Menyongsong Transisi Energi di Sumatera Selatan

Podcast Ruang Redaksi RMOL Sumsel

Palembang, 6 Desember 2023 –  Sumatra Selatan (Sumsel) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi ekonomi yang besar. Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, perlu adanya transisi energi yang berfokus pada sumber energi terbarukan. Transisi ini tidak hanya akan memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan sektor ekonomi di Sumsel.

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, Indonesia perlu mengantisipasi sejak awal proses transisi energi dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dan perekonomian tetap berjalan. Marlistya menilai, pandangan transisi energi apabila dilihat menggunakan kaca mata global, nasional maupun lokal belum tentu sama. Misalnya saja, beberapa negara di dunia telah mulai menggunakan energi terbarukan dan siap dengan pembiayaannya. Sementara itu, Indonesia baru mulai sekitar 10 tahun terakhir dalam proses transisi energi dan beberapa daerah penghasil batubara perlu melakukan perencanaan jangka panjang sehingga dalam melakukan transformasi daerah tersebut perlu melihat sudut pandang berbeda, seperti dari pengusaha, pekerja dan masyarakat di sekitarnya. 

“Salah satu keunggulan transisi energi yakni “demokrasi” energi dari sistem ekonominya. Energi terbarukan bisa diupayakan oleh banyak pihak. Seperti individu yang bisa mengupayakan penggunaan energi terbarukan (pemasangan panel surya di rumah, red). Hal ini membuka peluang banyak pihak untuk terjun ke industri energi terbarukan,” ujar Marlistya Citraningrum dalam Podcast Ruang Redaksi RMOL Sumsel pada Rabu (6/12).

Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR

Lebih lanjut, Marlistya menyatakan, dalam proses transisi energi juga perlu dibahas mengenai sektor ekonomi alternatif lainnya, khususnya pada daerah penghasil batubara. Marlistya menekankan bahwa Sumatra Selatan selain disebut sebagai lumbung energi, juga lumbung pangan. Yang artinya, terdapat komoditas pertanian dan perkebunan yang dapat menjadi nilai tambahan perekonomian. Dengan kondisi tersebut, maka bisa ditingkatkan kualitas, akses pembiayaan dan modalnya. 

“Ketika melakukan diversifikasi ekonomi dalam transisi energi membutuhkan persiapan, tidak hanya dari sisi regulasi, perlu juga kesiapan dunia usaha dan bagaimana nanti masyarakat menghadapinya. Diversifikasi usaha menjadi salah satu strategi bagi dunia bisnis khususnya yang bergerak pada energi fosil. Namun demikian, kita perlu menekankan juga keadilan sosial bagi masyarakat yang terdampak. Misalnya saja, apakah perlu adanya sertifikasi atau pelatihan bagi masyarakat untuk bekerja di ekonomi hijau,” terang Marlistya. 

Brilliant Faisal, Fungsional Perencana Ahli Madya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Selatan (Sumsel) menuturkan, pihaknya berencana akan membuat berbagai jenis pelatihan baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam menghadapi proses transisi energi. Selain itu, Faisal menjelaskan pihaknya juga akan menyiapkan regulasi daerah terkait transformasi ekonomi untuk transisi energi berkeadilan. 

“Kami telah merencanakan delapan strategi utama yang akan direalisasikan pada 2024-2026. Delapan strategi tersebut di antaranya perwujudan transformasi ekonomi, peningkatan kondusifitas perekonomian wilayah, pemerataan pembangunan,serta peningkatan kualitas dan daya saing angkatan kerja. Hal ini perlu dilakukan karena Sumsel masih terpaku terhadap sektor unggulan semata, seperti batubara,” ujar Faisal.

Hermansyah Mastari, Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menerangkan, pihaknya selalu bersinergi dengan perusahaan yang akan berinvestasi di Sumatera Selatan. Namun, dukungan dari pemerintah daerah menjadi hal penting, khususnya dalam memberikan saran kepada perusahaan besar yang bergerak di energi fosil untuk mempersiapkan diri dan warga di lingkungan sekitar untuk beralih ke energi terbarukan.

“Beberapa waktu lalu ada fenomena di mana satu pabrik diserbu pencari kerja sejak subuh dan mereka rela mengantri sejak subuh. Peristiwa seperti ini seharusnya tidak terjadi. Untuk itu, sebaiknya perusahaan besar bukan hanya memberikan corporate social responsibility (CSR) semata, tetapi perlu didorong untuk bergerak membuat pelatihan kepada warga sekitar sehingga mereka memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari uang serta berpartisipasi dalam menghidupkan perekonomian,” kata Hermansyah.