Institusi Finansial Asia Tengah melirik potensi pengembangan proyek transisi energi, IsDB selenggarakan pertemuan bersama IESR.

Jakarta, 1 Desember 2021 – Setahun terakhir, istilah transisi energi menarik perhatian dalam proses advokasi kebijakan maupun wacana publik. Sektor energi, sebagai penghasil polusi nomor satu secara global, menjadi sorotan utama karena dunia sedang berpacu dengan waktu untuk membatasi kenaikan suhunya di level 1,5 derajat Celcius. Transisi energi, meskipun saat ini menjadi kebutuhan, sayangnya tidak memiliki formula universal untuk diterapkan di setiap kawasan atau negara. Setiap negara perlu memikirkan skenario yang paling cocok untuk transisi energinya dengan mempertimbangkan konteks dan situasi negara tersebut. Namun, mencari tahu pengalaman sebelumnya dalam mempersiapkan atau memulai transisi energi dapat membantu kelancaran proses persiapan transisi di suatu wilayah.

Indonesia membuat langkah yang cukup progresif sepanjang tahun ini, mulai dari pengumuman target net-zero pada tahun 2060 (lebih cepat) dan juga RUPTL terbaru yang memberi porsi lebih besar untuk energi terbarukan sebesar 51,6%. Meskipun target tersebut masih belum cukup untuk mencapai Persetujuan Paris, kemajuan dan komitmen yang diumumkan terus menarik para pihak untuk belajar tentang bagaimana pemerintah mengalihkan minatnya, dan akhirnya berkomitmen pada energi yang lebih bersih.

Pada 1 Desember 2021, IESR bertemu dengan Islamic Development Bank (IsDB), Almaty, Kazakhstan untuk berbagi informasi tentang kemajuan transisi energi di Indonesia serta pembelajaran mengenai peran lembaga non-pemerintah dalam mempercepat transisi energi baik di tingkat nasional maupun regional.

Berada di wilayah Asia Tengah, IsDB mengidentifikasi rendahnya investasi dan infrastruktur yang sudah tua di bidang pembangkit listrik, transmisi, serta distribusi sebagai masalah utama di kawasan tersebut. Potensi energi terbarukan seperti hidro dan surya hanya tersedia selama musim panas. Di musim dingin di mana suhu bisa turun, misalnya hingga -50 derajat celsius di Kazakhstan, sehingga harus dipikirkan cara untuk memasok listrik, dan energi apa yang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan energi.

Dalam mengembangkan skenario yang lebih berkelanjutan, IESR sebagai lembaga think-tank independen secara aktif mengadvokasi agenda transisi energi melalui beberapa cara antara lain diseminasi penelitian, inisiasi gerakan, dan secara aktif mempengaruhi wacana publik.

“Sebagai contoh, kami mendorong penetrasi PLTS atap ke dalam jaringan, karena kami yakin teknologi tersebut dapat membantu demokratisasi akses energi di Indonesia yang dimonopoli oleh PLN,” Fabby Tumiwa Direktur Eksekutif IESR menjelaskan.

Dalam mempengaruhi dan membentuk opini publik, IESR melalui proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara aktif berjejaring dengan pemerintah, media, institusi akademik, dan publik untuk mempromosikan wacana transisi energi kepada khalayak yang lebih luas. Dalam hal advokasi kebijakan, CASE juga bermitra dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk memberi masukan pada tujuan pembangunan jangka panjang.

Memahami bahwa transisi energi merupakan masalah multidimensi, diperlukan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan dalam merencanakan dan mengimplementasikannya.

“Itu adalah langkah kami selanjutnya, kami akan mengadakan pertemuan dengan Kementerian Energi dan membicarakan rencana tersebut, mencari tahu apa yang dapat kami (IsDB) lakukan untuk mendukung penyebaran energi terbarukan dan skema kolaborasi apa yang paling cocok untuk mereka,” kata Edzwan Anwar dari IsDB. 

PLTS Jawab Kebutuhan Industri dan Komersial untuk Sediakan Produk Hijau

Semarang, 06 Oktober 2021 – Sektor industri dan bisnis menjadi sektor yang potensial untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Tuntutan pasar yang semakin kuat akan produk hijau (green product) mendorong sektor komersial dan industri beralih pada teknologi yang ramah lingkungan demi mempertahankan eksistensinya di pasar global. PLTS menjadi pilihan yang strategis bagi sektor komersial dan bisnis mempertimbangkan masa instalasinya yang relatif cepat, serta ketersediaan sumber energi surya yang merata di seluruh Indonesia. Selain itu, dengan berinvestasi pada PLTS dapat menekan biaya produksi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa saat ini sejalan dengan usaha mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), sektor industri dihadapkan pada kewajiban nilai ekonomi karbon. Terutama untuk barang-barang yang diekspor seperti ke negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Jejak karbon suatu produk yang melebihi batas maksimal yang ditentukan akan dikenakan pajak. Ditambah, kesadaran masyarakat tentang isu keberlanjutan (sustainability) semakin meningkat seperti dikatakan survei WWF dan The Economist yang menemukan bahwa pencarian pada search engine dengan kata kunci sustainability meningkat lebih dari 71% sepanjang 2016-2020.

Shareholder perusahaan-perusahaan sudah meminta agar semua perusahaan ini punya komitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan. Jadi kalau kita ingin Jawa Tengah menjadi pusat industri maka akses energi terbarukan harus dipermudah,” tutur Fabby pada webinar yang diselenggarakan oleh IESR dengan Pemerintah Jawa Tengah berjudul “Energi Surya Atap untuk Sektor Komersial dan Industri di Jawa Tengah” (6/10/2021). 

