Indonesia Perlu Manfaatkan Kepemimpinan G20 untuk Kejar Pengembangan PLTS

Jakarta, 20 April 2022 – Mengusung transisi energi sebagai topik utama kepresidenan Indonesia di G20, Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinannya dalam mengejar kapasitas energi terbarukan yang lebih masif, khususnya energi surya. Indonesia juga dapat belajar dari pengalaman negara-negara G20 dalam mendorong pertumbuhan energi surya dan mempercepat penyebaran energi surya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dan Institute of Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan BloombergNEF dan International Solar Alliance ( ISA) mengadakan lokakarya untuk mengambil pelajaran dari negara-negara G20 dalam mendorong penerapan tenaga surya yang relevan dengan negara berkembang. Lokakarya ini juga tidak terbatas pada kerangka kebijakan, instrumen fiskal dan keuangan, kesiapan pasar, dan pengembangan sumber daya manusia.

 Ali Izadi – Najafabadi, Kepala Riset APAC, BloombergNEF menyatakan optimismenya bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mempercepat transisi energi.

“Beberapa analis mengatakan Indonesia tertinggal dari negara-negara G20 lainnya dalam energi terbarukan, terutama PLTS, tapi saya yakin Indonesia bisa mengejar. Ada banyak peluang bagi Indonesia untuk mereformasi kebijakan atau langkah-langkah regulasi khusus dengan fokus pada peningkatan ekonomi energi dan lingkungan,” kata Ali.

Senada dengan Ali, Rohit Garde, Senior Associate untuk Pembiayaan Energi Surya di BloombergNEF, mengatakan bahwa BloombergNEF mengukur kebijakan negara di sektor listrik dan kebijakan karbon. Jerman dan Inggris dengan skor masing-masing 84% dan 83% yang mengindikasikan bahwa kedua negara mempunyai kebijakan yang baik untuk PLTS. Sementara itu, Levelized Cost of Electricity (LCOE) PLTS di India, China, UEA, dan Chili adalah yang terendah karena tingkat radiasi surya yang tinggi dan pengembangan PLTS skala besar. Sedangkan LCOE PLTS di Indonesia termasuk yang tertinggi karena skalanya yang kecil dan biaya modal yang tinggi.

“Indonesia harus meningkatkan ambisinya dengan merevisi regulasi dan menghilangkan hambatan pembangunan,” tambah Rohit Garde.

Salah satu isu penting dalam kepemimpinan Indonesia di G20 adalah transisi energi.  Yudo Dwinanda Priadi, Staf Ahli Menteri Bidang Perencanaan Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan rencana pembangunan pembangkit tersebut sudah memiliki Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. RUPTL yang lebih hijau merupakan landasan untuk mencapai nol karbon pada tahun 2060.

“Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) memiliki optimasi terbesar di Indonesia, dan akan mencapai 4.680 MW pada tahun 2030. Energi surya memiliki potensi paling melimpah. Selain itu, biayanya terus menurun, dan perkembangan teknologi PLTS yang pesat menjadikan pembangkit listrik tenaga surya sebagai prioritas. Pengembangan PLTS atap juga mencakup implementasi dan insentif yang lebih baik bagi masyarakat yang ingin memasang PLTS atap. Pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM No.26/2021, dan peta jalan PLTS atap sedang dalam proses sebagai Program Strategis Nasional (PSN),” kata Yudo .

Di sisi lain, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengatakan perkembangan energi surya di Indonesia cukup lambat dengan beberapa kendala.

“Pada tahun 2021, potensi teknisnya hanya 0,001 persen yang terimplementasi. Namun, pembangkit listrik tenaga surya atap terus meningkat dalam tiga tahun terakhir dan itu karena adanya dukungan dari peraturan pemerintah. RUPTL 2021 merupakan sinyal untuk menambah lima kali lipat menjadi 4,7 MW, dan ada juga proyek lain seperti ekspor ke Singapura, Kepulauan Riau, dan Batam. Proyek ini memiliki potensi untuk pengembangan energi surya secara besar-besaran,” kata Fabby Tumiwa.

