Metodologi Evaluasi Implementasi Kebijakan: Mekanisme yang Sangat Dibutuhkan

New York, 21 September 2023 – Komunitas global mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan serius guna mengatasi dampak perubahan iklim. Menjelang COP 27 di Mesir tahun lalu, beberapa negara memperbarui komitmen mereka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai status emisi nol bersih. Namun demikian, masih terdapat kesenjangan antara komitmen dan implementasi kebijakan serta tindakan untuk mencapai target yang telah ditentukan.

Untuk mengamati, menilai, dan memantau kemajuan suatu negara dalam implementasi kebijakan, Climate Transparency, sebuah kemitraan global antara organisasi penelitian dan Organisasi Masyarakat Sipil di negara-negara G20, telah mengembangkan metodologi untuk meninjau implementasi kebijakan dalam empat kategori: status hukum, institusi & tata kelola, sumber daya, dan pengawasan.

Yvonne Deng, Pakar Strategi Energi dan Iklim dari 7Gen Consulting, menekankan pentingnya memiliki instrumen pemantauan untuk meninjau kebijakan saat ini dan perannya dalam mencapai target iklim.

“Kami (Climate Transparency) menganalisis kesenjangan dan mendalami pendekatan sektoral untuk merekomendasikan kebijakan sektoral apa yang harus diambil suatu negara untuk mencapai ambisi tersebut,” kata Yvonne.

Afrika Selatan, salah satu negara yang mendapat perhatian global akhir-akhir ini sebagai penerima pertama pendanaan Just Energy Transition Partnership. Guy Cunliffe, Peneliti Sistem Energi di Universitas Cape Town menjelaskan bahwa sebagai negara yang menerima bantuan internasional, Afrika Selatan perlu menunjukkan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyeknya.

“Pemantauan implementasi sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan implementasi dan sebagai negara penerima, hal ini juga merupakan cara untuk menampilkan kemajuan proyek yang berkomitmen,” katanya.

Guy menambahkan bahwa sebagai penerima JETP pertama, Afrika Selatan telah meningkatkan ambisi iklimnya dan mencoba mengintegrasikan kapasitas energi terbarukan secara signifikan ke dalam jaringan listriknya. Namun dalam implementasinya, negara tersebut mengalami kendala dalam hal pasokan listrik. Kendala ini ‘memaksa’ mereka untuk menyesuaikan rencana dan kebijakan sekaligus mengubah struktur pasar energi dengan cepat. Hal ini hanya mungkin terjadi dengan pemantauan kebijakan yang berkelanjutan.

Mirip dengan Afrika Selatan, Indonesia, sebagai salah satu produsen batubara terbesar, pembangkit listriknya didominasi oleh batubara. Pada tahun 2022, Indonesia memperbarui target penurunan emisi dalam enhanced NDC, dari 29% menjadi 31,89% (unconditional) dan 41% menjadi 43,2% (conditional).

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essential Services Reform (IESR), mencatat bahwa selama masa transisi dari batubara, masih terdapat konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan, terutama karena kurangnya panduan yang jelas dari pemerintah mengenai transisi meliputi indikator dan arahan strategi.

“Meskipun Indonesia telah meningkatkan ambisinya dan tertuang dalam target NDC-nya, ekosistem pendukung (enabling environment) bagi para pengembang energi terbarukan masih belum cukup menarik. Masih belum ada insentif yang jelas bagi investor serta prosesnya yang masih cukup panjang,” jelas Wira.

RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) yang sedang dalam proses, meskipun diyakini akan memberikan kerangka kebijakan yang kuat, sampai batas tertentu masih berupaya untuk memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil dengan memasukkan teknologi CCS ke dalam opsi energi terbarukan.

Transisi Energi di Tengah Kepungan Tambang Batubara

Samarinda, 7 September 2023 –  Transisi energi adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Tren dunia saat ini menunjukkan bahwa bumi semakin panas dan untuk membatasi meningginya temperatur bumi diperlukan solusi terstruktur di antaranya dengan transisi energi, yang melibatkan berbagai sektor dan multi-stakeholder.

Masyarakat dan komunitas menjadi salah satu aktor kunci dalam transisi energi yang dapat menginisiasi pengembangan energi terbarukan untuk menjawab kebutuhan energinya. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerjasama dengan proyek Clean Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur mengadakan kegiatan Jelajah Energi Kalimantan Timur (Kaltim) untuk melihat secara langsung dan lebih dekat perkembangan berbagai inisiatif penggunaan energi terbarukan di Provinsi Kalimantan Timur.

