologi, Kebijakan dan Tantangan Energi Surya dalam Mendukung  Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Net Zero Emission (NZE) pada Kamis (9/3/2023).

Menurutnya, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat dengan mengejar berbagai target tersebut dengan kebijakan yang mendukung akselerasi energi surya dan pemanfaatan PLTS atap baik skala komersial & industri maupun residential. Ia menyayangkan ketika public hearing yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021, pemerintah justru ingin meniadakan skema net metering untuk sektor residensial, yang akan menurunkan keekonomian dan ketertarikan pelanggan untuk memasang PLTS atap.

“Pemerintah seharusnya tidak menghapus dukungan kebijakan untuk masyarakat dalam mengadopsi  PLTS atap, khususnya untuk sektor rumah tangga dan sektor usaha kecil, di tahap adopsi yang masih sangat awal ini. Sebaliknya, dukungan kebijakan harus ditingkatkan untuk mendorong adopsi hingga ke tahap pasar yang matang,”tegasnya lagi.

Pada kesempatan yang sama, Widya Adi Nugroho, Sub Koordinator Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, Indonesia memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun hingga 2022 baru mencapai sekitar 12,3%. Ia mengatakan pemanfaatan pembangkit listrik energi baru terbarukan diutamakan sesuai perencanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). 

“Berdasarkan RUPTL 2021-2030, energi surya akan bertambah 4,6 GW di 2030. Surya akan menjadi tulang punggung ketenagalistrikan Indonesia mencapai 461 GW pada 2060. Selain itu, tren harga PLTS semakin turun dan kompetitif. Begitu juga komponen pendukungnya seperti baterai sehingga peluang pengembangannya semakin terbuka. Namun demikian, terdapat tantangan pengembangan PLTS, salah satunya ruangan pembangkitan listrik masih penuh sehingga memerlukan partisipasi masyarakat sebagai konsumen dan produsen untuk memanfaatkan energi terbarukan, melalui energi surya. Selain itu, kondisi intermitensi yang perlu dijaga oleh sistem, baik itu dengan pembangkit cadangan yang bisa mengkompensasi PLTS serta juga berkaitan dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN),” terang Widya Adi Nugroho.

Anindita Satria Surya, Vice President Transisi Energi dan Perubahan Iklim, Perusahaan Listrik Negara (PLN) memaparkan, pihaknya terus menerapkan inisiatif transisi energi untuk mencapai net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, diperlukan peningkatan kapabilitas internal dan teknologi yang didukung oleh inovasi, kebijakan dan keuangan. Anindita memperkirakan kebutuhan investasi untuk mencapai NZE pada tahun 2060 sekitar USD 700 miliar. Selain itu, Anindita menegaskan, pelaksanaan program dedieselisasi atau konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi strategi peningkatan bauran energi, khususnya energi surya dalam sistem kelistrikan. 

“Terdapat beberapa strategi PLN untuk melakukan integrasi energi terbarukan, di antaranya dalam jangka pendek mencapai RUPTL (2021-2030) dengan sekitar 4,7 GW atau 22% berasal dari PLTS,”  ujar Anindita.

Dalam pemaparannya, energi terbarukan lainnya yang akan dikembangkan untuk mencapai RUPTL di antaranya adalah PLTA (44%) dan PLTP (16%). Selain itu, pihaknya akan melakukan, dedieselisasi, pensiun dini batubara, co-firing biomassa. Kemudian, dalam jangka panjang untuk mencapai NZE (2031-2060), langkah yang akan dilakukan diantaranya mendorong penyimpanan listrik berbasis baterai dan interkoneksi, serta co-firing hidrogen. Di sisi pengembangan teknologi dan ekosistem, PLN akan berfokus untuk di antaranya PLTS, dan kendaraan listrik.

“Sebagai gambaran, di awal kita membangun sistem yang kuat yakni pembangkit baseload, membangun transmisi yang kuat serta dibarengi dengan penguatan penggunaan energi terbarukan, termasuk PLTS. Di akhir periode 2035, PLTS sebagian besar sudah masuk ke sistem kita,” ujarnya. 

