Mendorong Transisi Energi pada Sektor Industri di Sumatera Selatan

Jelajah Energi Sumatera Selatan

Palembang, 26 Februari 2024 – Energi merupakan kebutuhan pokok bagi individu maupun kelompok komunal dengan berbagai tujuan. Meskipun energi merupakan hal yang melekat pada hidup manusia, belum banyak orang yang tahu bahkan kritis dengan sumber energi (seperti listrik) yang digunakan sehari-hari.

Pada skala yang lebih besar seperti sektor industri, kebutuhan energi akan berbanding lurus dengan produktivitas dan kontribusi ekonomi dari produk yang dihasilkan. Agak berbeda dengan penggunaan energi pada skala rumah tangga, penggunaan energi pada sektor industri relatif cukup terpantau. Secara kesadaran terhadap sumber energi,  industri cenderung lebih memahami sumber energi yang mereka pilih. 

Dalam upaya untuk mempromosikan pemanfaatan energi terbarukan, Institute for Essential Services Reform (IESR) berkolaborasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sumatera Selatan menyelenggarakan aktivitas Jelajah Energi Sumatera Selatan selama satu pekan mulai dari Senin, 26 Februari 2024 hingga Jumat 1 Maret 2024. Aktivitas ini juga merangkul awak media sebagai mitra strategis dalam meningkatkan literasi publik terhadap transisi energi. 

Rangkaian acara diawali dengan lokakarya pengantar untuk memberikan pemahaman pada peserta tentang energi dan lanskap energi Sumatera Selatan, yang berperan sebagai “lumbung energi”. Namun, dominan energi yang dimanfaatkan  adalah energi fosil berupa batubara. Sementara, selain sumber energi fosil, Provinsi Sumatera Selatan juga memiliki potensi teknis energi terbarukan mencapai 21.032 MW, hanya saja baru termanfaatkan sekitar 4,7% atau 989 MW.

Rizqi M. Prasetyo, Koordinator Proyek Sub-Nasional IESR menjelaskan dengan potensi energi terbarukan yang dimiliki Sumatera Selatan, dapat diciptakan proyek-proyek yang membawa manfaat bagi masyarakat.

“Salah satu (praktik baik, red) yang telah dilakukan di Sumatera Selatan ini  adalah inisiasi swasta untuk menggunakan PLTS untuk menggerakkan pompa air irigasi lahan,” kata Risky.

Sekretaris Dinas ESDM Provinsi Sumatera Selatan, Ahmad Gufran, menyampaikan bahwa pihaknya terbuka akan berbagai ide untuk menggunakan energi terbarukan lebih besar.

“Kami akan terus berkontribusi dalam pengembangan sektor energi terbarukan untuk mendapatkan energi bersih yang ramah lingkungan. Ke depannya, kami berharap pemanfaatan energi bersih dapat lebih berkembang ke seluruh lapisan masyarakat,” ujar Ahmad Gufan.

Perwakilan Peserta Jelajah Energi Sumatera Selatan

 

Setelah mendapatkan lokakarya pengantar umum, perjalanan Jelajah Energi pun dimulai dengan mengunjungi PT Pupuk Sriwidjaja (PUSRI). PT PUSRI merupakan produsen pupuk pertama di Indonesia dan telah beroperasi sejak era 1970-an. Mengingat masa operasional perusahaan yang sudah cukup panjang, maka aset-aset produksi pun telah memasuki masa revitalisasi. Hal ini juga digunakan untuk memilih jenis teknologi yang lebih bersih untuk masa operasional ke depan.

VP Lingkungan Hidup PUSRI Palembang, Yusuf Riza, menjelaskan dalam upaya sejalan dengan agenda pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) PT PUSRI melakukan sejumlah langkah antara lain menerapkan praktik efisiensi energi, penggunaan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional di lingkungan pabrik, hingga pemasangan PLTS atap secara on-grid untuk operasional kantor.

