IESR: Second NDC Indonesia Perlu Cerminkan Target Ambisius Penurunan Emisi

press release

Jakarta, 25 April 2024Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (Second Nationally Determined Contribution, SNDC). Berbeda dengan dokumen Peningkatan Target NDC (Enhanced NDC) yang diterbitkan pada 2022, penetapan target penurunan emisi pada dokumen SNDC tidak lagi diukur berdasarkan penurunan emisi dari skenario pertumbuhan dasar (business as usual). SNDC akan membandingkan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) terhadap tahun rujukan (reference year) 2019, yang berbasis inventarisasi GRK. Pemerintah menganggap metode penetapan emisi ini akan lebih akurat dan berkontribusi terhadap target pengurangan emisi GRK global sebesar 43 persen pada 2030 dibandingkan emisi pada tahun 2019. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pemutakhiran skenario yang tidak lagi berdasar pada business as usual dan beralih ke skenario yang mengacu pada reduksi emisi historis sebagai rujukan penetapan target, merupakan langkah maju. Pendekatan ini sesuai dengan rekomendasi yang disampaikan IESR tahun lalu.

“Target penurunan emisi di SNDC Indonesia harus selaras dengan target Persetujuan Paris (Paris Agreement). Temuan Inventarisasi Global (Global Stocktake) pertama di COP 28 yang menunjukan bahwa masih terdapat kesenjangan target penurunan emisi global 20,3-23,9  gigaton setara karbon dioksida, harus menjadi pertimbangan target penurunan emisi di 2030 yang lebih ambisius,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan salah satu aksi mitigasi yang dapat meningkatkan target penurunan emisi di SNDC berasal dari peningkatan bauran energi terbarukan. Supaya selaras dengan jalur 1,5 derajat Celcius maka bauran energi terbarukan dalam energi primer perlu mencapai  55 persen di 2030. Sayangnya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang sedang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN) hanya membidik target bauran energi terbarukan 19-21 persen pada 2030. Tidak hanya itu, secara target penurunan emisi, untuk sektor energi RPP KEN mengisyaratkan target tingkat emisi di sektor energi yang masih besar yaitu 1.074-1.233 juta ton setara karbon dioksida di 2030.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, IESR mengungkapkan jika target pengurangan emisi sektor energi di SNDC mengacu pada RPP KEN, maka bisa dipastikan bahwa target tersebut masih tidak selaras dengan Paris Agreement. Padahal menurutnya, sektor energi, terutama sektor kelistrikan dapat menjadi sektor paling strategis dalam meningkatkan level ambisi mitigasi emisi Indonesia dengan adanya opsi energi terbarukan yang sudah tersedia luas dengan keekonomian yang kompetitif.

“Hanya kurang dari 7 tahun menuju 2030, jadi aksi mitigasi emisi di sektor energi perlu difokuskan pada strategi yang bisa diimplementasi dan akselerasi sekarang. Energi terbarukan perlu secara masif dibangun di sektor kelistrikan sehingga dapat mengoptimalkan penurunan emisi melalui elektrifikasi baik sektor transportasi melalui kendaraan listrik, maupun boiler listrik dan pompa panas (heat pump) di sektor industri. Semua opsi di atas sudah tersedia komersial dan biayanya kompetitif. Pemerintah sebaiknya jangan terlena dengan opsi lain seperti nuklir dan CCS yang baru bisa operasi setelah 2030, sehingga strategi yang nyata bisa mengurangi emisi jadi tersendat implementasinya” jelas Deon.

Delima Ramadhani, Koordinator Kebijakan Iklim IESR, menyampaikan bahwa proyeksi emisi terbaru oleh  Climate Action Tracker (CAT) terhadap Enhanced NDC menunjukan kenaikan emisi hingga 1,7- 1,8 giga ton setara karbon dioksida pada tahun 2030; 70-80 persen lebih tinggi dari emisi tahun 2019. Jumlah emisi ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan. Indonesia perlu menargetkan reduksi emisi 2030 pada kisaran 829-859 juta ton setara karbon dioksida untuk sejalan dengan target 1,5 derajat Celcius atau  970-1060 juta ton setara karbon dioksida (kedua kisaran level emisi, diluar emisi sektor kehutanan dan lahan) untuk target dibawah 2 derajat Celcius. 

“Pemerintah perlu memasukan aspek keadilan (fairness) dan memberikan alasan mengapa target reduksi emisi yang tertera dalam SNDC ini dinilai sebagai bagian yang adil (fairshare) dari kontribusi Indonesia dalam upaya mitigasi iklim global. Dengan demikian, dapat terlihat apabila SNDC sudah mencerminkan “ambisi tertinggi paling memungkinkan” (highest possible ambition) dalam pengurangan emisi,” imbuh Delima.