Anindita menekankan, PLTS bisa menjadi salah satu solusi untuk menambah bauran energi, namun harus dilihat pula kesiapan infrastruktur, terutama baterai untuk mengurangi sifat intermiten. Misalnya saja, belum ada baterai untuk mendukung adanya PLTS di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Tidak hanya PLTS atap, PLN juga berupaya untuk memanfaatkan potensi PLTS terapung. Sebagai bagian dari dukungan pelaksanaan kegiatan G20 Presidensi Indonesia, terdapat 100 kWp PLTS terapung yang telah dibangun di Waduk Muara, Nusa Dua, Bali.

Sementara itu, Rosyid Jazuli, Peneliti Paramadina Public Policy Institute menjelaskan, Indonesia memiliki potensi surya yang sangat besar. Sayangnya, saat ini lebih dari 60% listrik di Indonesia masih berasal dari batubara. Hal ini terjadi karena beberapa tantangan penerapan energi surya untuk mendukung implementasi Just Energy Transition Partnership (JETP) seperti rencana yang belum jelas, tumpang tindih aturan, dan potensi dana dalam bentuk pinjaman. Rosyid menyarankan agar terdapat koordinasi antar kementerian dan lembaga dalam mendukung penerapan JETP, mengingat isu ini merupakan hal yang kompleks. 

“Di sisi lain, potensi pendanaan hijau yang mencapai USD 20 miliar ini juga sebaiknya dioptimalkan, apalagi tren dunia saat ini mengarah ke pembangunan berkelanjutan. Pembiayaan tentunya juga diperlukan untuk riset dan pengembangan energi surya serta potensi menarik investasi di tenaga surya,” ujar Rosyid. 

Bincang Energi Surya merupakan serangkaian acara diseminasi publik seputar energi surya yang diselenggarakan secara kolektif oleh enam institusi; Institute for Essential Services Reform (IESR), Solar Scholars Indonesia (SSI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Institut Energi Surya Generasi Baru (Insygnia), dan Solarin. Diseminasi tematik energi surya akan diselenggarakan secara regular, setiap dua minggu hingga Juni 2023 mendatang, yang mencakup topik; lanskap energi surya Indonesia, kebijakan terkini, teknologi, industri, sosio-ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission (NZE).***

Bincang Energi Surya: Teknologi, Kebijakan dan Tantangan Energi Surya dalam Mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Net Zero Emission (NZE)

Bincang Energi Surya merupakan serangkaian acara diseminasi publik seputar energi surya yang diselenggarakan secara kolektif oleh enam institusi; Institute for Essential Services Reform (IESR), Solar Scholars Indonesia (SSI), Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Australia, Asosiasi Peneliti Indonesia Korea (APIK), Institut Energi Surya Generasi Baru (Insygnia), dan Solarin (@solarin.id). Diseminasi tematik energi surya akan diselenggarakan secara regular, setiap dua minggu hingga Juni 2023 mendatang, yang mencakup topik; lanskap energi surya Indonesia, kebijakan terkini, teknologi, industri, sosio-ekonomi dan kesiapan sumber daya manusia dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan target Net Zero Emission (NZE) .

Latar Belakang

Sebagai negara yang meratifikasi Paris Agreement dan penegasan komitmen di Pakta Iklim Glasgow , Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi dalam membatasi kenaikan temperatur global. Dalam salah satu model IPCC, untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah 1.5oC maka emisi GRK harus dikurangi sebesar 45% pada tahun 2030 dibandingkan level emisi GRK di tahun 2010, dan mencapai net zero pada tahun 2050 (IPCC). Dalam komitmen tersebut, pemerintah Indonesia telah menyampaikan aspirasi mencapai net-zero pada tahun 2060 atau lebih cepat. Selain itu, sebagai tindak lanjut pendanaan transisi energi yang disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun 2022 lalu, Just Energy Transition Partnership (JETP) sekretariat telah diluncurkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) yang salah satu agenda utamanya adalah transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan termasuk energi surya. 

