Mendorong Kontribusi Pelaku Usaha Tambang dalam Transisi Energi Berkeadilan

Dari kiri ke kanan Wira Swadana Manajer Program Ekonomi Hijau, Yulfaizon, General Manager, PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin, Farah Vianda, Koordinator Pembiayaan Berkelanjutan, dan Y. Sulistiyohadi,  Inspektur Tambang Madya/Koordinator PPNS Minerba

 

Jakarta, 25 Januari 2024 – Mitigasi dampak penurunan permintaan batubara Indonesia perlu dilakukan, terutama  di daerah penghasil batubara, seiring dengan menguatnya agenda transisi energi di dunia. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang perusahaan atau pelaku usaha industri batubara dapat memainkan peranannya secara optimal dalam memulihkan wilayah pasca tambang dan menyiapkan pembangunan ekonomi masyarakat setelah industri batubara berakhir beroperasi.

Wira Swadana, Manager Program Energi Hijau, IESR, mengungkapkan pelaksanaan transisi energi berkeadilan harus pula melibatkan semua pihak, terutama perusahaan dan pelaku usaha. 

“Pihak swasta atau pelaku usaha batubara sering dianggap sebagai pihak antagonis karena menyebabkan eksternalitas negatif bagi wilayah tambang. Namun dalam konsep transisi berkeadilan yang inklusif, perusahaan tambang memainkan peranan penting untuk kegiatan pasca tambang dan mempersiapkan masyarakat untuk kegiatan sosial-ekonomi untuk beralih dari sistem yang bergantung pada pertambangan,” jelas Wira pada Dialog Transisi Berkeadilan: Mengidentifikasi Peran Sektor Swasta dalam Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Masyarakat (24/1/2024) yang diselenggarakan oleh IESR.

Wira Swadana menekankan agar kewajiban para pelaku usaha dalam reklamasi  lahan dan kegiatan pasca tambang sesuai dengan amanat UU No.3/2020, pemerintah perlu pula mengawasi pelaksanaan dan menindak tegas bagi perusahaan tambang yang mangkir terhadap upaya reklamasi dan pasca tambang.

Sulistiyohadi,  Inspektur Tambang Madya/Koordinator PPNS Minerba, menjelaskan bahwa kegiatan reklamasi tambang berbeda dengan kegiatan pasca tambang. Secara fungsi, reklamasi berarti memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Sementara kegiatan pasca tambang berarti memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

“Pada tahap eksplorasi sudah ada kewajiban untuk melakukan reklamasi. Saat operasi produksi, setelah ketemu rencana laiak secara ekonomi dan teknis, maka disusunlah rencana pasca tambang,” ujar Sulistiyohadi. Ia mengungkapkan baik persetujuan rencana reklamasi dan pasca tambang, perlu disertai dengan penempatan jaminan reklamasi dan pasca tambang. 

Di sisi lain, PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin telah melakukan proses reklamasi dan pasca tambang. Kegiatan pasca tambang berfokus pada penciptaan ekonomi baru yang berkelanjutan seperti memanfaatkan wilayah bekas tambang menjadi zona perlindungan satwa, zona budidaya tanaman dan peternakan dan zona pemanfaatan wisata, olahraga, pendidikan dan budaya.

“Kegiatan pasca tambang yang sudah dilakukan di tambang Ombilin ini diharapkan menjadi contoh secara nasional, mendukung visi misi Sawah Lunto untuk menjadikan bekas tambang sebagai pusat studi, sebagai tempat pelatihan kerja, dan sebagai lokasi destinasi di Sawah Lunto,” ungkap Yulfaizon, General Manager, PT Bukit Asam Tbk Unit Pertambangan Ombilin.

Prinsip Keadilan dalam Pembiayaan Transisi Berkeadilan Indonesia

Johor Bahru, Malaysia, 16 November 2023 – Menjelang COP28 di Uni Emirat Arab, terdapat perhatian yang meningkat terhadap upaya pembiayaan iklim. Pembiayaan iklim menjadi fokus penting untuk mendukung transisi yang adil menuju ekonomi berkelanjutan yang rendah karbon.