Fabby juga menambahkan beberapa alasan kendala transisi energi di Indonesia seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“Permasalahan dalam pengembangan proyek seperti pertanahan dan peraturan tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN); proyek-proyek yang ada membutuhkan perangkat modul surya dari 40% hingga 60%, dan ini belum dipenuhi oleh industri di Indonesia dan belum mendapat bantuan dana dari negara; negosiasinya cukup panjang sementara negara lain cenderung lebih cepat. Pemerintah Vietnam memiliki kemauan dan komitmen politik yang kuat, regulasi, implementasi, dan insentif untuk kebijakan tarif terkait net metering. Yang juga penting adalah kepastian kebijakan dan transmisi Perusahaan Listrik Negara (PLN),” ungkap Fabby.

Kanaka Arifcandang Winoto, Senior Business Developer dari Mainstream Renewable Power, memaparkan bagaimana Indonesia perlu berakselerasi untuk memenuhi target bauran energi terbarukan 2025 sebesar 23%.

“Indonesia adalah konsumen energi terbesar di ASEAN, terhitung hampir 40 persen dari total penggunaan energi ASEAN. Dengan potensi sumber daya surya, panas bumi, angin, dan tenaga air yang signifikan, Indonesia berada di posisi yang tepat untuk berkembang dalam sistem energi rendah karbon,” tandasnya.

Menurut Kanaka, Indonesia adalah pemain kunci dalam mencapai 1.50C sehingga diperlukan  kerja sama dengan semua pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi peta jalan nasional dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan keamanan iklim.

Dyah Roro Esti, Anggota DPR, Komisi VII menjelaskan pihaknya terbuka terhadap masukan masyarakat terutama pada kebijakan energi terbarukan yang tengah dibahas di DPR RI.

 “Data dari DEN, Indonesia harus mengoptimalkan 2,5 GW, dan setiap daerah memiliki potensi, baik matahari maupun angin. Oleh karena itu, perlu adanya motivasi dan kemauan politik untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan dan merealisasikan potensi tersebut. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang mengerjakan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) dan akan terbuka untuk saran. Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT masih dalam pembahasan,” urai Dyah Roro. .

Di sisi lain, menyangkut kebijakan di tingkat daerah, Ngurah Pasek, Kepala Sub Bagian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Daerah, Bappedalitbang Provinsi Bali, menambahkan bahwa Bali telah  menerapkan Perda 29 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang turunannya adalah Pergub 45 Tahun 2019 tentang Bali Clean Energy.

“Instalasi hingga kabupaten dan kota di Provinsi Bali yang saat ini sudah mencapai 8,5 MW. Target Pemprov Bali mengenai refocusing anggaran adalah bagaimana pemasangan PLTS atap (solar rooftop) di perkantoran atau perusahaan dapat berjalan dengan baik,” tandasnya.

Pengembangan PLTS atap juga terjadi di Jawa Tengah.  Nathan Setyawan, Sub-Koordinator Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Tengah menjelaskan beberapa kemajuan dalam dukungan energi terbarukan di daerahnya.

“Jawa Tengah adalah satu-satunya provinsi yang telah mengembangkan dan mengintegrasikan pemulihan ekonomi dan penggunaan energi terbarukan. Pada 2021, kami akan mendorong tidak hanya pemerintah provinsi tetapi juga bupati dan walikota dan sektor swasta untuk penerapan PLTS atap.”

Ia menegaskan peningkatan kesadaran masyarakat dan dukungan Kementerian ESDM akan mendorong pemanfaatan PLTS komunal di daerah terpencil. Selain itu Nathan berharap ketersediaan teknologi pendukung energi bersih yang terjangkau akan membantu pembangunan industri energi terbarukan lokal.

