Percepat Transisi Energi yang Adil dan Berkelanjutan di Indonesia dengan Pengakhiran Operasional PLTU

JETP

Jakarta, 27 Juni 2023 –  Keberlanjutan lingkungan dan mengatasi krisis iklim telah mendorong perlunya transisi energi menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Pengakhiran operasional pembangkit energi fosil secara dini sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar merupakan langkah nyata mempercepat transisi energi di Indonesia. . 

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Wanhar menjelaskan, Indonesia telah memiliki regulasi tentang pengakhiran PLTU yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpes) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang ditetapkan dan diundangkan pada 13 September 2022. Lebih lanjut, Wanhar menekankan, dalam Perpres itu disebutkan, PLTU baru dilarang dibangun kecuali yang telah ditetapkan melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

“Strategi terkait pensiun dini PLTU berdasarkan acuan Perpres Nomor 112 saat ini dibahas secara mendalam dalam perencanaan umum energi. Selain itu, Indonesia juga perlu mempercepat akselerasi rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN). Kami memiliki prioritas penggunaan energi terbarukan dan memperketat lisensi untuk PLTU captive, kecuali yang berasal dari pemerintah,” terang Wanhar dalam acara JETP Convening for Exchange and Learning di Ayana Midplaza. 

Wanhar menekankan, Pemerintah Indonesia dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) memiliki visi bersama untuk mendorong energi terbarukan dengan mempertimbangkan empat faktor, di antaranya jaringan subsitusi yang baru dibangun, adanya jaminan transisi yang adil, keterjangkauan serta dukungan keuangan dari internasional.  Penghentian PLTU tersebut perlu dibarengi dengan pemanfaatan energi terbarukan, misalnya saja tenaga surya. 

David Elzinga, Senior Energy Specialist, Bank Pembangunan Asia menuturkan, saat ini terdapat kekhawatiran mengenai pengembalian investasi atau return of investment dalam pengakhiran operasional PLTU secara dini. Mengingat, beberapa lembaga keuangan masih ragu untuk mendanai program pensiun dini PLTU batubara. Untuk itu, Bank Pembangunan Asia (ADB)  memutuskan untuk mengambil alih hal ini.

“Terdapat beberapa tantangan dalam melakukan transisi energi, di antaranya mengelola keandalan dan pasokan energi. Dengan adanya kemitraan transisi energi yang adil (Just Energy Transition Partnership, JETP), diharapkan peluang pekerjaan hijau bagi orang-orang yang bekerja di produksi batubara terbuka lebar serta peningkatan kapasitas (skill) perlu diperkuat,” ujar David. 

Di lain sisi, Vikesh Rajpaul, General Manager  Just Energy Transition di Eskom Holdings SOC Ltd. memaparkan, dalam melakukan implementasi JETP, perpanjangan masa pakai PLTU tidak dipertimbangkan untuk pembangkit yang sudah tua. Meski demikian, beberapa unit mungkin perlu tetap beroperasi lebih lama dari yang direncanakan untuk mengatasi krisis listrik.

“Tidak ada transisi energi tanpa transmisi dan kesetaraan menjadi kunci dalam pelaksanaan transisi energi, mengingat prosesnya akan berdampak terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Kami telah melihat adanya potensi transisi energi di Afrika Selatan, termasuk potensi tenaga surya dan angin yang melimpah. Untuk itu, Afrika Selatan bisa mendorong penggunaan energi terbarukan,” ujar Vikesh. 

Jerredine Morris, Manager Senior di Carbon Trust menyatakan, pengelolaan dana JETP di Afrika Selatan dilakukan dengan cara melindungi kelompok dan pekerja yang rentan dengan pensiun dini PLTU. Selain itu, dalam pelaksanaan JETP yang terpenting yakni mempertimbangkan kepentingan warga lokal atau biasa disebut pendekatan dari bawah ke atas. 

“Dalam pelaksanaan pensiun dini PLTU, kami melihat kelayakan pensiun dari usia PLTU tersebut, serta biaya perawatan. Kami juga melihat kelayakan ekonomi dan dampak sosial dari pensiun ini. Kendala utamanya yakni kapasitas PLTU yang dipensiunkan serta cara kita membangun energi terbarukan di sekitarnya,” kata  Jerredine. 

Pariphan Uawithya, Asia Director for the Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) menyatakan, terdapat tiga pemangku kepentingan yang penting dalam proses pensiun dini PLTU di Indonesia yakni pemerintah, swasta dan masyarakat.  Menurutnya, pengakhiran operasional PLTU secara dini  di Indonesia menjadi langkah kritis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan pencemaran udara. Penghentian PLTU tua juga akan membuka peluang bagi investasi dalam sumber energi alternatif, seperti energi terbarukan, yang akan meningkatkan keberlanjutan energi negara.