“Saat ini kami sudah memasang PLTS atap sebesar 110 kWp secara on grid sebagai sumber energi di gedung kantor, dan tahun ini (2024, red) kami berencana untuk menambah kapasitas PLTS kami sebanyak 100 kWp. Sehingga total kami akan memiliki kapasitas PLTS sekitar 210 kWp,” kata Yusuf.

Menelusuri Pemanfaatan Energi Terbarukan di Bumi Sriwijaya

Palembang, 27 Februari 2024 Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumatera Selatan mengadakan Jelajah Energi, sebuah acara untuk menjelajahi potensi dan implementasi energi terbarukan di wilayah Sumatera Selatan. Jelajah Energi Sumatera Selatan telah dilaksanakan mulai hari Senin, 26 Februari – 1 Maret 2024. Pada hari kedua, tim Jelajah Energi melihat langsung pemanfaatan energi surya di PLTS Jakabaring dan biomassa di PT Buyung Poetra Energi.

PLTS Jakabaring, sebuah proyek yang merupakan hasil kerjasama antara Indonesia dan Jepang melalui Joint Crediting Mechanism (JCM), untuk memenuhi kebutuhan listrik pada pelaksanaan Asian Games 2018. Nilai total investasi proyek ini mencapai USD 139 juta, dengan sebagian besar dana berasal dari investasi swasta Indonesia dan subsidi dari Pemerintah Jepang. 

Ali Kartiri, Manajer Operasional PT Sumsel Energi Gemilang, yang bertanggung jawab atas PLTS Jakabaring menuturkan, inisiatif pembangunan PLTS Jakabaring berasal dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Dalam kerjasama dengan Sharp Jepang, proyek ini berhasil memperoleh subsidi dari Pemerintah Jepang, sebagian besar dialokasikan untuk pendanaan teknologi dan infrastruktur yang mendukung target penurunan emisi gas rumah kaca.

“PLTS Jakabaring menghasilkan energi listrik hingga 2 Megawatt (MW) ketika sinar matahari mencapai puncaknya. Namun, pada musim hujan, produktivitas PLTS ini terkadang terpengaruh, hanya mampu menyerap sekitar 10% energi surya. Sejak beroperasi komersial pada tahun 2018, PLTS Jakabaring telah berhasil terintegrasi ke dalam jaringan PLN, menyumbangkan energi terbarukan untuk masyarakat setempat,” ujar Ali. 

Sementara itu, tim Jelajah Energi turut berkunjung ke PT Buyung Poetra Energi (BPE), yang telah mengembangkan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) merupakan inisiatif perseroan terhadap kepedulian untuk terus menjaga kelestarian lingkungan. Candra Priansyah, Supervisor Operasional PT BPE, menjelaskan bahwa PLTBm ini menggunakan sekam padi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan listrik. Dengan pendekatan ini, limbah yang sebelumnya menjadi masalah lingkungan kini menjadi sumber energi yang berguna.

Rombongan Jelajah Energi Sumsel di PLTS Jakabaring
Rombongan Jelajah Energi Sumsel di PLTS Jakabaring

“Limbah  dari produksi (penggilingan padi, red) itu berupa sekam awalnya akan dibakar di boiler untuk menghasilkan uap. Kemudian, uap ditransfer ke steam turbin untuk menjalankan generator Untuk pembangkit listrik ini dibutuhkan 4 ton sekam/jam dengan kapasitas 3 MW. Tetapi, tidak semua sekam digunakan untuk pembangkit. Dari persediaan sekam yang ada, hanya sekitar 70% untuk pembangkit dan 30% untuk pemanas dalam mengeringkan gabah padi,” ujar Candra. 