Sebagai langkah strategi dalam mencapai target tersebut, kapasitas terpasang energi terbarukan perlu ditingkatkan dengan cepat dan masif. Dengan potensi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, modular (dapat dipasang dengan berbagai skala), proses pemasangan yang relatif singkat, dan mampu menyerap tenaga kerja terampil setempat – energi surya (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) mampu menjadi tulang punggung pencapaian target energi terbarukan, penurunan emisi gas rumah kaca, dan mendukung agenda target NZE Indonesia sebelum 2060, sekaligus mendukung agenda JETP. 

Pemenuhan target energi terbarukan 23% pada 2025 sesuai Perpres No. 22/2017 dapat dipenuhi dengan PLTS sebesar 18 GW (BloombergNEF dan IESR, 2021). Untuk mencapai NZE sebelum 2060, pemerintah juga dalam grand strategy energi nasional menetapkan target 38 GW energi terbarukan hingga 2035 dan memprioritaskan PLTS. Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Data capaian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukan bahwa bauran energi terbarukan pada tahun 2022 mencapai 14,5%. Dalam kurun waktu singkat, Indonesia harus mengejar ketertinggalan pembangunan energi terbarukan secara khusus dalam sektor kelistrikan. Kebijakan, strategi perencanaan, dan implementasi program yang mendukung serta sejalan dengan agenda transisi energi berkeadilan (JETP) dan target NZE melalui pemanfaatan energi surya perlu untuk terus didorong. Diseminasi publik tematik energi surya melalui seri “Bincang Energi Surya: Bincang Energi Surya: Teknologi, Kebijakan dan Tantangan Energi Surya dalam Mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Net Zero Emission (NZE)” akan menjadi wadah diskusi dan penggalian informasi bagaimana energi surya dapat mendukung komitmen iklim Indonesia.

Tujuan

  1. Mendiskusikan peran energi surya dalam mendukung Just Energy Transition Partnership (JET-P) dan target Net Zero Emission (NZE) Indonesia
  2. Mendiskusikan kebijakan serta  implementasi kebijakan energi surya sebagai upaya akselerasi transisi energi
  3. Membahas roadmap transisi energi, secara khusus energi surya, dalam mendukung target JETP dan NZE 

PR Panjang Transisi Energi Pemerintah Indonesia

Jakarta, 12 Januari 2023 – Transisi energi, secara definisi, adalah upaya perubahan suplai energi dari yang sebelumnya bergantung pada batubara ke energi yang lebih bersih. Upaya inilah yang terus didorong pemerintah Indonesia untuk menuju negara yang mandiri dan tahan energi. Namun, sebelum meraih hal tersebut, masih banyak tugas yang harus dipenuhi pemerintah Indonesia.

Handriyanti Diah Puspitarini, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Ruang Publik KBR: Transisi Energi di Indonesia, Sampai di Mana? yang diselenggarakan oleh Berita KBR (10/01) menjelaskan bahwa kajian IESR mengenai transisi energi memantau kesiapan publik lewat survei, dan kesiapan pemerintah lewat riset.

“Kesiapan publik (bottom up) sudah mendukung pengadaan energi yang lebih bersih, namun berdasarkan kerangka kesiapan transisi yang dikaji dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2023, pemerintah (top down) masih punya banyak hal yang harus ditingkatkan, terutama dari segi komitmen dan regulasi,” ungkap Handriyanti.

Sementara dalam kesempatan yang sama, Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior IESR menyatakan bahwa dari sisi bahan bakar fosil, pemerintah masih belum memperhatikan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri pertambangan, minyak, dan gas. 

