Kerja Keras untuk Ciptakan Ekosistem Ramah PLTS Atap

Sunsational GNSSA: Refleksi Tiga Tahun Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap

Jakarta, 24 September 2020

Di tahun ke tiga setelah peluncuran Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), para deklarator, pemerhati energi bahkan pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, berkumpul secara daring untuk merayakan pencapaian, mengulas tantangannya, dan menegaskan kembali komitmen bersama untuk mendorong penggunaan PLTS atap  di Indonesia.

Sedikit bernostalgia, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reforms (IESR) yang juga merupakan salah satu deklarator GNSSA menuturkan bahwa ide dan target GNSSA ini awalnya tercetus secara spotan namun menjadi sangat berdampak karena melibatkan banyak diskusi dan inisiasi berbagai pakar energi di dalamnya.

Meski, hingga tahun ini, target satu juta pengguna PLTS atap belum tercapai, namun pihaknya mengapresiasi setiap usaha dalam merealisasikannya;  di antaranya total 11,5 MW PLTS terpasang dengan  7,5 MW dari total pelanggan PLN, lahirnya Peraturan Menteri (Permen) No. 49 tahun 2018 serta mulai tersedotnya  perhatian publik akan PLTS atap.

Menyikapi pencapaian ini,  para deklarator yang hadir pun pada umumnya memberikan tanggapan yang senada. Surya Dharma Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengakui bahwa sosialisasi PLTS atap relatif berhasil.

“Semangat ini tidak boleh padam. Saya ingin kita menggaungkan ini kembali supaya menjadi gerakan yang membawa keberhasilan,” tegasnya antusias.

Seiring dengan bertambahnya minat masyarakat atau pemerintah daerah untuk memasang  PLTS atap di rumah mereka, beberapa tantangan pun muncul ke permukaan. Tommy salah satu penggunaan PLTS atap mengungkapkan hal ini, “Di Semarang pada akhir 2018 saat Permen No. 49 baru keluar, net meter masih susah, tapi syukurlah untuk saat ini, net meter di Semarang sudah sangat mudah dan lancar.”

Ia pun menuturkan kendala lainnya adalah penerapan peraturan yang belum seragam sehingga harga produk PLTS atap menjadi sangat bervariasi. Ia  berharap kelak ada standarisasi di bidang harga. 

Tidak hanya itu, biaya investasi PLTS atap masih cenderung mahal.  Tommy mengusulkan agar pemerintah daerah melalui bank daerah bisa memberikan bantuan pinjaman sama halnya seperti pemberlakuan kredit pada motor.

Fabby dalam pemaparannya menyoroti tantangan yang serupa.

 “Ada hal yang masih harus ditingkatkan yakni ekosistem untuk mendukung pengembangan PLTS atap,” tukasnya. 

Ia memaparkan bahwa keterlibatan pemerintah sangat penting  dengan  memberikan dukungan kebijakan, pemberian insentif, penguatan institusi dalam melakukan pendampingan, pemberian informasi dan dukungan teknis bagi yang tertarik dengan PLTS atap dan penyediaan pusat pelayanan sehingga menjamin kualitas produk PLTS atap. Diperkirakan, jika rancangan ini berjalan maka dapat menyerap sekitar 30 ribu pekerja di bidang PLTS atap dan berpotensi besar dalam memulihkan perekonomian  Indonesia. 

Lebih lanjut, Andika Prastawa, Direktur Pusat Pengkajian Industri Manufaktur Telematika dan Elektronika (PPIMTE) yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), mengatakan bahwa target besar GNSSA bukan berarti ambisius melainkan mendorong segenap pihak untuk bekerja keras. 

Ia sepakat bila ekosistem itu terbentuk maka di tahun 2025 pertumbuhan PLTS atap akan semakin cepat. Ia menghitung jika tercapai 200 MW pertahun, maka sekitar 200 juta US berputar untuk PLTS atap sehingga industrinya semakin kompetitif.

“Industri ini cocok untuk membantu pemulihan ekonomi akibat COVID-19, karena PLTS tidak memerlukan pekerjaan yang massif  dan tidak melanggar social distancing,” ujarnya.