Dengan kondisi demikian, kata Candra, seluruh limbah sekam di PT BPE termanfaatkan dan tidak ada yang dibuang ke lingkungan. Tak hanya itu, listrik yang dihasilkan dari PLTBm ini cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan. Candra berharap,  adanya pembangkit listrik ini bisa mengurangi sampah-sampah kulit padi khususnya dari pabrik di Sumatera Selatan. Selama ini kulit padi dibuang ataupun hanya dibakar saja. Tak hanya itu, pihaknya juga membuat mesin pengepres hasil samping sekam padi menjadi pellet di Pabrik Subang, Jawa Barat. Pellet ini nantinya dijual untuk pabrik semen sebagai bahan bakar. 

Kunjungan ini memberikan gambaran yang jelas tentang komitmen Sumatera Selatan dalam mengembangkan energi terbarukan sebagai bagian dari solusi untuk tantangan lingkungan global. Dengan kolaborasi antara sektor publik dan swasta, serta dukungan dari pemerintah asing, Sumatera Selatan terus bergerak maju menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Kata Data | PLTS Atap untuk Rumah Tangga Akan Lebih Mahal Imbas Aturan Baru

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 yang mengatur Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, mengakui bahwa konsumen rumah tangga akan kesulitan untuk mengadopsi PTS atap setelah aturan baru tersebut diterbitkan.

Baca selengkapnya di Kata Data.

Langkah Mengejar Bali NZE pada 2045 dan 100 Persen Energi Terbarukan di Nusa Penida pada 2030

Denpasar, 21 Februari 2024 – Sejak dideklarasikan pada Agustus 2023, Pemerintah Provinsi Bali  menyusun dan melaksanakan strategi untuk mengejar target Bali menuju net zero emission (NZE) pada 2045 serta mewujudkan Nusa Penida dengan 100 persen energi terbarukan pada 2030. Bersama dengan mitra non-pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Bali Emisi Nol Bersih (Institute for Essential Services Reform (IESR), WRI Indonesia, New Energy Nexus Indonesia, dan CAST Foundation), berbagai kegiatan untuk mendukung Bali NZE 2045 telah dilakukan hingga saat ini – termasuk penyusunan peta jalan Bali NZE 2045 dan kampanye publik Sustainable Energy Bali pada November 2023 lalu. 

Dalam penyusunan peta jalan Bali NZE 2045, Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan analisis Nusa Penida 100% energi terbarukan 2030 – yaitu menjadikan Nusa Penida sebagai pulau berbasis energi terbarukan.

Setidaknya terdapat tiga alasan pokok yang menyebabkan Nusa Penida dipilih sebagai pulau dengan 100 persen energi terbarukan yaitu ketersediaan potensi energi terbarukan yang melimpah, letak geografis yang terpisah dari Bali daratan dan potensi ekonomi dari pengembangan pariwisata hijau (green tourism). 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengungkapkan peluang besar Nusa Penida untuk menjadi pulau percontohan berbasis energi terbarukan bahkan memasok kebutuhan energi di Pulau Bali. Tidak hanya itu, pemanfaatan energi terbarukan akan menjadikan magnet yang menarik lebih banyak pengunjung ke Nusa Penida dan berdampak pada peningkatan ekonomi daerah.

“Studi IESR untuk Nusa Penida, jika pembangkit energi terbarukan ditingkatkan maka biaya produksi tenaga listrik lebih murah dibandingkan menggunakan pembangkit listrik diesel. Konsumsi bahan bakar saat ini saja untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) biaya produksi listriknya bisa mencapai Rp 4,5 ribu/kWh. Dengan 100 persen energi terbarukan, maka biaya produksi listriknya bisa turun 30-40 persen,” papar Fabby dalam Media Gathering “100 Persen Energi Terbarukan di Nusa Penida” yang diselenggarakan oleh IESR.

Lebih jauh, Fabby mengungkapkan kajian awal Nusa Penida dengan 100 persen energi terbarukan pada 2030 sedang dilakukan dan akan diluncurkan pada 6 Maret 2024 mendatang. Hal ini merupakan langkah awal untuk menguji konsep dan melakukan perencanaan sistem ketenagalistrikan. Untuk mewujudkan Nusa Penida 100% energi terbarukan 2030, tentunya diperlukan dukungan dari berbagai pihak – baik pemerintah di tingkat pusat dan daerah, mitra-mitra pembangunan dan non-pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat.