“Pemerintah masih memantau emisi karbon dioksida (CO2) saja, dibandingkan metana yang memerangkap panas 29-30x lebih besar. Padahal, apabila terjadi pengurangan akan gas metana sebesar 30% saja, akan membantu mengurangi kenaikan suhu sebesar 0,5°C,” tegas Raditya.

Handriyanti dan Raditya kemudian membahas mengenai tren adopsi kendaraan listrik yang meningkat. Harganya yang masih tinggi kemudian memunculkan usulan pemerintah untuk subsidi kendaraan ini, yang diharapkan akan mendorong permintaan publik dan menurunkan harga kendaraan listrik pada akhirnya. 

Namun menurut mereka,  terdapat beberapa titik resistensi masyarakat mengenai transisi energi dan penggunaan kendaraan listrik ini. Pertama adalah paradigma bahwa bahan bakar fosil lebih hemat dibandingkan energi terbarukan. Padahal, harga tersebut merupakan hasil dari intervensi pemerintah berupa price capping, subsidi, dan kompensasi. Dampaknya, ketika harga minyak dunia tinggi, tentu ini akan membebani APBN. Kedua, adanya range anxiety yang artinya ketakutan akan kurangnya daya kendaraan listrik dalam melakukan perjalanan jauh. 

“Pemerintah kemudian harus menyiasati ini dengan memperbanyak stasiun pengisian daya di titik-titik perjalanan jauh seperti di pemberhentian tol,” ungkap Raditya.

Handriyanti dan Raditya membagi pembahasan kemajuan dan tugas pemerintah dalam soal transisi energi dari sisi tekno ekonomi, regulasi, dan pendanaan. Mereka menyampaikan bahwa harga teknologi energi terbarukan semakin terjangkau tiap tahunnya, misalnya seperti harga modul surya 70% lebih murah dibandingkan 7-10 tahun lalu dan diprediksi dapat lebih menurun lagi. Regulasi yang baik seperti Perpres 112/2021 yang menetapkan menteri untuk membuat peta jalan pemensiunan PLTU perlu didukung. Namun, regulasi ini masih harus dipantau pelaksanaannya dan diperbaiki, terutama mengingat pendanaan batubara dan fosil 10 kali lebih besar dibandingkan pendanaan energi terbarukan. 

“Keberadaan forum-forum internasional seperti G20 telah mendorong Indonesia untuk membuat komitmen menuju transisi energi dan menarik pembiayaan untuk upaya terkait. Diharapkan, pembiayaan ini bisa membantu Indonesia mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025,” pungkas keduanya.

Peluncuran ISEO 2023: Indonesia Perlu Target yang Jelas dan Implementasi yang Efektif untuk Kembangkan Energi Surya

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023. Laporan ini awalnya merupakan bagian dari Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang secara rutin diterbitkan setiap tahun sejak 2018. Mulai tahun ini bagian energi surya ini dibuat dalam laporan terpisah untuk memberikan laporan yang lebih mendalam mengenai perkembangan energi surya di Indonesia dan ekosistem pendukung yang dibutuhkan energi surya untuk semakin tumbuh di Indonesia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam sambutannya pada acara Shine Bright: Advancing G20 Solar Leadership yang diselenggarakan oleh IESR dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia, menyatakan bahwa harga energi surya tetap kompetitif meskipun terdapat kenaikan harga pada bahan baku pembuatan panel surya. Fabby juga menekankan pentingnya untuk mengembangkan industri surya baik untuk Indonesia maupun  seluruh negara G20 yang menjadi sorotan dalam upaya mengurangi emisi global. 

“Mengembangkan kerjasama di bidang manufaktur surya di antara negara G20 akan mengamankan pasokan produksi modul dan sel surya, menyeimbangkan sistem untuk memenuhi permintaan masa depan, dan mengurangi monopoli produk.”

Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, menekankan perlunya dukungan dari pihak industri dan produsen modul surya lokal untuk memenuhi ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) mengingat Indonesia memiliki bahan-bahan mineral untuk membuat modul surya maupun baterai.