PLTS  Atap Semakin Populer Di Daerah

Hadir pada kesempatan yang sama, Jarwanto dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral  (ESDM) Jawa Tengah menuturkan perkembangan yang menggembirakan mengenai penggunaan PLTS atap di wilayahnya.

“Kita sudah 1 tahun setelah peluncuran revolusi surya di Jateng. Sebenarnya kita terlambat 2 tahun dari GNSSA,” tuturnya seraya tertawa.

Namun, ia menjelaskan bahwa banyak hal positif yang berhasil  pemerintah siasati untuk menyukseskan program revolusi surya.

“Dimulai pemasangan PLTS atap di kantor dinas membuktikan kepada semua bahwa setelah kita deklarasi, dengan berani, kita gebrak untuk bisa menjadi kebijakan  daerah. Responnya luar biasa bagus. Seandainya tidak ada virus corona, lompatannya lebih tinggi yakni sekitar  5.1 MW di Jawa Tengah,” lugasnya.

Sementara Bali, melalui Disnaker ESDM Bali, Setiawan menjelaskan bahwa pemerintah daerahnya masih mengkaji secara komprehensif pembangunan PLTS atap di wilayahnya karena struktur bangunan dan atap yang cenderung berbeda di bandingkan berbagai kota besar di Indonesia. Meskipun demikian, ia berterima kasih akan bantuan dari pemerintah pusat yang telah memberikan fasilitas PLTS atap sebesar 270 KW di 7 lokasi ikonik di  Bali.

Jakarta, di sisi lain, bahkan sudah merekomendasikan penggunaan PLTS atap karena mendukung penurunan pencemaran udara sesuai Instruksi Gubernur nomor 66 tahun 2018. 

“Seandainya panel surya ini sudah ada di katalog nasional, maka tidak perlu birokrasi yang lama, pengguna dapat langsung memasangnya,” ujar Rikki dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta.

Salah seorang penggiat solar energi yang telah berjuang selama 20 tahun dan juga merupakan deklarator GNSSA, Jon Raspati menganggap pencapaian GNSSA merupakan impiannya yang menjadi nyata. Ia pun mengajak semua orang terlibat dalam GNSSA bukan semata untuk menikmati keuntungan dari PLTS atap tapi berpartisipasi pula dalam menyelamatkan bumi dari energi kotor.

“Di seluruh dunia, PLTS atap menjadi lokomotif ekonomi. Karena energi  surya maupun angin ini tidak pernah habis. Energi ini merupakan energi yang tidak diskriminatif sehingga semua orang bisa memanfaatkannya. Sama halnya dengan bumi ini, jutaan orang yang harus bertanggung jawab merawatnya,” tegasnya.

Saksikan siaran tundanya disini:

Peringatan 1 Tahun Jawa Tengah Solar Province

Pada 17 September 2019, Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah memulai kerjasama dengan IESR untuk mendorong Jawa Tengah menjadi pionir provinsi surya (Jawa Tengah Solar Province) di Indonesia dengan tujuan implementasi Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang lebih ambisius. Kerjasama ini diresmikan dalam bentuk nota kesepahaman antara Gubernur Jawa Tengah dengan Direktur Eksekutif IESR. Dalam satu tahun terakhir, IESR bersama Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah melakukan diskusi dan kajian untuk pengembangan energi surya di Jawa Tengah.

Selayang pandang dan refleksi 1 tahun inisiatif Jawa Tengah Solar Province ini akan diselenggarakan pada Selasa, 6 Oktober 2020, pukul 09.30.

Saksikan siaran langsungnya segera di laman ini.

PLTS Atap di Stasiun Batang, Energi Bersih untuk Indonesia Mendatang

Selaras dengan KEN dan RUEN Kementerian ESDM

Batang, IDN Times – Berbicara Kabupaten Batang pasti selalu dikaitkan dengan isu Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang digembar-gemborkan dalam proyek nasional Indonesia. Ternyata ada hal kecil yang tak banyak diketahui orang di wilayah yang mempunyai luas 78.864,16 hektare itu.