Berdasarkan analisis IESR dan Center of Excellence Community Based Renewable Energy (CORE) Udayana, potensi energi terbarukan di Nusa Penida mencapai lebih dari 3.219 MW yang terdiri dari 3.200 MW PLTS ground-mounted, 11 MW PLTS atap, 8 MW biomassa, belum termasuk potensi energi angin, arus laut, dan biodiesel. Sementara, untuk mengatasi sifat variable renewable energy  yang tersedia pada waktu-waktu tertentu dan dipengaruhi kondisi cuaca, Nusa Penida memiliki potensi penyimpanan daya hidro terpompa (PHES) hingga 22,7 MW. Selain itu, analisis ini juga memasukkan kebutuhan sistem penyimpanan energi dalam bentuk baterai (BESS). 

Hasil pemodelan IESR menunjukkan untuk mencapai 100 persen energi terbarukan di Nusa Penida pada tahun 2030, sumber energi dominan yang menjadi tumpuan adalah PLTS, dikarenakan teknologi yang semakin murah dan sumber yang melimpah. Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, mengungkapkan bahwa sistem ketenagalistrikan Nusa Penida 100 persen energi terbarukan secara teknis memungkinkan dan mampu mencapai biaya pembangkitan yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan pembangkit diesel. Saat ini, peta jalan sedang dalam tahap finalisasi setelah mendapatkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholder).

“Tahap pertama dalam mencapai 100% energi terbarukan di tahun 2030 adalah mencapai diesel daytime-off system, yang memaksimalkan pemanfaatan sistem PLTS dan BESS di siang hari,” jelas Alvin “Secara bersamaan perlu juga didorong untuk kajian lebih lanjut terkait sumber energi lainnya, seperti produksi biomassa, biodiesel, arus laut dan bayu. Sehingga potensi-potensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk mencapai pengakhiran penggunaan diesel (diesel phase-out) di 2030.” tutup Alvin.

Peran Industri Menuju Masa Depan Bersih

Bandung, 25 Januari 2024Indonesia, sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam yang melimpah, tengah berkomitmen untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau bahkan lebih awal. Dalam usaha mewujudkan transisi energi menuju masa depan berkelanjutan ini, sektor industri memiliki peran yang sangat krusial. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), emisi gas rumah kaca (GRK) sektor industri di Indonesia mencapai 238,1 juta ton CO2e pada 2022. Dalam kurun 2015-2022 mencapai 8-20% dari total emisi GRK nasional. Penyumbang emisi terbesar berasal dari penggunaan energi industri. 

Berkaca dari kondisi tersebut, tim Jelajah Energi Jawa Barat melanjutkan kunjungan ke sejumlah industri pada hari ketiga untuk melihat pemanfaatan energi terbarukan. PT Kahatex, PT Surya Energi Indotama, dan Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang menjadi contoh nyata bagaimana industri dapat memainkan peran sentral dalam pemanfaatan energi terbarukan.

Mengurangi Dampak Emisi dari Proses Produksi Industri Garmen dengan Energi Terbarukan

Industri apparel dan garmen, terutama yang masuk dalam rangkaian rantai pasok merk global, memiliki tanggung jawab untuk ikut ‘membersihkan’ proses produksinya. Adanya mekanisme Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) mengharuskan industri ini untuk berhitung berapa banyak emisi karbon yang dihasilkan selama proses produksi. 

Dedi Supriadi, Sustainability Compliance PT Kahatex Majalaya, menyampaikan bahwa saat ini industri tekstil sedang berlomba-lomba untuk bisa berkontribusi dalam hal pengurangan emisi dengan brand internasional. Berbagai upaya dan penggunaan teknologi energi bersih juga terus diupayakan.

