Financier’s Club: Financing Solar Energy in Indonesia – Bahas Isu Pendanaan PLTS Dalam Transisi Energi

Jakarta, 18 Maret 2022– Pembiayaan transisi energi di Indonesia khususnya PLTS perlu untuk segera dimobilisasi. Potensi teknis energi surya di Indonesia yang besar, berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), hingga 20.000 GWp menanti untuk dipanen sehingga dapat mencapai target netral  karbon di tahun 2060 atau lebih cepat sesuai yang dikomitmenkan oleh pemerintah. Lembaga keuangan dapat menangkap beragam peluang pembiayaan PLTS dengan mengidentifikasi investasi maupun risikonya. Identifikasi investasi dan risiko dalam pembiayaan PLTS, kendala-kendala yang dihadapi lembaga keuangan untuk menyediakan skema pembiayaan PLTS, serta inovasi praktik pembiayaan didiskusikan  dalam Financier’s Club: Financing Solar Energy in Indonesia.  Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama  Kementerian ESDM dengan IESR sebagai pra-acara dari Indonesia Solar Summit (ISS) 2022 yang berlangsung secara hybrid di Jakarta.  

Membuka diskusi, Sahid Djunaidi, Sekretaris Jenderal EBTKE menegaskan bahwa target penurunan emisi hanya dapat dicapai apabila negara melakukan transisi energi sebagai langkah nyata. Potensi besar serta masa konstruksi yang singkat menjadikan energi surya sebagai andalan dalam penyediaan energi terbarukan di Indonesia. Menurutnya,beberapa bank telah memberikan skema pembiayaan PLTS atap, namun masih diperlukan inovasi pembiayaan agar dapat mendorong PLTS atap lebih masif. Saat ini, Kementerian ESDM bekerjasama dengan UNDP sedang menyelenggarakan program hibah insentif PLTS atap demi mendukung pengembangan PLTS atap di Indonesia.

“Tantangan dalam pengembangan PLTS adalah di sektor finansial karena beresiko tinggi, belum banyak pasar, serta kurangnya jaminan pembiayaan,” ucapnya.

Koordinasi dalam penyusunan kebijakan, maupun kerjasama antar pihak penting untuk mencapai target keuangan berkelanjutan dan target iklim. Hal ini diutarakan oleh Agus Edy Siregar, Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

“Agenda mitigasi perubahan iklim membutuhkan dana yang besar dan tidak bisa dipenuhi hanya dari APBN, melainkan memerlukan juga pembiayaan dari sektor keuangan,” tambahnya.

Edy mengatakan bahwa saat ini OJK telah menyusun beberapa dokumen dalam investasi di beberapa sektor berkelanjutan, di antaranya taksonomi hijau, persiapan pasar karbon, serta pelaporan perbankan terkait sektor yang dibiayai dan diharapkan terdapat mekanisme insentif dan disinsentif di sektor keuangan dan pembiayaan.

Menambahkan, Enrico Hariantoro, Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK menyebutkan bahwa sudah sedari lama OJK mendukung instrumentasi perbankan yang mendukung pembiayaan keberlanjutan (POJK 51/2017 dan POJK 60/2017). Menurutnya, terdapat beberapa aspek resiko yang sangat diperhatikan oleh perbankan, diantaranya pemahaman teknis, bagaimana mengawal ekosistem, serta payback period. Lebih jauh, ia berpendapat bahwa skema pembiayaan untuk PLTS bisa lebih variatif dan inovatif, misalnya menggabungkan elemen dari fasilitas, filantropi, teknis, dan menjadi satu dengan KPR agar masuk dalam comfort level pelanggan dan bankability dari penyedia keuangan. OJK senantiasa mendorong akselerasi pembiayaan PLTS melalui regulasi, tentunya dengan mempertimbangkan feasibility study (fs).

Di sisi lain, Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengatakan bahwa terdapat Energy Transition Mechanism (ETM) untuk menjawab tantangan transisi energi dengan tujuan utama mempendek usia ekonomi dari PLTU Clean Energy Facility (CEF), mendapatkan tambahan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan membangun energi terbarukan Carbon Recycling Fund (CRF) untuk pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, serta memperoleh akses ke pendanaan yang lebih murah. 

BKF sudah melakukan insentif perpajakan untuk investasi seperti tax holiday, tax allowance, PPh DTP, pembebasan PPN, pembebasan bea masuk, fasilitas perpajakan dan kepabeanan, serta pengecualian pemungutan PPh 22. Menurut Adi, Keuangan sistem indonesia telah siap untuk menerapkan sustainable finance, didukung dengan green taxonomy. Di samping itu, BKF telah  telah melakukan mapping dengan 9 universitas, asosiasi, serta stakeholders. Adi mengatakan bahwa Bank Daerah berpeluang untuk membantu akselerasi pembangunan PLTS. Energi terbarukan berpotensi untuk menciptakan pemenuhan listrik secara mandiri. Keberadaan BPR, Perseroda bisa menjadi salah satu pintu untuk masuknya pembiayaan PLTS.

Edwin Syahruzad, Presiden Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang hadir pada kesempatan yang sama menginformasikan bahwa PT SMI sudah mengambil langkah strategis dalam pembiayaan PLTS. Di samping itu, PT SMI telah memberikan pembiayaan di semua jenis energi terbarukan seperti PLTMH, PLTA, PLTP, PLTB, PLTS, dan PLT Biomassa. Ia mengatakan bahwa komitmen PT SMI untuk proyek PLTS sangat bergantung pada project pipeline. 

Pipeline PLTS lebih berasal dari PLTS atap, saya rasa ini merupakan potensi yang harus digarap. Namun, pendekatannya agak sedikit berbeda dengan PLTS on-grid karena sumber penerimaan PLTS atap berasal dari kontrak-kontrak dengan pemilik gedung PLTS Atap di-instal, di mana pemilik gedung bisa jadi berada di luar sektor kelistrikan. Revenue model juga cukup berbeda dan menjadi ranah dari perbankan yang memiliki nasabah pemilik gedung yang dapat memperluas peluang bisnisnya dengan menggarap PLTS Atap,” ungkap Edwin.