“Harapannya akan ada lembah silikon mini untuk mengembangkan industri berorientasi energi baru terbarukan,” imbuhnya.***

Mengejar dan Menjaga Momentum Kenaikan Energi Surya

Jakarta, 9 September 2021– Dalam setahun terakhir, terjadi perubahan dinamis di sektor energi. Batas waktu yang semakin dekat dari Perjanjian Paris dan laporan IPCC AR6 terbaru menyatakan bahwa waktu kita semakin singkat untuk menjaga kenaikan suhu. Hal ini telah mengangkat wacana tentang dekarbonisasi dan komitmen netral karbon (net-zero emission) dari seluruh dunia. Penyebaran cepat energi terbarukan adalah salah satu kunci penurunan emisi karena sektor energi adalah salah satu penghasil emisi terbesar. Faktanya, biaya energi bersih terus turun. Studi menunjukkan bahwa angin dan surya adalah yang termurah untuk 2/3 populasi dunia (BloombergNEF, 2020).

Energi surya akan menjadi tulang punggung dekarbonisasi karena fleksibilitasnya untuk dipasang di berbagai skala, mulai dari skala rumah tangga hingga skala utilitas. Sehingga memungkinkan instalasi tenaga surya secara besar-besaran di Indonesia “Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, dengan semakin murahnya biaya sistem energi surya dan kemampuannya untuk dipasang di berbagai skala daya, akan memungkinkan lebih banyak pihak untuk mengambil bagian aksi kolektif ini tidak hanya untuk menyebarkan energi terbarukan tetapi juga untuk memerangi krisis iklim,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR merangkum pidatonya saat peluncuran laporan Scaling Up Solar in Indonesia: Reform and Opportunity.

Caroline Chua, Senior Associate BloombergNEF Southeast Asia, sekaligus penulis utama laporan tersebut, menekankan bahwa pencapaian target energi terbarukan Indonesia sebesar 23% pada tahun 2025 membutuhkan upaya dua kali lipat dari kondisi saat ini.

“Target energi terbarukan Indonesia sebesar 23% dapat dicapai dengan memasang solar PV sebesar 18 – 23 GW. Solar sendiri dapat membantu Indonesia memenuhi target 2025 karena dapat digunakan dengan cepat dan teknologinya sudah tersedia dan semakin murah dari waktu ke waktu,” katanya.

Faktor keekonomian tenaga surya juga semakin kompetitif, dan di masa depan akan mengalahkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Tarif solar di Indonesia turun 76% dari 25 sen/kWh di 2015 menjadi 5,81 sen/kWh di 2020. Daniel Kurniawan, Analis Solar IESR mengatakan sudah ada minat dari pasar untuk berkembang di Indonesia.

“Tantangannya di sini benar-benar untuk mereplikasi pengadaan solar. Saya pikir pasar sudah mengirimkan sinyal kuat bahwa mereka tertarik dengan Indonesia dan itu bisa dicapai. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Indonesia dapat berpikir tidak hanya untuk mencapai target energi terbarukan tetapi juga untuk meng-dekarbonisasi sistem energinya,” katanya.

Awal tahun ini, PLN mengumumkan bahwa perusahaan setrum plat merah ini akan menjadi emisi nol bersih pada tahun 2060. Dalam draf baru RUPTL, rencana untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara lama disertakan.

“PLN menyiapkan roadmap menjadi net zero-emission pada 2060. Dalam RUPTL baru kami juga memberikan ruang lebih untuk energi terbarukan dan memasukkan rencana pensiun PLTU batu bara. Menurut kami, semua PLTU batubara akan kami pensiunkan pada tahun 2056 dan akhirnya mencapai net zero-emission pada tahun 2060,” jelas Zainal Arifin, Executive Vice President Engineering, and Technology PT PLN.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sepakat bahwa tenaga surya akan menjadi kunci untuk mencapai target Indonesia sekaligus memerangi perubahan iklim.