“Kemudahan untuk mengakses pembiayaan, insentif, dan fasilitas pembiayaan lainnya sangat penting untuk menyediakan biaya studi kelayakan dan peningkatan investasi energi terbarukan salah satunya surya,” tutur Arifin.

Ajay Mathur, Direktur Jenderal International Solar Alliance, mengungkapkan bahwa untuk menjadikan energi surya menjadi energi pilihan, terdapat tiga hal yang harus dijadikan langkah strategis. Pertama, menyediakan informasi terkini, analisis, advokasi, serta menjalin relasi dengan berbagai pihak. Kedua, menyediakan sumber daya yang mumpuni supaya investasi energi surya ‘mengalir’, hal ini penting sebab investor akan menilai dan menimbang berbagai situasi yang dapat mempengaruhi pengembalian modal investasi mereka. 

“ISA menyetujui pembuatan fasilitas pembiayaan energi surya yang menyediakan modal jaminan risiko,” jelas Ajay.

Ajay menambahkan, langkah ketiga, penting untuk membangun kapasitas dan kapabilitas dari berbagai pihak yang menangani perkembangan energi surya seperti para pembuat kebijakan, operator, dan regulator.

Daniel Kurniawan, penulis utama laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 memaparkan sejumlah temuan dari laporan ini. Salah satunya meskipun energi surya semakin mendapat perhatian namun hingga Q3 2022 hanya 0,2 GWp surya yang berhasil di bangun.

“Berdasarkan RUPTL 2021-2030, PLN berencana untuk menambah 3,9 GW energi surya pada 2025, dimana 2,45 GW akan diadakan dengan skema IPP dan 1,45 GW akan dilelang langsung oleh PLN. Namun hingga Q3 2022 hanya delapan proyek IPP dengan kapasitas 585 MWp,” jelas Daniel.

Perpres 112/2022 yang keluar pada bulan September 2022 diharapkan dapat memberikan angin segar bagi transisi energi di Indonesia setidaknya dengan aturan tentang harga energi terbarukan dan instruksi percepatan penghentian PLTU batubara. 

Untuk mendorong percepatan pemanfaatan energi surya, laporan ISEO 2023 merekomendasikan sejumlah langkah, diantaranya agar PLN dapat mengatur jadwal lelang energi terbarukan, utamanya surya untuk tahun 2023. Sebelumnya pemerintah harus membuat target yang ambisius dan mengikat untuk energi terbarukan pada tahun tertentu misal 30% pada tahun 2030, 90% pada 2040, dan 100% pada 2050. Dengan target seperti ini PLN harus memberi ruang bagi energi surya pada jaringan PLN, salah satunya dengan memungkinkan sistem jaringan yang mampu mengakomodasi lebih banyak kapasitas energi surya. ISEO 2023 mencatat, berdasarkan analisis IEA sistem Jawa-Bali dan Sumatera dapat menampung sekitar 10% penetrasi energi surya.

Meskipun secara teknis sistem mampu menangani variabilitas energi surya, tantangan utama dalam merealisasikan penetrasi tenaga surya yang lebih besar adalah ketidakfleksibelan kontraktual (khususnya karena klausul take-or-pay pada perjanjian jual beli listrik PLTU dengan IPP dan juga kontrak pasokan energi primer untuk gas).

Daniel menambahkan, mempertimbangkan kesiapan industri manufaktur surya dalam negeri, besaran persentase TKDN perlu disesuaikan untuk waktu terbatas, misal sampai 2025. Sembari menyiapkan industri manufaktur dalam negeri untuk dekarbonisasi. Terakhir, ISEO 2023 juga merekomendasikan PLN untuk meninjau ulang kebijakan pembatasan pemasangan PLTS atap.

Henriette Faergemann, Environment, Climate Action EU Delegates to Indonesia and Brunei Darussalam, menyatakan penting untuk membuat kebijakan transisi energi yang ambisius dan konsisten untuk memberikan sinyal kuat pada investor dan institusi keuangan supaya mereka tertarik untuk ikut membiayai transisi energi.