Transformasi menuju ekonomi rendah karbon dan pembiayaan transisi berkeadilan (just transition) memerlukan kepemimpinan pemerintah. Pemerintah dapat menangkap peluang pendanaan transisi energi dengan memastikan berjalannya transisi energi berkeadilan dan akuntabilitasnya. Sebagai contoh, pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang didukung oleh negara-negara maju untuk mempercepat transisi energi. Aspek keadilan harus menjadi prioritas dalam setiap kesepakatan pendanaan transisi energi.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa transisi energi tidak hanya sekedar menutup PLTU batubara dan mengganti ke pembangkit energi terbarukan. Namun, diperlukan perspektif yang lebih luas dari dampak yang akan ditimbulkan oleh transisi energi.

“Pendanaan transisi energi tidak melulu terbatas pada pembangunan infrastruktur, tetapi setiap aspek dari transisi berkeadilan juga harus dipertimbangkan. Transisi berkeadilan itu sendiri juga bukan hanya tentang tenaga kerja yang terdampak, tetapi juga mengenai masyarakat luas di sekitar wilayah pertambangan batu bara,” ungkap Wira dalam Asia-Pacific Climate Week 2023.

Selain itu, Wira juga menilai bahwa pendanaan JETP masih sangat minim dan belum cukup untuk memenuhi target yang telah ditetapkan. Sumber pendanaan ini masih didominasi oleh pendanaan yang berbentuk pinjaman (loans).

“IESR adalah bagian dari kelompok kerja teknis dengan Sekretariat JETP. Pendanaan JETP masih banyak berbentuk pinjaman, dan beberapa di antaranya bukan merupakan komitmen baru dari negara-negara donor. Hanya sekitar 1,62% yang kita terima berupa hibah (grants) untuk transisi yang adil. Masih ada kekurangan dana dan hal ini cukup ironis bagi saya. Bantuan perlu ditingkatkan daripada pinjaman,” tandasnya.

Pendanaan transisi energi seharusnya mencakup pendekatan komprehensif, termasuk pensiun dini PLTU batubara, penanganan wilayah penghasil batubara, peningkatan penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan transisi di lokasi pertambangan. Wira menganggap bahwa JETP masih kurang memiliki pendekatan yang komprehensif dan holistik.

“Pendanaan transisi energi juga sudah semestinya menjadi titik awal. Saat ini, Indonesia sedang dalam proses implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), menggunakan komitmen domestik dan berupaya untuk menyelaraskannya dengan JETP dan Energy Transition Mechanism (ETM). Pemerintah Indonesia perlu menghadapi berbagai tantangan ada di tingkat domestik, nasional, dan internasional,” imbuh Wira.

Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative (CPI) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa perdebatan di beberapa lembaga keuangan mengenai pembiayaan transisi berkeadilan.

“Masalahnya adalah terdapat perdebatan di lembaga keuangan, apakah pembiayaan transisi berkeadilan merupakan bagian dari pembiayaan transisi energi? Ketika kita membicarakan bagian yang ‘adil’, kita berbicara tentang sejumlah proyek yang penting dalam transisi energi. Ini bukan hanya beberapa proyek, tetapi perubahan besar secara menyeluruh dalam ekonomi. Jika tidak dikelola dengan baik, ini akan berdampak pada skala yang besar,” jelas Tiza.

Transformasi Ekonomi akan Mitigasi Dampak Transisi Energi di Daerah Penghasil Batubara

press release

Jakarta, 1 September 2023 – Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank  terkemuka di bidang energi dan lingkungan yang  berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia. Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi harus segera direncanakan untuk  mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari  negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara selama ini.

IESR merekomendasi  pemerintah pusat dan daerah untuk menyadari potensi dampak transisi energi pada ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara  dan mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya di daerah penghasil batubara tersebut. 

Studi ini  mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, merekomendasikan untuk memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan  program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi,  serta perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.  DBH batubara menyumbang 20% dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim pada tahun 2023, dan 27% dari total pendapatan pemerintah Paser pada tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek berganda) ke masyarakat lokal. Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara pada sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Kajian ini juga menemukan meski industri pertambangan batubara rata-rata  menyumbang 50% dan 70% terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan pada pendapatan pekerja industri batubara. Sebanyak 78% dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan  hanya sekitar 20% dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.

“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit pada masyarakat di sekitarnya, misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Julius Christian, periset utama kajian ini, yang juga adalah Manajer Riset IESR.

Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam. Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnis mereka dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam. 

Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi. Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena mereka melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” kata Martha Jesica, Analis Sosial dan Ekonomi, IESR.

Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di masyarakat dan perusahaan industri batubara. Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis di bidang lain. Ia berharap pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dapat mendorong kesadaran yang lebih luas dan menginisiasi perubahan struktural terhadap upaya transformasi ekonomi.

IESR dalam laporan Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim merekomendasikan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di daerah penghasil batubara memerlukan: pertama, perencanaan diversifikasi dan transformasi ekonomi yang menyeluruh dengan melibatkan para pemangku kepentingan dan partisipasi masyarakat. Kedua, menggunakan dana DBH dan program CSR untuk membiayai proses transformasi ekonomi yang mampu menarik lebih banyak investasi ke sektor ekonomi berkelanjutan. Ketiga, memperluas akses terhadap pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang berdaya saing di sektor yang berkelanjutan serta meningkatkan literasi keuangan bagi masyarakat. Keempat, meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam perencanaan dan pembangunan daerahnya. 

“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” kata Ilham Surya, Analis Kebijakan Lingkungan, IESR.

Peluncuran Studi Transisi Berkeadilan di daerah Penghasil Batu Bara di Indonesia: Studi Kasus Kab. Muara Enim dan Kab. Paser

Latar Belakang

Batubara merupakan komoditas yang penting bagi Indonesia, sebagai  pengguna dan salah satu produsen terbesar di dunia. Di tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ketiga negara penghasil batubara terbesar di dunia setelah India dan China. Indonesia juga menjadi salah satu negara eksportir batubara terbesar di dunia dengan total ekspor sebesar 360.28 juta ton, naik 4.29% dibanding tahun sebelumnya. Pemerintah Indonesia masih menargetkan produksi batubara yang lebih tinggi di tahun 2023. Batubara berperan penting pada ekonomi nasional dimana pada tahun 2022, sektor industri batubara menyubang sekitar 3.6% dari PDB nasional, 11.4% dari total nilai ekspor, 1.8% pendapatan negara nasional, dan 0.2% lapangan kerja.

Di sisi lain, permintaan batubara diperkirakan akan menurun dipengaruhi oleh tren transisi energi menuju energi terbarukan dan komitmen Perjanjian Paris untuk mencegah kenaikan suhu di bawah 1.5°C. IESR (2022) memperkirakan total permintaan batubara Indonesia, baik domestik dan ekspor, akan menurun sekitar 10% setelah 2030 dengan komitmen Indonesia saat ini. Selain itu, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Perpres No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Pembangkit Tenaga Listrik yang secara eksplisit menetapkan pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara mulai tahun 2030. Komitmen nasional ini juga mendapatkan dukungan dengan penandatanganan perjanjian kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) antara Indonesia dengan International Partners Group (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ) yang memobilisasi pendanaan sebesar 20 miliar USD untuk mencapai transisi energi bersih berkeadilan, termasuk untuk mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga batubara .

Indonesia  memiliki cadangan batubara sebesar 33.37 miliar ton yang tersebar di beberapa provinsi seperti Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan di beberapa daerah lainnya. Daerah-daerah tersebut tidak hanya mendapatkan keuntungan yang dihasilkan oleh sektor industri batubara, akan tetapi juga kerugian yang ditimbulkan olehnya. Studi Redefining Future Jobs yang dilakukan IESR pada tahun 2022 menunjukkan keuntungan yang didapatkan oleh daerah penghasil batubara tidak sebanding dengan kerugian yang dirasakan masyarakat yang berada di daerah tersebut. Terlebih lagi, terdapat banyak ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat di daerah sekitar, seperti dampak ekonomi yang tidak merata, degradasi lahan, dan risiko kesehatan. Ketidakadilan-ketidakadilan ini sebaiknya sudah menjadi fokus pemerintah dalam perencanaan transisi energi yang akan dilakukan kedepannya.

IESR telah melakukan studi terkait dampak industri batu bara di daerah penghasil batubara di Indonesia dengan mengambil lokus di dua kabupaten penghasil batubara utama di Indonesia, yaitu Muara Enim dan Paser. Studi ini menemukan bentuk-bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar lokasi penambangan batubara dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Beberapa temuan ketidakadilan di lokasi penghasil batubara seperti ketimpangan pendapatan antara penduduk dan pekerja dengan pemilik modal, hilangnya kepemilikan aset masyarakat lokal, dan turunnya kualitas hidup di sekitar tambang batubara. Hal-hal ini memerlukan penyelesaian yang komprehensif sehingga dapat mengurangi dampak dari ketidakadilan tersebut, serta menjadi peluang untuk menciptakan dampak-dampak positif bagi masyarakat dalam transisi energi yang berkeadilan. Oleh karena itu, dengan mengatasi ketidakadilan-ketidakadilan tersebut, pemerintah dapat memastikan proses transisi berjalan secara adil bagi semua pihak. Dengan adanya komitmen pemerintah Indonesia menuju transisi energi yang lebih hijau, diperlukan adanya perencanaan pembangunan yang komprehensif untuk menghadapi proses transisi yang lebih inklusif dan partisipatif, khususnya di masing-masing daerah penghasil batubara di Indonesia.

Oleh karena itu, IESR  bermaksud melaksanakan acara peluncuran hasil studi Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara di Indonesia bersama dengan pemerintah nasional serta berbagai pakar dari kalangan akademisi, civil society organizations, dan organisasi internasional untuk berdialog mengenai dampak industri batubara dan persiapan menuju transisi energi yang berkeadilan di Indonesia.

Tujuan

Kegiatan peluncuran hasil studi memiliki beberapa tujuan:

  1. Menyampaikan temuan hasil studi Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara’ yang dilakukan oleh IESR kepada publik;
  2. Memperoleh masukan terhadap hasil studi ‘Transisi Energi Berkeadilan di daerah Penghasil Batubara’ yang dapat menjadi rekomendasi praktis bagi pihak-pihak terkait;
  3. Mengumpulkan masukan dan rekomendasi dari berbagai pihak terkait transisi energi berkeadilan dan pemetaan sektor ekonomi potensial di wilayah-wilayah penghasil batubara;

Meningkatkan pemahaman melalui rekomendasi-rekomendasi praktis kepada pemangku kebijakan kunci untuk mendukung pencapaian transisi energi yang berkeadilan di daerah-daerah penghasil batubara di Indonesia

Menanti Implementasi JETP di Indonesia

Raden Raditya Yudha Wiranegara

Pakistan, 31 Mei 2023 – Transisi energi menjadi pembahasan di banyak negara, termasuk di Pakistan. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh Pakistan dalam mengadopsi energi terbarukan di antaranya adalah infrastruktur ketenagalistrikan dan integrasi jaringan yang belum mumpuni. Mirip dengan Pakistan, Indonesia pun menghadapi tantangan yang serupa namun gerak cepat pemerintah diperlukan untuk mengurangi penggunaan energi fosil sebagai langkah nyata penurunan emisi gas rumah kaca.

Raden Raditya Yudha Wiranegara, Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan,   sektor ketenagalistrikan menyumbang sekitar 40 %  dari emisi gas rumah kaca di Indonesia berdasarkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2023. Demi selaras dengan ambisi 1,5°C dan mencapai net zero emission 2060 atau lebih cepat, Raditya menuturkan, perlu dilakukan transisi di seluruh pasokan energi. Salah satunya dengan  mengubah sektor ketenagalistrikan dengan menurunkan bahan bakar fosil (fossil fuel) pada PLTU secara bertahap. Menurut Raditya, PLTU batubara perlu segera dikurangi ataupun dipensiunkan dini secara bertahap hingga tahun 2045 untuk selaras dengan ambisi 1,5°C.

“Fase pertama dilakukan dengan menutup 18 PLTU batubara dengan total kapasitas 9,2 GW hingga 2030, lalu 39 PLTU batubara dengan total kapasitas 21,7 GW, dan 15 PLTU batubara dengan total kapasitas 12,5 GW,” terang Raditya dalam acara Symposium on “Accelerating the Just Energy Transition in Pakistan” yang diselenggarakan oleh Sustainable Development Policy Institute (SDPI) pada Rabu (31/5/2023).

Dalam memenuhi ambisi 1,5°C, keberadaan Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) di Indonesia menjadi salah satu pendorongnya.  Raditya memaparkan, kemitraan tersebut mencakup target puncak emisi pada 2030 untuk sektor listrik Indonesia, termasuk dari sistem pembangkit listrik on-grid, off-grid, dan captive, menggeser proyeksi puncak emisi sekitar tujuh tahun lebih awal. Selain fokus pada pengurangan emisi yang signifikan, JETP  juga pada mendorong pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi, serta melindungi mata pencaharian masyarakat dan pekerja di sektor yang terkena dampak.

Untuk mengimplementasikan target tersebut, lanjut Raditya, saat ini Sekretariat JETP Indonesia sedang mengembangkan  rencana investasi komprehensif (comprehensive investment plan/CIP) untuk program pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Meski demikian, Raditya menegaskan, Sekretariat JETP Indonesia hanya memiliki waktu terbatas untuk menyelesaikannya mengingat dokumen tersebut perlu dipublikasikan pada Agustus 2023. Berkaitan dengan pengerjaan dokumen rencana investasi komprehensi, Raditya menegaskan, diharapkan hasil analisis yang dilakukan dalam kelompok kerja bisa dimasukkan ke dalamnya pada Juli 2023. Adapun kelompok kerja dalam JETP Indonesia terdiri dari 4 kelompok kerja yang mewakili berbagai pihak termasuk pemerintah Indonesia, lembaga nasional dan internasional serta unsur masyarakat sipil yang memiliki kepakaran pada bidang masing-masing. Kelompok kerja tersebut membidangi: Teknis, Kebijakan, Pendanaan serta Transisi Berkeadilan.

“Berkaca dari kondisi tersebut, transparansi dan ketersediaan data menjadi sebuah masalah tersendiri di dalam kelompok kerja. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat kondisi tersebut bisa menghambat setiap individu dalam kelompok untuk melaksanakan tugas yang diberikan,” ujar Raditya. 

Dokumen CIP akan memuat informasi teknis, pendanaan, kebijakan serta sosio ekonomi mengenai investasi transisi energi di sektor ketenagalistrikan sampai dengan tahun 2030 yang akan melandasi implementasi kemitraan USD 20 miliar di bawah JETP Indonesia. Berdasarkan Joint Statement JETP Indonesia, mobilisasi pendanaan ditargetkan terjadi di tahun ke 3 sampai tahun ke 5 setelah kemitraan pendanaan JETP Indonesia disepakati. Selain itu, area investasi yang sudah disepakati dalam CIPP terdiri atas pengembangan jaringan transmisi dan distribusi, pemensiunan dini PLTU batubara, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe baseload, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe variable,membangun rantai pasok energi terbarukan