Rangkaian kegiatan Jelajah Energi ini diawali dengan workshop, dilanjutkan dengan kunjungan pada sejumlah tempat. Pada hari pertama kunjungan, rombongan Jelajah Energi Kaltim melihat PLTS atap pada kantor Pertamina Hulu Mahakam, TPAS Manggar, dan PLTU Kariangau Teluk Balikpapan.

Perjalanan “Jelajah Energi Kalimantan Timur” berlanjut pada hari kedua dimulai dengan kunjungan ke Desa Mulawarman untuk melihat bagaimana masyarakat memanfaatkan kotoran ternak untuk membuat biogas. Biogas yang ada di desa Mulawarman ini merupakan biogas rumahan bantuan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Timur. 

Desa Mulawarman berada di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Tambang batubara mengelilingi, Desa Mulawarman. Kondisi ini sempat membuat warga desa Mulawarman meminta untuk direlokasi.

Pemerintah Daerah Kalimantan Timur mulai memberikan perhatian pada desa Mulawarman untuk membantu perekonomian warga desa Mulawarman, salah satunya dengan mengembangkan kelompok ternak dan bantuan instalasi biogas.

Pada tahun 2021, Dinas ESDM Kalimantan Timur memberikan bantuan instalasi biogas kepada kelompok ternak (yang telah disurvey) yang berada di desa tersebut, yang berjumlah 20 peternak. Hal ini membuat masyarakat tidak perlu membayar iuran per bulan untuk penggunaan biogas ini. 

Masyarakat pengguna biogas ini segera merasakan dampak positif, seperti  adanya penghematan biaya untuk bahan bakar untuk memasak. Zaenal Abidin, warga Desa Mulawarman, yang juga merupakan penerima manfaat dari bantuan instalasi biogas, mengatakan, bahwa sebelumnya untuk memenuhi kebutuhan memasak, keluarganya bisa menghabiskan hingga 4 tabung LPG atau elpiji 3 kg dalam satu bulan. Kini, ia dapat memotong kebutuhan elpijinya menjadi hanya 1 tabung elpiji 3 kg saja.

“Untuk masak sehari-hari ini (biogas, red) sudah cukup. Tapi jika ada acara-acara seperti pengajian begitu masih harus menggunakan gas elpiji,” kata Zaenal Abidin.

Zaenal juga menambahkan bahwa proses memasak menggunakan bahan bakar biogas ini sedikit lebih lama dibandingkan menggunakan elpiji.

Bantuan instalasi biogas ini juga dibarengi dengan transfer pengetahuan tentang teknologi pada para peternak. Sehingga para penerima manfaat dapat mendeteksi kendala-kendala teknis yang berpotensi muncul dari penggunaan instalasi biogas rumahan ini.

Rombongan Jelajah Energi Kalimantan Timur melanjutkan perjalanan menuju Desa Menamang Kanan, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara. Perjalanan menuju Desa Menamang Kanan memakan waktu hampir 3 jam dengan kondisi jalan berdebu berat yang mengakibatkan jarak pandang menjadi sangat terbatas.

Dalam satu tahun terakhir, warga Desa Menamang Kanan berhasil menikmati listrik dari PLTS terpusat bantuan dari Dinas ESDM Kalimantan Timur dengan kapasitas 87 kWp. PLTS ini menyuplai kebutuhan listrik dasar untuk 600 kepala keluarga Desa Menamang Kanan. 

Sebelumnya, warga Desa Menamang Kanan bergantung pada suplai listrik dari PLT Diesel yang disediakan oleh salah satu program CSR perusahaan yang beroperasi di sekitar desa Untuk operasional pembangkit diesel ini, dibutuhkan 70 liter BBM setiap harinya untuk menghidupkan listrik selama 4 jam. 

Zapir, Sekretaris Desa Menamang Kanan, menjelaskan meski listrik dari PLTS ini sudah menambah akses listrik  di Desa Menamang Kanan, namun penggunaannya masih terbatas untuk penerangan dan alat elektronik ringan saja.

“Jadi baru untuk penerangan saja, sama paling kipas angin. Kalau untuk TV atau kulkas masih belum bisa,” ujar Zapir.

Zapir berharap kapasitas PLTS atap terpusat ini dapat ditingkatkan ke depannya supaya warga desa dapat memanfaatkan listrik untuk aktivitas produktif yang berpotensi membawa nilai ekonomis. Bukan terbatas hanya pada penerangan.

