Mengukur Urgensi RUU EBT

Jakarta, 10 September 2021-Sejak bulan Januari 2021, DPR RI Komisi VII menyiapkan naskah akademis RUU EBT dan saat ini sedang dalam proses konsolidasi. RUU ini dianggap penting untuk memberikan kepastian hukum untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Meskipun, bahkan hingga saat ini beberapa pihak menyatakan keberatan atas substansi ataupun mempertanyakan urgensi dari UU ini. 

Perkembangan energi terbarukan di Indonesia sendiri selama lima tahun terakhir kurang menggembirakan. Rata-rata penambahan kapasitas terpasang per tahunnya hanya sekitar 400 MW. Padahal Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai 23% energi terbarukan pada bauran energi primer di tahun 2025. Saat ini sendiri pencapaian Indonesia masih di kisaran 11-12%. Dengan waktu yang semakin sempit, diperlukan berbagai strategi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Bekerjasama dengan Universitas Katolik Soegijapranata, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan webinar bertajuk “RUU Energi Baru dan Terbarukan: untuk Siapa?”. Webinar ini bertujuan untuk menggali perspektif berbagai bidang dan harapannya dapat merumuskan rekomendasi untuk RUU ini.

Dalam sambutan pembukanya, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengingatkan pentingnya publik tahu tentang Rancangan Undang-Undang EBT ini dan memiliki ruang dan kesempatan untuk memberikan pandangannya pada RUU ini. 

“Di tengah kondisi Indonesia saat ini yang mengejar net-zero emissions 2060 atau lebih cepat, pengembangan energi terbarukan menjadi salah satu kunci tercapainya target ini. Peran RUU EBT ini menjadi penting di sini,” jelas Fabby.

Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup Indonesia tahun 1999 – 2001, mengungkapkan bahwa permasalahan energi terbarukan yang progresnya lambat itu bukan masalah di peraturan, melainkan ada pada keseriusan pemerintah untuk bertransisi dari energi fosil ke energi bersih.

“Jadi jika pertanyaan besarnya adalah apakah kita memerlukan UU EBT ini? Jawabannya bisa jadi tidak. Karena kita sudah punya cukup banyak peraturan yang mengatur tentang energi secara rinci,” ucapnya.

Irine Handika, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, memiliki argumen senada dengan Sonny. Dari aspek legal ada beberapa hal yang menurutnya problematik dari RUU EBT ini. Salah satunya istilah ‘energi baru’ yang menurutnya akan membuat UU ini mati sebelum lahir. Hal ini karena parameter ‘energi baru’ sendiri tidak pasti. 

“Kami melihat saat ini permasalahan utama ada di level implementasi dari aturan-aturan tentang energi yang ada, jadi membuat undang-undang baru mungkin bukan solusi yang tepat. Kalaupun dianggap ada hal yang belum tercover di peraturan yang sudah ada, solusi yang bisa diambil adalah revisi atau amandemen dari peraturan atau UU yang saat ini sudah ada,” jelas Irine.

Di lain pihak, Kardaya Warnika, DEA, anggota DPR RI Komisi VII menjelaskan bahwa RUU EBT bertujuan untuk memberikan kepastian hukum untuk pengembangan EBT ke depan. Kelak UU ini diproyeksikan untuk menjadi pedoman pencapaian target EBT nasional.

“Kami melihat gelora transisi energi ini kan sangat besar, UU ini adalah satu cara negara hadir untuk memimpin proses transisi energi. Saya sepakat bahwa progres EBT jelek karena pemerintah kurang berpihak pada EBT, padahal negara harus hadir dan memimpin proses transisi energi. Maka harapannya UU ini akan memberi kepastian hukum selama-lamanya untuk pengembangan energi terbarukan,” tukas Kardaya.

Keberpihakan UU baru akan sungguh terlihat saat naskah UU jadi, namun kita perlu memastikan substansi dari RUU EBT ini tidak kontraproduktif dari cita-cita dekarbonisasi Indonesia untuk menjadi net-zero emission pada tahun 2060.

Dekarbonisasi Mendalam Sistem Energi Indonesia pada 2050 Butuh Dukungan Sosial Politik

Jakarta, 20 September 2021 Komitmen Indonesia yang tidak selaras dengan Persetujuan Paris dengan tidak menaikkan target mitigasi pada Nationally Determined Contribution (NDC) termutakhir dan hanya menargetkan netral karbon di tahun 2060 pada dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) diprediksi akan membawa dampak merugikan bagi lingkungan dan ekonomi Indonesia di masa depan. Indonesia termasuk 20 besar negara yang terdampak parah akibat dampak perubahan iklim berupa cuaca ekstrim. Ditambah lagi, di tengah tren perdagangan dunia yang semakin mengedepankan aspek green pada produk manufakturnya, industri Indonesia harus bersaing dengan negara di dunia yang telah lebih dulu mengembangkan teknologi energi terbarukan dan berbagai kebijakan untuk mengurangi emisi karbon selambatnya pada 2050. 