“Ada progres baik bagi Indonesia dalam menyusun kebijakannya, namun masih ada berbagai hal yang perlu diperbaiki jika Indonesia ingin ini (transisi energi) terjadi dalam waktu cepat,” Henriette menjelaskan.

Joshua Wyclife, Chief of Operation International Solar Alliance, menyatakan hal senada bahwa perubahan struktural diperlukan dan perubahan ini dimulai dari kebijakan. Joshua juga menyatakan bahwa laporan ISEO ini merupakan salah satu cara meningkatkan kesadaran (awareness) bagi berbagai pihak tentang situasi perkembangan energi surya di Indonesia saat ini. 

“Salah satu cara untuk memaksimalkan potensi surya di Indonesia adalah dengan meningkatkan level dari awareness ke advokasi, oleh berbagai pihak melalui berbagai cara seperti workshop, memfasilitasi program pelatihan dengan sumber daya yang ada,” tutur Joshua.

Sementara itu Rahmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas, menyatakan bahwa laporan ini akan dipelajari lebih lanjut mengingat saat ini pihak Bappenas sedang menyusun dokumen perencanaan pembangunan nasional seperti RPJP dan RPJM dimana salah satunya tentang strategi transisi energi.

“Dengan komitmen kita untuk mencapai target RUEN, Paris Agreement, dan NZE tentu kita harus menyediakan listrik yang handal dengan harga terjangkau, dan lambat laun pembangkit fosil akan digantikan oleh energi terbarukan,” jelas Rahmat.

Dewanto, Vice President Aneka Energi PLN, menyatakan bahwa PLN terus mendukung pengembangan energi terbarukan.

“RUPTL merupakan salah satu wujud nyata dukungan PLN pada energi baru terbarukan. Sesuai RUPTL, hingga awal 2023 PLN akan melelang hampir 1 GW proyek renewable,” kata Dewanto.

Peluncuran ISEO 2023: Memacu Pemanfaatan Energi Surya di Indonesia

Jakarta, 27 Oktober 2022 – Pemanfaatan energi surya di Indonesia perlu didorong secara cepat. Aturan yang jelas, dukungan terhadap industri produksi komponen PLTS, serta peningkatan kapasitas untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja di bidang energi surya pun perlu dipersiapkan. 

Menurut data Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023, secara kapasitas terpasang PLTS terdapat peningkatan dari 43,9 MWp di 2021 menjadi 63,5 MWp di September 2022. Jumlah ini tergolong kecil, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, khususnya Vietnam yang bahkan sudah masuk dalam orde Gigawatt. 

Senda Hurmuzan Kanam, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi memaparkan, kapasitas terpasang PLTS di Indonesia masih dalam tahap awal yakni sekitar 200 MW-400 MW . Ia berpendapat,  Indonesia perlu berkaca dengan Vietnam yang bisa memasang sekitar 10 – 20 GW solar panel per tahunnya. 

“Dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia tertinggal jauh. Kita perlu mencari peluang demand untuk energi terbarukan khususnya PLTS. Saat ini, kami memiliki program hibah PLTS atap untuk menarik minat lebih banyak konsumen listrik menggunakan PLTS atap,” jelas Senda dalam acara Advancing G20 Solar Leadership sekaligus peluncuran laporan ISEO 2023 yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan dukungan dari Bloomberg Philanthropies, dan berkolaborasi dengan International Solar Alliance, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia.  

Senada, Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim menyatakan, perkembangan energi surya di Indonesia masih dalam kondisi stagnan, relatif tidak bergerak. Menurutnya, perlu  rencana yang lebih jelas untuk mencapai target  23% bauran energi terbarukan pada 2025 dengan memanfaatkan PLTS.