Refleksi 11 Tahun Kecelakaan Fukushima

Jakarta, 11 Maret 2022 – 11 Maret 2011 gempa berkekuatan 8,9 SR mengguncang Tohoku. Reaktor nuklir secara otomatis berhenti beroperasi dan digantikan pembangkit diesel untuk mendinginkan reaktor inti. Namun, tsunami setinggi 14 meter yang datang kemudian menghentikan pembangkit diesel dan membanjiri PLTN. Akibatnya 3 inti nuklir meleleh dan melepaskan material radioaktif. Bencana Fukushima dikategorikan dalam bencana nuklir level 7 (level tertinggi yang dibuat Badan Nuklir Internasional), dan yang terbesar setelah bencana Chernobyl tahun 1986.

Meski 11 tahun berlalu sejak kecelakaan reaktor nuklir di Fukushima, dampaknya masih dirasakan oleh masyarakat Jepang. Selain itu, kejadian ini mempengaruhi a sistem energi Jepang yang saat itu banyak bergantung pada pembangkit nuklir dan perkembangan energi nuklir di seluruh dunia.

Tercatat sejak kejadian tragis itu, kapasitas pembangkit nuklir di dunia terus menurun, sejumlah negara mengkaji ulang rencana energi jangka panjangnya. Jerman misalnya, memutuskan untuk melakukan phase-out PLTN, 3 PLTN terakhirnya akan dipensiunkan pada akhir tahun 2022. Beberapa negara lain juga merencanakan phase-out PLTN pada 2025 – 2030. World Nuclear Industry Status Report 2021 mencatat Jepang sempat menghentikan sementara penggunaan pembangkit nuklirnya bahkan mencapai 0 pada tahun 2013 dan 2014. Pada tahun 2015, Pemerintah Jepang mengoperasikan lagi pembangkit nuklirnya, dan saat ini sebanyak 10 unit PLTN beroperasi dan memasok 3,9% bauran energi Jepang.

Tatsujiro Suzuki, Profesor dan Wakil Direktur Research Center for Nuclear Weapon abolition Nagasaki University (RECNA), dalam webinar bertajuk “Dinamika Pengembangan PLTN Pasca Kecelakaan Fukushima” yang digelar Jumat, 11 Maret 2022, mengatakan bahwa dampak kecelakaan Fukushima belum selesai sampai hari ini. Sejumlah area di Fukushima masih ditutup, meski luas daerah terdampak berkurang. Kontaminasi pada air dan hasil pertanian juga masih terjadi hingga saat ini. 

“Dari sisi operasional pembangkit nuklir yang saat ini berjalan, terdapat tambahan biaya untuk memastikan keamanan operasional tiap-tiap pembangkit,” jelas Suzuki.

JCER (Japan Center for Economic Research) memperkirakan kebutuhan untuk pemulihan pasca kecelakaan Fukushima mencapai 322 – 719 triliun USD. Angka ini lebih besar dari perkiraan pemerintah Jepang yaitu sebesar 74.3 – 223.1 triliun USD. Perhitungan pemerintah lebih rendah sebab biaya pembuangan akhir limbah tidak dimasukkan dalam perhitungan. 

Persepsi masyarakat Jepang pada PLTN juga berubah arah setelah kecelakaan Fukushima. Lebih dari separuh penduduk Jepang (56.4%) menyatakan bahwa PLTN harus dihentikan operasinya dan ditutup segera.

Anggota Dewan Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim, menyoroti biaya investasi pembangkit nuklir yang cenderung semakin meningkat, dan risiko keamanannya yang tinggi.

“LCOE dari nuklir tinggi sebesar 8-12 sen USD menurut badan nuklir dunia, bahkan mencapai 12-16 sen USD menurut Schneider. Adanya PLTN juga menimbulkan perasaan tidak aman bagi penduduk sekitar,” jelas Herman.

Pembangkit listrik energi nuklir (PLTN) diwacanakan sebagai salah satu strategi Indonesia untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Dengan pemanfaatan energi terbarukan besar-besaran (75% variabel energi terbarukan masuk dalam jaringan listrik), pengembangan sistem penyimpanan energi sehingga mengurangi biaya pengembangan energi terbarukan akan membuat tren penurunan LCOE (Levelized Cost of Electricity) untuk energi surya dan bayu dengan baterai akan lebih ekonomis daripada biaya pembangunan PLTN. 

M.V Ramana, Profesor dan Direktur Liu Institute for Global Issues dari British Columbia University, sepakat bahwa pembangkit nuklir mengandung risiko besar. Saat ini tidak ada pembangkit nuklir dengan ‘zero risk accident’ bahkan teknologi SMR (Small Modular Reactor) yang digadang-gadang aman pun masih mempunyai potensi kecelakaan.

“Secara teknis, tidak ada desain universal untuk berbagai tempat dan situasi geografis untuk pembangunan PLTN. Risiko kecelakaan, dan limbah radioaktif membutuhkan sistem yang dirancang secara kontekstual dengan lokasi dan situasi setempat. Hal ini membutuhkan kajian mendalam,” jelas Ramana.

Ramana menyinggung persepsi yang berkembang mengenai pembangkit nuklir sebagai  salah satu solusi untuk mengatasi masalah perubahan iklim sebab dapat menghasilkan energi dengan emisi yang rendah. Menurutnya, justru biaya pembangunan pembangkit nuklir lebih tinggi dibandingkan teknologi yang saat ini tersedia  seperti pembangkit surya ataupun bayu (angin) yang  lebih aman, dan terjangkau

Ramana memaparkan secara statistik, jumlah pembangkit nuklir di dunia terus berkurang. Salah satunya karena nuklir tidak lagi ekonomis. Puncak perkembangan pembangkit nuklir lebih dari 3 dekade lalu, setelah itu jumlah pembangkit yang dibangun terus menurun. 

“Ke depannya, dalam skenario paling optimis sekalipun, pembangkit nuklir hanya akan berkontribusi 10% pada bauran energi global,” Ramana menjelaskan.

