Enam Perempuan Indonesia Berbagi Cerita Kontribusi untuk Keberlanjutan Bumi

Krisis iklim telah menjadi isu mendesak untuk berbagai negara di dunia, dan tujuan pembangunan berkelanjutan menjadi agenda global untuk mengatasi dampak krisis iklim dan memastikan keberlanjutan bumi. Agenda global ini mensyaratkan keterlibatan aktif semua pihak, termasuk perempuan. Mengundang 6 perempuan dari berbagai latar belakang untuk berbagi kisah kontribusi mereka dalam isu keberlanjutan, IESR menyelenggarakan Pojok Energi Sustainable Ladies pada 20 Mei 2020 lalu. Keenam narasumber tersebut adalah Ratna Susianawati, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan Kementerian PPPA; Tirza R. Munusamy, Deputy Director of Public Affairs Grab Indonesia; Lia Zakiyyah, Climate Leader Indonesia Climate Reality Project; Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia; Chandra Kirana, Pendiri dan Direktur Yayasan Sekar Kawung dan Hapsari Damayanti, Patriot Energi Angkatan II, Program Officer Sustainable Energy Access, IESR.

Diskusi daring ini dilaksanakan untuk memberikan rekomendasi pada pemangku kepentingan dan pihak-pihak terkait untuk pembangunan berkelanjutan yang berorientasi gender, juga untuk membagikan cerita dan pengalaman terbaik yang dimiliki oleh para narasumber pada publik.

Fabby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif IESR menyampaikan bahwa isu keberlanjutan merupakan isu yang kompleks. Keberlanjutan memiliki konteks pemenuhan kebutuhan hidup hari ini dengan mempertimbangkan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Secara teori, terdapat tiga pilar sustainability atau keberlanjutan yang harus berjalan serasi, yakni lingkungan, ekonomi dan sosial. Fabby berharap diskusi ini dapat menggali peran perempuan untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang inklusif. 

Ratna Susianawati selaku Staf Ahli Menteri PPPA Bidang Komunikasi Pembangunan menjelaskan bahwa isu energi, lingkungan, dan perubahan iklim telah diangkat sebagai isu mendasar keberlanjutan bumi yang menjadi sorotan dunia internasional. Pada tahun 2015, PBB telah menetapkan isu tersebut sebagai bagian dari target SDGs (Sustainable Development Goals) tahun 2030. Target-target yang ditetapkan di antaranya adalah kesetaraan gender, juga untuk pemenuhan energi universal (save energy for all), dan penurunan emisi global. Dalam SDGs ini pula, peran perempuan sangat penting, tidak sebagai sasaran, juga sebagai pelaku aktif.

Ratna Susanawati menggarisbawahi alasan pentingnya peranan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.Prinsip SDGs adalah memastikan ‘no one left behind’, tidak boleh ada satupun kelompok masyarakat yang tertinggal. Artinya, tidak hanya lelaki dan perempuan saja, tetapi juga inklusi sosial, dengan menargetkan juga anak, lansia, disabilitas dan kelompok marginal lainnya.

Peran perempuan dalam isu energi juga tidak hanya sebagai penerima manfaat atau yang merasakan dampak terbesar dari pengelolaan energi dan perubahan iklim. Perempuan juga perlu diberikan aksesibilitas agar terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga perempuan merasakan manfaat yang adil dan setara. Ratna menggarisbawahi dampak sosial dan kesehatan bagi perempuan karena ketiadaan atau adanya akses energi. Dampak sosial ketika ada kemiskinan energi dan pengelolaan perubahan iklim yang tidak melibatkan perempuan salah satunya adalah kekerasan bagi perempuan dan anak. Dari segi kesehatan, WHO juga menemukan bahwa dampak yang dirasakan perempuan dan anak adalah dengan energi memasak yang kurang bersih adalah infeksi saluran pernapasan akut.

Sependapat dengan Ratna, Mike Verawati selaku Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia menganalogikan bumi layaknya seorang perempuan. Bumi memiliki sifat mengadakan, melindungi, menyediakan, dan menyelaraskan; sehingga bumi dan perempuan punya ikatan yang kuat.

Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), ketika bicara tentang keberlanjutan bumi, lingkungan, perubahan iklim; dalam penerapannya di lapangan, pengelolaan pembangunan lingkungan selama ini justru mengeliminir prinsip-prinsip perempuan dalam kesehariannya. Pembangunan selama ini dilakukan secara maskulin, di mana sifatnya menjadi menguasai, mendominasi, dan praktek-prakteknya menjadi mengeruk sebanyak-banyaknya, mengeksploitasi tanpa melihat dampak dari kebijakan. 

Mike mengatakan pembangunan akan memberikan dampak besar bagi perempuan, namun keterlibatan perempuan dalam kebijakan masih minim. Karenanya, diperlukan dukungan terhadap program-program yang tidak mengabaikan keterlibatan perempuan. Prinsip anti diskriminasi, prinsip affirmative action untuk perempuan harus bisa diimplementasikan dan bukan hanya di atas kertas saja.

Mike juga menegaskan bahwa pembangunan saat ini harus berdasarkan keberagaman gender, tidak hanya terbatas pada laki-laki dan perempuan, namun juga mempertimbangkan perjalanan manusia yang tinggal di muka bumi ini, mulai dari manusia yang baru lahir hingga lansia yang punya pengalaman atau tantangan hidup yang berbeda. KPI selama ini sudah mencatat banyak perempuan yang telah sadar akan isu lingkungan. Banyak komunitas perempuan yang tertarik pada isu lingkungan dan melakukan kegiatan seperti mengolah sampah menjadi kompos, mengadakan bank sampah dan mereka juga melakukan identifikasi jenis-jenis energi pengganti.

Chandra Kirana selaku Pendiri dan Direktur Yayasan Sekar Kawung juga menyatakan bahwa pembangunan yang terjadi selama ini sangat bias kepada sifat-sifat maskulin dari peradaban. Pembangunan yang diamatinya bukan hanya gender laki-laki ataupun perempuan, namun juga gender peradaban. Peradaban memiliki nilai-nilai dan sifatnya sendiri. Agar hidup terus berlanjut maka diperlukan sifat memelihara, mengasihi, mendengarkan, memberi ruang kepada semua. Proses industrialisasi yang terjadi selama ini, menurut Chandra, memiliki sifat meretas dan menghancurkan, misalnya hampir semua proses produksi dan konsumsi dilandaskan pada satu perilaku awal yakni mengekstraksi dari bumi. Saat ini dan untuk masa depan, proses industrialisasi perlu ditinjau kembali dan dicari cara agar lebih sustainable.

Chandra memberikan usulan kepada pembuat kebijakan dan pelaku industri agar memperhatikan keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Ketika akan dilakukan pembangunan maka perlu diteliti terlebih dahulu elemen keanekaragaman hayati apa sajakah yang paling banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan perempuan dan laki-laki.

Dalam diskusi daring ini, IESR ini juga menghadirkan narasumber dari pihak swasta, yang diwakili oleh Tirza R. Munusamy dari Grab Indonesia. Sebagai perempuan yang bekerja di sektor bisnis, Tirza menerangkan bahwa sebagai perusahaan, Grab Indonesia juga memandang bahwa sustainable development penting dan karenanya hanya mengimplementasikan kebijakan yang memiliki agenda berkelanjutan. Grab Indonesia telah melakukan inisiasi lingkungan yang dikenal dengan “langkah hijau”, yaitu inisiatif terkait plastik, emisi karbon, dan transportasi pribadi. Saat ini Grab Indonesia bekerjasama dengan Danone untuk Program Grab Recycle, yaitu memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk mengirimkan botol bekas plastik. Selain itu, Grab Indonesia juga bekerjasama dengan puluhan bank sampah yang ada di DKI Jakarta. Untuk layanan pengantaran makanan, Grab Indonesia mendorong tidak tersedianya plastic cutlery bagi semua vendornya, dan mengenakan biaya tambahan bagi pelanggan yang tetap ingin menggunakan alat-alat makan berbahan plastik. Program percontohan kendaraan listrik juga telah diluncurkan Grab Indonesia pada Desember 2019. 