“Seiring transisi energi, pemerintah juga telah menerbitkan aturan tentang pasar karbon sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap isu perubahan iklim. Namun demikian, perlu diingat dalam proses transisi energi, batubara bukan satu-satunya aset, generator diesel juga bisa digantikan oleh energi terbarukan,” tegasnya. 

Just Energy Transition Partnership (JETP) Convening diselenggarakan oleh Ford Foundation di Indonesia, Institute For Essential Services Reform (IESR), dan African Climate Foundation (ACF), dengan dukungan dari Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP) dengan tujuan untuk memfasilitasi forum pertukaran pembelajaran antar pemangku kepentingan.

Peran Penting Energi Terbarukan demi Membangun Masa Depan Terang

Jakarta, 24 Juni 2023 – Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, beberapa tantangan dalam melakukan pensiun PLTU dan bagaimana energi terbarukan berperan dalam membentuk masa depan. Hal tersebut dibahas dalam acara Energy Talk yang diadakan oleh Society of Renewable Energy (SRE) Universitas Hasanuddin.

Radit, sapaan akrab Raditya, membuka sesi diskusi tersebut dengan menjelaskan bahwa kegiatan manusia terutama dalam bidang energi menjadi kontributor utama dari kenaikan suhu bumi. Sumbernya masih didominasi oleh batubara dan diikuti dengan konsumsi bahan bakar minyak (BBM). Radit menilai, hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat Indonesia, untuk mulai membuat rencana menurunkan ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis batubara.

Lebih lanjut, Radit menjelaskan bahwa Perpres 112/2022 mengatur didorongnya perkembangan energi terbarukan, dan pasal ketiga memuat mandat bagi ESDM untuk mulai membuat skenario percepatan pensiun PLTU batubara. Terdapat pula restriksi untuk tidak membangun PLTU setelah perpres ini disahkan, terkecuali yang saat ini tengah direncanakan, dan yang termasuk dalam proyek strategis nasional. 

“PLTU yang ada juga harus mulai menurunkan emisi mereka, hingga semua dipensiunkan pada tahun 2045. Namun, perencanaan ini masih dalam pembicaraan yang dinamis, pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana  melakukan pensiun PLTU di 2030,” terang Radit.

Radit memaparkan,  keuntungan dari pensiun dini PLTU yakni 2-4 kali biaya dapat dihemat, hal ini berdasarkan studi IESR dengan Universitas Maryland. Radit menekankan, keuntungan tersebut termasuk keuntungan biaya kesehatan atas kualitas udara dan berkurangnya subsidi listrik yang harus dikeluarkan mengingat listrik kita sekarang disubsidi. Namun demikian, dalam melakukan pensiun PLTU batubara terdapat beberapa tantangan, di antaranya perlu biaya di depan yang cukup besar, sekitar USD 4.6 miliar sampai tahun 2030 dan USD 27.5 miliar sampai tahun 2050, yang memerlukan dukungan internasional yang besar untuk mencapainya. Kedua, diperlukan USD 1.2 triliun untuk menggantikan pembangkitan listrik PLTU dengan energi terbarukan. Ketiga, aspek legalitas. Radit menilai, baik PLN dan produsen listrik swasta (IPP) memiliki beberapa skenario yang harus dipenuhi dalam memensiunkan pembangkitnya. Misalnya saja PLN perlu diinvestigasi oleh badan audit jika terjadi kerugian negara akibat berkurangnya PLTU, dan IPP dapat mengajukan gugatan akan kerugiannya.

“Dari hasil studi yang kami lakukan, kami menemukan bahwa dalam hal biaya mitigasi, membatalkan proyek PLTU adalah opsi paling terjangkau dalam mengurangi emisi karbon. Membatalkan juga akan menghindari biaya besar yang akan terjadi ketika kelak harus dipensiunkan,” ujar Radit.