Di sisi lain, IESR menyoroti perlunya penekanan aspek keadilan dan tata kelola yang baik pada dokumen SNDC. Aspek keadilan dan transparansi ini perlu tercermin pada proses penyusunan SNDC yang memuat di antaranya praktik baik, relevan dengan keadaan nasional, keterlibatan institusi dalam negeri dan partisipasi publik.

Kata Data | Koalisi Masyarakat Sipil: 3 Aturan Mundurkan Komitmen Transisi Energi

Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, draf RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035. Capaian ini tujuh hingga sepuluh tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Baca selengkapnya di Kata Data.

Koalisi Masyarakat Sipil: Aturan Baru Sektor Energi Pukul Mundur Komitmen Transisi Energi

press release

Jakarta, 8 Maret 2024 – Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan mempertanyakan komitmen pemerintah untuk menjalankan transisi energi, menyusul sejumlah regulasi yang dinilai menjadi disinsentif peralihan ke energi terbarukan. Sejumlah regulasi ini yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, Peraturan Presiden (Perpres) soal penangkapan dan penyimpanan karbon, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Permen ESDM No. 2 Tahun 2024 tentang Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS atap) memuat dua perubahan yang justru akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, khususnya sektor rumah tangga dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pertama, ekspor kelebihan produksi listrik PLTS atap ke jaringan listrik PT PLN (Persero) tidak lagi diperhitungkan sebagai pengurangan tagihan. Kedua, pengembangan PLTS atap akan mengikuti sistem kuota yang ditetapkan oleh PLN dengan periode pendaftaran dua kali dalam setahun.

Persoalannya, ekspor listrik ke jaringan PLN merupakan daya tarik PLTS atap. Tanpa ketentuan ini, masyarakat perlu mengeluarkan biaya lebih besar untuk memasang baterai. Tak hanya itu, jangka waktu pengembalian modal PLTS atap juga akan lebih panjang menjadi 9-10 tahun. Padahal, dengan ketentuan ekspor kelebihan listrik 100% seperti pada beleid yang saat ini berlaku, biaya pemasangan PLTS atap bisa kembali dalam empat hingga lima tahun.

“Regulasi ini sebuah kemunduran, lantaran akan menurunkan partisipasi masyarakat untuk memasang PLTS atap. Pasalnya, tidak hanya menghambat konsumen rumah tangga, aturan baru ini juga mempersulit industri yang ingin memasang PLTS atap. Artinya, aturan baru PLTS atap ini menunjukkan kebijakan pemerintah yang semakin jauh dari komitmen untuk melakukan transisi energi,” kata Jeri Asmoro, Digital Campaigner 350.org Indonesia.

Padahal, menurut Reka Maharwati, Koordinator Enter Nusantara, antusiasme masyarakat terhadap pemasangan PLTS atap di area rural dan urban sudah cukup tinggi. Contohnya, pemasangan PLTS atap menjadi upaya masyarakat Desa Sembalun, Nusa Tenggara Barat dan komunitas Masjid Al-Muharram Taman Tirto Yogyakarta, untuk mencapai mimpi mandiri energi.

Saya yakin banyak masyarakat lain yang ingin memasang PLTS atap di rumahnya atau bahkan diberdayakan untuk kolektif di masyarakat. Seharusnya pemerintah bisa menggandeng antusias ini untuk berkolaborasi dan menciptakan skema baru yang lebih bisa menguntungkan masyarakat,” tegas Reka.

Senada, Hadi Priyanto, Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia, mengungkapkan bahwa transisi energi berkeadilan hanya bisa direalisasikan jika masyarakat dilibatkan. “Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci agar target bauran energi bisa tercapai, namun dengan berbagai revisi aturan yang ada semakin menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam upaya transisi energi. Prinsip keadilan dan demokratisasi energi yang selama ini digaungkan dalam program JETP hanya akan menjadi omon-omon tanpa langkah nyata untuk melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil,” tambahnya. 

Sama halnya dengan Permen PLTS atap, draft RPP KEN berisikan penurunan target bauran energi terbarukan dari 23% menjadi 17-19% pada 2025 juga menghambat percepatan transisi energi. Dalam dokumen Dewan Energi Nasional (DEN) soal draft RPP KEN, bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar 19-21%, dan hanya akan meningkat pada 2040 menjadi 38-41%.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, draft RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035. Capaian ini 7-10 tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan temperatur rata-rata global dibawah 1,5°C sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Jadi, RPP KEN mengancam tercapainya Persetujuan Paris dan komitmen netral karbon pada 2060 atau lebih cepat yang sudah ditarget pemerintah.