“Setidaknya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) perlu dengan jelas menunjukkan program energi surya dan semua energi terbarukan dan menyebutkan lokasi potensialnya. Saat ini, RUPTL yang ada hanya membahas seluruh energi terbarukan secara nasional dan tidak menyebutkan lokasi potensialnya secara detail. Padahal, keekonomian baru bisa dihitung setelah adanya lokasi, biaya lokasi dan biaya jaringannya. Jadi sebaiknya membangun resource inventory terlebih dahulu,” jelas Herman. 

Meski terdapat beberapa tantangan untuk percepatan energi surya, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan, produksi panel surya akan semakin berkembang dengan syarat tertentu. Misalnya terdapat insentif bagi konsumen yang menggunakan panel surya produksi dalam negeri dibandingkan luar negeri. Selain itu, Andhika menegaskan, terdapat dua ekosistem yang perlu digencarkan untuk percepatan energi surya yakni ekosistem pemanfaatan dan ekosistem industri. 

“Ekosistem pemanfaatan yaitu tenaga surya bisa digunakan di sistem besar maupun isolated. Jadi kita bisa mengakomodasi listrik ke daerah yang belum mendapatkan listrik sama sekali dan tidak memiliki sumber daya lain. Lalu, tumbuhnya ekosistem industri ini berkaitan erat dengan ekosistem pemanfaatannya. Untuk menumbuhkan ekosistem industri diperlukan pasar yang bisa menyerap modul surya,” terang Andhika. 

Sementara itu, Anthony Utomo, Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menjelaskan, PLTS menjadi sebuah kebutuhan karena adanya gerakan dekarbonisasi dan pendekatan net zero emission (NZE). Namun demikian, terdapat beberapa tantangan untuk menggencarkan PLTS tersebut. 

“Dua tantangan yang dihadapi Indonesia. Pertama, kesiapan user (pelanggan) menggunakan PLTS, sehingga dibutuhkan edukasi yang konsisten dan masif. Saya kira sejalan dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017 yang menjadi konsensus bersama, berisi 30% bangunan pemerintah didorong menggunakan PLTS, rumah mewah 25% dan hilirisasi industri. Kedua, skill (keterampilan) tenaga pemasangan PLTS, perlu adanya pembekalan solar preneur atau UMKM hijau sehingga bisa menyambut fenomena penggunaan PLTS atap di seluruh daerah,” tegas Anthony. 

Institute for Essential Services Reform secara konsisten mencatat kemajuan dan tantangan dari pengembangan energi surya dalam kerangka transisi energi pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO). Namun pada 2023, IESR meluncurkan laporan progress energi surya di Indonesia secara terpisah dalam Indonesia Solar Energy Outlook (ISEO) 2023.

Melihat Peluang dan Tantangan Transisi Energi di Daerah

Bali, 30 Agustus 2022 – Pemerintah daerah (Pemda) dan masyarakat dapat menjadi motor untuk percepatan transisi energi. Transisi energi yang terdesentralisasi relatif memerlukan waktu yang  lebih singkat karena dilakukan dalam skala kecil dan dampaknya pun dapat secara langsung dirasakan dan dilihat oleh masyarakat. 

Disampaikan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, dalam seminar paralel G20 “Decentralizing energy transition: Advancing the role of the community and subnational government” (30/8), bahwa dalam konteks pengembangan energi terbarukan diperlukan desentralisasi asimetris, yang berarti masing-masing Pemda diberikan ruang yang cukup untuk merencanakan pengembangan energi terbarukan sesuai potensi dan situasi daerahnya.

“Potensi kemandirian energi di desa-desa ini, dari sisi bisnis tidak bagus sebab skalanya relatif kecil untuk skala bisnis, tetapi jika kita tidak membuat contoh seperti pemasangan PLTS sebesar 20 kWp untuk 8 UMKM di Jepara, PLTS off grid untuk pompa air, atau PLTMH dengan kapasitas 15 kWp yang melistriki 75 kepala keluarga, dengan sungguh memanfaatkan potensi yang ada di lokal,  maka tidak akan terlaksana, jadi kita perlu keberanian untuk berubah.” tegas Ganjar.