Secara umum, ditinjau dari adopsinya, jumlah pengguna PLTS atap di Indonesia kian meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal EBTKE, hingga bulan Agustus 2021 lalu, terdapat 4.133 pelanggan PLTS atap di Indonesia, dengan total kapasitas terpasang 36,74 MWp. Dilihat dari kapasitas PLTS atap berdasarkan wilayah, maka Jawa Tengah dan DIY menduduki peringkat ketiga dengan kapasitas PLTS atap sebesar 5,83 MWp.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM, memaparkan bahwa pemerintah memberikan prioritas pengembangan PLTS atap mengingat potensinya yang sangat besar, masa instalasi yang cepat, dan harganya yang sudah sangat kompetitif.

“Strategi jangka menengah yang didorong untuk pengembangan PLTS adalah PLTS atap yang ditargetkan sebesar 3,6 GW pada 2025. Selain itu PLTS skala utilitas juga terus kita dorong pengembangannya,” terang Chrisnawan dalam kesempatan yang sama.

Mendukung infrastruktur dan layanan menuju transisi energi, PLN juga harus berbenah menyiapkan adaptasi jaringan dan menyesuaikan dengan bisnis model yang mengakomodasi energi terbarukan dalam jumlah besar.

“PLTS atap ini berdampak ke jaringan PLN yang ada saat ini, karena sifatnya yang intermiten jadi PLN harus menyediakan unit standby untuk memberi suplai  listrik saat daya yang dihasilkan PLTS tidak bisa mencukupi kebutuhan listrik yang ada,” jelas M.Irwansyah Putra, GM PLN Jateng DIY.

Irwan juga menjelaskan dalam mendukung mekanisme pajak karbon, PLN sudah menerbitkan REC (Renewable Energy Certificate). Dengan membeli sertifikat ini, PLN akan menyalurkan listrik yang didapat dari energi bersih pada industri yang bersangkutan. 

Menyoal kebijakan untuk mendorong energi terbarukan di Provinsi Jawa Tengah,Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menuturkan bahwa pihaknya telah menyiapkan ragam kebijakan. Namun, menurutnya untuk mendorong perubahan tertentu, dalam hal ini peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan (PLTS-red),dukungan kebijakan saja ternyata tidak cukup. 

“Perubahan itu lebih cepat terjadi kalau didorong oleh mekanisme market driven, jadi bukan sekedar memenuhi aturan tertentu. Dinas ESDM Jawa Tengah sudah mencoba membuat paket-paket kebijakan yang mencakup aspek market ini dengan masukan berbagai pihak seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan NGO,” jelas Sujarwanto.

Pemerintah Daerah Jawa Tengah juga melakukan pendampingan bagi sektor komersial dan industri di Jawa Tengah yang bertransisi menuju industri hijau. “Ada beberapa langkah yang ditempuh untuk penerapan industri hijau yaitu pelatihan, memfasilitasi sertifikasi bagi industri hijau juga pemberian penghargaan industri hijau. Beberapa perusahaan di Jawa Tengah mendapat penghargaan ini,” jelas M. Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah.

Peluang sektor komersial dan industri untuk mengadopsi PLTS semakin luas dengan tersedianya berbagai skema investasi PLTS seperti cicilan maupun sewa. Anggita Pradipta, Head of Marketing SUN Energy menceritakan bahwa ada tiga skema yang ditawarkan SUN Energy bagi calon pelanggan PLTS atap yaitu Solar Purchase, Performance Based Rental, dan Solar Leasing.

“Untuk sektor komersial dan industri yang ingin memasang panel surya namun terkendala di biaya pemasangan awal, kami rekomendasikan untuk mengambil skema performance based rental. Dengan skema ini, pelanggan akan terikat kontrak selama 15-25 tahun, dimana seluruh biaya pemeliharaan unit PLTS akan menjadi tanggungan SUN Energy, setelah kontrak berakhir baru aset menjadi milik customer,” jelas Anggi.

Koperasi Punya Peluang Besar Jajaki Pembiayaan PLTS atap

Jakarta, 24 Juni 2021, Survei IESR menunjukkan bahwa  banyak masyarakat yang berminat untuk mengadopsi PLTS atap, terutama jika tersedia skema pembiayaan yang menarik. Hal ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk memperluas pasar PLTS atap sekaligus menjawab tantangan krisis iklim dengan bertransisi menuju energi terbarukan.

Dorongan untuk mengembangkan energi terbarukan demi menjaga bumi dari kenaikan suhu di atas 1.5 derajat C, khususnya PLTS sudah dimulai sejak tahun 2017 melalui Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). IESR bersama dengan 13 lembaga lainnya menginisiasi GNSSA tersebut. Target gerakan ini adalah untuk mencapai 1 GW PLTS atap di Indonesia sebelum 2020, dengan asumsi satu rumah memasang 1 KWp PLTS atap. Dibandingkan dengan potensi tenaga surya di Indonesia, target 1 GW adalah target yang kecil. Indonesia sendiri memiliki potensi teknis surya menurut data ESDM sebesar 207 GWp namun berdasarkan kajian IESR, potensi teknis surya di Indonesia lebih dari 20.000 GWp, “Target ini dibuat sebagai benchmark, mengingat waktu itu belum ada peraturan menteri, maupun pasar yang terlihat potensial. Ketika kita berhasil mencapai 1 GW berarti sudah ada kombinasi dari aturan yang mendukung, perusahaan yang handal, dan pasar yang dewasa . Jadi target ini bukan semata-mata memasang 1 GW PLTS, namun juga memperjuangkan ekosistem pendukungnya,” jelas Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, dalam lokakarya daring bertajuk “Koperasi Sebagai Agen Perubahan dalam Pembiayaan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim”.

Dalam perjalanannya, meskipun inisiasi sejuta surya atap ini belum berhasil mencapai target 1 GW PLTS atap, namun telah terjadi kenaikan pesat dari sisi jumlah pengguna PLTS atap.