Dorong Akselerasi Transisi Energi Level Daerah melalui Forum Energi Daerah (FED)

Jakarta, 23 Februari 2022 – Pemerintah daerah melalui kewenangannya memainkan peran penting dalam upaya pencapaian target pembangunan nasional terkait pengembangan energi terbarukan (ET) untuk mendukung akselerasi transisi energi di Indonesia. Bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dewan Energi Nasional (DEN), Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan acara Forum Energi Daerah (FED) dalam mempercepat transisi energi di level daerah.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto; Anggota DEN, Musri Mawaleda; dan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menjadi narasumber dalam kegiatan virtual ini. Hadir pula Kepala Dinas ESDM dan Kepala Bappeda Provinsi se-Indonesia yang menyampaikan perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di daerahnya.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam sambutannya menyampaikan bahwa Forum Energi Daerah menjadi bagian dari serangkaian kegiatan road-to Indonesia Solar Summit (ISS) 2022. “Kegiatan FED ini dilatarbelakangi oleh target net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat, karena potensi energi surya di Indonesia juga mencapai lebih dari 3.400GW sehingga bisa menjadi ujung tombak untuk mencapai NZE 23% EBT pada 2025,” ujar Fabby.

Dalam paparannya, Musri menyampaikan Indonesia telah berkomitmen dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui ratifikasi Persetujuan Paris Agreement sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 16 tahun 2016 dan selanjutnya ditegaskan dalam komitmen di Pakta Iklim Glasgow yang bertujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah dua derajat celcius. Komitmen ini menimbulkan konsekuensi khususnya dalam arah pembangunan menuju pembangunan rendah karbon.

“Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk memitigasi perubahan iklim di sektor energi yaitu pemenuhan target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% dan 41% dengan bantuan internasional, target NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat, dan penetapan target penambahan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) menjadi 51,6% atau sekitar 20.923 MW sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Khusus pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), target pembangunan tambahan pembangkit hingga tahun 2030 pada RUPTL mencapai 4.680 MW atau 22% dari total kapasitas pembangkit EBT,” ujar Musri.

Musri menuturkan dukungan dan upaya pemerintah daerah, terutama Dinas ESDM dan Bappeda, diperlukan dalam percepatan pembangunan rendah karbon dan merealisasikan target yang tertera pada matrik RUED atau sesuai dengan kemampuan dan potensi daerah setempat. Ia juga menekankan bahwa salah satu pembangkit yang paling mudah dan murah dibangun dengan dan berpotensi besar di Indonesia adalah tenaga surya.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Djoko Siswanto, menyampaikan bahwa sampai saat ini masih ada 12 Provinsi yang sedang menyelesaikan Peraturan Daerah Rencana Umum Energi Daerah (Perda RUED), 5 diantaranya dalam proses fasilitasi nomor register di Kementerian Dalam Negeri, 3 Provinsi sudah memasukkan rancangan RUED Provinsi dalam Program Pembentukan Perda (Propemperda) Tahun 2021 dan 2022 juga telah melakukan pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta 4 Provinsi baru akan membahas dengan DPRD.

Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa beberapa gubernur telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) maupun Perda terkait energi bersih, kendaraan listrik, PLTS dan mewajibkan panel surya terutama di perumahan, apartement, dan gedung. Beberapa ketentuan tersebut dijadikan dasar oleh para gubernur untuk membuat peraturan di provinsi masing-masing.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Dadan Kusdiana, menyampaikan pengembangan energi surya merupakan bagian dari pencapaian target 23% bauran energi terbarukan di tahun 25. Ia optimis target tersebut dapat tercapai menimbang secara perencanaan, Indonesia sudah sangat siap dan lengkap. Meskipun demikian, ia menyebutkan bahwa secara pengelolaannya nanti mungkin ada hal-hal yang akan tertunda, sehingga perlu porsi PLTS atap yang lebih besar sebagai jaring pengaman supaya target 23% bisa tercapai.

“Dalam rencana pengembangan, kami memiliki 3 kelompok utama yaitu PLTS atap dengan target 2025 sebesar 3,61 GW. Lalu kedua PLTS skala besar dengan target 2030 sebesar 4,68 GW dan PLTS terapung dengan potensi 26,65 GW. Tak lepas dari isu revitalisasi PLTS tidak hanya PLTS atap, di daerah ada beberapa permasalahan teknis yang jumlahnya tidak sedikit untuk operasional dan maintenance. Teknis pelaksanaan untuk revitalisasi pembangkit energi terbarukan khususnya PLTS juga akan kami pikirkan,” tambah Dadan.

Dalam diskusi turut hadir Dinas ESDM dari sejumlah daerah, salah satunya Dinas ESDM Jawa Tengah, yang diwakili oleh Kepala Bidang Energi Baru dan Terbarukan, Eni Lestari. Menurut Eni, peningkatan pemahaman tentang energi terbarukan hingga ke tingkat akar rumput serta dorongan dari pemerintah daerah dapat membantu percepatan pengembangan energi terbarukan.

“Pemerintah provinsi Jawa Tengah akan membuat penyuluh energi di tingkat daerah sehingga masing-masing desa dapat memiliki panduan agar memahami dan bisa mengadopsi energi terbarukan. Surat edaran sekretaris daerah tahun 2021 bahwa sektor bisnis, industri, dan bangunan pemerintah untuk kontribusi pemanfaatan PLTS atap pun sudah ada dan dapat dijalankan,” ungkap Eni.

Ia menambahkan juga bahwa skema pembiayaan untuk PLTS di berbagai sektor masih menjadi kendala, oleh karena itu akselerasi energi terbarukan di daerah tidak dapat mengandalkan APBD saja, namun membutuhkan kontribusi berbagai sektor termasuk swasta.

Senada dengan Eni, Irfan Hasymi Kelrey dari Dinas ESDM NTB menyebut bahwa pemerintah daerah dapat mendorong pengembangan energi terbarukan dengan regulasi, tapi implementasinya membutuhkan dukungan dan langkah nyata dari masyarakat di berbagai sektor, khususnya di sektor swasta.

“Saat ini Pergub Energi Hijau terkait dengan pemanfaatan seluruh energi terbarukan termasuk potensinya sedang kami susun. Surat edaran bagi hotel-hotel untuk memasang PLTS atap juga telah kami distribusikan dan di Kab. Sumbawa dan Kab. Bima tahun ini sedang dalam proses 10MW. Dari beberapa hal tersebut, kami optimis target NZE Nusa Tenggara Barat (NTB) akan lebih cepat tercapai dari Indonesia,” ujar Irfan Hasymi Kelrey, Dinas ESDM NTB saat berbagi terkait rencana dan capaian daerahnya.