“Dari tahun 2021, kami (Kahatex Majalaya) memasang PLTS atap sebanyak 15% dari kapasitas daya terpasang. Dari pemasangan PLTS ini kami berhasil menurunkan emisi sekitar 40%-50% dari 7.567e-1 CO2/unit menjadi 3.190e-1 CO2/unit,” jelas Dedi.

Adanya penurunan emisi yang signifikan ini memicu pihak Kahatex untuk mencari peluang pemanfaatan energi terbarukan lain. Sejak 2022 juga Kahatex mulai menjajaki penggunaan biomassa sebagai sumber energi panas (co-firing dengan batubara), dan sejak 2023 PT Kahatex Majalaya telah menggunakan 100 persen biomassa untuk memenuhi kebutuhan panas dalam proses produksinya.

Surya Menerangi Bumi Indonesia

Direktur Teknik & Operasi, PT Surya Energi Indotama (SEI), Fajar Miftahul Falah memaparkan, SEI sebagai anak perusahaan PT Len Industri (BUMN) mengemban tugas dalam pengembangan bisnis energi terbarukan, khususnya energi surya. Fajar menyatakan, tantangan terberat SEI sejak pendiriannya yakni bidang bisnisnya itu sendiri. Menurut Fajar, pada awal berdiri, banyak yang meragukan atas eksistensi pihaknya sebagai perusahaan tenaga surya. Selain harga PLTS yang masih mahal, Indonesia dianggap belum siap menerima tawaran. Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi energi surya semakin pesat dan harga PLTS sudah relatif terjangkau. Kini pihaknya telah berkecimpung di industri pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sejak tahun 2009, yang berarti lebih dari 15 tahun pengalaman, dengan total kapasitas terpasang PLTS lebih dari 60 MW di seluruh Indonesia. 

Suasana ruang operasional PT SEI untuk memproduksi PLTS 

“Proyek pembangunan PLTS yang digarap kami sekitar 70% berlokasi di wilayah daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) serta mendekati 3T. Untuk itu, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi ketika mengembangkan PLTS di daerah tersebut di antaranya medan yang sulit dijangkau dan faktor keamanan,” tegas Fajar. 

Tak hanya itu, kata Fajar, dari segi biaya pembangunan PLTS di wilayah 3T justru lebih mahal daripada daerah lain, seperti di Pulau Jawa. Sayangnya, banyak masyarakat yang beranggapan biaya pembangunan PLTS di seluruh daerah sama. Yang sebenarnya terjadi adalah PLTS memang murah, tetapi anggaran untuk membangunnya yang mahal. 

“Beberapa proyek PLTS yang kami kerjakan di antaranya PLTS hybrid Nusa Penida, Bali dengan kapasitas 4,2 kWp, PLTS rooftop Terminal Eksekutif Merak berkapasitas 324 kWp dan Terminal Eksekutif Bakauheni dengan kapasitas 192 kWp. Dengan fokus bisnis energi terbarukan, kami berharap dapat turut serta berkontribusi untuk Indonesia mencapai target NZE pada 2060 atau lebih awal,” ujar Fajar. 

Panas Bumi untuk Kurangi Emisi

Rintik-rintik hujan menyambut tim Jelajah Energi Jawa Barat saat tiba di PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) di bawah Direktorat Hulu yang mengelola panas bumi mulai kegiatan eksplorasi sampai dengan produksi uap dan listrik. Pengembangan sumber energi panas bumi Kamojang tersebut dikelilingi hamparan hutan pinus di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.  

Yustinar Uli, perwakilan tim PGE memaparkan, PGE Area Kamojang menjadi pioneer pengusahaan panas bumi di Indonesia dengan pemboran sumur eksplorasi panas bumi pertama oleh Belanda pada tahun 1926-1928. PGE Area Kamojang mulai beroperasi pada 29 Januari 1983 ditandai dengan beroperasinya PLTP Unit 1 Kamojang. 

Lalu, dilanjutkan dengan pembangunan unit-unit lainnya hingga PLTP Kamojang Unit 5 yang mulai beroperasi pada 2015. Saat ini PGE mengoperasikan PLTP Kamojang Unit 4 dan 5 masing-masing 60 MW dan 35 MW, sementara PLTP Kamojang Unit 1,2 dan 3 dengan kapasitas total 140 MW dioperasikan oleh PLN,” ujar Yustinar. 

Yustinar menuturkan, total kapasitas terpasang pembangkit panas bumi di area Kamojang mencapai 235 megawatt (MW) atau setara dengan pengurangan emisi CO2 1,2 juta ton per tahun. Listrik yang dihasilkan, kata Yustinar, diserap oleh PT PLN dan didistribusikan melalui sistem interkoneksi kelistrikan Jawa Madura Bali (Jamali).

 

Tukar Wawasan Pengembangan Manufaktur Industri Surya Lokal di Indonesia dan Vietnam

Ha Noi, 14 Desember 2023 – Kementerian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Vietnam menyelenggarakan acara tahunan: Forum Teknologi dan Energi 2023, bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan dan proyek Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia di Vietnam. Dalam beberapa tahun terakhir, tren transisi energi di Vietnam mengalami perkembangan yang besar, terutama pada PLTB dan PLTS. Pada akhir tahun 2022, total kapasitas dari PLTB dan PLTS mencapai 20.165 MW, yang berkontribusi 25,4% dari total kapasitas daya dalam sistem.

Namun, terlepas dari kemajuan tersebut, 90% peralatan untuk proyek energi terbarukan di Vietnam diimpor dari negara-negara seperti Cina, Jerman, India, dan Amerika Serikat. Ketergantungan ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan negara untuk melakukan tugas-tugas spesifik selama fase penilaian dan pengembangan proyek dan ketergantungan yang tinggi pada teknologi impor. Faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini, di antaranya kapasitas teknologi lokal yang tidak memadai, tingkat produksi yang tidak memenuhi persyaratan, dan kurangnya dukungan dari kebijakan dan mekanisme industri untuk mendorong listrik terbarukan.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan Vietnam dan rantai pasokan lokal mengalami partisipasi yang terbatas. Demikian pula, Indonesia menghadapi tantangan yang sama dalam pengadaan energi terbarukan, khususnya tenaga surya. Meskipun kedua negara ini memiliki potensi tenaga surya yang sangat besar, pasar domestik mereka belum siap untuk manufaktur tenaga surya. Kekurangan ini berasal dari ketidakpastian dalam permintaan lokal dan kurangnya daya saing dalam rantai pasokan lokal.

Fabby menjelaskan mengenai regulasi konten lokal yang dapat meminimalisir ketergantungan pada produk impor.

“Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah pasar domestik, produk-produk lokal ini menghadapi kesulitan untuk masuk ke pasar. Kurangnya jalur pengembangan yang kredibel membatasi kelayakan finansial untuk fasilitas manufaktur modul surya baru. Untuk PLTS atap, PLN membatasi kapasitas instalasi hingga 15%. Peraturan ini semakin menghambat pasar modul surya dalam negeri,” kata Fabby.

Fabby kemudian menyoroti beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari penerapan Tingkat Kemampuan Dalam Negeri di Indonesia (TKDN), yang berpotensi mempercepat pengembangan konten lokal energi surya Vietnam. Pertama, terlepas dari proyeksi pertumbuhan tenaga surya, tersedianya jalur distribusi modul surya yang jelas akan mengirimkan sinyal pasar yang cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan industri modul surya. Kedua, ketidakkonsistenan dalam kebijakan di seluruh badan pemerintah dapat menghambat investasi di pasar tenaga surya karena meningkatnya ketidakpastian. Ketiga, dukungan untuk industri modul surya dalam negeri harus mencakup industri bahan baku hilir untuk mengurangi ketergantungan impor dan meningkatkan daya saing produk akhir. Terakhir, pemerintah harus memberikan insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, untuk mendorong pengembangan fasilitas manufaktur modul surya. Fabby menekankan bahwa TKDN, tanpa iklim investasi yang kondusif untuk industri, mungkin akan menghambat, bukannya mendorong pengembangan tenaga surya.