“Saat inisiasi ini diluncurkan, pelanggan PLTS atap baru sekitar 200 rumah. Saat ini pelanggan PLTS atap sudah sekitar 3000 rumah tangga. Belum mencapai target satu juta atap, namun ada kenaikan yang cukup signifikan,” lanjutnya.

Kenaikan pelanggan PLTS atap mengindikasikan bahwa minat dan informasi yang diterima masyarakat tentang teknologi ini semakin tersebar luas. Sejak tahun 2018, IESR melaksanakan studi pasar di berbagai kota seperti, Jabodetabek, Surabaya, tujuh kota di Jawa Tengah, dan tiga kota di Bali. Hasil survei di berbagai kota ini menunjukkan bahwa terdapat beragam potensi pasar PLTS di masing-masing kota tersebut. 

Di Jabodetabek 13% responden termasuk dalam kategori early followers dan early adopters. Kelompok ini adalah responden yang memiliki pengetahuan tentang PLTS atap dan secara finansial mampu untuk membelinya. Kelompok ini hanya perlu informasi komprehensif yang mencakup teknologi PLTS atap, prosedur pemasangan, juga penyedia jasa pemasangan PLTS atap. Kelompok early followers dan early adopters ini jumlahnya cukup banyak di berbagai kota Surabaya 19%, Jawa Tengah 9.6%, dan Bali 23.3%. 

Hal menarik lain dari survei pasar IESR tersebut adalah masalah harga masih menduduki peringkat kedua dari pertanyaan yang paling sering diutarakan calon konsumen. Pertanyaan tentang penghematan adalah hal yang paling sering ditanyakan calon konsumen. Fenomena ini menunjukkan bahwa harga masih menjadi pertimbangan utama calon konsumen PLTS atap. 

Skema pembiayaan PLTS atap yang menarik menjadi suatu peluang bagi lembaga keuangan termasuk koperasi. 

“Paling tidak, ada 3 peluang yang dapat diambil oleh koperasi untuk ikut serta dalam skema pembiayaan PLTS atap ini. Pertama, dengan bekerjasama dengan perusahaan jasa pemasangan PLTS dan menyediakan skema pembiayaan. Tentu perlu memastikan perusahaan pemasang PLTS nya adalah mereka yang terpercaya. Kedua, dengan berjualan produk PLTS sekaligus menyediakan skema pembiayaan. Ketiga, menyediakan skema pembiayaan sekaligus layanan purna jual,” jelas Marlistya. 

Skema pembiayaan menarik dan terjangkau masih sulit ditemukan saat ini karena perusahaan penyedia layanan PLTS atap baru bekerjasama dengan bank saja. Hal ini tentu harus dilihat sebagai peluang bagi koperasi untuk mengembangkan programnya. 

Menutup sesi pertama lokakarya pagi itu, Fitrian Ardiansyah, chairperson Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, menyatakan bahwa pembiayaan PLTS atap akan menjadi salah satu ceruk bisnis bagi koperasi.

“Ekonomi hijau itu terbentuk di tingkat masyarakat lokal, koperasi adalah lembaga keuangan yang pas untuk menjemput bola pada peluang ini,” tuturnya.

Masa Depan Cerah Energi Surya Butuh Dukungan Penuh Pemerintah

“Surya akan menjadi komoditas unggulan yang diperebutkan banyak pihak di masa depan, seperti minyak saat ini,” tutur Fabby Tumiwa dalam forum REinvest Indonesia – China (25/5/2021).

Forum tersebut bertujuan untuk menjembatani kedua negara dalam kolaborasi investasi energi terbarukan. Indonesia secara aktif sedang mencari cara untuk menyediakan sumber energi yang lebih bersih, lebih murah, dan lebih handal untuk merevitalisasi sistem energinya yang saat ini sangat bergantung pada fosil. Sementara itu, China menghadapi desakan global untuk mengurangi emisi karbon, dan telah berjanji untuk mencapai netral karbon pada tahun 2060. Karena kedua negara memiliki kesamaan untuk mengurangi emisi karbon, maka dialog untuk menjembatani kebutuhan tersebut diadakan.

Fabby Tumiwa, Ketua Indonesia Solar Association dan Direktur Eksekutif IESR, mengatakan bahwa Indonesia perlu mempercepat pemanfaatan energi terbarukan untuk mengejar target RUEN yaitu 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional dan selanjutnya menjadi nol emisi pada tahun 2050. Walaupun pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target net emisi pada tahun 2070.

PLTS dapat menjadi penggerak utama dan kunci untuk mencapai target dekarbonisasi. Hal ini sejalan dengan urgensi global untuk menerapkan dekarbonisasi secara menyeluruh. Disebutkan oleh IEA dalam laporan terbarunya bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi sistem energi di masa depan hingga 78% pembangkit listrik pada tahun 2050, dimana tenaga surya harus meningkat dari 160 GW sekarang menjadi 650 GW pada tahun 2030. Pada kesempatan yang sama, IEA menekankan pentingnya peningkatan energi terbarukan dalam dekade ini untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050. Dari segi strategis, tenaga surya sedikit lebih mudah didorong pemanfaatannya karena dapat dipasang secara modular. Kedepannya, energi surya akan menjadi komoditas yang populer seperti minyak bumi saat ini.

Namun, masa depan yang tampak cerah dan menjanjikan ini bukannya tanpa kekurangan. Ada banyak situasi yang menghambat percepatan industri PLTS di Indonesia.

Kondisi kelebihan pasokan listrik yang dialami PLN adalah salah satu hambatan terbesar untuk penggunaan tenaga surya. Situasi tersebut membuat pemerintah dan pengusaha swasta sulit untuk memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan.

Sementara itu Eka Satria, CEO Medco Power Indonesia, menyoroti beberapa hal antara lain preferensi pemerintah dan pasar Indonesia untuk memilih sumber energi berbiaya rendah jangka pendek, ketidakpastian kebijakan dan regulasi, persyaratan BPP vs kandungan lokal, serta masalah pembebasan lahan untuk PLTS skala utilitas.