Menurut Lia Zakiyyah sebagai Climate Leader Indonesia, Climate Reality Project, isu perubahan iklim ini memang erat kaitannya dengan perempuan. Lia mengatakan ada anggapan bahwa ‘being green is being girly’. Banyak sifat-sifat dari seorang perempuan yang berhubungan dengan kegiatan menjaga lingkungan. Paris Agreement  pun juga menegaskan bahwa peran gender sangat penting. Lia menyebutkan ada satu gerakan global yang menyatakan bahwa salah satu aksi mitigasi perubahan iklim yang paling efektif adalah mengedukasi perempuan. Semakin besar pendapatan dan pendidikan perempuan, maka mereka berhak akan pekerjaan yang layak dan menjadikan mereka semakin berdaya untuk membantu menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan mereka dalam menghadapi bencana.

Lia sependapat dengan narasumber lainnya bahwa perempuan perlu dilibatkan dalam beberapa aspek, seperti penyebaran informasi di desa, pengambilan kebijakan dan keputusan; yang saat ini masih perlu didorong mengingat akses perempuan pada informasi dan pengambilan keputusan ini masih belum terbuka. Kini, Lia  Zakiyyah bersama Climate Reality Project terus bergerak untuk mengedukasi anak-anak muda di seluruh Indonesia agar bisa menjadi agen perubahan yang bisa membawa isu perubahan iklim kepada teman sebayanya dan komunitasnya.

Hapsari Damayanti, Patriot Energi Angkatan II dan Program Officer Sustainable Energy Access di IESR, menyimpulkan bahwa masalah energi tidak bisa diselesaikan hanya dengan melihat dari ada atau tidaknya sumber energi saja. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keberlangsungan bumi, penyediaan akses energi harus terintegrasi dengan sektor lingkungan, konteks sosial-budaya dan ekonomi; sehingga dampak berkelanjutan yang diterima masyarakat tidak dilihat dari akses energi saja, juga manfaatnya secara luas di masa depan. Dari pengalamannya mendampingi masyarakat, Hapsari melihat bahwa pelibatan perempuan sering menjadi tantangan, dan karenanya perlu terus didorong untuk bisa mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan inklusif. 

Diskusi ini bisa disaksikan kembali di tautan berikut:

 

 

 

 

 

 

Pojok Energi Goes to UNDIP

Sejak awal tahun 2017, IESR menginisasi Pojok Energi, sebuah platform diskusi mengenai energi yang bertujuan untuk mempertemukan pengambil kebijakan dengan beragam pemangku kepentingan dan masyarakat untuk membahas isu energi dari berbagai perspektif dan memberikan masukan konstruktif pada pengambil kebijakan. Hingga kini, Pojok Energi telah diselenggarakan sebanyak 12 kali dengan tema yang berbeda-beda. Selain untuk audiens umum, Pojok Energi juga bekerja sama dengan universitas dan kampus, untuk memperkenalkan dan memperdalam isu energi bersama pengajar dan mahasiswa. Pojok Energi Goes to Campus ini mengambil tema secara lebih spesifik, disesuaikan dengan tuan rumah universitas tujuan.

Pada tanggal 14 Oktober 2019, Institute for Essential Services Reform (IESR) berkolaborasi dengan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang (Undip) untuk menyelenggarakan Pojok Energi Goes to Undip, mengambil tema “Energi Terbarukan dan Perannya untuk Kemandirian Energi Indonesia”. Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Teknik Undip, Ir. M. Agung Wibowo, MM, MSc, PhD, menyampaikan pentingnya diskusi inlusif seperti Pojok Energi Goes to Campus untuk membangun wawasan mahasiswa dan memperkaya perspektif ilmu yang mereka pelajari untuk isu yang lebih luas. Dr. Agung Wibowo juga menyampaikan bahwa Fakultas Teknik Undip telah mengintegrasikan perspektif pembangunan berkelanjutan dalam tugas-tugas mahasiswa di 12 jurusan, misalnya efisiensi energi dan bangunan hijau untuk jurusan arsitektur. Dr. Agung Wibowo juga berharap IESR dan Fakultas Teknik Undip dapat bekerja sama lebih lanjut dalam bentuk nota kesepahaman, untuk mendorong isu energi dalam terapan ilmu yang lebih luas.

Pojok Energi Goes to Undip ini menghadirkan Mustaba Ari Suryoko dari Kementerian ESDM, Eni Lestari dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Dr. Agus Setiawan dari Fakultas Sains dan Matematika Undip, Pamela Simamora dari IESR, dan Kristin Damayanti dari Yayasan Trukajaya Salatiga. Selain membahas kebijakan energi nasional, perkembangan dan tantangannya, serta relevansi pembangunan energi terbarukan dengan kebutuhan sumber daya manusia saat ini; para pembicara tersebut juga menyampaikan bagaimana pemerintah provinsi mengambil peran aktif dalam pengembangan energi terbarukan, potensi-potensi energi terbarukan di Jawa Tengah, pendampingan masyarakat dan pemberdayaan komunitas, prospek dan aspek teknis panas bumi di Jawa Tengah, serta konteks transisi energi global dan pengaruhnya untuk Indonesia; juga bagaimana komunitas akademis dapat mengambil peran aktif dalam tren transisi energi ini.

Dalam diskusi yang dihadiri lebih dari 130 mahasiswa ini, beragam pertanyaan dan komentar dibahas secara lebih mendalam bersama pembicara. Keterkaitan dunia akademis dengan pengembangan energi terbarukan, misalnya, mendapatkan perhatian yang cukup intens dari peserta yang hadir. Beberapa mahasiswa menyampaikan inovasi-inovasi terkait penggunaan energi terbarukan yang mereka minati dan mereka kembangkan, tantangan yang mereka hadapi dalam menciptakan inovasi tersebut, dan dukungan yang mereka harapkan bisa diberikan oleh pemerintah. Menjawab masukan ini, Mustaba Ari S. dan Eni Lestari menyampaikan bahwa dalam lingkup kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dukungan pada inovasi dilakukan di bawah payung pusat penelitian dan pengembangan, dan mahasiswa dapat memanfaatkan kesempatan ini. Dr. Agus Setiawan yang juga bertanggungjawab atas kegiatan kemahasiswaan juga mendorong mahasiswa untuk berkomunikasi secara intens dengan pihak kampus yang selama ini telah banyak memfasilitasi pengembangan inovasi mahasiswa. Peserta juga menyampaikan ketertarikan mereka untuk terlibat aktif dalam diskursus energi, tidak terbatas pada pengetahuan tentang energi terbarukan dan transisi energi; juga harapan untuk membentuk komunitas energi, terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, dan prospek berkarir dalam sektor energi terbarukan.

Marlistya Citraningrum dari IESR sebagai moderator menutup diskusi Pojok Energi Goes to Undip dengan menggarisbawah pentingnya kolaborasi dunia akademis dengan sektor kebijakan publik, bagaimana mahasiswa dapat mengambil peran aktif dengan memberikan masukan konstruktif untuk kebijakan energi dan mendorong berbagai inovasi, serta bagaimana diskursus energi perlu terus diramaikan untuk mewujudkan pembangunan dengan sistem energi berkelanjutan di Indonesia.


Marlistya Citraningrum, Program Manager Sustainable Energy Access


Materi paparan dapat diunduh di tautan ini.

29 April, Energi Bersih dan Perannya dalam Mendorong Kewirausahaan Perempuan

Pojok Energi IESR kembali dilaksanakan pada 29 April 2019 di Ke:Kini Komunitas Ruang Bersama, Cikini, Jakarta.

Bertepatan dengan hari Kartini pada 21 April dan hari Bumi pada 22 April, IESR pun mengusung tema “Energi Bersih dan Perannya dalam Mendorong Kewirausahaan Perempuan” serta menghadirkan Narasumber Kartini – Kartini Indonesia yang berkiprah di Industri Energi Bersih/Terbarukan, yakni:

  • Dayu Hatmanti, Pendiri dan Pemilik SVAS Coldpress Juice Jakarta
  • Annisa Sekar Palupi, Pendiri dan Pemimpin Rumah Surya
  • Marlistya Citraningrum, Manajer Program – Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform

pada sesi dikusi yang di Moderatori oleh Researcher IESR, Melina Gabriella ini, terdapat catatan penting dari forum diskusi tersebut:

  1. Pekerjaan yang dilakukan Perempuan sangat berkaitan dengan energi; pada pekerjaan rumah tangga, misalnya saat memasak, ataupun saat berwirausaha dalam produksi dan pengembangan bisnisnya, Menjadikan Perempuan sebagai pengguna energi yang dominan. Namun Perempuan seringkali hampir tidak dilibatkan dalam pembahasan terkait akses energi, baik di kawasan perdesaan maupun perkotaan.
  2. Tersedianya akses energi bersih yang melibatkan kebutuhan Perempuan dapat memberikan dampak yang signifikan pada kehidupan mereka. Salah satu cerita nyata dari pedesaan berasal dari Mama Rovina dari Lembata, NTT. Sebagai Ibu tunggal dari 2 anak, Mama Rovina berhasil memanfaatkan lampu tenaga surya yang ia beli untuk menangkap teripang. Terbukti penjualannya meningkat seiring dengan pengeluarannya akan minyak tanah yang menurun, menjadikannya sukses meningkatkan kehidupannya secara finansial. Keberhasilannya membuat Mama Rovina juga sukses memasarkan lampu tenaga surya tersebut hingga 350 unit dan menjangkau lebih dari 1500 orang. Kini ia semakin percaya diri dan bahkan memiliki pemikiran kedepan untuk menyimpan hartanya dalam bentuk aset tanah demi masa depan kedua anaknya.
  1. Bisnis panel surya saat ini pun masih didominasi oleh pria baik dari aspek penjual maupun pembeli. Perempuan pada umumnya tidak familiar dengan hal-hal yang berkaitan dengan operasional dan pemeliharaan serta takut akan risiko tersengat listrik. Sehingga diperlukan bentuk usaha penyediaan energi bersih yang ramah konsumen (user-friendly), trendy,memiliki efek positif yang signifikan terhadap cost reduction, dan memberikan nilai tambah seperti self-branding, reward/label, dan certification. Wirausaha perempuan yang bergerak dibidang energi pun harus memiliki energy leadership yang tinggi seperti berperan aktif dalam memonitor dan mengontrol konsumsi energi.
  2. Saat ini semakin banyak wirausaha Perempuan yang berorientasi pada bisnis ramah lingkungan, Seperti konsep yang di usung Oleh SVA Coldpressed Juice, yang di pimpin oleh Mantan Miss Scuba International 2011 ini, Mba Dayu, dengan menggunakan botol kaca pada produk minuman yang dapat dipakai berulang kali dengan sistem langganan (setelah pelanggan mengonsumsi produk minuman, botol tersebut akan diambil oleh penjual untuk dipakai pada konsumsi berikutnya). “Saya ingin memiliki Bisnis yang tidak merusak Bumi” Ucapnya.
  3. Diperlukan transfer pengetahuan dalam bentuk yang lebih menarik, ringan, dan santai untuk mendorong wanita menjadi pelaku di bidang energi bersih, misalnya melalui optimalisasi penggunaan media sosial.

Disaat kesadaran masyarakat terutama Perempuan sudah meningkat, dukungan dari pemerintah untuk menurunkan harga listrik dari energi bersih (dengan insentif maupun subsidi)  akan semakin memercepat pertumbuhan energi bersih di Indonesia.

Foto – foto dari kegiatan ini dapat anda lihat disini, serta bahan presentasi dari Mba Icha (Rumah Surya) dapat di unduh disini.

Proceeding dari kegiatan ini juga dapat di undung di sini.

Pojok Energi #5: Bersama Mewujudkan Kota Berkelanjutan

Menurut kajian PBB tahun 2014,  54 persen populasi bermukim di area urban. Angka ini diperkirakan akan naik hingga mencapai 66 persen pada tahun 2050. Asia menjadi kawasan dengan porsi penduduk urban terbesar, yaitu mencapai 53 persen.