Menggalakkan Pemanfaatan Energi Surya di Jambi

Jambi, 28 November 2023 – Dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia menargetkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Hingga tahun 2023, Indonesia baru meraih 12,5% energi terbarukan pada bauran energinya. Dalam Forum Pemerintah Jambi yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR) berkolaborasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jambi (28/11), Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan menyatakan bahwa Dewan Energi Nasional (DEN) memprediksi pada tahun 2025 Indonesia hanya akan mencapai 17-19 persen bauran energi terbarukan pada bauran energi nasional.

“Peran provinsi dalam mengejar target energi terbarukan yang telah ditentukan penting, sesuai dengan potensi di tiap-tiap daerah,” kata Yunus.

Yunus menambahkan,  Jambi memang memiliki sumber daya fosil yang cukup banyak, namun masih dapat menangkap berbagai peluang untuk mengembangkan energi terbarukannya, seperti penggunaan PLTS atap pada bangunan pemerintah.

Anjas Bandarso, Analisis Kebijakan Energi dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, dalam forum yang sama menyoroti perihal kewenangan pemerintah daerah yang terbatas untuk urusan energi. 

“Apapun yang dilakukan oleh daerah, selama tidak ada kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah maka hanya akan menjadi cerita belaka. Maka pemerintah pusat mencari upaya bagaimana daerah bisa mengembangkan energi baru terbarukan. Hal ini dapat diwujudkan dengan Perpres 11/2023 tentang tambahan kewenangan konkuren bagi pemerintah daerah,” kata Anjas.

Nanang Kristanto, Sub Koordinator Pemantauan Pelaksanaan RUEN, Dewan Energi Nasional menambahkan bahwa target apapun yang menjadi prioritas pemerintah baik itu untuk Net Zero Emission (NZE) ataupun mencapai angka bauran energi terbarukan, pemerintah daerah memiliki peran penting. 

“Pemerintah daerah memiliki peran penting untuk mendorong agenda transisi energi dengan memaksimalkan kegiatan turunan transisi energi di wilayahnya, dukungan pendanaan, menyiapkan SDM untuk menjaga instalasi pembangkit terdesentralisasi, serta sosialisasi tentang energi baru terbarukan di kabupaten bahkan kecamatan,” kata Nanang.

Selain memiliki hasil alam seperti perkebunan kelapa sawit dan penghasil batubara, Jambi juga memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Provinsi Jambi menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 24% pada tahun 2025, dan target ini optimis tercapai sebab saat ini sedang dibangun PLTA Merangin-Kerinci dengan kapasitas 350 MW. 

Jambi juga memiliki potensi energi surya yang cukup besar, mencapai 281,5 GW berdasarkan kesesuaian lahan. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR menyatakan bahwa energi surya bisa menjadi salah satu pilihan yang memungkinkan berbagai pihak untuk ikut berkontribusi pada tersedianya listrik yang bersih. 

“PLTS atap memiliki sejumlah manfaat seperti sebagai sarana gotong-royong pencapaian target bauran energi dan penurunan emisi, tersedianya sumber listrik bersih di berbagai daerah, membuka peluang usaha/kerja bagi warga sekitar, juga meningkatkan daya saing industri/usaha tenaga surya di Indonesia,” katanya.

Marlistya menambahkan bahwa masyarakat mendambakan adanya insentif untuk pengguna PLTS atap yang dapat berupa kemudahan perizinan, ataupun fasilitasi pembiayaan oleh pemerintah.