Selaku Ketua Umum Asosiasi Produsen Panel Surya Indonesia (APAMSI) Linus Sijabat menyampaikan hal-hal yang harus disiapkan investor asing dalam kesempatan kali ini China, sebelum menembus pasar Indonesia. Manajemen rantai pasok, terutama terkait dengan kebutuhan konten lokal menjadi poin utamanya.

“Diperlukan kerja sama luar dan dalam negeri untuk produk lebih dari 60% yang harganya kompetitif, kualitasnya bersertifikat internasional, dan pasarnya berkelanjutan,” tuturnya.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan energi surya atau secara umum energi terbarukan harus tersurat dalam regulasi seperti RUPTL (Rencana Umum Pemenuhan Tenaga Listrik) agar investor swasta bisa melihat potensi pasar energi terbarukan di Indonesia. Apalagi di Indonesia PLN merupakan pembeli tunggal listrik, maka calon investor harus sungguh memperhitungkan potensi pasar yang ada. Selain peluang yang harus terlihat dalam dokumen perencanaan resmi, lingkungan pendukung lain seperti kejelasan regulasi, dan skema insentif untuk investasi energi terbarukan juga harus dipastikan tersedia. 

Inisiasi ‘Kampung Surya’ Menjaring Warga untuk Bekerja di Sektor Energi Surya

pelatihan anak muda memasang plts atap di jakarta

Jakarta, 25 Maret 2021 – Sesuai dengan namanya, ragam warna yang menempel di dinding rumah segera menyapa mata saat memasuki Kampung Warna Warni di RW 3 kelurahan Kebon Pala, Cililitan, Jakarta Timur. Berkumpul di Balai Warga, sekitar 10 orang yang didominasi kaum muda, lengkap dengan maskernya, berkumpul untuk mendapatkan pelatihan teknis pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya atap yang diadakan oleh IESR bekerja sama dengan salah satu perusahaan pengembangan PLTS atap, ATW Solar  kepada warga yang tergabung dalam FAKTA (Forum Warga Kota Jakarta) ini.

Turunnya biaya pemasangan instalasi surya dan angin dalam satu dekade belakangan membuat pemakaian energi terbarukan semakin massif. Saat ini, dengan investasi sebesar 15 – 20 juta rupiah, masyarakat bisa menikmati listrik ramah lingkungan dari PLTS atap hingga 25-30 tahun. Tidak hanya itu, setidaknya di sektor tenaga kerja, berbagai kalangan masyarakat, tanpa persyaratan pendidikan tinggi, dapat turut andil melakukan pekerjaan instalasi panel surya dengan mengikuti pelatihan yang cenderung singkat dan mudah dipahami. Akan tetapi, jika melihat masa pakai PLTS dan perhitungan jangka waktu balik modal nilai investasi ini kompetitif. Menurut perhitungan IESR, masa balik modal (return of investment period) berkisar antara 7 – 10 tahun. Setelah masa tersebut, dapat dikatakan bahwa pengguna PLTS atap menikmati listrik murah, bersih, dan ramah lingkungan.

Selama 2 hari (25-26/3), sekitar 10 orang peserta antusias mengikuti jalannya pelatihan yang dipandu oleh pelatih dari ATW Solar. Hari pertama, peserta mendapat pemahaman dasar tentang teknologi PLTS atap, macam-macam jaringan pemasangan, komponen, dan safety induction saat pemasangan. Sementara di hari kedua, meski panas menyengat, para peserta yang didominasi oleh anak-anak muda ini tetap bersemangat melakukan praktik pemasangan panel surya. Menariknya, selain memberikan pelatihan, ATW Solar membuka peluang bagi para peserta yang mempunyai potensi dan ketertarikan dengan PLTS atap untuk menjadi tenaga lepas ATW Solar sehingga dapat menangani proyek di wilayah tersebut kelak. Hal ini ditegaskan oleh Chairiman, VP Retail and Residential ATW Solar. Ia mengungkapkan bahwa dari sisi peluang kerja, tenaga pemasang (installer) akan banyak dibutuhkan di masa depan. Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah menetapkan target satu juta PLTS atap. Namun, sampai saat ini baru sekitar 3000 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap.

“Saat ini baru 3000 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap, padahal targetnya satu juta pengguna, jadi masih ada sekitar 997 ribu rumah lagi yang akan memasang PLTS. Jika dalam 1 instalasi kami butuh 4-5 orang, makin banyak tenaga kerja yang kami butuhkan untuk menggarap itu,” tutur Chairiman.

Direktur eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam sambutannya menyatakan bahwa inisiatif Kampung Surya ini harus menjadi milik masyarakat setempat. Sehingga keberlanjutan program ini dapat terus berjalan. 

“Angkatan yang pertama ini dilatih oleh ATW dilanjutkan juga untuk on the job training dan harapan kami sampai bisa menjadi tenaga freelance untuk installer PLTS atap. Nah selanjutnya teman-teman yang sudah ikut pelatihan ini bisa melatih lagi orang lain di kampung ini atau bahkan di kampung sebelah,” tandas Fabby.

Hal senada disampaikan oleh ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan, “PLTS inikan teknologi yang akan banyak dipakai di masa depan jadi kita harus siap-siap supaya tidak hanya jadi penonton, tapi kita bisa ambil peluang-peluang yang ada di masa depan.” 

Bagas Septiansah, Ketua Karang Taruna Wilayah RT01 RW 03, Kelurahan Kebon Pala, yang menjadi salah seorang peserta mengaku bahwa pelatihan proses pemasangan dapat ia pahami  dengan mudah. 

“Sebelumnya, saya hanya lihat  ia panel surya di bangunan – bangunan besar di Jakarta tanpa saya tahu apa itu PLTS. Namun, setelah pelatihan ini, saya semakin memahami kegunaan panel surya dan proses penggunaan energi matahari menjadi energi listrik untuk kegiatan sehari-hari,” ungkapnya.