Diambil dari Publikasi Jakarta dalam Angka, Penduduk Jakarta saat ini mencapai 10,2 juta jiwa. Dengan demikian Jakarta dapat dikategorikan sebagai megacity yang menurut standar PBB adalah kota dengan penduduk 10 juta atau lebih. Meski hanya meliputi 3 persen luas daratan bumi, namun kota di dunia terhitung memiliki konsumsi energi 60-80 persen dunia dan menyumbang 75 persen emisi karbon dunia. Dihadapkan pada masalah yang ada, penanganan kota yang berkelanjutan sudah selayaknya menjadi perhatian bersama.

Institute Essential Services Reform (IESR) melalui Program Strategic Partnership for Green and Inclusive Energy yang didukung oleh Hivos menyelenggarakan diskusi “Pojok Energi: Sustainable Cities” pada tanggal 4 Oktober 2017 di Cikini, Jakarta Pusat. Hadir sebagai pembicara adalah Erni Pelita Fitratunnisa (Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta), Andy Simarmata (Thamrin School Reader on Urban Environment), Ahmad Safrudin (Komite Penghapusan Bensin Bertimbal), dan Bambang Sumaryo (Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap). Kegiatan kali ini ini juga dihadiri berbagai kalangan. Baik dari pengamat kelistrikan, blogger, warga kota, pegiat sosial, hingga pengusaha.

Narasumber Pojok Energi #5

Sebagai pembicara pertama, Fitratunnisa yang akrab dipanggil Fitri menjelaskan setidaknya ada lima isu strategis pengelolaan lingkungan hidup Jakarta, yaitu sampah, permukiman, transportasi, pencemaran, dan banjir. Beberapa upaya dan aksi telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, antara lain pembersihan sungai dan waduk, pemanfaatan sampah menjadi sumber energi, relokasi warga bantaran sungai ke rumah susun, hingga peningkatan kualitas transportasi umum.

Untuk isu perubahan iklim, Pemerintah DKI Jakarta berkomitmen untuk melakukan aksi baik aksi adaptasi maupun mitigasi. “Hal tersebut tercantum dalam Perda Nomor 1 Tahun 2012, pada alinea ketiga bagian pengantar,” jelas Fitri. Pemerintah DKI Jakarta sendiri tambah Fitiri, sudah memiliki Rencana Aksi Daerah (RAD) Penurunan Gas Rumah Kaca yang diatur dalam Peraturan Gubernur No. 131 Tahun 2012.

Andy Simarmata sebagai pembicara kedua membuka sesi dengan pemaparan korelasi konsumsi dengan pertumbuhan konsumsi energi kota-kota di dunia. Kota seperti New York dan Tokyo, meski konsumsi energinya sangat besar, tetapi pertumbuhan energi per tahun relatif kecil. Sementara Jakarta, Delhi, dan Manila yang memiliki konsumsi energi relatif kecil dibanding kota lain, memiliki pertumbuhan konsumsi energi yang besar. “Hal ini dikarenakan di kota-kota dengan konsumsi energi yang tinggi, kota yang maju telah menerapkan usaha efisiensi energi,” ujar Andy Simarmata.

Gambar 1: Grafik hubungan pertumbuhan konsumsi energi terhadap energi konsumi berbagai kota di dunia tahun 2014

Secara garis besar Andy Simarmata menerangkan tiga usaha yang dapat dilakukan oleh Jakarta agar dapat menjadi kota yang berkelanjutan. Pertama, dari segi yang paling luas dan paling awal adalah perencanaan kota seperti zonasi. Di level perumahan desentralisasi dan pengalihan energi ke energi terbarukan juga ditekankan. Sedangkan pada level rumah tangga, langkah efisiensi dan desain rumah hemat energi menjadi penting.

Ahmad Safruddin dari Komite Pembebasan Bensin Bertimbal menjelaskan tantangan transportasi di Jakarta adalah kemacetan dan  polusi udara akibat sisa pembakaran kendaraan bermotor. Masalah kemacetan berdampak pada masalah lain seperti penurunan produktivas kerja, pemborosan BBM, dan masalah kesehatan. Bahkan biaya kemacetan menurut perhitungan pada tahun 2014 mencapai Rp 63,5 T.