Gerak Sinergis Segenap Pihak Diperlukan untuk Dorong Transisi Energi di Kalimantan Timur

Balikpapan, 5 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR) menggelar rangkaian acara Jelajah Energi Kalimantan Timur berkolaborasi bersama program Clean Affordable and Secure Energy in Southeast Asia (CASE) dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur. Rangkaian Jelajah Energi Kalimantan Timur ini dimulai dengan penyelenggaraan workshop pada Selasa, 5 September 2023. 

Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, Rachmat Mardiana memaparkan, pengembangan energi terbarukan melalui ekonomi hijau dan ekonomi biru dapat menjadi potensi penggerak ekonomi baru di wilayah Kalimantan. Hal ini bisa dilakukan melalui upaya pemanfaatan biodiesel, tenaga surya, dan energi alternatif lainnya yang tersebar di seluruh provinsi. Menurut Rachmat, secara regional, pemerintah daerah dapat mendukung melalui Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sesuai dengan kewenangan daerah dalam pengembangan energi terbarukan sebagaimana UU 23/2014 tentang pemerintah daerah. 

“Terdapat beberapa isu kewilayahan di Kalimantan di antaranya produksi tenaga listrik didominasi energi fosil dengan bauran pembangkit listrik terbarukan relatif rendah, pembangunan ibu kota nusantara (IKN) membutuhkan penyediaan listrik yang terbarukan, infrastruktur ketenagalistrikan terdiri dari sistem interkoneksi Kalimantan yang belum terhubung seluruhnya, serta sistem transmisi tegangan ekstra tinggi belum tersambung untuk mengevakuasi daya energi yang tersebar di seluruh wilayah,” ujar Rachmat dalam pembukaan rangkaian Jelajah Energi Kalimantan Timur. 

Untuk mengatasi isu kewilayahan tersebut, lanjut Rachmat, beberapa arah kebijakan perlu diambil seperti pengambangan grid skala kecil terisolasi (isolated mini grid), penyediaan listrik IKN yang hijau, cerdas, dan berkelanjutan, pengembangan jaringan listrik cerdas (smart grid), pengembangan pasokan listrik terintegrasi dengan industri melalui pemanfaatan sumber energi primer, mendorong pemanfaatan energi terbarukan dan mengembangkan interkoneksi antar wilayah. 

Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, Rachmat Mardiana

Kegiatan ini dilanjutkan dengan sesi lokakarya (workshop) pemaparan transisi energi oleh Irwan Sarifuddin, Koordinator Clean Energy Hub IESR. Irwan menjelaskan, untuk melakukan transisi energi berkeadilan, pemerintah daerah tidak boleh hanya memperhatikan nasib pekerja di pertambangan batubara atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) saja, melainkan juga perlu memperhatikan para pekerja di daerah-daerah penunjangnya. 

“Kita perlu mempersiapkan agar mereka tidak tertinggal, hal ini bisa diartikan sebagai proses transisi energi berkeadilan. IESR telah melakukan studi Redefining Future Jobs pada tahun 2022 yang menunjukkan keuntungan yang didapatkan oleh daerah penghasil batubara, tidak sebanding dengan kerugian yang dirasakan masyarakat di daerah tersebut. Misalnya saja kerugian degradasi lahan dan risiko kesehatan,” terang Irwan. 

Setali tiga uang, Penasihat Transisi Energi dari Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) Indonesia, Yudiandra Yuwono menekankan, dalam melakukan transisi energi perlu memastikan adanya kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, proses transisi energi mempunyai banyak elemen dengan beragam konstituensi sistemik. 

“Beberapa tantangan transisi energi seperti kesiapan teknologi, dukungan kebijakan, dan penerimaan masyarakat itu sendiri. Untuk itu, seluruh elemen berperan dalam transisi energi,” kata Yudiandra. 

Lokakarya berikutnya berkaitan co-firing dan biogas dari perwakilan IESR dan Dinas ESDM Kalimantan Timur. Rahmat Jaya Eka Saputra, Staff Program Transformasi Energi IESR menuturkan, PLN mengimplementasikan teknologi co-firing di 36 lokasi PLTU dari target 35 lokasi selama 2022. Program co-firing PLN tersebut mampu memproduksi energi bersih sebesar 575,4 GWh dan berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 570 ribu ton CO2 dengan memanfaatkan biomassa sebanyak 542 ribu ton.

“Beberapa keuntungan memanfaatkan biomassa dalam co-firing yaitu signifikan menurunkan emisi pada komposisi perbandingan 20-50% proporsi bahan bakar pengganti batubara, serta penyeimbangan karbondioksida didapatkan melalui penanaman kembali tanaman baru yang akan menyerap karbon dioksida. Namun demikian, co-firing merupakan bahan bakar “transisi” dan tidak dapat dijadikan sebagai bahan bakar tumpuan energi masa depan,” jelas Rahmat. 

Sonny Widyagara Nadar, Analis Kebijakan Ahli Muda Dinas ESDM Kalimantan Timur menyatakan, potensi biomassa di Kalimantan Timur sekitar 936,14 MW serta biogas 150 MW. Dengan demikian, apabila ditotalkan potensi bioenergi berkisar 1.086,14 MW. Dengan potensi tersebut, beberapa pemanfaatan biomassa dan biogas telah dilakukan. Misalnya saja sekam padi sebagai pupuk atau biomassa. Ada juga pemanfaatan biogas dari kotoran hewan ternak. 

Workshop Jelajah Energi Kalimantan Timur

“Terdapat beberapa tantangan dalam pemanfaatan biogas dari kotoran hewan ternak yakni menjangkau daerah-daerah  terjauh yang mengalami kelangkaan LPG, peningkatan skala biogas untuk ternak komunal, dan hilirisasi pemanfaatan biogas untuk pemanfaatan ekonomi masyarakat,” papar Sonny. 

Sesi selanjutnya, Fadhil Ahmad Qamar, Staff Program CASE, IESR menjelaskan, limbah cair kelapa sawit (palm oil mill effluent/POME) memiliki potensi yang dapat diubah menjadi sumber energi alternatif yaitu energi listrik. Menurut Fadhil, 14 juta hektar mampu menghasilkan 146 juta ton setiap tahunnya, kemudian diolah menjadi 35 juta ton crude palm oil (CPO) dan 28,7 juta ton limbah cair. POME umumnya diolah di kolam terbuka dalam kondisi anaerobik dan menghasilkan biogas. 

“Pemanfaatan biogas dari POME ini bisa membantu pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), seperti 26 juta ton CO2eq/tahun ketika 100 pabrik memanfaatkan biogas dari POME. Namun demikian, dukungan finansial dan kebijakan diperlukan untuk menciptakan iklim investasi yang baik untuk pengembangan pemanfaatan biogas dari POME,” tegas Fadhil. 

Rangkaian kegiatan Jelajah Energi Kalimantan Timur hari pertama ditutup dengan sesi workshop persiapan liputan transisi energi. Kurniawati Hasjanah, Staff Komunikasi IESR menekankan, dalam melakukan liputan transisi energi, jurnalis maupun jurnalisme warga bisa berpatokan pada sejumlah istilah kunci seperti bauran energi, karbon, dan energi alternatif. Berbagai peliputan transisi energi pada dasarnya berada dalam kerangka bagaimana cara mengurangi jejak karbon dalam konsumsi energi dan meningkatkan penggunaan energi alternatif.  

“Dalam mempersiapkan liputan transisi energi, biasanya jurnalis membuat kerangka acuan pemberitaan terlebih dahulu yang berisikan topik, angle pemberitaan yang akan diambil, narasumber serta dokumen sebagai referensi, seperti dokumen NDC, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Perpres 112/2022. Selain itu, perlu juga daftar video dan foto untuk menjadi panduan fotografer untuk melengkapi liputan,” ungkap Kurniawati Hasjanah.

Kompas | Terlena Batubara

Laman Our World in Data menyebutkan, pada pergantian abad ke-20, setengah dari sumber energi di dunia bersumber dari batubara. Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan yang semula berjalan lambat kini semakin cepat. Di Inggris, sekitar dua pertiga sumber energi listrik berasal dari batubara pada 1990. Pada 2010 turun menjadi kurang dari sepertiganya dan kini diperkirakan sekitar 1 persen.

Baca selengkapnya di Kompas.

Menangani Polusi Udara di Jakarta: Peran Intervensi PLTU Menuju Pensiun Dini

Jakarta, 11 Agustus 2023 – Polusi udara saat ini masih menjadi masalah di berbagai wilayah. Walaupun kesadaran terhadap isu polusi udara telah tumbuh, urgensi menemukan solusi belum menjadi prioritas. Padahal, dampaknya besar bagi semua orang, termasuk anak-anak sebagai kelompok yang paling rentan.

Co-founder Startup Nafas, Piotr Jakubowski memaparkan, polusi udara jauh lebih tinggi di musim kemarau daripada musim hujan. Hal ini terjadi karena arah angin yang terkoneksi dengan sumber polusi. Berdasarkan studi Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), perubahan musim itu sangat berdampak terhadap polusi udara. Piotr menuturkan masalah polusi udara sudah menjadi persoalan sehari-hari di Indonesia sehingga masyarakat perlu melindungi kesehatan diri sendiri dan mulai memikirkan penyelesaian masalah polusi udara secara sistemik. 

“Saat ini terdapat beberapa kategori sumber polusi seperti PLTU, industri, transportasi, logistik, pembakaran lahan, pembakaran sampah yang sembarangan. Sebenarnya sumber polusi itu tergantung dari aktivitas perkotaan itu sendiri dan dampaknya seperti apa itu juga bergantung dengan lokasi geografisnya. Misalnya saja Kota Bandung yang memiliki udara sejuk. Namun demikian,  lokasi kota Bandung secara geografis terletak pada posisi cekungan, sehingga polusi udara di sana tinggi banget dan apabila tidak kena angin maka polusinya bisa bertahan lama dibandingkan Jakarta yang memiliki sumber angin dari laut,” ujar Piotr dalam diskusi ringan Twitter atau X Space yang berjudul Tepis Polusi Udara dengan Intervensi PLTU Batubara

Analis utama CREA, Lauri Myllyvirta menuturkan berdasarkan studi terbaru CREA dan IESR berjudul Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia, PLTU batubara bertanggung jawab atas 10.500 kematian di Indonesia pada 2022. Angka ini bisa semakin meningkat tajam, mencapai 180.000 kematian apabila PLTU batubara tak segera pensiun tahun 2040. 

“Jakarta menjadi salah satu kota di Indonesia yang paling terdampak dari PLTU batubara karena terdapat beberapa PLTU di sekitarnya. Selama musim kemarau, arah angin timur ke selatan, yang berarti PLTU di Cirebon, Cilacap dan sebagainya yang menyebabkan polusi di Jakarta. Udara yang datang ke Jakarta itu sudah terpolusi dan ditambah ada emisi di Jakarta, serta ada reaksi kimia diantara polutan, hal ini menyebabkan polusi udara semakin tinggi,” tegas Lauri. 

Untuk itu, menurut Lauri, sebaiknya pemerintah memasang alat pengendali emisi juga di PLTU sehingga bisa mengontrol emisi yang dikeluarkan oleh PLTU. Menurut kajian CREA dan IESR, emisi polutan udara dari PLTU batubara menjadi salah satu penyebab atas angka kehilangan nyawa di Indonesia serta meningkatnya beban biaya kesehatan. Pada 2022, biaya kesehatan yang ditimbulkan akibat pengoperasian PLTU batubara di Indonesia bisa mencapai USD 7,4 miliar atau setara Rp111,126 triliun. 

Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR), Raditya Yudha Wiranegara menyatakan, PLTU yang tersebar di sekitar Jakarta menjadi kontributor tingginya polusi di Jakarta. Ia memaparkan ada sekitar 8 PLTU yang mengepung Jakarta, seperti di sebelah timur Jakarta (PLTU Suralaya, PLTU Lontar, PLTU Banten) dan di barat (PLTU Cirebon 1 dan 2, PLTU Batang, PLTU Tanjung Jati). Berdasarkan studi CREA dan IESR, terdapat beberapa PLTU yang dinilai memiliki dampak paling besar terhadap kesehatan, diukur dari jumlahkematian yang disebabkan serta biaya kesehatan. 

“Terdapat lima PLTU teratas yang terindikasi memiliki dampak paling signifikan terhadap kesehatan diantaranya PLTU Batang, PLTU Lontar, PLTU Cirebon 1 dan 2, PLTU Cilacap. Kita mengetahui kelima PLTU ini terhubung dengan jaringan kelistrikan Jawa-Bali yang saat ini statusnya oversupply. Ketika nantinya lima PLTU ini dipertimbangkan untuk dipensiunkan, seharusnya tidak menjadi masalah bagi polusi udara di Jakarta. Namun terdapat kekhawatiran dari PLN, apakah hal ini akan menyebabkan ketidakstabilan pada jaringan karena kebanyakan PLTU di list ini berada di sebelah barat, dan seperti kita ketahui beban paling banyak memang di Jawa bagian barat. Untuk itu, perlu dipertimbangkan dan apabila memang dipensiunkan PLTU tersebut maka perlu diikuti kesigapan pemerintah dan PLN untuk melakukan akselerasi energi terbarukan, termasuk pembangunan PLTS,” tegas Raditya.