Selangkah lebih maju, Disnaker Bali bidang ESDM, Ida Bagus Ngurah Arda, mengungkapkan bahwa Bali merupakan pertama yang memiliki Pergub No. 45 tahun 2019 tentang Energi Bersih dan akan menerbitkan surat edaran yang ruang lingkupnya lebih luas tidak hanya di sektor BUMN atau pemerintah yang meliputi semua sektor, pelibatan swasta, termasuk juga perorangan (PLTS atap). Ida juga menuturkan bahwa pembangunan PLTS dalam berbagai bentuk terus berjalan di Bali.

“Saat ini ada sejumlah pembangunan PLTS yaitu di Nusa Penida 3,5MWp dan 400KWp di jalan tol Bali-Mandara,” tambah Ida.

Sementara itu, Analisis Kebijakan Ahli Madya selaku Koordinator urusan ESDM, SUPD I, Ditjen Bina, Bangda, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Tavip Rubiyanto, mengungkapkan tantangan yang dihadapi untuk bisa mensinkronkan program pusat dan daerah juga mengintegrasikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) ke dalam (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

“Sejumlah instrumen bisa digunakan oleh Pemda, misal instruksi gubernur untuk mendorong akselerasi ET. Permasalahan nomenklatur terkait dengan penganggaran EBT di daerah akan mengacu kepada Permendagri 050 tentang kodefikasi dan nomenklatur anggaran. Dan saat ini Bangda tengah menyusun secara operasional bagaimana mendorong pemda untuk mengintegrasikan RUED ke dalam dokumen RPJMD dan Renstra ESDM sehingga dapat dioperasionalkan dalam perencanaan daerah. Sehingga pada RPJMD 2023-2026 dapat menjadi jalan untuk menyelipkan beberapa langkah untuk mencapai target ET,” tutur Tavip.

Hasil Forum Energi Daerah ini menjadi tindak lanjut kegiatan Governor’s Forum on Energy Transition (Forum Gubernur) yang merupakan salah satu acara menjelang Indonesia Solar Summit 2022. Indonesia Solar Summit (ISS) adalah puncak dari serangkaian acara multistakeholders yang bertujuan untuk memobilisasi potensi investasi energi surya Indonesia dan mengakselerasi pemanfaatan PLTS untuk mencapai target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan RUEN. ISS diselenggarakan untuk membuka pasar dan mendukung pengembangan ekosistem energi surya di Indonesia dan sebagai bahan dari presidensi G20 di Indonesia.

Indonesia Perlu Menangkap Peluang Pembiayaan Transisi Energi

Jakarta, 22 Nov 2021 – Seiring berakhirnya COP-26 beberapa minggu yang lalu, diskusi lanjutan tentang “apa aksi selanjutnya” dilakukan untuk terus mengingatkan baik Pemerintah maupun masyarakat bahwa komitmen dan deklarasi yang dibuat selama konferensi harus dilaksanakan.

Bertindak sebagai pra-pembukaan Indo EBTKEConnex 2021, FIRE (Friends of Indonesia’s Renewable Energy) mengadakan dialog untuk mengetahui bagaimana Indonesia menyiapkan strateginya untuk mencapai target dan komitmen baru yang diumumkan selama COP-26 di Glasgow.

Sripeni Inten Cahyani, Staf Khusus Kementerian ESDM menjelaskan sikap Indonesia dalam konferensi tersebut. Awal tahun ini, Indonesia menyerahkan dokumen NDC terbarunya ke Sekretariat UNFCCC dan berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions) pada tahun 2060 atau lebih awal. Hal ini dapat dikatakan sebagai langkah yang cukup progresif karena di awal tahun belum ada pembahasan tentang isu ini.

“Indonesia menandatangani Deklarasi The Global Coal to Clean Power, yang salah satu komitmennya adalah menghentikan pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2040-an, dalam rencana awal kami, penghentian penggunaan batubara sekitar tahun 2050-an, jadi ada akselerasi disini. Akselerasi ini berarti kami membutuhkan lebih banyak dukungan keuangan untuk menghentikan pembangkit listrik yang saat ini beroperasi dan menggantinya dengan energi terbarukan,” kata Inten.

Indonesia telah secara konsisten mendesak negara-negara maju untuk mendistribusikan dana ke negara-negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi.

David Lutman dari Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menekankan bahwa dorongan untuk mengambil tindakan dapat diwujudkan dengan pengadaan energi terbarukan dalam skala besar dan itu berarti penghentian penggunaan batu bara. “Semakin cepat Indonesia melakukan transisi, maka akan semakin besar pula manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang bisa dipetik,” ujarnya.

Penting untuk mewujudkan komitmen yang sudah disepakati dan menunjukkan kemajuan yang dialami Indonesia dalam 2-3 tahun ke depan. Hal ini menunjukkan kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam menjalankan komitmen perjanjian internasional dan penanganan iklim. 

“Transisi (energi) ini bukan hanya tentang Indonesia, tetapi masyarakat internasional turut mengamati sehingga kita perlu menunjukkan kemajuan kita untuk menjaga akuntabilitas kita, dan kemudian untuk menarik lebih banyak bantuan internasional,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby kemudian mengatakan bahwa tiga hal utama yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempercepat transisi energi di Indonesia yaitu melakukan pensiun dini pembangkit batubara, meningkatkan proyek-proyek energi terbarukan, dan membantu PLN dalam hal lelang dan pengadaan energi terbarukan.

Pembiayaan yang cukup diperlukan dalam mentransformasi sistem energi. Pada COP-26, Pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) Energy Transition Mechanism (ETM) dengan Asia Development Bank untuk membiayai pensiun dini sejumlah pembangkit listrik tenaga batubara. Skenario pembiayaan lain yang dapat ditempuh Pemerintah adalah dengan mereformasi skema subsidi di Indonesia, yang saat ini banyak dikucurkan untuk energi fosil, dan mengalihkannya untuk sektor energi terbarukan. 