 

Sebuah stasiun kereta api (KA) yang jaraknya kurang lebih 13 kilometer dari lokasi pendirian PLTU Batang melakukan pembaruan dengan menerapkan energi bersih yang ramah lingkungan. Akselerasinya dengan penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

 

  1. Stasiun pertama di Indonesia yang memakai PLTS atap

Stasiun Batang (BTG) adalah stasiun KA kelas III yang terletak di Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Stasiun yang masuk Daerah Operasi (Daop) 4 Semarang tersebut sebenarnya ada dua. Yakni stasiun dengan bangunan lama dengan ketinggian +4 meter dan stasiun baru dengan ketinggian +5 meter.

 

Stasiun baru Batang mempunyai empat jalur KA dengan jalur 2 adalah sepur lurus ke arah Semarang dan jalur 3 merupakan sepur lurus ke arah Cirebon, Jawa Barat. Semenjak 15 Maret 2019, PT Kereta Api Indonesia (KAI) memfungsikan kembali stasiun tersebut sebagai pemberhentian KA penumpang dimana sebelumnya hanya dilewati saja.

 

Stasiun baru Batang berada 1,6 kilometer sebelah timur stasiun lama. Kini, setiap hari KA Kaligung jurusan Semarang Poncol-Tegal berhenti di stasiun yang bangunan arsitekturnya mirip dengan Stasiun Patukan (PTN) di Sleman Yogyakarta itu.

 

Stasiun baru tersebut berinovasi dan berhasil mencetak sejarah sebagai stasiun pertama di Indonesia yang menerapkan energi bersih, menerapkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Berkat prestasi itu Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kategori Stasiun Pertama yang Menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, pada 27 Desember 2019.

 

“Saya malah baru tahu (ada PLTS atap). Bagus,” ungkap salah satu penumpang KA Kaligung yang turun di Stasiun Batang, Fanny Rifqi.

 

  1. PLTS atap terbukti menghemat biaya operasional bulanan

PLTS yang dipasang menggunakan sistem on-grid untuk menopang kebutuhan listrik di Stasiun Batang. PLTS on-grid beroperasi tanpa baterai. Teknologi on-grid mengkombinasikan sumber listrik yang dihasilkan PLN dengan sumber listrik dari panel surya. Keduanya mampu menyuplai kebutuhan listrik secara bergantian, disesuaikan dengan kondisi cuaca yang terjadi secara otomatis.

 

Sedikitnya 16 panel surya berukuran 2 meter x 1 meter dengan kapasitas masing-masing mencapai 375 kilowatt peak (kWp) dipasang di atas atap stasiun. Total secara keseluruhan, panel-panel surya tersebut mampu menghasilkan daya sebanyak 6000 watt.

 

Kepala Stasiun Batang, Agus Santosa kepada IDN Times mengungkapkan dengan penerapan PLTS atap mampu mengefisiensikan biaya operasional listrik hingga 50 persen. Salah satunya dari segi perawatan dimana perangkat panel surya tersebut relatif lebih mudah dan cepat pemeliharaannya sehingga menghemat biaya untuk alokasi tersebut.

 

“Dari jam 6 pagi sampai 4 sore hari (PLTS atap) efektif digunakan, bisa menghemat 50 persen. Pemanfaatannya untuk operasional seperti AC di ruangan, loket, juga lampu dan sound system. Jadi biaya perawatan bisa dialokasikan ke pemeliharaan lainnya,” kata Agus.

 

  1. Stasiun Batang strategis untuk penerapan PLTS atap

Proses pemasangan PLTS atap berlangsung selama 14 hari, mulai dari perakitan hingga pengoperasian. Yakni 21 November 2019 hingga 4 Desember 2019. PLTS dioperasikan pada 6 Desember 2019.