Radit menekankan dengan adanya momentum Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia harus bisa mengkatalisis lebih banyak lagi investasi dan membangun iklim pasar yang menarik di Indonesia bagi investor asing. JETP merupakan kemitraan pendanaan perubahan iklim dan transisi energi dari negara G7 plus Norwegia dan Denmark untuk pengembangan kendaraan listrik, teknologi, dan penghentian dini pembangkit listrik berbasis fosil di Indonesia. Partnership ini juga mendorong transisi energi yang berkeadilan yang mempertimbangkan kehidupan dan penghidupan masyarakat terdampak di setiap tingkatan perjalanan transisi energi, sehingga tidak ada satu pun pihak yang tertinggal. Indonesia mendapatkan alokasi pemanfaatan dana sebesar USD 20 miliar untuk mendukung transisi energi di Indonesia melalui kerangka JETP

Pentingnya Pengakhiran Operasional PLTU Batubara untuk Mengejar Target Penurunan Emisi

press release

Jakarta, 20 Juni 2023 –  Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia melakukan transformasi sektor ketenagalistrikan untuk mencapai emisi puncak di 2030 dan netral karbon di 2050. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mencapai net-zero emission 2060 atau lebih awal sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia mengurangi ancaman pemanasan global. 

Berdasarkan data Climate Watch, sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Secara global, sektor tersebut menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi. Sementara itu, berdasarkan laporan Ember Climate Indonesia menempati urutan ke-9 penghasil emisi CO2 terbesar dari sektor ketenagalistrikan di dunia, mencapai 193 juta ton CO2 pada 2021. Untuk itu,  pemerintah harus mengejar penurunan emisi yang signifikan di sektor energi, khususnya terhadap sektor ketenagalistrikan. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyatakan sebagai salah satu negara ekonomi terbesar sekaligus pengemisi terbesar di dunia, Indonesia diharapkan menunjukan kepemimpinan dan komitmen melakukan dekarbonisasi sektor energinya lewat kebijakan dan rencana transisi energi. Komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus diterjemahkan ke dalam serangkaian kebijakan, regulasi dan rencana yang selaras, satu dengan lainnya.

“Ada indikasi bahwa komitmen politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) coba untuk dimentahkan dan didegradasi oleh sejumlah pihak yang enggan melakukan transisi energi, dan  ujung-ujungnya ingin mempertahankan status quo, yaitu tidak mengurangi konsumsi batubara dalam penyediaan listrik. Untuk itu, Presiden harus mengamati dengan lebih rinci bahwa ada pihak-pihak yang enggan melakukan transisi energi dengan cepat dan mencoba menurunkan derajat ambisi pemerintah dan melakukan buying time hingga mereka dapat mengubah keputusan politik tersebut,” imbuh Fabby. 

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi menegaskan, IESR memandang penghentian PLTU batubara di Indonesia menjadi hal yang penting. Sebagai salah satu penerima komitmen pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berkomitmen untuk mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34% pada 2030,” ujar Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi. 

“Target yang tercanang di komitmen JETP lebih tinggi dibandingkan kebijakan dan perencanaan yang sudah ditetapkan saat ini. Misalnya saja, target emisi mencakup sektor ketenagalistrikan secara keseluruhan dan juga  bauran energi terbarukan yang 10% lebih tinggi dibandingkan dengan RUPTL 2021-2030 milik PLN. Artinya, untuk mencapai target tersebut dalam kurun waktu kurang lebih 7 tahun, perlu transformasi tidak hanya di perencanaan sistem kelistrikan seperti penghentian operasi PLTU batubara,” papar Deon. 

Dengan asumsi semua pembangkit, termasuk PLTU batubara, yang direncanakan di dalam RUPTL 2021-2030 terbangun, IESR menghitung untuk mengejar target JETP setidaknya sebanyak 8,6 GW PLTU batubara harus dipensiunkan sebelum 2030 diikuti dengan pengakhiran operasi 7,6 GW PLTU sebelum 2040.  Dari sisi kebijakan, akselerasi pengembangan energi terbarukan dan disinsentif ke investasi untuk pembangkit energi fosil juga perlu untuk terus didorong. 

Berdasarkan laporan Delivering Power Sector Transition, IESR menemukan bahwa dari 13,8 GW PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030 sebanyak 2,9 GW dapat dibatalkan,  10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini, dan 220 MW  dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa. Pembatalan 2,9 GW PLTU merupakan opsi termurah untuk menghindarkan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan.

“Dari analisis yang kami lakukan di laporan ini, pembatalan pembangunan PLTU batubara yang dibarengi dengan pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam JETP. Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan pembangunannya,” ujar Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan.

Berdasarkan kajian IESR yang berjudul Financing Indonesia’s coal phase out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero menemukan, penghentian operasi PLTU batubara bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial seperti terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan yang masing-masing berjumlah $34,8 dan $61,3 miliar—2 kali sampai 4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.

“Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung, sebagai pengganti dari PLTU batubara yang dipensiunkan, sebesar $1,2 triliun. Dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168,000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050”, ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR.