Subsidi Energi Fosil Menghambat Transisi Energi

press release

Jakarta, 12 November- Di balik komitmen untuk meningkatkan aksi iklim dan mencapai target Perjanjian Paris agar suhu bumi tetap di bawah 1,5 derajat Celcius, negara G20, termasuk Indonesia, masih memberikan subsidi energi fosil yang signifikan. Institute for Essential Services Reform (IESR) berpandangan subsidi energi fossil kontra produktif terhadap upaya melakukan transisi energi dan mencapai dekarbonisasi di pertengahan abad ini. 

Di masa awal pandemi, negara G20 mengucurkan sedikitnya USD 318.84 miliar untuk menyokong energi fosil. Sementara Indonesia, menurut catatan Climate Transparency 2021, telah menghabiskan USD 8,6 miliar untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019, 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48% untuk listrik. 

Indonesia sempat berhasil melakukan reformasi subsidi bahan bakar minyak dan listrik pada 2014-2017, tapi masih memberikan alokasi subsidi energi fosil yang cukup besar. Subsidi energi naik 27% pada kurun waktu 2017-2019.  

“Pemberian subsidi energi fosil tidak saja menghambat rencana dan upaya memangkas emisi gas rumah kaca dan dekarbonisasi, tetapi juga menghasilkan inefisiensi penggunaan energi, dan menciptakan pemborosan akibat subsidi yang tidak tepat sasaran, dan membuat energi terbarukan sukar bersaing,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Penghentian subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan lapangan tanding usaha yang rata (level playing field) bagi energi terbarukan. Selain itu, menurutnya, dana subsidi energi fosil akan jauh lebih bermanfaat bila dialihkan pada masyarakat yang paling rentan, pembangunan pendidikan dan fasilitas kesehatan, pengembangan energi terbarukan serta mengakomodasi dampak transisi energi bagi para pekerja di industri energi fosil yang terdampak. 

“Reformasi subsidi energi pada sisi konsumsi tidak boleh dilakukan secara serampangan sehingga membuat orang miskin tidak mendapatkan akses energi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Sebaliknya reformasi dilakukan dengan diikuti dengan pengumpulan dan pemanfaatan basis data keluarga miskin dan skema penyaluran subsidi yang tepat sasaran, ” jelas Fabby.

Fabby berpendapat bahwa penetapan kebijakan harga batubara Domestic Market Obligation (DMO) dan gas untuk PLN merupakan salah satu bentuk subsidi dan telah membuat harga listrik dari PLTU dan PLTG tidak mencerminkan biaya sebenarnya. Kebijakan ini juga membuat PLN akan memprioritaskan penggunaan PLTU ketimbang energi terbarukan, yang lebih murah.

“Pemerintah harus meninjau ulang kebijakan patokan harga DMO untuk pembangkit listrik dan membuat rencana untuk mengakhiri kebijakan ini. Ini selaras dengan keputusan pemerintah yang tidak akan memberikan ijin untuk pembangunan PLTU baru di luar program 35 GW dan rencana pensiun dini PLTU sebelum 2030,” kata Fabby.  

Analisis Climate Transparency 2021 menunjukkan agar tercapai target Persetujuan Paris, semua wilayah di dunia harus menghentikan PLTU batubara secara bertahap antara tahun 2030 dan 2040. Pada tahun 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus ditingkatkan menjadi setidaknya 75%, dan pangsa batubara tanpa teknologi CCS/CCUS dikurangi menjadi nol. Sedangkan dalam KEN, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada tahun 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara, agar selaras dengan Persetujuan Paris, pembangkitan listrik dari batubara harus mencapai puncaknya pada tahun 2020 dan menghentikan batubara sepenuhnya pada tahun 2037.

Berdasarkan perhitungan IESR dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System biaya untuk mentransformasi sistem energi Indonesia untuk meraih bebas emisi pada 2050 mencapai USD 25 miliar per tahun hingga 2030, dan akan meningkat tajam setelahnya menjadi USD 60 triliun per tahun.

“Subsidi energi fosil yang memperbesar dampak buruk dari emisi GRK akan menambah beban negara karena adanya kerugian ekonomi dan pengeluaran keuangan negara untuk mengatasi bencana akibat perubahan iklim. Subsidi tersebut dapat dialihkan untuk membantu percepatan transisi energi menggunakan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025,”  ungkap Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Pada Deklarasi G20, Oktober lalu di Roma, negara G20 telah sepakat untuk meningkatkan komitmennya untuk menekan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. IESR memandang Indonesia dapat menggunakan peluang kepemimpinan Indonesia di G20 pada 2022 untuk mendorong aksi nyata keluar dari beban pembiayaan terhadap energi fosil.

“Komitmen negara G7 untuk memberikan pendanaan iklim sejumlah USD 100 miliar sampai dengan tahun 2025 masih belum cukup. Oleh karena itu negara G20 harus ikut berkontribusi, salah satunya dengan cara melakukan reformasi keuangan ke arah energi terbarukan yang mendukung ekonomi hijau. Indonesia sebagai pemimpin negara G20 di 2022 dapat mendorong negara anggota G20 untuk melakukan reformasi keuangan,” tegas Lisa.

Menurutnya, setiap kebijakan finansial yang mengarah pada dukungan terhadap energi fosil harus mendapat perhatian dan diinventarisasi secara ketat oleh Global Stocktake (GST) sebagai bagian pengawasan aksi iklim yang tidak terpisahkan dari Persetujuan Paris. Berdasarkan laporan Independent Global Stocktake (iGST), sebuah konsorsium masyarakat sipil untuk mendukung GST, justru GST dapat menawarkan platform bagi negara-negara untuk berkolaborasi dalam mereformasi subsidi konsumsi bahan bakar fosil.

“Informasi yang diinventarisasi ke dalam GST harus juga memasukkan elemen sosial di dalamnya sehingga tujuan pendanaan ikim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan inklusif sosial dapat tercapai. Proses GST ini harus mengikutsertakan organisasi yang mewakili elemen ekonomi, lingkungan, energi, dan sosial terutama isu gender dan masyarakat rentan lainnya untuk menjamin transisi berlangsung secara berkeadilan,” ujar Lisa.