 

Pemilihan Stasiun Batang untuk pemasangan PLTS atap adalah inisiatif Kepala PT KAI Daop 4 Semarang, Mohamad Nurul Huda Dwi Santoso sebagai langkah realisasi pemanfaatan energi bersih dan ramah lingkungan. Stasiun Batang dipilih karena pertimbangan segi konstruksi bangunan yang cukup memadai. Disamping itu pertimbangan wilayah dimana Batang diproyeksikan sebagai kawasan industri potensial di Pantura, Jawa Tengah dan Indonesia pada umumnya.

 

“Kalau dilihat dari panel-panel surya, yang dipasang itu ada 16 panel dan bentuknya datar. Perlu area yang luas dan datar sehingga secara teknis yang memungkinkan ada di Stasiun Batang. Secara ekonomi juga ada potensi industri dan bisnis, termasuk wisata, sehingga (Stasiun Batang) disiapkan juga untuk stasiun penumpang,” jelas Manager Humas PT KAI Daop 4 Semarang, Krisbiyantoro ketika ditemui IDN Times.

 

Setelah penerapan PLTS atap di Stasiun Batang, hal serupa akan dilakukan pada bangunan lain milik PT KAI Daop 4 Semarang. Seperti kantor PT KAI Daop 4 Semarang dan Stasiun Semarang Tawang.

 

“Tentunya dengan keberhasilan (PLTS atap) ini akan menjadi stasiun percontohan untuk kedepan bisa diterapkan di stasiun-stasiun yang lain atau pun di perkantoran wilayah PT KAI (Persero) Daop 4 Semarang,” terangnya.

 

  1. Sesuai dengan target KEN dan RUEN Kementerian ESDM

Tenaga surya menjadi sumber energi terbarukan yang terus mengalami kemajuan secara pesat dibandingkan energi terbarukan lainnya. Melansir data Bank Dunia dan Solargis pada 2017, hampir sebagian besar wilayah di Indonesia mendapat pasokan sinar matahari secara merata sepanjang tahun dengan intensitas radiasi dan power output yang cukup tinggi, mencapai 3,6-6 kWh/meter persegi/hari dan 1.170-1.530 kWh/kWp.

 

Guna mendorong pemanfaatan energi surya tersebut, mengacu Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 disebutkan bangunan pemerintah diwajibkan untuk menggunakan PLTS sebesar 30 persen dari luasan atap. Salah satunya terimplementasi di Stasiun Batang.

 

Termasuk untuk untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi sebagai sistem pendukung proses pembangunan nasional sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dimana pasokan listrik PLTS di Indonesia ditarget bisa mencapai 6,5 Gigawatt (GW) pada 2025 atau naik sekitar 45 GW pada tahun 2050.

 

Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyebut pemanfaatan EBT menjadi langkah mitigasi perubahan iklim (climate change) yang telah menjadi komitmen pemerintah sejak meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016.

 

“Pemerintah sendiri menargetkan bauran EBT sebesar 23 persen sebagai energi primer pada 2025 dalam KEN. Kenyataannya hingga semester I tahun 2019, realisasinya baru sekitar 8,85 persen,” jelasnya melansir laman resmi Institute for Essential Services Reform (IESR) saat acara Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri di Kota Bekasi, Jawa Barat, 29 Januari 2020.

 

  1. Program Surya Nusantara menjadi langkah jitu saat pandemik virus corona

Pencapaian target KEN tak semulus yang dibayangkan dan bukan tanpa hambatan. Terlebih saat pandemik virus corona (COVID-19) melanda Indonesia. Dampak pandemik mengakibatkan stagnasi serta penurunan aktivitas ekonomi secara global. Hal tersebut juga menyebabkan turunnya permintaan energi dibandingkan kondisi normal. 

 

IESR menganalisis pertumbuhan terhadap permintaan PLTS atap akan nol atau negatif, yang artinya tanpa ada permintaan baru, hingga akhir tahun 2020. Kondisi itu berimbas pada target bauran energi  23 persen pada 2025 serta penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan sesuai Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2029 Kementerian ESDM. Padahal pencapaian target tersebut cukup penting, tak hanya untuk mengamankan penyediaan energi, juga terkait penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan green economic recovery melalui Program Surya Nusantara guna mendukung pemulihan ekonomi pasca pandemik COVID-19. Program tersebut berupa pemasangan PLTS dengan berkapasitas masing-masing 1,5-2 kWp untuk 500-600 ribu rumah tangga miskin penerima subsidi listrik yang on-grid.