Ida Ayu Giriantari, Staf Khusus Gubernur Bali menyatakan masyarakat, utamanya masyarakat Bali memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk menjaga lingkungan dan beralih pada sumber energi yang lebih ramah lingkungan. 

“Energi bersih sudah menjadi landasan hidup dan visi pembangunan Bali sejak dulu dan tertuang dalam Pergub 45/2019, ketika pemerintah pusat membuat kebijakan energi bersih secara nasional kami merasa ada dukungan dari pemerintah pusat,” katanya.

Pada bulan Maret 2022, Gubernur Bali mengeluarkan surat edaran yang menghimbau untuk kantor pemerintah, dan bangunan pariwisata memasang PLTS atap. Hal ini salah satunya untuk mengejar target Bali mencapai status netral karbon 2045.

“Dengan kerjasama semua stakeholder dan masyarakat saya optimis kita bisa mencapai Bali Net Zero Emission 2045,” tutur Ida Ayu.

Dilalui aliran sungai Batang Hari, provinsi Jambi mulai memperkenalkan penggunaan energi terbarukan pada tahun 2000an mencakup PLTA, PLTB (Tanjung Barat dan Timur), dan surya.

“Saat ini kami sedang menyiapkan program bantuan konsumsi energi terintegrasi dapur dan rumah tangga, atau kami sebut program Boenda. Ini akan segera kami luncurkan,” jelas Abdullah Sani, Wakil Gubernur Jambi pada acara yang sama.

Sani melanjutkan bahwa pemerintah Provinsi Jambi berkomitmen untuk bekerjasama dengan pemerintah pusat maupun swasta untuk mengembangkan transisi energi karena sumber daya yang tersedia dirasa sudah cukup melimpah namun masih perlu mentransformasikannya menjadi energi yang dapat digunakan.

Bob Saril, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PT PLN, menyatakan bahwa pihaknya sebagai penyedia listrik di Indonesia telah merancang skema transisi energi melalui RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) berbasis energi terbarukan.

“Dalam RUPTL saat ini porsi energi terbarukan mencapai 52%, hal ini menjadi langkah awal dalam transisi yang kami rancang. Bahwa setelah 2022, kita tidak lagi menambah komitmen PLTU baru lagi,” kata Bob.

Chrisnawan Anditya, Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM, menyatakan bahwa perbedaan potensi EBT di berbagai daerah merupakan tantangan teknis sekaligus peluang besar untuk sistem energi kita. 

“Hal ini memungkinkan pembagian energi berbasis EBT, ketika daerah mengalami kelimpahan atau kelangkaan energi. Agar hal tersebutdapat terjadi, maka diperlukan sistem tenaga listrik yang terintegrasi (SmartGrid dan SuperGrid),” jelas Chrisnawan.

Sektor energi diperkirakan akan menjadi kontributor emisi utama jika tidak ditangani dengan serius. Togap Simangunsong, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Dalam Negeri menjelaskan pihaknya terus memantau provinsi-provinsi dalam menyusun Perda RUED (Rencana Umum Energi Daerah) sebagai turunan dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“27 dari 34 provinsi sudah memiliki Perda RUED dan sejumlah provinsi masih berproses dengan tahapan beragam untuk penyusunan RUED-nya,” tutur Togap.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengingatkan para pemimpin daerah untuk menyelaraskan RUED dengan RPJMD supaya kebijakan yang dibuat sejalan sehingga pelaksanaannya pun dapat berjalan lancar. Dirinya juga menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam inisiatif transisi energi di daerah

“Masyarakat dapat ikut serta berinvestasi pada energi terbarukan dengan memasang PLTS atap di rumah masing-masing. Pemda juga dapat berkontribusi dengan mengalokasikan anggaran pada sektor ini. Jika investasi dalam negeri tumbuh baik, maka investasi asing pun akan lebih tertarik untuk masuk,” jelas Fabby.