“Kita perlu mengatasi masalah intermiten dan mengembangkan sistem penyimpanan energi. Dalam perencanaan kami, kami mengharapkan sistem penyimpanan energi berasal dari penyimpanan pompa-hidro yang dapat dikembangkan pada tahun 2030,” katanya.

Komitmen untuk mencapai net zero-emission telah diperbarui, namun perlu kita pastikan bahwa komitmen tersebut diwujudkan dalam perencanaan yang konkrit. Sehingga seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dapat menggunakan momentum ini untuk memanfaatkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia untuk kepentingan bersama yang lebih besar dalam memerangi krisis iklim.

Scaling Up Solar in Indonesia – Reform and Opportunity

This report, jointly produced by BloombergNEF, Bloomberg Philanthropies and Indonesia’s Institute for Essential Services Reform (IESR)

Mengacu pada rancangan Grand National Energy Strategy (GSEN), Pemerintah telah menargetkan 38 gigawatt energi baru dan terbarukan pada tahun 2035, menjadikan PLTS sebagai prioritas: terbagi menjadi PLTS terapung, PLTS skala besar, dan PLTS atap. Secara global, teknologi ini telah menjadi solusi paling efektif untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2050, dengan mempertimbangkan biaya investasi yang lebih rendah. Studi terbaru IESR tentang potensi teknis PLTS berdasarkan pemetaan GIS juga menunjukkan potensi puncak hingga 20.000 gigawatt di lahan yang sesuai di seluruh Indonesia. Energi surya akan menjadi kunci dalam mencapai target iklim Indonesia dan dekarbonisasi sistem energi Indonesia; membutuhkan komitmen yang kuat, rencana yang dipersiapkan dengan baik, termasuk identifikasi jalur proyek yang layak, dan implementasi yang memuaskan.

BloombergNEF bekerja sama dengan IESR menghasilkan laporan khusus tentang lanskap PV surya di Indonesia dan bagaimana meningkatkan kemajuannya. Laporan ini menyoroti peran PV surya yang semakin meningkat untuk mendekarbonisasi sistem tenaga listrik Indonesia, investasi yang dibutuhkan, dan untuk meningkatkan ambisi energi surya melampaui tahun 2025. Peluncuran laporan ini akan membahas isi laporan dan rekomendasinya kepada Pemerintah, serta mengundang pemangku kepentingan strategis untuk memperkuat komitmen mereka. untuk penyebaran surya di negara ini.

Koperasi Punya Peluang Besar Jajaki Pembiayaan PLTS atap

Jakarta, 24 Juni 2021, Survei IESR menunjukkan bahwa  banyak masyarakat yang berminat untuk mengadopsi PLTS atap, terutama jika tersedia skema pembiayaan yang menarik. Hal ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk memperluas pasar PLTS atap sekaligus menjawab tantangan krisis iklim dengan bertransisi menuju energi terbarukan.

Dorongan untuk mengembangkan energi terbarukan demi menjaga bumi dari kenaikan suhu di atas 1.5 derajat C, khususnya PLTS sudah dimulai sejak tahun 2017 melalui Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA). IESR bersama dengan 13 lembaga lainnya menginisiasi GNSSA tersebut. Target gerakan ini adalah untuk mencapai 1 GW PLTS atap di Indonesia sebelum 2020, dengan asumsi satu rumah memasang 1 KWp PLTS atap. Dibandingkan dengan potensi tenaga surya di Indonesia, target 1 GW adalah target yang kecil. Indonesia sendiri memiliki potensi teknis surya menurut data ESDM sebesar 207 GWp namun berdasarkan kajian IESR, potensi teknis surya di Indonesia lebih dari 20.000 GWp, “Target ini dibuat sebagai benchmark, mengingat waktu itu belum ada peraturan menteri, maupun pasar yang terlihat potensial. Ketika kita berhasil mencapai 1 GW berarti sudah ada kombinasi dari aturan yang mendukung, perusahaan yang handal, dan pasar yang dewasa . Jadi target ini bukan semata-mata memasang 1 GW PLTS, namun juga memperjuangkan ekosistem pendukungnya,” jelas Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, dalam lokakarya daring bertajuk “Koperasi Sebagai Agen Perubahan dalam Pembiayaan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim”.