Puncak emisi yang tertunda berarti Indonesia harus mengakselerasi transisi energi dalam kurun waktu yang lebih pendek (setelah 2035), sehingga biaya dan dampak sosial akan lebih besar dan sulit dimitigasi. Draf ini juga sudah berdampak pada perspektif berbagai aktor, seperti investor dan pengembang energi terbarukan, terkait keseriusan pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. 

“Hal ini juga menandai bahwa penurunan target bauran energi primer pada 2025 dan 2030, terutama porsi energi terbarukan seperti surya dan angin, dapat menghambat gotong royong transisi energi. Pasalnya, energi terbarukan yang bisa memungkinkan demokratisasi energi seperti energi surya, porsinya kecil. Dukungan lebih besar justru diberikan ke proyek skala besar seperti pembangkit fosil dengan teknologi penyimpanan karbon (Carbon Capture Storage, CCS)  ataupun nuklir. Jadi draft RPP KEN kurang memihak transisi energi bersama masyarakat,” ujar Deon Arinaldo.

Rencana perubahan KEN juga bertentangan dengan komitmen Kesepakatan JETP Indonesia yang menargetkan bauran energi terbarukan lebih dari 44% pada 2030. Perubahan KEN dikhawatirkan akan berimbas pada revisi komitmen JETP tersebut. Selain itu, sebagai payung besar perencanaan energi nasional, draft RPP KEN juga berpotensi melemahkan upaya-upaya transisi ke energi terbarukan yang telah dijalankan di daerah.

Karpet Merah Solusi Palsu

Tak hanya menjadi disinsentif bagi pengembangan energi terbarukan, kebijakan pemerintah justru mendorong solusi palsu sebagai strategi transisi energi. Langkah ini sangat fatal lantaran dapat mengunci Indonesia pada ketergantungan energi fosil, yang berujung pada kegagalan mencapai netral karbon.

Dalam revisi KEN misalnya, hingga 2060, pemerintah masih berencana mengoperasikan pembangkit listrik berbasis energi fosil dan ‘menghijaukannya’ dengan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS). Selain itu, pemerintah juga berencana mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada 2032, serta pemanfaatan bahan bakar gas untuk transportasi dan rumah tangga hingga 2060.

Dukungan pemerintah terhadap solusi palsu juga ditunjukkan dengan diterbitkannya Perpres No 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Regulasi ini membuka kesempatan bagi perusahaan untuk menyuntikkan dan menyimpan emisi karbon ke reservoir bawah tanah. Padahal, Laporan IEEFA menunjukkan, dari 13 proyek CCS dengan total 55% kapasitas dunia, sebanyak tujuh proyek berkinerja buruk, dua proyek gagal, dan satu proyek dihentikan operasinya. Penerapan teknologi CCS dikhawatirkan menjadi upaya greenwashing yang melanggengkan pembangkit listrik berbasis energi fosil.

Ketiga regulasi tersebut menimbulkan pertanyaan terkait seberapa serius pemerintah mendorong pengembangan energi terbarukan. Hal ini mengingat, dalam lima tahun terakhir, capaian bauran energi terbarukan nasional selalu di bawah target. 

“Regulasi akan menjadi landasan hukum jangka panjang untuk memastikan langkah-langkah transisi energi dilakukan secara sah. Kalau landasan hukumnya dibuat justru berkebalikan dengan target yang diucapkan pemerintah, lalu komitmen transisi energinya di mana? Kalau regulasinya justru terus menerus diarahkan untuk tetap memanfaatkan energi fosil, investor yang tertarik untuk berbisnis energi terbarukan akan mundur karena tidak mendapat kepastian hukum. Padahal masalah kita justru ada pada kepastian hukum,” kata Agung Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH.

Untuk mendapatkan materi dari pembicara, bisa dilihat di link ini

RPP KEN Pangkas Target EBT Menjadi 19 Persen di 2025

press release

Jakarta, 31 Januari 2024 – Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan rancangan kebijakan baru (RPP KEN) yang tengah dibahas dengan DPR. DEN menjadwalkan RPP KEN akan rampung pada Juni 2024. Target energi baru terbarukan (EBT) yang terangkum pada RPP KEN dibuat berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4-5 persen menyesuaikan Pasca-COVID dan menyetarakan energi nuklir sebagai energi terbarukan. Hasilnya, RPP KEN menetapkan target bauran EBT di 2025 turun dari sebelumnya 23 persen menjadi 17-19 persen. Sementara, target EBT di 2050 meningkat dari 30 persen menjadi 58-61 persen dan di 70-72 persen pada 2060.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang penurunan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada 2025 dan 19-21 persen pada 2030 menyiratkan lemahnya komitmen untuk melakukan transisi energi dan saratnya kepentingan untuk mempertahankan energi fossil. IESR justru memandang tahun 2025 hingga 2030 sepatutnya menjadi tonggak penting lepas landasnya transisi energi di Indonesia dengan pencapaian target energi terbarukan lebih dari 40 persen dan puncak emisi sektor energi di 2030. Capaian bauran energi terbarukan yang ambisius di dekade ini penting agar bisa menyelaraskan emisi GRK Indonesia sesuai dengan target Persetujuan Paris  untuk membatasi kenaikan rata-rata temperatur global di bawah 1,5 derajat Celcius.

Sementara itu, terlambatnya menggenjot bauran EBT sebesar 38-40 persen di 2040 akan membuat Indonesia tidak meraup manfaat yang lebih besar dari pengembangan energi terbarukan, di antaranya harga listrik yang  lebih murah dan kompetitif untuk jangka panjang, rendahnya emisi listrik di grid yang menjadi daya tarik investasi, berkembangnya  industri manufaktur dan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri dan penciptaan kesempatan kerja dari energi terbarukan yang lebih besar. Rendahnya bauran energi terbarukan menuju 2030, juga dapat mengurangi daya tarik investasi luar negeri ke Indonesia, pasalnya, industri dan perusahaan multinasional saat ini sudah gencar untuk memastikan kebutuhan energi mereka dipasok dari sistem kelistrikan yang rendah emisi dan akses penuh pada  energi terbarukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menyebutkan penetapan target bauran energi terbarukan yang rendah di 2025 dan 2030 ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik 44 persen pada 2030.

“JETP telah menyepakati target bauran energi terbarukan di atas 34 persen di 2030 dan target ini selaras dengan rencana RUKN yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) tahun lalu. Target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia diragukan oleh investor dan dunia internasional.  Ketimbang menurunkan target dengan alasan realistis, DEN seharusnya lebih progresif untuk melakukan transisi energi. Sebagai lembaga yang dipimpin Presiden, DEN justru dapat membongkar hambatan-hambatan koordinasi, tumpang tindih kebijakan dan prioritas untuk membuat energi terbarukan dan efisiensi energi melaju kencang,” ungkap Fabby Tumiwa.

IESR memandang strategi dalam RPP KEN seperti pengoperasian PLTN berkapasitas 250 MW di 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060 ini belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia sampai saat ini. PLTN dengan kapasitas kecil dari 300 MWe, small modular reactor, masih belum tersedia teknologi yang terbukti aman dan ekonomis. Indonesia sendiri masih harus membangun infrastruktur institusi (NEPIO), kesiapan regulator, standar keamanan, serta ketersediaan teknologi SMR yang sudah teruji, serta persetujuan masyarakat, sebelum mulai membangun PLTN. 

Adapun  aplikasi CCS/CCUS pada PLTU hingga saat ini masih menjadi solusi mahal dan tidak efektif untuk menangkap karbon, walaupun teknologi ini sudah dikembangkan puluhan tahun. Contoh  proyek CCS di Boundary Dam Kanada dan juga di PLTU Petranova di US menunjukan masalah teknis untuk memenuhi target penangkapan karbonnya dan keekonomiannya tidak layak.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR menuturkan Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS pada PLTU yang mahal, biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan. Sedangkan pembangunan PLTN menjadi antiklimaks di tengah menurunnya kapasitas PLTN dunia setelah tragedi nuklir di Fukushima.

“Pada dekade ini, seharusnya strategi mitigasi emisi GRK Indonesia pada sektor energi dapat difokuskan pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage yang sudah terbukti dapat menyediakan energi dengan biaya kompetitif dengan PLTU batubara yang masih dapat subsidi. PLTS (energi surya) dan PLTB (energi angin) secara waktu konstruksi dapat dilakukan dengan cepat, sehingga pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki adalah bagaimana menyiapkan pipeline proyek-proyek yang siap untuk diinvestasikan serta proses pengadaan di PLN,” jelas Deon.

Kontan | RPP KEN Bakal Setarakan Penggunaan Pembangkit Nuklir dengan Energi Baru Terbarukan

Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dengan rancangan kebijakan baru yang tengah dibahas dengan DPR. DEN menjadwalkan  Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) KEN akan rampung pada Juni 2024.

Baca selengkapnya di Kontan.