Bagas berkomitmen untuk menyebarkan pengetahuan yang ia dapatkan kepada kelompok pemuda yang ia pimpin juga merawat panel surya yang sudah dipasang di Balai Warga.

Salah seorang peserta, Iskandar, ternyata sudah lama memasang panel surya off grid, hanya ia merasa pengetahuannya semakin bertambah setelah mengikuti pelatihan, terutama mengenai PLTS hybrid dan on grid.

“Di rumah, setelah pasang PLTS off grid, saya merasa ada pengurangan pembayaran listrik, karena saya menggunakan listrik PLTS dan PLN bergantian. Dengan adanya PLTS berdaya 40 Wp, pembayaran tagihan listrik saya bisa turun 20 persen,” imbuhnya.

Inisiatif Kampung Surya ini merupakan yang pertama di Jakarta, dimana tidak sekedar memasang PLTS namun juga memberdayakan warga setempat sebagai tenaga kerja terampil untuk installer. Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan energi bersih semakin dapat dinikmati oleh semua kalangan karena energi yang bersih dan berkualitas adalah hak setiap warga masyarakat. Melalui skema pelatihan dan pemasangan PLTS untuk fasilitas umum ini masyarakat dapat melihat dan menikmati manfaat dari memasang PLTS atap seperti munculnya lapangan kerja, mendapat listrik yang bersih, dan juga ramah lingkungan.

Potensi Teknis Energi Surya Indonesia Lebih Tinggi, IESR Dorong Pemerintah Perbaharui Data Potensi Energi Terbarukan

18 Maret 2021-Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya yang jauh lebih besar dibandingkan 207 GW yang merupakan data resmi yang dirilis oleh pemerintah Indonesia melalui kementerian ESDM tahun 2017. Hal ini dibuktikan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) dalam peluncuran kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” (18/3).

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam sambutannya menjelaskan bahwa berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000-20.000 GWp.

“Bila potensi teknis yang paling sedikit saja, 3 GW, dimanfaatkan secara efektif, maka dapat memenuhi 7 kali dari konsumsi listrik dari tahun 2018,” ujarnya.

IESR mengukur potensi teknis ini dengan menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.

Fabby menambahkan bahwa kajian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaharui sumber data energi terbarukan sehingga dapat memberikan sinyal yang lebih baik untuk mengembangkan energi surya ke depan.

“Tentu saja, hal tersebut akan meningkatkan pula kepercayaan diri berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan energi surya bahwa Indonesia dapat mengandalkan tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan energi bersih. Selain itu, kajian ini mendukung upaya PLN untuk mengembangkan tenaga surya, dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Rencana Umum Energi Daerah,” tegasnya.

Dalam tataran global, data ini dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat komitmennya dalam aksi iklim secara global, seperti yang diungkapkan oleh Mme. Jiaman Jin, Direktur Eksekutif GEI. GEI, secara khusus, mempunyai program untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan energi terbarukan dengan memberikan penguatan kapasitas, bantuan teknis dan finansial.

“Cina dan negara-negara di Asia Tenggara telah berkolaborasi dalam program aksi iklim global, termasuk dengan Indonesia. Bila ditilik dari komitmen Persetujuan Paris, hingga kini ada 29 negara yang sudah menargetkan netral karbon dengan mengandalkan energi terbarukan. Cara lain untuk netral karbon adalah dengan penyimpanan karbon (carbon storage) dan perdagangan karbon (carbon credit). Dua hal ini pula yang Cina sedang kembangkan saat ini,” urainya.

Agar tercapai komitmennya dalam Persetujuan Paris, Indonesia sedang berupaya untuk mencapai target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Namun hingga akhir tahun 2020, hanya terealisasi sebesar 11,5%. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sendiri, pemerintah mempunyai target untuk pengembangan tenaga surya sebesar 6,5 GW hingga 2025.

“Namun target tersebut sedang dalam peninjauan, dan ternyata, surya (fotovoltaik) ditargetkan untuk mewakili sepertiga (17.6 GW) dari total pembangkit listrik bersih sebesar 48 GW pada tahun 2035 dalam grand strategy energi nasional yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN). Sekitar 60 atau 76 persen diharapkan berasal dari tenaga surya skala utilitas termasuk PLTS terapung,” ulas Daniel Kurniawan, Penulis Utama Laporan Kajian “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Daniel menjelaskan dari 23 jenis tutupan lahan yang ada, tim peneliti IESR memilih jenis lahan yang sesuai untuk pembangunan PLTS. Terseleksi hanya 9 jenis tutupan lahan yang digunakan untuk pemetaan potensi teknis PLTS.

“Hutan tanaman (man-made forest) dan lahan pertanian kering dan kering campur belukar juga termasuk dari jenis lahan yang dihitung, sebabnya ketiga lahan tersebut ditemukan dapat diakuisisi dalam pengembangan proyek PLTS 3 x 7 MWp di Lombok dan proyek PLTS 21 MWp di Likupang, Sulawesi Utara,” jelasnya.

Menggunakan skenario paling optimistis, 9 jenis tutupan lahan seluas 1,9 juta km2, hasil yang diperoleh dari penghitungan potensi teknis PLTS sangat melimpah hingga mencapai 19.8 TWp, yang berarti 95 kali lebih tinggi dari pada estimasi pemerintah.

“Potensi teknis terbesar berada di Kalimantan, Sumatera, Jawa Barat dan Jawa Timur,” jabar Daniel.

Menyinggung tentang Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) yang sedang disusun oleh PLN, Daniel menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada informasi pasti mengenai alokasi target kapasitas untuk untuk tenaga surya dari total 3,7 GW rencana kapasitas gabungan untuk tenaga surya, bayu, dan sampah dalam RUPTL mendatang.