Dalam perjalanannya, meskipun inisiasi sejuta surya atap ini belum berhasil mencapai target 1 GW PLTS atap, namun telah terjadi kenaikan pesat dari sisi jumlah pengguna PLTS atap.

“Saat inisiasi ini diluncurkan, pelanggan PLTS atap baru sekitar 200 rumah. Saat ini pelanggan PLTS atap sudah sekitar 3000 rumah tangga. Belum mencapai target satu juta atap, namun ada kenaikan yang cukup signifikan,” lanjutnya.

Kenaikan pelanggan PLTS atap mengindikasikan bahwa minat dan informasi yang diterima masyarakat tentang teknologi ini semakin tersebar luas. Sejak tahun 2018, IESR melaksanakan studi pasar di berbagai kota seperti, Jabodetabek, Surabaya, tujuh kota di Jawa Tengah, dan tiga kota di Bali. Hasil survei di berbagai kota ini menunjukkan bahwa terdapat beragam potensi pasar PLTS di masing-masing kota tersebut. 

Di Jabodetabek 13% responden termasuk dalam kategori early followers dan early adopters. Kelompok ini adalah responden yang memiliki pengetahuan tentang PLTS atap dan secara finansial mampu untuk membelinya. Kelompok ini hanya perlu informasi komprehensif yang mencakup teknologi PLTS atap, prosedur pemasangan, juga penyedia jasa pemasangan PLTS atap. Kelompok early followers dan early adopters ini jumlahnya cukup banyak di berbagai kota Surabaya 19%, Jawa Tengah 9.6%, dan Bali 23.3%. 

Hal menarik lain dari survei pasar IESR tersebut adalah masalah harga masih menduduki peringkat kedua dari pertanyaan yang paling sering diutarakan calon konsumen. Pertanyaan tentang penghematan adalah hal yang paling sering ditanyakan calon konsumen. Fenomena ini menunjukkan bahwa harga masih menjadi pertimbangan utama calon konsumen PLTS atap. 

Skema pembiayaan PLTS atap yang menarik menjadi suatu peluang bagi lembaga keuangan termasuk koperasi. 

“Paling tidak, ada 3 peluang yang dapat diambil oleh koperasi untuk ikut serta dalam skema pembiayaan PLTS atap ini. Pertama, dengan bekerjasama dengan perusahaan jasa pemasangan PLTS dan menyediakan skema pembiayaan. Tentu perlu memastikan perusahaan pemasang PLTS nya adalah mereka yang terpercaya. Kedua, dengan berjualan produk PLTS sekaligus menyediakan skema pembiayaan. Ketiga, menyediakan skema pembiayaan sekaligus layanan purna jual,” jelas Marlistya. 

Skema pembiayaan menarik dan terjangkau masih sulit ditemukan saat ini karena perusahaan penyedia layanan PLTS atap baru bekerjasama dengan bank saja. Hal ini tentu harus dilihat sebagai peluang bagi koperasi untuk mengembangkan programnya. 

Menutup sesi pertama lokakarya pagi itu, Fitrian Ardiansyah, chairperson Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, menyatakan bahwa pembiayaan PLTS atap akan menjadi salah satu ceruk bisnis bagi koperasi.

“Ekonomi hijau itu terbentuk di tingkat masyarakat lokal, koperasi adalah lembaga keuangan yang pas untuk menjemput bola pada peluang ini,” tuturnya.

Kembangkan industri photovoltaic di dalam negeri, Indonesia bisa belajar dari India

Pemerintah Indonesia terkait (Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) bisa belajar dari India. Kita perlu kebijakan industri yang fleksible. Penerapan TKDN penting tapi jangan sampai menghambat pembentukan pasar dan perkembangan PLTS yang kompetitif. 

Sumber Berita: https://www.pv-tech.org/news/India-proposes-20-customs-duty-on-solar-imports-in-2020-2021-budget
India proposes tax cuts for new IPPs and 20% customs duty on solar imports | Sumber Berita: https://www.pv-tech.org/news/India-proposes-20-customs-duty-on-solar-imports-in-2020-2021-budget

Presiden RI Joko Widodo bisa merevolusi pemanfaatan energi surya sekaligus membangun industri surya di Indonesia dengan belajar dari India. Apa yang dilakukan pemerintah India:

1) Tetapkan target nasional PV yang ambisius; 

2) Bangun permintaan dan pasar untuk teknologi PV lewat program nasional yang dilakukan secara konsisten. India punya target PV 100 GWp sampai 2022; 

3) Ijinkan impor modul surya dan PV dalam prosesnya tapi Research & Development dan penguatan industri dalam negeri dilakukan; 

4) Setelah industri perakitan sel dan modul surya tumbuh dengan kapasitas >3 GWp per tahun, pemerintah menjamin pasar melalui mandatory policy penggunaan modul surya untuk proyek2 yang dapat subsidi/dukungan finansial pemerintah; 

5) Program solar park skala besar dikembangkan dan membuat harga listrik dari PLTS lebih murah dan kompetitif, industri PV dalam negeri “dipaksa” melakukan inovasi dan efisiensi; 

6) Setelah industri PV dalam negeri berkembang dan kompetitif, pemerintah menetapkan bea masuk 20% atas sel dan modul surya impor. Sebaliknya investasi di pembangkit PLTS diberikan insentif pengurangan pajak, untuk menjaga pertumbuhan permintaan sehingga output industri dapat diserap. 

Lewat kombinasi target energi surya, India bisa meningkatkan kapasitas industri sel surya dari 3 GWp pada 2014 menjadi 29 GWp pada 2019. 

IESR merekomendasikan Pak Jokowi ‘all out’ mendorong pengembangan energi surya. Sampai 2030, kita punya potensi 30 GWp utility scale PLTS dan 15 GWp PLTS Atap. Target RUEN hanya 6,5 GWp sampai 2025. Presiden harus menugaskan PLN untuk agresif membangun PLTS skala besar di Indonesia, diatas tanah dan diatas danau/bendungan. Dalam 5 tahun ke depan 5 GWp PLTS skala besar dapat dipasang. Kemudian dorong pemanfaatan PLTS Atap di seluruh gedung pemerintah sesuai amanat Perpres No. 22/2017 dan substitusi subsidi listrik rumah tangga miskin 450 VA dengan PLTS Atap 1-1,5 kWp per rumah. 

Untuk yang PLTS Atap bagi rumah tangga miskin, Pemerintah (Jokowi.red)  bisa prioritaskan pemakaian modul surya dalam negeri. Jika 500 ribu – 1 juta rumah tangga miskin bisa pasang PLTS Atap setiap tahun, kebutuhan modul mencapai 1-1,5 GWp, ini cukup untuk membuat industri surya yang terintegrasi dari wafer-sel-modul surya dan industri pendukungnya.

Presiden Jokowi bisa mendorong provinsi – provinsi di Indonesia untuk melakukan program PLTS dan memperkuat inisiatif seperti #JatengSolarRevolution oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dan #BaliCleanEnergyIsland oleh I Wayan Koster, Gubernur Bali, serta inisiatif Pemprov DKI Jakarta. 

Indonesia bisa mencapai 23% energi terbarukan di 2025, perlu strong leadership President Jokowi

#SuryaNusantara #1BY20 #SolarRevolution