Pria yang akrab dipanggil Puput ini menjabarkan, solusi transportasi Jakarta bisa diselesaikan dengan dua pendekatan, yaitu dengan pendekatan teknologi dan non-teknologi. Saat ini sudah berkembang beberapa teknologi kendaraan bermotor seperti mobil listrik atau mobil hibrid. Namun, Puput mengingatkan bahwa pemilihan teknologi harus disesuaikan dengan kondisi dan lokasi diterapkan teknologi. Dibutuhkan perhitungan dan kajian yang cermat sebelum teknologi diterapkan secara luas. Bisa jadi sebuah teknologi lebih efisien di suatu negara tetapi justru lebih boros di negara lain.

Beberapa kebijakan berkaitan dengan teknologi yang bisa diterapkan antara lain peningkatan kinerja kendaraan dengan penerapan standar EURO 4 atau EURO 6, dan scraped car bagi kendaraan yang berumur tua yang tidak efisien.

Sementara beberapa opsi yang bisa dilakukan dari segi non teknologi adalah pergeseran ke kendaraan umum atau pembiasaan warga untuk memilih moda transportasi non motor.

Teknologi energi terbarukan saat ini juga sudah banyak berkembang. Namun, menurut Bambang Sumaryo, Indonesia masih tertinggal dari segi penerapan. Saat ini harga listrik yang dibangkitkan dari energi matahari sudah semakin murah. Bambang Sumaryo menuturkan, beberapa waktu yang lalu Arab Saudi telah menekan kontrak PLTS dengan harga pembangkitan mencapai USD 1,7 sen/kWh. Dibandingkan dengan harga PLTU yang harga batubaranya saja sudah mencapai USD 4 sen/kWh, harga tersebut jelas sangat murah.

Salah satu permasalahan teknis pembangkit tenaga surya adalah sifatnya yang intermittent sehingga membutuhkan teknologi penyimpanan. Teknologi yang ditengarai bisa mengatasi masalah tersebut adalah mobil listrik. Rata-rata mobil listrik saat ini memiliki baterai/storage dengan kapasitas rata 26 kWh, sementara rata-rata konsumsi energi rata-rata masyarakat Indonesia berada pada sekitar 20 kWh. Bahkan saat ini produsen mobil listrik Tesla telah memiliki teknologi mobil listrik dengan kapasitas penyimpanan listrik sebesar 100 kWh.

Menurut Bambang Sumaryo, hal ini yang sekiranya membuat PLN cukup resisten. Dari segi korporasi, PLN akan merasa rugi jika masyarakat telah bisa memproduksi energi secara mandiri.

Sesi diskusi yang berlangsung setelah pemaparan para pembicara berlangsung cukup seru. Para peserta yang berasal dari latar belakang yang bervariasi menyampaikan pertanyaan dan masukan yang beragam.

Salah satu peserta yang berlatar belakang pengusaha mengaku saat ini telah memiliki teknologi RDF yang dapat secara otomatis memilah dan mengolah sampah organik dan anorganik. Peserta lain yang aktif di kegiatan kampanye pengolahan sampah menuturkan upaya pengolahan di hulu melalui pemilahan sudah saatnya diterapkan lebih masif. Peserta lain memberi saran bahwa upaya edukasi menjadi solusi yang seharusnya dilakukan lebih gencar.

Fitri dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menjabarkan bahwa saat ini telah banyak program yang dilakukan oleh Pemprov Jakarta. Dalam tataran advokasi Pemerintah Provinsi Jakarta memiliki program hingga sekolah-sekolah.

Pada akhir diskusi, Andy Simarmata menegaskan bahwa konsistensi terhadap perencanaan kota musti dijaga. Bermacam teknologi tersedia menjadi kurang optimal jika pemangku kebijakan kurang setia terhadap rencana awal.  Untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota yang berkelanjutan dibutuhkan kajian dan pemahaman yang komprehensif. Dibutuhkan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan Kota Jakarta baik warga, akademisi, pengusaha, maupun pemerintah.

Artikel ini ditulis oleh Kukuh Samudra (internee di IESR) dan disunting oleh Hening Marlistya Citraningrum.