Data Potensi Teknis Akan Dorong Optimalisasi Pengembangan PLTS 

Data kajian potensi teknis teranyar yang diluncurkan IESR ini juga dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengoptimalkan pengembangan energi terbarukan. Daniel mencontohkan Bali dan Sumba sebagai dua pulau di Indonesia yang sudah mempunyai modal yang cukup ditinjau dari konsistensi pemerintah daerah dalam mendorong pemanfaatan PLTS melalui kebijakan yang mereka terbitkan dan juga potensi teknis PLTS-nya.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Chrisnawan Anditya dalam kesempatan yang sama, mengatakan bahwa pihaknya akan memperbaharui data potensi teknis tenaga surya di Indonesia.

“Selain itu, kami juga berusaha untuk mengidentifikasi potensi matahari sesuai dengan jalur transmisi. Semakin baik jalur transmisi maka pengembangan PLTS akan semakin besar. Namun bila lokasi di luar jalur transmisi maka kita akan mengembangkan melalui off-grid,” tutur Chrisnawan.

Senada, Wakil Presiden Eksekutif Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN, Cita Dewi mengungkapkan bahwa PLN mempunyai komitmen untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Hanya saja, akibat pandemik COVID-19, PLN masih berhadapan dengan kondisi permintaan energi listrik yang rendah.

“Krisis permintaan ini kemungkinan akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. Namun pendekatan yang kami lakukan untuk mengejar target energi terbarukan diantaranya mempercepat penyelesaian pembangkit listrik surya, air, geothermal, dan mempertimbangkan untuk mengkonversi 5000 pembangkit listrik tenaga diesel dengan surya. Potensinya sebesar 2 GW,” jelas Cita.

Dari sisi pengembang, Andhika Prastawa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), menuturkan bahwa hasil kajian tersebut bermanfaat bagi pengembang untuk menggali lebih banyak peluang untuk berinvestasi PLTS di Indonesia. Hanya saja, menurutnya, hal ini tetap harus selaras dengan keberpihakan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang ramah bagi para pengembang PLTS.

“Keekonomian PLTS sudah kompetitif, namun hingga kini peraturan net metering masih di 6.5, sebaiknya diubah menjadi 1, sehingga memberikan dampak psikologis yang baik bagi pasar PLTS,” imbuh Andhika.

Sependapat dengan Andhika, Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional mengharapkan bahwa akan ada pembaharuan dalam kebijakan net metering. Ia juga menegaskan bahwa dari segi instalasi, PLTS merupakan energi terbarukan yang paling mudah dikembangkan karena tersedia di hampir semua tempat di Indonesia, sehingga mudah dipanen dalam bentuk  PLTS, serta mempunyai beragam skala, sehingga cepat dibangun.

Wirawan, Plt. Presiden Direktur, PT PJB Investasi mengapresiasi hasil kajian IESR dan menawarkan untuk menghitung pula potensi teknis dari sekitar 192 bendungan dan waduk yang tersebar di Indonesia.

“Daerah tangkapan air di Indonesia kurang lebih sekitar 86 ribu hektar. Ini merupakan potensi yang besar pula untuk pengembangan PLTS apung,”usulnya.

Indonesia dapat menjadi Super Power Energi Surya di ASEAN

Potensi Teknis Surya Indonesia Melimpah Hingga 95 Kali Lipat dari Estimasi Sebelumnya, Pemerintah Perlu Agresif Pacu Akselerasi PLTS 

 

Jakarta, 18 Maret 2021-Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) yang termuat dalam laporan “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai potensi PLTS (fotovoltaik) mencapai 3.000 – 20.000 GWp. Potensi ini lebih tinggi 16 hingga 95 kali dibandingkan data resmi perkiraan potensi yang dirilis oleh Kementerian ESDM, yaitu 207 GWp (ESDM, 2016). Bila potensi teknis tersebut dimanfaatkan, maka dapat menghasilkan energi listrik sebesar 27.000 TWh per tahun, hampir 100 kali kebutuhan listrik saat ini.

“Temuan ini menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ketersediaan potensi energi surya, yang dikombinasikan dengan teknologi penyimpan energi (storage) dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia dan mendukung transisi energi bersih saat ini dan di masa depan, bahkan mendukung 100% penyediaan listrik dari energi terbarukan,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. 

Selain menunjukkan potensi teknis yang masif, kajian ini juga memperlihatkan detail potensi hingga ke level kabupaten dan kota. Dengan menggunakan data geospasial, lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi. IESR memandang informasi potensi teknis dan identifikasi lahan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk merancang kebijakan dan strategi yang lebih agresif dan terarah untuk pengembangan PLTS. Terlebih, saat ini pemerintah dan DEN berencana merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) untuk merespon melemahnya ekonomi dan menurunnya permintaan energi akibat pandemi COVID-19. Selain itu, pemerintah dan PLN sedang menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) dengan rencana untuk menambah 3,7 GW yang berasal dari gabungan energi terbarukan seperti surya, angin, dan sampah. Meskipun demikian, rasio spesifik untuk PV surya masih belum jelas (Umah , 2021b). Dalam banyak kesempatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral juga menyebutkan adanya grand strategy energi nasional pengembangan energi terbarukan yang akan memprioritaskan pemanfaatan energi surya.

Berdasarkan RUPTL sebelumnya (2019-2028), PLTS belum menjadi prioritas dalam perencanaan sistem tenaga listrik. Data menunjukkan pada RUPTL (2019-2028), PLTS hanya menyumbang 1,6% (908 MW) dari total rencana penambahan kapasitas pembangkit 56,4 GW. Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan 20 ribu GWp potensi teknis PLTS di Indonesia. Hasil perhitungan yang diperoleh jauh lebih besar (16 hingga 95 kali) dibandingkan dengan estimasi potensi resmi dari Pemerintah saat ini. 