 

“Program Surya Nusantara memberikan berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia. Antara lain penyerapan tenaga kerja hingga 30 ribu orang, penghematan subsidi listrik Rp1,3 triliun per tahun dan akan semakin bertambah jika program tersebut diperluas dan dilakukan sampai 2025,” paparnya dalam laporan yang ditulis pada laman resmi IESR, Senin (31/8/2020).

 

Apabila program tersebut dijalankan pemerintah, akan menjadi contoh nyata green economic recovery in action, yang menunjukkan kepemimpinan Indonesia merespon krisis di kawasan Asia Tenggara dan di tingkat dunia. 

 

Artikel ini menjuarai Transisi Energi Ideathon 2020 Jurnalisme Kreatif kategori Hard News

 

Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap



Kementerian ESDM dan IESR Gelar Sosialisasi PLTS Atap: Tingkatkan Geliat Sektor Industri di Jabodetabek untuk Memanfaatkan Energi Terbarukan

Bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Sosialisasi dan Diskusi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri, 29 Januari 2020 lalu di Kota Bekasi, Jawa Barat. Acara ini diikuti oleh lebih dari 40 peserta yang berasal dari Bappeda, Pelaku Bisnis dan Kawasan Industri se-Jabodetabek.

Energi surya merupakan jenis energi terbarukan yang mudah untuk diaplikasikan dalam beragam skala dan di berbagai lokasi, baik terpasang di atap atau pun di atas tanah (ground-mounted). Desain sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang bersifat modular membuatnya mudah untuk disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, mulai dari konsumen rumah tangga, bisnis, pemerintah, dan industri. Salah satu sektor yang dapat memanfaatkan PLTS atap dengan optimal adalah sektor industri, mengingat sektor ini sangat energy-intensive dengan profil beban yang cukup merata sepanjang hari. Dengan memasang PLTS atap, pelaku industri dapat menggantikan kebutuhan listriknya, utamanya di siang hari, yang sebelumnya bersumber dari energi fosil menjadi energi terbarukan.

Dalam sambutannya, Kasubdit Implementasi Pengembangan Aneka Energi Baru Terbarukan (EBT) Dirjen EBTKE, Pandu Ismutadi, menyampaikan pentingnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebagai aksi mitigasi perubahan iklim yang telah menjadi komitmen pemerintah semenjak meratifikasi Paris Agreement. Pemerintah sendiri memiliki target 23% bauran EBT untuk energi primer di tahun 2025, namun hingga semester 1 2019, realisasinya baru mencapai 8,85%. Pandu juga menyampaikan bahwa minat masyarakat, termasuk industri, terhadap PLTS atap kian meningkat setiap tahunnya sehingga pemerintah pun berusaha mengakomodasi hal tersebut dengan menerbitkan regulasi yang mendukung. Harapannya, peran strategis industri menuju pemanfaatan energi terbarukan yang mandiri dan berkelanjutan akan meningkatkan profit perusahaan dan berperan serta dalam kemandirian energi nasional.

Acara sosialisasi dan diskusi ini dibagi menjadi dua sesi: sesi pertama menghadirkan Mustaba Ari Suryoko dari Direktorat Aneka Energi (Ditjen EBTKE) KESDM, Sigit Cahyo Astoro dari Ditjen Ketenagalistrikan KESDM, dan Pratiwi dari PLN Jawa Barat; sedangkan sesi kedua menghadirkan Fabby Tumiwa dari IESR dan Stevan Andrianus dari Danone.