Tunjukkan Komitmen, Indonesia Siap Pensiunkan Dini PLTU Batubara

Sepanjang tahun 2021, merespon desakan global terhadap aksi iklim yang selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia telah memutakhirkan beberapa dokumennya seperti NDC yang menargetkan netral karbon di tahun 2060 lebih cepat dan merilis ‘green’ RUPTL yang diklaim memberi ruang lebih banyak bagi energi terbarukan. Terbaru, Indonesia mengumumkan untuk mengkaji peluang memensiunkan PLTU batubara lebih dini. Meski belum ambisius untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris, keputusan Indonesia tersebut patut diapresiasi dan dikawal implementasinya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, Arifin Tasrif, pada gelaran KTT Perubahan iklim COP-26, menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Statement. Menteri ESDM menyetujui 3 dari 4 butir deklarasi yaitu, (1) mendorong pengembangan energi terbarukan & efisiensi energi; (2) transisi meninggalkan PLTU pada 2040an; dan (3) memperkuat upaya domestik dan internasional untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan.

Arifin menjelaskan bahwa Indonesia sedang melakukan simulasi untuk melakukan pensiun PLTU sebesar 9,2 GW sebelum 2030. Sebanyak 3,7 GW dari 9,2 GW pembangkit akan pensiun dini dan diganti dengan pembangkit listrik energi terbarukan. Rencana progresif ini menuntut peta jalan yang komprehensif untuk transisi batubara. 

Ditemui terpisah, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menegaskan bahwa transisi untuk meninggalkan batubara di Indonesia perlu dipersiapkan dengan matang. 

Menurutnya, peta jalan transisi batubara yang komprehensif perlu disiapkan untuk memastikan bahwa transisi yang terjadi adalah transisi yang mempertimbangkan kebutuhan semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari ditinggalkannya batubara untuk suplai energi, serta memastikan semua orang mendapat akses energi yang tangguh (reliable) dan terjangkau (affordable).

Dalam acara “From Coal to Renewables: the Energy Transition in Emerging Markets” yang diselenggarakan oleh Accenture dalam rangkaian COP-26 di Glasgow, Fabby Tumiwa menjelaskan, sebagai salah satu  negara penghasil  batubara terbesar di dunia, 60% batubara Indonesia diperuntukkan untuk ekspor. Hal penting lain yang harus dicatat adalah, 85% produksi batubara Indonesia hanya terkonsentrasi pada 4 provinsi. 

“Peran batubara di Indonesia bukan sekedar sebagai penghasilan bagi negara, namun juga penghasilan pokok untuk provinsi penghasil batubara. Ketika dilakukan transisi, dan batubara perlahan akan ditinggalkan, daerah-daerah ini perlu diperhatikan sebab jika tidak akan terancam collapse,” jelas Fabby. 

Sebagai negara yang banyak bergantung pada energi fosil dan dengan situasi yang cukup kompleks, keterbukaan pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih cepat, dinilai sebagai suatu maju dan dapat dicapai oleh Fabby Tumiwa.

“86% listrik di Indonesia dihasilkan oleh PLTU batubara. Melakukan transisi ke energi terbarukan dalam situasi ini tentu tidak mudah. Namun bukan berarti tidak mungkin,” tutur Fabby.

Sepakati Deklarasi Global Tinggalkan Batubara, Indonesia Perlu Siapkan Peta Jalan Transisi Batubara

Jakarta, 05 November 2021- Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim ke-26 atau COP-26, Indonesia menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition (Transisi Batubara Global Menuju Energi Bersih). Pada hari yang sama Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, juga menyatakan bahwa pemerintah mengkaji peluang mempensiunkan dini PLTU batubara dengan kapasitas total 9,3 GW sebelum tahun 2030 (4/11/2021) yang bisa dilakukan dengan dukungan pendanaan mencapai $48 miliar. 

Meski Indonesia memutuskan untuk tidak terikat pada butir ketiga Global Coal to Clean Power Transition, yang salah satunya menuntut untuk menghentikan penerbitan izin baru dan pembangunan proyek PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plan), Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia, khususnya kepemimpinan yang ditunjukan oleh Menteri ESDM di COP-26, untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan melalui pengembangan energi terbarukan seluasnya dan melakukan penghentian secara bertahap (phase out) PLTU batubara sebagai bagian dari aksi Indonesia untuk mencegah krisis global. 

“Keterbukaan pemerintah Indonesia untuk melakukan transisi energi, melalui salah satunya mengurangi PLTU secara bertahap patut diapresiasi. Pasca-Glasgow pemerintah dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengakselerasi penyusunan peta jalan dan strategi transisi energi di Indonesia secara komprehensif. Ketergantungan pada energi fosil tidak akan berakhir  kalau kita tidak secara cepat meningkatkan kapasitas energi terbarukan. Fokus kebijakannya bukan lagi batubara sebagai pilihan pertama (coal as the first option), tapi energi terbarukan yang harus menjadi pilihan utama. Jadi transisi energi perlu dirancang benar-benar, dengan prioritas kembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan sebanyak-banyaknya dan mengoptimalkan efisiensi energi,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menekankan bahwa keputusan untuk menghentikan secara bertahap bahan bakar fosil, terutama PLTU merupakan hal yang inevitable (tak terhindarkan), tidak saja dari perspektif penyelamatan iklim tapi juga dari sisi keekonomian teknologi.   

“Terutama dengan adanya inovasi dan harga teknologi energi terbarukan dan teknologi penyimpanan (storage) sudah lebih kompetitif terhadap energi fosil, pemanfaatan energi terbarukan untuk menjamin keandalan penyediaan energi untuk mencapai net-zero emission  menjadi semakin layak,” ungkap Fabby.

Hasil analisis IESR dari kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia memproyeksikan energi terbarukan yang dilengkapi dengan baterai penyimpanan akan meningkat signifikan pada tahun 2045. Pangsa baterai akan mencapai  52% dari total sistem penyimpanan, diikuti oleh hidrogen sebesar 37% dan sistem penyimpanan lainnya sekitar 11%. Pangsa permintaan listrik yang dicakup oleh penyimpanan energi meningkat secara signifikan dari sekitar 2% pada tahun 2030 menjadi 29% pada tahun 2045. Sedangkan untuk pengguna utama penyimpanan baterai akan berasal dari sistem skala utilitas, dan dalam skala yang lebih kecil dari kawasan komersial dan industri, serta sistem perumahan.