“Perbedaan hasil yang sangat signifikan ini pun dapat dikaitkan dengan perbedaan penggunaan asumsi yang digunakan dalam perhitungan potensi teknis resmi saat ini, dimana—berdasarkan informasi publik yang terbatas—perhitungan potensi resmi tersebut masih sangat konservatif, hanya mengkonversi potensi sumber daya energi surya per provinsi (dalam kWh/m2/hari) dengan 15% efisiensi modul yang kemudian dianggap sebagai potensi teknis, seperti yang terdaftar dalam lampiran dokumen RUEN,” ungkap Daniel Kurniawan, penulis utama kajian  “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Miliki Potensi Teknis Surya Ratusan GWp, Sumba dan Bali Berpotensi Dilistriki 100 persen Energi terbarukan 

Sebagai kawasan pariwisata yang populer di Indonesia, permintaan listrik Bali diperkirakan akan tumbuh dengan rata-rata tahunan sebesar 6,5% antara 2019-2028, menurut RUPTL PLN 2019. Sementara Menurut data dari PLN Bali (2020), kebutuhan puncak sistem kelistrikan Bali terbaru adalah sebesar 980 MW (per Januari 2020).

Merujuk pada hasil analisis IESR  dalam laporan ini, potensi teknis energi matahari di Bali memiliki total 26,4 GWp, dengan potensi pembangkitan 40,5 TWh/tahun di sembilan kabupaten. Selain itu, untuk mengatasi intermittency tenaga surya, Bali juga menunjukkan potensi yang sangat besar untuk penyimpanan energi – dalam bentuk pumped hydro energy storage (PHES), yang mampu menyimpan listrik 559,9 GWh/jam. 

IESR memandang bahwa dengan potensi surya fotovoltaik dan PHES, Bali bahkan dapat mengupayakan sistem energi terbarukan 100% dengan perencanaan yang matang. Dilihat dari segi kebijakan, Bali memperlihatkan langkah yang ambisius dalam pengembangan PLTS dengan adanya Peraturan Gubernur Bali No. 45/2019 tentang Bali Energi Bersih. Peraturan gubernur ini mengatur bangunan komersial, industri, sosial, dan tempat tinggal dengan luas lantai lebih dari 500 m2 untuk memasang atap surya minimal 20% dari kapasitas daya terpasangnya — PLN Bali mencatat sebanyak 237 Potensi MWp — atau 20% dari ruang atap yang tersedia (PLN Bali, 2020).

“Bali dapat menjadi daerah pionir 100% energi terbarukan, apalagi dengan semakin meningkatnya tren sustainable dan eco-tourism, sehingga pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan nilai tambah pariwisata di sana. Ini juga akan menjadi contoh dan portfolio bagus bagi Indonesia di mata dunia internasional, dan dengan dukungan pemerintah pusat, replikasinya dapat digulirkan untuk daerah lainnya,” ujar Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan, IESR.

Selain Bali, Sumba sangat berpotensi sebagai pulau yang digerakkan dengan energi terbarukan. Kajian ini menemukan bahwa Sumba memiliki total 133 GWp potensi teknis surya fotovoltaik dengan potensi pembangkitan 216 TWh/tahun, dengan potensi (kapasitas) tertinggi ada di Kabupaten Sumba Timur (Sumba Timur) (60%).

Temuan ini tentu saja akan menguatkan inisiatif pemerintah Nusa Tenggara Timur untuk menjadikan Sumba sebagai menjadi pusat pengembangan energi surya dengan potensi hingga 20 GW (Bere, 2020; Lewokeda, 2020). Inisiatif ini diharapkan dapat menyalurkan listrik tidak hanya di seluruh Nusa Tenggara Timur, tetapi juga ke Bali, Jawa, dan pusat beban lainnya menggunakan sistem transmisi arus searah bertegangan tinggi (HVDC), menurut Kementerian ESDM (EBTKE, 2020).


Narahubung Media:

Daniel Kurniawan

Peneliti dan Penulis, “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”, daniel@iesr.or.id, 08978246145

Marlistya Citraningrum

Manajer Program Akses Berkelanjutan, citra@iesr.or.id, 081945526737

Uliyasi Simanjuntak

Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 081236841273

Indonesia Solar Potential Report

Siaran Tunda


 

Report Launch and Round Table Discussion

Bringing Indonesia to The Gigawatt Club:  Unleashing Indonesia’s Solar Potential

With energy transition becoming a global trend following action to mitigate climate crisis, many countries have integrated low-carbon energy systems into their national development agenda. Indonesia has the highest energy demand among ASEAN members, and fossil fuel resources still dominate Indonesia’s energy and electricity mix: less than 12% primary energy supply was from renewable sources, and the renewables only provided ~14.9% of Indonesia’s electricity generation in 2020 (IESR, 2021). Although Indonesia has established its renewable energy targets, i.e., 23% of primary energy mix by 2025, renewables growth in the country is slow, even stagnant over the years.

Indonesia is often called a frontier market for renewable energy, and that includes solar energy. While the technical potential is high, up to 207 GW according to Ministry of Energy and Mineral Resources, solar generation in the country is less than 1% – this slow growth is a combination of several inhibiting factors: lack of consistent and supportive policies, the absence of attractive tariff and incentives, as well as concerns on grid readiness. Solar energy will be key to open the doors for other renewables in Indonesia; along with the current government’s plan to issue presidential regulations on renewable energy pricing and deployment.

To support accelerated solar deployment in Indonesia, in March 2020, the Institute for Essential Services Reform (IESR) signed an MoU with the Global Environmental Institute (GEI) to collaborate on renewable energy development. To this end, we conducted two training sessions and technical exchanges on technical potential analysis of renewable energy resources by applying the Renewable Energy Implementation (REI) toolkit.