Diskusi pada sesi pertama menekankan pada regulasi yang langsung menyasar pelaku industri, seperti Permen ESDM No. 13/2019 dan No. 16/2019 sebagai revisi Permen ESDM No. 49/2018 yang mengubah persyaratan terkait Sertifikat Laik Operasi (SLO), Izin Operasi (IO), capacity charge, dan emergency charge; guna mendorong pemanfaatan PLTS atap secara masif di sektor industri. Sesi ini juga membahas lebih detail mengenai prosedur dan persyaratan pemasangan PLTS atap serta simulasi pengurangan tagihan PLN untuk pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Dalam diskusi, beragam pertanyaan muncul dari para pelaku industri seputar kendala-kendala yang dihadapi terkait prosedur dan implementasi di lapangan yang berhubungan dengan kewenangan PLN pusat dan regional, seperti kendala penyediaan kWh meter, SLO, dan kapasitas pembangkit yang dikenakan capacity charge. Menanggapi hal tersebut, perwakilan KESDM maupun PLN mengatakan bahwa permen yang sudah dikeluarkan dan peraturan turunan dari Direksi PLN sudah ada; tantangan di lapangan mencakup pemahaman dan kesiapan PLN regional untuk pelaksanaannya karena sistem PLTS atap ini adalah sesuatu yang baru.

Dalam sesi berikutnya yang diisi oleh pihak non-pemerintah, yaitu IESR dan Danone, pembahasan terfokus pada potensi energi surya yang sangat besar di Indonesia namun belum dioptimalkan, berbagai program dan strategi yang dapat diimplementasikan untuk mempercepat pengembangan energi surya seperti program Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA), serta pengalaman langsung pelaku industri yang sudah menggunakan PLTS Atap.

“Indonesia memiliki ribuan industri dan lebih banyak lagi bangunan, dan karenanya memiliki potensi pemanfaatan PLTS atap yang tinggi. Karenanya sejak 2017, IESR bersama dengan beberapa pihak, di antaranya Kementerian ESDM, BPPT, Kemenperin, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), dan Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) menginisiasi Gerakan Nasional Sejuta Atap (GNSSA) yang bertujuan untuk mendorong penetrasi energi surya hingga 1 GW pada tahun 2020; yang aaat ini baru mencapai 150 MW,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyampaikan dalam paparannya.

“Sektor rumah tangga yang menggunakan PLTS atap hingga saat ini mencapai 1.700 pelanggan. Minat dari sektor industri baru menggeliat dalam 3 bulan terakhir setelah ada revisi dari Permen ESDM No. 49/2018 yang tertuang dalam Permen ESDM No. 16/2019,” lanjut Fabby.

Dalam sesi diskusi, ketertarikan peserta tertuju pada model bisnis untuk pelaku industri dalam menggunakan PLTS yang kemudian ditanggapi oleh Stevan Andrianus, Sr. Technovation Manager (Danone Aqua), yang menjelaskan bahwa model bisnis yang digunakan pelaku industri dapat berupa modal sendiri atau dengan skema leasing (sewa). Model bisnis ini tentu disesuaikan dengan kemampuan finansial perusahaan dan prosedur internal, misalnya kepemilikan aset. Selain model bisnis, penanganan limbah panel surya juga menjadi topik pembahasan pada sesi ini. Fabby menjelaskan bahwa beberapa negara sudah memiliki fasilitas pengolahan limbah elektronik dari modul surya. Meski saat ini untuk konteks Indonesia hal ini belum menjadi isu, Fabby menekankan bahwa pengolahan limbah yang berkelanjutan juga harus menjadi pertimbangan yang serius.

Untuk mendorong pencapaian target GNSSA dan target pengembangan energi terbarukan sesuai Kebijakan Energi nasional, IESR juga merekomendasikan strategi pengembangan ekosistem Program Surya Nasional kepada pemangku kebijakan, meliputi dukungan kebijakan dan regulasi (misalnya sertifikat energi terbarukan), penguatan kelembagaan pihak-pihak terkait, desain dan standarisasi produk, pengujian produk dan labelling, pengembangan kapasitas dan pelatihan, penjangkauan dan peningkatan kesadaran masyarakat, serta mekanisme pembiayaan yang bervariasi untuk berbagai sektor.

## 

Materi presentasi dapat diunduh di: