Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk Penyusunan Second NDC

press release

Jakarta, 2 Februari 2024 – Indonesia, melalui koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mulai menyusun Second National Determined Contribution (SNDC) untuk penurunan emisi di 2030 dan 2035. KLHK merencanakan untuk menyampaikan SNDC ke UNFCCC pada tahun 2024. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil  meminta agar SNDC ini memutakhirkan skenario yang digunakan, menetapkan target yang selaras dengan tujuan pencapaian pembatasan pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius dan berusaha mencapai 1,5 derajat C sebagaimana target Persetujuan Paris, yang juga dikukuhkan oleh keputusan Global Stocktake di COP 28. 

IESR juga mendesak pemerintah agar melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyiapan SNDC. Selain itu, Pemerintah juga perlu untuk menjalankan prinsip Article 4 Line 13 dalam Persetujuan Paris dan ketentuan-ketentuan dalam rangkaian COP dalam menyusun SNDC.

Sejauh ini, pemerintah masih menggunakan perhitungan penurunan emisi menggunakan skenario business as usual (BAU). Masyarakat sipil memandang skenario  ini tidak relevan untuk dijadikan basis perhitungan emisi. Indonesia perlu beralih pada sistem perhitungan yang akurat yaitu menggunakan acuan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan trajektori pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih realistis.

“Meski target penurunan emisi dalam Enhanced NDC (ENDC) terlihat meningkat, tetapi  sesungguhnya masih  tidak sejalan dengan target pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius. Saat ini, target ENDC hanya membidik penurunan emisi sebesar 31-43 persen saja di bawah BAU. Jika menggunakan perhitungan BAU yang digunakan untuk menetapkan target penurunan emisi dalam NDC selama ini, seharusnya target penurunan emisi Indonesia minimal 60 persen dari BAU untuk perhitungan dengan upaya sendiri (unconditional) dan 62 persen dari BAU untuk perhitungan dengan bantuan internasional (conditional). Jumlah ini belum termasuk penurunan emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan lahan,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Berdasarkan analisis IESR, dengan menggunakan emisi tahun 2022 sebagai basis penetapan target, Indonesia perlu menetapkan target penurunan emisi pada 2030 dengan upaya sendiri (unconditional) sebesar 26 persen atau 859 MtCO2e, dan 28 persen dengan bantuan internasional (conditional) atau 829 MtCO2e. Penetapan target emisi tersebut akan berkontribusi pada pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.

Seiring dengan peningkatan target penurunan emisi, maka Indonesia perlu pula menurunkan bauran energi fosil seperti batubara dan gas dalam sistem energi Indonesia. Bauran batubara dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia, berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (CAT), harus dikurangi menjadi 7 hingga 16 persen pada 2030 dan menghentikan operasi PLTU sebelum 2040. Adapun, gas perlu berkurang menjadi 8 hingga 10 persen pada 2030 dan berhenti pengoperasiannya pada 2050.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, mengatakan pengurangan bauran energi fosil harus digantikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 55 hingga 82 persen di 2030 nanti. Sayangnya, di ENDC, target yang tercantum bukan target bauran energi terbarukan, melainkan target kapasitas energi terbarukan yang terpasang. IESR menilai besaran kapasitas terpasang energi terbarukan saja tidak secara jelas menunjukan hubungan dengan penurunan emisi.

“Dengan kejelasan target bauran energi terbarukan di sektor kelistrikan, maka dapat diekspektasikan dan bahkan dihitung berapa besar intensitas emisi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030 untuk mencapai target SDNC. Selain itu, bauran energi terbarukan yang tinggi akan dapat memberikan arah perencanaan ketenagalistrikan yang lebih jelas, termasuk jenis energi terbarukan yang perlu dibangun untuk bisa mengejar kesenjangan (gap) saat ini. Dengan sisa waktu 7 tahun, maka jelas PLTS dan PLTB yang punya masa konstruksi singkat seharusnya menjadi prioritas pengembangan untuk mengejar target bauran. Selain itu, intervensi perlu pula dilakukan pada pembangkit listrik fosil dan pentingnya untuk mengurangi bauran energi fosil dengan berbagai strategi seperti pengakhiran operasi PLTU dan atau pengurangan utilisasinya,” ungkap Deon.

Selain itu, IESR dan organisasi masyarakat sipil lain juga memandang dokumen ENDC lalai dalam memasukkan prinsip keadilan iklim. Masyarakat sipil mendorong agar penyusunan SNDC dapat mengakomodasi partisipasi yang lebih luas, memberikan perlindungan iklim bagi kelompok masyarakat rentan, serta berlangsung transparan.

Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR mengungkapkan pemerintah perlu memastikan distribusi beban pengurangan emisi juga perlu dilakukan secara adil.

“Aktor yang paling banyak mengeluarkan emisi, harus pula mengurangi emisi dengan porsi yang lebih besar. Tidak hanya itu, penyusunan SNDC ini perlu mengedepankan prinsip keadilan iklim yang dapat mengurangi risiko jangka pendek dan jangka panjang serta membagi manfaat, beban, dan risiko secara adil, termasuk bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarjinalkan,” tandas Wira.

IESR dan kelompok masyarakat sipil lainnya memberikan enam rekomendasi terhadap penyusunan SNDC. Pemerintah dalam penyusunan SNDC perlu, pertama, mempertimbangkan prinsip dari Persetujuan Paris sesuai dengan Article. 4 Line 13 dan sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh COP. Kedua, mempertimbangkan integrasi measurement, reporting and verification (MRV) bagi pihak-pihak negara-negara berkembang. Ketiga, menanggalkan menggunakan BAU scenario sebagai basis perhitungan penurunan emisi dan beralih menggunakan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih akurat. Keempat, menetapkan target iklim selaras Persetujuan Paris. Kelima, pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang transparan dan dapat diakses publik. Keenam,  memasukkan dan melaksanakan prinsip keadilan iklim. Rekomendasi penyusunan Second NDC telah diserahkan kepada kementerian dan lembaga terkait.

Tiga Prinsip Keadilan dalam Transformasi Energi di Indonesia

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dalam Sustainability Media Academy pada Kamis (30/11).

Jakarta, 30 November 2023 – Indonesia, seperti banyak negara lain di dunia, berada di persimpangan yang krusial dalam menghadapi krisis iklim. Sebagai sebuah negara dengan sumber daya energi yang kaya, langkah menuju energi terbarukan telah menjadi keharusan, namun tak boleh terlepas dari prinsip keadilan. Transisi energi bukanlah semata soal perubahan sumber daya, tetapi juga tentang dampak sosial, ekonomi, dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak. Di Indonesia, transisi ini bukan sekadar langkah teknis, melainkan juga kewajiban moral untuk memastikan bahwa setiap individu mendapatkan hak yang sama dalam perubahan ini.

“Kita perlu melihat tiga prinsip untuk mewujudkan prinsip keadilan dalam transisi energi. Pertama, keadilan di tingkat lokal, di mana kita perlu mengamati lebih dekat pihak mana saja yang mendapatkan manfaat langsung serta yang terdampak dari transisi energi di tingkat lokal. Misalnya, apakah masyarakat di sekitar pertambangan juga mendapatkan manfaatnya atau tidak,” ujar Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan dalam Sustainability Media Academy pada Kamis (30/11). 

Lebih lanjut,  Marlistya Citraningrum menjelaskan prinsip lainnya yakni keadilan dari perspektif kewenangan. Artinya, masyarakat perlu melihat bagaimana otoritas pemerintahan setempat dalam mengelola transisi. Hal ini berkaitan dengan kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak. Ketiga, keadilan dalam jangka panjang. Artinya, bagaimana masyarakat termasuk individu berperan dalam mengelola  masa depan setelah berakhirnya industri penambangan, dimana kesejahteraan masyarakat perlu diperhatikan dan perekonomian juga harus tetap berjalan.

Selain itu, akses energi yang terjangkau, berkelanjutan serta dapat diandalkan patut diperhatikan dalam proses transisi energi. Ketidakstabilan pasokan energi dapat menjadi hambatan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam transisi energi, perlu dibangun sistem energi yang dapat diandalkan. Hal ini melibatkan investasi dalam teknologi penyimpanan energi, jaringan distribusi yang handal, dan diversifikasi sumber daya energi. 

“Untuk itu, transisi energi yang sukses memerlukan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Program pendidikan dan pelibatan masyarakat dapat meningkatkan pemahaman tentang pentingnya akses energi yang terjangkau, berkelanjutan, dan dapat diandalkan. Dengan memberdayakan komunitas untuk mengambil peran aktif dalam perubahan ini, dampak positif dapat dirasakan di tingkat lokal,” kata Marlistya. 

Marlistya juga menekankan agar pemerintah melibatkan pemangku kepentingan yang lebih luas, misalnya, masyarakat adat, perempuan, pemuda, dan kelompok marginal lainnya, serta memastikan keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Kesetaraan dan inklusi sosial menjadi penting untuk memastikan bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang ditinggalkan dan kelompok rentan memiliki akses yang adil terhadap peluang yang diciptakan dalam transisi berkeadilan.

“Selain mengedepankan kebijakan berbasis bukti, perlu pula empati, pelibatan dalam proses pengambilan keputusan serta penerapan prinsip energi berkeadilan melalui  pendekatan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI),” papar Marlistya. 

Memadukan aspek sosial dalam pendanaan transisi energi untuk mencapai transisi yang berkeadilan

Perubahan sumber energi membutuhkan transformasi sistem secara besar-besaran. Dalam hal ini, tidak hanya pembangunan infrastruktur baru dan aspek teknologi yang diperlukan, tetapi juga menyangkut masyarakat sebagai pembuat keputusan dan juga sebagai pihak yang akan terdampak oleh transisi energi. Gagasan mengenai transisi energi seringkali hanya berfokus pada aspek teknologi, sehingga aspek lain seperti aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan menjadi cenderung terabaikan. Misalnya, ketika membicarakan mengenai kebutuhan pendanaan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan, biaya untuk mitigasi risiko sosial seringkali tidak masuk dalam perhitungan. Jika tujuan utamanya adalah mencapai transisi energi yang berkeadilan, maka sudah saatnya untuk mulai mempertimbangkan dimensi sosial dari transisi energi.

Dalam G20 Forum on International Policy Levers for Sustainable Investment, Brian Motherway sebagai perwakilan dari IEA menyampaikan bahwa investasi memang krusial dikarenakan tingginya biaya modal awal untuk proyek energi terbarukan. Namun, menurut Brian, tidak dapat dipungkiri bahwa transisi energi berkeadilan yang berorientasi terhadap kepentingan masyarakat juga tidak kalah penting. Seiring dengan berjalannya proses transisi energi, masyarakat juga akan bertransformasi. Apakah nantinya transformasi tersebut akan menimbulkan disrupsi atau justru dapat menjadi pemberdayaan bagi masyarakat tergantung pada pilihan kebijakan untuk memitigasi risiko dari transisi energi. Biaya untuk memberikan perlindungan terhadap risiko tersebut juga harus diperhitungkan dalam pendanaan proyek energi terbarukan sebagai jaminan bahwa pembangunan rendah karbon dapat memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat, bukan justru menjadikan masyarakat sebagai ‘penanggung’ biaya transisi.

Namun demikian, ada beberapa tantangan dalam memahami risiko sosial transisi energi dan mengukur jumlah pendanaan yang dibutuhkan. Gagasan mengenai transisi yang berkeadilan baru muncul belakangan ini, demikian juga dengan wacana perhitungan pembiayaan non-proyek (non-project financing). Tantangan pertama adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘biaya sosial’ dalam transisi energi. Setiap proyek transisi energi memiliki derajat perbedaan kompleksitas dan juga cakupan masing-masing, sehingga setiap proyek akan memiliki pengertian yang berbeda mengenai biaya sosial tersebut. Secara umum, biaya sosial biasanya dikaitkan dengan jaminan pekerjaan atau jaring pengaman sosial, sedangkan pengertian lain merujuk pada gagasan mengenai keadilan energi–distribusi biaya dan manfaat yang merata bagi komunitas yang terdampak oleh perubahan sistem energi. Tanpa mengabaikan keberagaman konteks pada level lokal dan regional dalam perencanaan sistem energi, kerangka kebijakan yang komprehensif dapat menjadi acuan bagi perusahaan swasta maupun institusi keuangan dalam mendesain alokasi dana untuk pembiayaan non-proyek. 

Kedua, kurangnya data yang dapat menggambarkan kalkulasi risiko sosio-ekonomi dari proyek transisi energi. Sebagai contoh, Bappenas memperkirakan akan ada 1,8 juta sampai 2,2 juta pekerjaan di sektor energi terbarukan pada tahun 2060 jika ada intervensi pemerintah yang cukup kuat pada sektor ini. Di sisi lain, data dari laporan IESR ‘Ensuring Just Energy Transition in Indonesia’ mengatakan bahwa ada 1 juta pekerjaan yang bergantung pada sektor batu bara di Indonesia. Sepintas, kedua data ini memberikan informasi bahwa akan ada lebih banyak pekerjaan yang tumbuh ketimbang pekerjaan yang ditinggalkan. Namun, data ini hanya merepresentasikan transisi pekerjaan pada level makro, sedangkan realitanya proses transisi lebih banyak terjadi pada level lokal maupun regional. Data yang dapat menggambarkan dampak transisi pekerjaan pada level lokal atau regional, terlebih pada area yang memiliki ketergantungan terhadap industri batu bara, dapat memberikan informasi yang lebih rinci pada institusi keuangan dalam memperhitungkan biaya untuk jaring pengaman sosial, pelatihan kerja, dan juga penyediaan alternatif pekerjaan lain. Transisi energi kini sudah tidak dapat dihindari. Maka dari itu, pemerintah harus siap untuk merespon adanya risiko meningkatnya angka pengangguran, terutama dalam industri padat karbon

Selain di sektor ketenagakerjaan, kurangnya informasi bagi masyarakat lokal mengenai transformasi energi juga menjadi salah satu tantangan dalam memobilisasi jumlah pendanaan yang dibutuhkan untuk menghalau dampak transisi. Terutama di area yang bergantung dengan keberadaan industri bahan bakar fosil, kurangnya informasi dan pengetahuan dapat meningkatkan kerentanan sosio-ekonomi pada masyarakat, ketika sumber pendapatan utama mereka tidak lagi beroperasi karena berkurangnya permintaan bahan bakar fosil di masa mendatang. Dalam hal ini, lagi-lagi data menjadi aspek krusial untuk memvisualisasikan bagaimana perputaran ekonomi di daerah yang bergantung pada industri bahan bakar fosil menjadi terdistorsi dengan adanya transisi energi. Dengan data yang komprehensif, mengalihkan pendapatan utama dari industri bahan bakar fosil ke industri lain dapat dilakukan dengan lebih adil dan mudah.

Para pemerintah dalam forum G20 memiliki tugas untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Tidak bisa diragukan lagi bahwa pendanaan menjadi salah satu aspek penting dalam transisi energi. Namun, pembiayaan untuk ‘biaya sosial’ selama ini kurang menjadi perhatian para pembuat kebijakan. Instrumen pendanaan seharusnya dapat dimobilisasi untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan daerah yang terdampak oleh transisi energi. Rumusan kebijakan yang berdasarkan data–terutama pada skala regional–menjadi penting untuk memitigasi dampak transisi energi. Pada akhirnya, transisi berkeadilan adalah sebuah gagasan yang mengkombinasikan tujuan pembangunan ekonomi dan keberlanjutan iklim. Sudah saatnya bagi pembuat kebijakan untuk menjelajahi aspek ‘keadilan’ dalam transisi energi yang berkeadilan dengan mendorong mekanisme pendanaan yang lebih inklusif. 

G20 Parallel Event: Dialog Tingkat Tinggi tentang Mobilisasi Keuangan untuk Transisi Energi Indonesia yang Berkeadilan

Dialog tingkat tinggi tersebut bertujuan untuk membawa berbagai pemangku kepentingan utama untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang jalur transisi energi Indonesia yang adil dan mengidentifikasi kebutuhan keuangan untuk memungkinkan transisi yang begitu cepat. Dialog ini bertujuan untuk mendukung platform Transisi Energi Indonesia yang Berkeadilan dan berkontribusi pada hasil agenda Presidensi G20 Indonesia.

Continue reading