Mengenai pensiun dini 9,3 GW PLTU batubara dengan rincian 5.5 GW pensiun dini tanpa pergantian ke pembangkit listrik energi terbarukan dan 3.2 GW pensiun dini dengan pergantian pembangkit energi terbarukan, Deon Arinaldo, Manager Program Transformasi IESR, memandang ini merupakan langkah progresif untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia. Namun, menurut hitungan IESR, untuk mengejar target Persetujuan Paris dan menahan kenaikan temperatur rata-rata global dibawah 1,5 C,  ada sekitar 10,5 GW PLTU yang perlu dipensiunkan sebelum 2030. 

“Masih ada selisih 1,2 GW yang perlu dipensiunkan dan ini bisa ditargetkan mencakup PLTU di luar wilayah usaha PLN,” ungkap Deon.

Mengacu pada kajian Dekarbonisasi Energi Sistem Indonesia, setidaknya membutuhkan investasi energi terbarukan dan energi bersih lainnya sebesar USD 20-25 miliar per tahun hingga tahun 2030 dan semakin meningkat setelahnya untuk pembiayaan phase out batubara dan pengembangan energi terbarukan untuk mencapai bebas emisi pada 2050. Namun, semakin cepat phase out PLTU batubara akan dapat menghindarkan risiko kerugian finansial dari aset terdampar sektor PLTU batubara yang mencapai USD 26 miliar setelah tahun 2040.

Menyadari kebutuhan dana yang besar untuk kebutuhan penghentian PLTU batubara secara bertahap, Indonesia bekerja sama dengan ADB telah meluncurkan program Energy Transition Mechanism (ETM) diharapkan akan dapat mengumpulkan sekitar $2,5 hingga $3,5 miliar untuk menghentikan 2-3 pembangkit listrik tenaga batu bara per negara.

“Keberadaan ETM yang akan menyediakan platform pembiayaan diharapkan mampu memberi kejelasan sumber dana untuk mempensiunkan PLTU dan mendorong masuknya aliran investasi yang lebih besar di energi terbarukan. Hal ini penting agar Indonesia dapat merencanakan transformasi sistem energinya dengan optimal,” pungkas Deon.***

COP26: Pertunjukan “Sepi” dari Jokowi

Banyak pihak menantikan pidato Presiden Joko Widodo dalam gelaran COP26. Jokowi diharapkan mengumumkan komitmen penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim yang lebih ambisius serta menjabarkan langkah konkret menuju net-zero emission. Posisi strategis Indonesia sebagai pemimpin negara G20 pada 2022 seharusnya membuat Indonesia mengambil satu langkah di depan untuk memimpin upaya penurunan emisi bagi negara anggota G20.

Sayangnya, dalam pidatonya di sesi High Level Segment for Heads of State and Government COP26, Presiden Jokowi tidak mengumumkan target ambisi iklim yang lebih tinggi ataupun komitmen konkret dalam mendukung target Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celcius dan mencapai netral karbon pada pertengahan abad ini. Laporan IPCC AR6 telah menyatakan dengan gamblang bahwa waktu kita untuk menjaga kenaikan suhu bumi di level 1.5 derajat Celcius hanya tinggal kurang dari satu dekade. Kesempatan untuk menaikkan ambisi iklim Indonesia masih terbuka dan tentu harus diambil Pemerintah dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi menyelamatkan bumi dari kerusakan akibat perubahan iklim.  

Upaya penurunan emisi dan penanganan perubahan iklim harus dilihat sebagai tanggung jawab dan kesempatan untuk mentransformasi sistem ekonomi Indonesia dari yang karbon intensif menjadi sistem ekonomi rendah karbon yang lebih berkelanjutan. Menurut kajian Deep Decarbonization IESR, transformasi sistem energi akan menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di sektor energi terbarukan. Komitmen yang ambisius dengan menetapkan target penurunan ambisi yang lebih besar dari NDC saat ini serta membangun peta jalan transisi energi yang komprehensif akan mengirimkan sinyal baik bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan mendorong kekuatan ekonomi Indonesia menjadi lebih kompetitif secara global. 

Sebelumnya dalam KTT G20 yang berlangsung pada 30-31 Oktober 2021, pemimpin negara G20 sepakat untuk mencapai net-zero emission pada pertengahan abad ini. Namun komitmen ini belum juga disertai dengan target untuk phase-out PLTU batubara. Memegang peran strategis dalam kepemimpinan G20, Jokowi sebenarnya dapat mengambil kesempatan untuk mendorong negara G20 untuk menghentikan operasi PLTU batubara dan beralih ke energi terbarukan. Tentu saja, dalam hal ini, Indonesia perlu pula menerapkan kebijakan meninggalkan batubara sehingga dapat memberikan teladan bagi negara G20 lainnya. 

Selain itu, terdapat perbedaan antara aksi dan fakta lapangan dalam pidato Jokowi di COP 26. Ia   menyebutkan akan membangun PLTS terbesar di Asia Tenggara dan mendorong pemanfaatan energi terbarukan untuk mengurangi emisi di sektor energi. Namun, hingga COP 26 berlangsung dukungan kebijakan yang suportif untuk ekosistem PLTS seperti Revisi Permen 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) maupun Perpres tentang energi baru terbarukan belum diterbitkan secara resmi. . 

Aksi iklim yang lebih ambisius sangat dibutuhkan saat ini karena efek perubahan iklim semakin sering terjadi seperti La Nina yang kembali datang. Laporan Climate Transparency 2021 menyebutkan Perubahan pola La Nina dan El Nino akan berdampak pada permulaan dan durasi musim hujan di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada sektor pertanian seperti produksi beras. Analisis risiko global World Bank menempatkan Indonesia pada peringkat dua belas dari 35 negara yang menghadapi risiko kematian relatif tinggi akibat banjir dan panas ekstrem. Menempati peringkat kelima negara dengan jumlah populasi yang tinggal di area yang lebih rendah dari zona pesisir, Indonesia juga rentan terhadap kenaikan muka air laut.