To date, with the supports from GEI, IESR has completed a GIS-based nationwide solar PV technical potential assessment in Indonesia. The assessment report is produced to provide detailed information for related stakeholders in identifying prospective locations for solar power plants at any scale, feeding energy planners and driving more ambitious solar development in Indonesia. The interests and growth need to be nurtured, yet the big question remains: what more Indonesia can do to enter the gigawatt solar installations?

Presenters:
Dr. Xu Shengnian (GEI) on Renewable Energy Implementation (REI) Toolkit
Daniel Kurniawan (IESR) on IESR’s Report “Beyond 207 Gigawatts”

Panelist:

SESSION 1: Moderated by Marlistya Citraningrum (IESR)

  • Dr. Ir. Dadan Kusdiana, M.Sc., Director General of New, Renewable Energy, and Energy Conservation, Ministry of Energy and Mineral Resources
  • Darmawan Prasodjo, Deputy CEO, PT PLN (Persero)
  • Andhika Prastawa, Chairman of Indonesia Solar Energy Association
  • Yi Wang, Member of China’s National People’s Congress Standing Committee, Vice President of Institutes of Science and Development, Chinese Academy of Sciences
  • Prof. Cuiping Liao, Research Director, Guangzhou Institute of Energy Conversion, Chinese Academy of Sciences

SESSION 2: Moderated by Xinran Yan (GEI)

  • Viktor Laiskodat, Governor of East Nusa Tenggara
  • Ir. Sudjarwanto Dwiatmoko, M.Si., Head of Energy and Mineral Resources Department, Provincial Government of Central Java
  • Ir. Herman Darnel Ibrahim M.Sc. IPU, Member of Indonesian National Energy Council
  • Wirawan, Interim President Director, PT PJB Investasi
  • Jianhua Liu, Professor, Beijing University of Civil Engineering and Architecture
  • Rudy Sembiring, Indonesia Country Head, Vena Energy

Presentation Materials

Daniel Kurniawan

Unduh

GEI

Unduh

ESDM Central Java

Unduh

2021 Round Table Solar IESR HDI

Unduh

Liujianhua

Unduh

Dukung Akselerasi Energi Surya di 2021, Pemerintah Jawa Tengah Gelar Central Java Solar Day

Target 23 % bauran energi terbarukan di tahun 2025 dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), hingga akhir 2020 baru tercapai sekitar 11.5 %. Untuk 5 tahun ke depan, pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk merealisasikan target tersebut. Berdasarkan hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), salah satu potensi yang pemerintah bisa optimalkan untuk percepatan energi terbarukan adalah dengan mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) secara masif.

IESR telah melakukan perhitungan potensi teknis energi surya residensial (rumah tangga) di Indonesia. Hasilnya, dengan menggunakan skenario tertinggi, Indonesia memiliki potensi 655 GWp (IESR, 2019), dengan Jawa Tengah menjadi salah satu tiga besar provinsi dengan potensi teknis tertinggi. Kajian potensi pasar yang dilakukan dengan survei di 7 kota di Jawa Tengah untuk 3 sektor berbeda juga menunjukkan potensi early adopters dan early followers yang cukup signifikan: 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk UMKM. Jawa Tengah juga memiliki potensi PLTS terapung (floating PV) yang cukup besar dari 42 bendungan yang tersebar di seluruh wilayah provinsi.

Dengan adanya potensi energi surya yang signifikan dan komitmen Jawa Tengah untuk mengembangkan energi terbarukan,  Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas ESDM bekerja sama dengan IESR mendeklarasikan inisiatif Central Java Solar Province  pada tahun 2019. Inisiatif yang dilandasi dengan nota kesepahaman antara Gubernur Jawa Tengah dan Direktur Eksekutif IESR ini secara khusus memiliki tujuan mengakselerasi pengembangan energi surya di Jawa Tengah dan menjadikan Jawa Tengah sebagai “provinsi surya” pertama di Indonesia. 

Dalam satu tahun sejak dideklarasikan, menurut catatan yang IESR keluarkan dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, Jawa Tengah meningkatkan kapasitas energi surya menjadi  5,1 MWp dengan total 147 pengguna, dibandingkan dengan hanya 155,2 kWp dan 40 pengguna pada September 2019. Penambahan terbesar datang dari sektor industri, sebanyak 73% (3,7 MWp) dari total penambahan kapasitas terpasang. Kontributor terbesar adalah instalasi surya atap 2,91 MWp Danone-AQUA baru-baru ini di pabrik Klaten. Sisanya tersebar di berbagai sektor, termasuk di gedung Dinas ESDM, proyek APBD provinsi, dan sektor permukiman. 

Salah satu faktor pendukung naiknya kapasitas dan jumlah pengguna PLTS atap baik di sektor swasta dan publik ialah terbitnya Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah untuk menggunakan PLTS atap. Namun untuk mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sebesar 21,32% di tahun 2025; salah satunya dengan penetrasi energi surya yang lebih agresif, Dinas ESDM Jateng memandang masih banyak tantangan  yang harus dihadapi; misalnya literasi energi terbarukan yang masih belum merata, tingkat kesadaran masyarakat yang rendah, terbatasnya ketersediaan kontraktor/installer surya di wilayah tersebut, dan masa tunggu yang lama untuk penggantian meteran dua arah.

Sebagai upaya mendorong keterbukaan informasi tentang energi surya yang lebih merata dan komprehensif, serta mempertemukan beragam pemangku kepentingan terkait dan mempercepat  langkah Jawa Tengah untuk menjadi “provinsi surya” di Indonesia, Pemerintah Jateng bersama IESR akan menggelar Central Java Solar Day 2021, pada 16 Februari 2021, pukul 08:30 – 12:00 WIB secara online melalui Zoom Conference + livestream Youtube (IESR/ESDM Jateng). Acara ini akan dihadiri oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo,  Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE, Feby Joko Priharto,General Manager PLN UID Jateng dan DIY Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  dan lainnya.