Suara Anak Muda untuk Pengakhiran Operasional PLTU Batubara

Jakarta, 5 Juni 2023 – Advokasi pemuda menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk mengusung perubahan. Untuk menggalang kesadaran dari pemuda, isu yang diperjuangkan harus dekat dan menarik diikuti. Misalnya saja menyambungkan topik dengan kegemarannya. Hal ini yang kemudian dilakukan oleh komunitas pemuda Kpop 4 Planet, yang berjuang untuk melawan krisis iklim dengan mengemasnya dengan musik pop korea (K-Pop). Berangkat dari kesamaan tujuan tersebut, Institute Essential Services Reform (IESR) mengundang Kpop 4 Planet untuk berbincang santai di Twitter Space mengenai PLTU batubara pada Senin (5/6/2023). 

Ketertarikan yang sama antara Nurul Sarifah, aktivis Kpop4Planet  dan koordinator kampanye di Jakarta, serta rekannya di Korea Selatan membawa mereka untuk membuat wadah untuk pemuda penikmat Kpop yang peduli iklim. Nurul memaparkan, sama seperti penggemar musik lain, penggemar Kpop juga ekspresif dalam mengungkapkan kegemarannya. Sehingga, perjuangan ini tidak terbatas pada penggemar Kpop saja. Ia juga menyatakan bahwa pemuda harus mulai awas, terutama dengan adanya dampak perubahan iklim nyata yang disebabkan oleh PLTU batubara. 

“Di tahun saya lahir, hitungan partikel karbon dioksida di udara (parts per million) mencapai 368 ppm sementara sekarang sudah mencapai 416 ppm. Sedih untuk membayangkan bahwa seumur hidup kita harus merasakan kualitas udara yang tidak baik, dan bahkan akan memburuk jika kita terus menggunakan PLTU baru atau tidak memulai transisi energi,” jelas Nurul.

Untuk kedepannya, Kpop4Planet berharap bahwa salah satu pabrikan mobil Korea Selatan tidak lagi berencana untuk membangun PLTU baru sebesar 1,1 GW untuk menambang aluminum mereka selagi menunggu tenaga hidro yang baru mulai digunakan pada tahun 2029. Dengan tidak dipenuhinya tuntutan tersebut, pabrikan berpotensi untuk melakukan greenwashing pada konsumen. 

Di sisi lain, terkait urgensi pemensiunan PLTU sendiri, Dr. Raditya Wiranegara, peneliti senior IESR, mengatakan bahwa kenaikan temperatur global saat ini sudah mencapai 1.1℃ dari ambang batas 1.5℃ yang berpotensi bencana. Untuk mengikuti komitmen menjaga kenaikan suhu di bawah 1.5℃ derajat tersebut, diperlukan pengurangan emisi sekitar 19-27 gigaton. Pengurangan ini bisa dimulai dengan mengurangi ketergantungan kita dengan bahan bakar fosil. Pilihan ini tentu memiliki imbas ekonomi. Misalnya saja ketenagakerjaan akan terdampak berikut dengan biaya yang diperlukan untuk mengalihfungsikan pekerja ke lapangan kerja baru. Sementara itu, tantangan terbesarnya justru terletak pada keperluan pendanaan yang besar.

“Pengakhiran operasional PLTU bisa mengikuti jadwal yang kompatibel dengan peta jalan IPCC. Pada tahap pertama, kita perlu memensiunkan 9.2 GW PLTU batubara, dilanjutkan dengan 21 GW PLTU di periode berikutnya, sehingga di 2045 bisa memensiunkan 12 GW. Selain itu, perlu dipikirkan juga pembangkit yang akan menggantikan dan proses pembangunannya sehingga tetap memenuhi kebutuhan energi. Kuncinya ada di perencanaan,” ungkap Raditya.

Di akhir diskusi, Raditya dan Nurul meyakini kemampuan pemuda dalam mengubah masa depan. Raditya menekankan perlunya generasi muda untuk terus mempertahankan semangat dan mengasah kemampuan untuk mempersiapkan diri untuk menyambut era energi bersih. Sementara, Nurul mengatakan bahwa generasi muda bisa mencari gerakan iklim yang sesuai dengan minat mereka masing-masing, karena melakukan apa yang kita pedulikan dan juga kita sukai akan menjadi kombo yang kuat untuk perjuangan iklim. Harapan keduanya, pemerintah dapat segera membuat peta jalan untuk memensiunkan PLTU dan suara pemuda juga didengar dalam keinginannya untuk bumi yang lebih asri.

Gambar oleh Markus Spiske di Unsplash