Indonesia mampu berkontribusi signifikan untuk mengatasi perubahan iklim dan mencegah dampak yang lebih buruk akibat krisis iklim. Memanfaatkan  luasnya hutan sebagai penyerap karbon, memiliki potensi energi terbarukan yang mencapai 7879,4 GW, dan memainkan peran strategis di G20 Indonesia seharusnya dapat mencapai dan melampaui target NDC mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan sampai dengan 41% jika ada dukungan internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030.  Dengan demikian, Indonesia bukan hanya menyelamatkan lingkungan namun juga mentransformasi sistem ekonomi, sekaligus menunjukkan inovasi kepemimpinan pada anggota negara G20.

IESR Luncurkan Kajian Peta Potensi Teknis Energi Terbarukan di Indonesia

Jakarta, 25 Oktober 2021– Peta potensi teknis energi terbarukan yang komprehensif perlu disiapkan untuk mendukung transisi energi menuju  pemanfaatan 100 persen energi terbarukan dan mencapai Indonesia bebas emisi di tahun 2050.

Data potensi teknis energi terbarukan Indonesia masih merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 443,2 GW. Data ini pun belum dimutakhirkan sejak 2014. Selain itu, data RUEN juga jauh lebih rendah dari potensi energi terbarukan yang sesungguhnya. 

“Data potensi energi terbarukan yang tidak optimal akan mempengaruhi cara pandang, strategi serta pembuatan keputusan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Kesalahan ini akan membuat pemerintah dan pelaku usaha tidak optimal merencanakan transisi energi di Indonesia, dan formulasi kebijakan untuk mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan. Pemutakhiran data menjadi sangat penting dalam rangka merencanakan transisi energi Indonesia,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

IESR menggunakan GIS untuk memutakhirkan data potensi teknis surya, angin dan air. Mempertimbangkan masalah variabilitas dan sifat intermitensi ketiga jenis energi terbarukan tersebut, IESR juga mengkaji potensi biomassa serta penyimpanan daya hidro terpompa (Pumped Hydro Energy Storage, PHES). Hasilnya, Indonesia mempunyai total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomassa sebesar 7.879,43 GW dan 7.308,8 GWh untuk PHES.

“Biomassa dan PHES dapat digunakan sebagai sumber-sumber pelengkap untuk mengatasi masalah intermitensi dan variabilitas dari energi surya, angin, air. Hasil hitungan kami menunjukkan potensi biomassa mencapai 30,73 GW, namun efisiensinya hanya 20-35% sehingga memerlukan PHES,” ungkap Handriyanti Diah Puspitarini, Peneliti Senior dan Penulis Utama Kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potentials”.

Potensi besar ini jika dimanfaatkan secara optimal akan mampu memenuhi seluruh kebutuhan energi di Indonesia. Kajian Dekarbonisasi Sistem Energi di Indonesia yang dilakukan IESR dan telah dipublikasikan Mei lalu, memproyeksikan kebutuhan kapasitas energi mencapai 1600 GW pada 2050. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan listrik sebesar 1600 GW tersebut dari 100% energi terbarukan dan mencapai nir emisi pada 2050. Berdasarkan kajian tersebut, kontribusi utamanya berasal dari 1.492 GW PV surya (88% dari bauran energi primer), 40 GW tenaga air, dan 19 GW panas bumi dan didukung dengan kapasitas storage (penyimpanan) yang optimal.

Kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potential” juga memuat data potensi teknis surya, angin, air, biomassa dan PHES secara rinci di 34 provinsi di Indonesia. Data ini dapat digunakan oleh pemerintah pusat dan provinsi untuk lebih gencar mempromosikan dan mengembangkan proyek energi terbarukan yang terdesentralisasi sesuai potensi terbesarnya, namun saling terhubung antar pulau dan provinsi untuk menyeimbangkan pasokan energinya.

“Peta potensi energi terbarukan ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan mempertimbangkan biaya pembangunan hingga pengoperasian energi terbarukan, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas kepada para pemangku kepentingan tentang lokasi energi terbarukan yang optimal untuk dikembangkan. Selanjutnya, pengembangan energi terbarukan dapat diwujudkan dengan dukungan kebijakan dan regulasi yang tepat,” tambah Handriyanti.

Melalui kajian ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk pertama, memperbaiki data potensi energi terbarukan yang menjadi acuan perencanaan di sektor energi dan pembangunan, dan melakukan tinjauan secara berkala seiring dengan semakin matangnya teknologi energi terbarukan. Kedua, pemerintah maupun para ahli perlu melengkapi peta potensi teknis dengan analisis singkat mengenai intermitensi, variabilitas, dan kesiapan jaringan, termasuk prediksi kondisi di beberapa tahun ke depan.  Ketiga, pemerintah dan pemangku kepentingan harus mulai mempertimbangkan pengembangan sistem terdesentralisasi dan koneksi antar pulau sebagai cara untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan yang dapat diakses oleh masyarakat di seluruh pulau, terutama daerah terpencil. Keempat, pemerintah perlu memberi dukungan lebih pada berbagai inovasi teknologi energi terbarukan sehingga dapat membuka peluang pemanfaatan potensi energi terbarukan yang besar.

Tabel : Potensi Teknis Energi Terbarukan di Indonesia

Tipe

Potensi Teknis

Skenario 1

Skenario 2

PLTS (atap, ground mounted, dan terapung)

7,714.6 GW

6,749.3 GW

PLTA mikro dan kecil dengan kapasitas ≤ 10 MW

28.1 GW

6.3 GW

PLTB darat

106 GW at 50 m hub height (ketinggian rotor) and 88 GW at 100 m hub height

25 GW at 50 m hub height dan 19.8 GW at 100 m hub height

Biomasa (hanya dari limbah tanaman dan kayu)

30.73 GW

Penyimpanan daya hidro terpompa (Pumped Hydro Energy Storage, PHES)

7,308.8 GWh

Kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potential”  dapat diunduh pada tautan s.id/Beyond443GW

Siaran peluncuran kajian “Beyond 443 GW Indonesia’s infinite renewable energy potential” dapat disaksikan di Youtube IESR Indonesia pada tautan https://youtu.be/eS_PQD3gEIs