Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai batas atas emisi yang ditetapkan pemerintah dalam perdagangan karbon di sektor PLTU masih terlalu tinggi.
Baca selengkapnya di Kata Data.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai batas atas emisi yang ditetapkan pemerintah dalam perdagangan karbon di sektor PLTU masih terlalu tinggi.
Baca selengkapnya di Kata Data.
Fabby Tumiwa, direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan penerapan kuota emisi yang ketat akan berdampak positif pada upaya pemerintah untuk membiayai proyek energi terbarukan.
Baca selengkapnya di Jakarta Post.
Program Manager Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, mengatakan, untuk mencapai puncak emisi sektor listrik di 2030, perlu dilakukan pengakhiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan (EBT) pada kurun waktu yang sama.
Baca selengkapnya di Warta Ekonomi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, transisi energi yang berkeadilan akan berjalan dengan tersedianya ruang lebih luas untuk pengembangan energi terbarukan, diantaranya dengan melakukan pengakhiran masa operasional PLTU lebih cepat.
Baca selengkapnya di Kontan.
Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Faby Tumiwa mengatakan bahwa krisis energi fosil yang terjadi saat ini terjadi bersamaan dengan krisis iklim. Pengurangan jumlah PLTU dan percepatan pemanfaatan energi terbarukan menjadi solusinya.
Baca selengkapnya di Media Indonesia.
Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam studinya mengidentifikasi terdapat 12 PLTU yang berpotensi dipensiunkan lebih cepat pada 2022-2023. PLTU itu masuk kategori sebagai low hanging fruits (LHF) karena memiliki kinerja buruk, baik dari sisi teknis, ekonomi, dan lingkungan.
Baca selengkapnya di Bisnis.com.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan skema blended finance nantinya menggunakan berbagai jenis atau tipe pendanaan dari berbagai sumber. Terutama untuk mendapatkan biaya pendanaan yang paling rendah dengan tingkat risiko yang paling optimal.
Baca selengkapnya di CNBC Indonesia.
Jakarta, 17 Oktober 2022 – Institute for Essential Services Reform meluncurkan laporan unggulan terbarunya bertajuk Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) 2023. Laporan ini merupakan bagian dari Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang akan diluncurkan bulan Desember 2022. ISFO 2023 secara khusus membahas perkembangan pembiayaan transisi energi di Indonesia. Dalam sambutan pembukanya, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan langkah transformasi yang masif dan drastis untuk memastikan kita sesuai dengan target Persetujuan Paris yaitu untuk membatasi suhu bumi pada level 1,5 derajat.
“Pada 2030 kita harus memangkas 45% emisi di tingkat 2010. Untuk itu upaya-upaya transformasi secara masif dan drastis harus dilakukan. Khususnya oleh negara-negara G20 yang bertanggung jawab terhadap 85% total emisi GRK dunia. Indonesia berada di peringkat ke-7 sebagai negara penghasil emisi yang bersumber dari sektor hutan dan lahan, dan energi,” jelas Fabby.
Kajian IESR dan University of Maryland menunjukkan bahwa untuk selaras dengan pembatasan kenaikan temperatur 1,5 derajat, maka seluruh kapasitas PLTU di Indonesia, sebanyak 44 GW, harus diakhiri pada 2045. Pada periode 2022 – 2030, sebanyak 9,2 GW PLTU harus dipensiunkan. Kapasitas selebihnya dipensiunkan secara bertahap hingga 2045.
IESR memperkirakan biaya pengakhiran 9,2 GW PLTU sepanjang 2022-2030 sebesar $4,6 milyar. Pensiun dini seluruh PLTU pada 2045 dengan usia rata-rata 20 tahun memerlukan $28 milyar, biaya ini untuk kompensasi stranded asset dan biaya decommissioning pembangkit.
Farah Vianda, Program Officer Green Economy IESR dan salah satu penulis ISFO 2023 menjelaskan bahwa situasi pembiayaan transisi energi di Indonesia masih sangat minim.
“Kita masih kekurangan pendanaan untuk mencapai target energi terbarukan pada tahun 2025, untuk melakukan penghentian operasi batubara, dan untuk memitigasi risiko transisi,” katanya.
Farah menambahkan secara teknis ketersediaan pendanaan publik (APBN) yang terbatas dan masih adanya kebijakan pemerintah yang mendukung penggunaan sumber energi fosil membuat mobilisasi keuangan dan investasi untuk transisi energi cukup sulit, dari sisi institusi finansial sendiri masih sedikit kebijakan yang mendukung institusi keuangan untuk mendukung pembiayaan transisi energi.
Ichsan Hafiz Loeksmanto, Penulis Utama ISFO 2023, menyoroti salah satu instrumen pembiayaan berkelanjutan yaitu pajak karbon. Menurut Ichsan, meski sudah merencanakan untuk menerapkan pajak karbon, dan mekanisme cap & trade (batasi dan dagangkan) pada 92 unit PLTU batubara pada 2022, namun penerimaan pajak karbon tersebut bersifat tidak earmarked. Artinya, penggunaan penerimaan pajak karbon belum dikhususkan untuk pembiayaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Pemerintah perlu memastikan alokasi pendapatan pajak karbon untuk mitigasi & adaptasi iklim, dan jaring pengaman sosial. Selain itu, perlu pula transparansi publik mengenai pembayaran pajak karbon dan transaksi karbon,” jelas Ichsan.
Fransiska Oei, Ketua Bidang Pengembangan Kajian Hukum & Peraturan Perbanas, menyatakan pihak institusi keuangan lokal memerlukan setidaknya dua dukungan. Pertama, untuk manajemen risiko pembiayaan dan dukungan penguatan kapasitas untuk menganalisis risiko untuk proyek-proyek energi terbarukan.
“Kapabilitas bank untuk menganalisa feasibility terkait proyek EBT masih kurang, kami mencoba bekerjasama dengan organisasi lainnya (ex: USAID) untuk memahami risiko dan mitigasinya, selain itu mungkin kami juga perlu dukungan regulator untuk keringanan prudential banking regulation untuk proyek EBT ini,” tutur Fransiska.
Lutfyana Larasati, Analis Senior Climate Policy Initiatives menyatakan ke depannya perlu diperbanyak proyek-proyek yang eligible untuk masuk dalam green bond atau green sukuk. PBI 24 tahun 2022 sudah memberikan ruang yang lebih besar kepada perbankan dan institusi keuangan untuk berkontribusi pada pembiayaan hijau terutama di proyek yang didanai green bond dan green sukuk.
“Kita perlu sinkronisasi kriteria indikator untuk taksonomi hijau sehingga semakin banyak proyek (hijau) yang layak untuk mendapat pendanaan publik baik melalui green bond atau green sukuk,” kata Lutfyana.
Radian Nurcahyo, Asisten Deputi Hukum dan Perjanjian Maritim, Kementerian Maritim dan Investasi menekankan bahwa energi adalah penggerak ekonomi. Maka investasi untuk transisi energi ini pun harus terus dimobilisasi.
“Kementerian Keuangan telah menerbitkan skema blended finance seperti energy transition mechanism dan country platform untuk sumber pendanaan phasing down PLTU batubara, platform SDG Indonesia one sebagai pembangunan green energy untuk mencapai NZE 2060,” jelas Radian.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia sangat lambat dalam mengembangkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam dalam dua dekade terakhir. Hal ini disebabkan pemerintah hanya fokus membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).