Transisi energi merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi kenaikan suhu bumi serta menjaga agar Indonesia dapat berkompetisi dalam perdagangan dunia namun perlu dukungan sosial politik yang jelas dan tepat untuk mengawal proses transisi energi. Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Dewan Penasihat Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) saat membuka perhelatan tahunan Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 yang diselenggarakan oleh ICEF dan Institute for Essential Services Reform (IESR).

“Bagi negara berkembang seperti Indonesia, penghentian pengembangan energi bahan bakar fosil sangat penting, karena jika tidak, akan terlambat dan terlalu mahal untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara,” tandasnya.

Menurutnya, pemerintah Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang penting di antaranya untuk segera menyusun rencana energi nasional yang terintegrasi, memitigasi dampak transisi energi terhadap industri bahan bakar fosil, menggunakan teknologi rendah karbon dalam industri transportasi, dan mempertimbangkan prinsip berkeadilan selama masa transisi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR pada kesempatan yang sama juga menekankan bahwa berdasarkan studi Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System yang dikeluarkan oleh IESR, Indonesia mampu untuk mencapai target Persetujuan Paris netral karbon pada 2050. Dekade ini menjadi penting, karena Indonesia harus segera mencapai puncak emisi di sektor energi pada tahun 2030 dan mendorong bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan mencapai 45%.

“Ini menyiratkan bahwa pengembangan dan investasi energi terbarukan harus ditingkatkan 7 hingga 8 kali lipat dari keadaan saat ini, termasuk efisiensi energi di sisi permintaan, dan mulai menghentikan pembangkit listrik termal untuk mengakomodasi energi terbarukan skala besar, dan modernisasi jaringan kita,” jelas Fabby.

Pada IETD 2021, Suharso Monoarfa, Menteri PPN/Kepala Bappenas dalam kata sambutannya di IETD 2021 mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia menyadari bahwa proses transisi energi perlu dilakukan untuk mengurangi emisi karbon. Ia mengungkapkan beberapa langkah yang akan ditempuh untuk dekarbonisasi sistem energi Indonesia adalah dengan mempercepat upaya peralihan ke energi terbarukan dan pengembangan energi baru terbarukan.

“Strategi lainnya ialah dengan program efisiensi energi dengan mempertimbangkan keselarasan antara pengaturan sumber dayanya, variabel kebijakan keuangan, dan peran seluruh sektor,” sambungnya.

Masih memproyeksikan netral karbon di tahun 2060, Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menambahkan bahwa berdasarkan skenario yang telah disusun oleh pemerintah bahwa kebutuhan listrik di tahun 2060 akan menjadi 1885 TWh. Untuk memenuhi kebutuhan listrik dan mencapai net zero emisi tersebut beberapa langkah kebijakan yang diambil diantaranya phasing out PLTU batubara, pengembangan energi baru terbarukan secara masif, pengembangan interkoneksi super grid Indonesia dan pelaksanaan konservasi energi. 

“Semua kebutuhan listrik tersebut akan sepenuhnya dipasok oleh pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan pada tahun 2060. Penambahan kapasitas variabel energi terbarukan seperti surya dan angin secara masif akan dilakukan mulai tahun  2031. Sementara pemanfaatan energi panas bumi dan  hidro akan juga dioptimalkan agar mampu menjaga keseimbangan sistem,” ungkap Arifin Tasrif.

Menegaskan pernyataan Arifin Tasrif, Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM mengemukakan salah satu tantangan untuk mewujudkan Indonesia bebas emisi pada 2060 adalah memobilisasi semua sektor tidak hanya sektor energi.

“Saat ini di sektor ketenagalistrikan sudah ada teknologinya, sementara di sektor non listrik masih  memerlukan pendalaman yang lebih khusus. Pengembangan energi terbarukan sekarang sudah mulai dikerjakan, seperti  proyek panas bumi,”jelasnya.

IETD 2021 yang berlangsung selama lima hari, dari 20-24 September. Acara ini bekerja sama dengan Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) sebuah proyek kemitraan dari beberapa negara di Asia Tenggara dan didanai oleh Pemerintah Federasi Jerman.  Info lebih lanjut dapat diakses di ietd.info.

Peran Media Dalam Perjalanan Transisi Energi Indonesia

Dalam perjalanan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid 19, Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan jalan untuk memilih jalur pemulihan ekonomi hijau, atau jalur pemulihan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi. Pandemi Covid 19 menghantam keras perekonomian Indonesia, nampak dari pertumbuhan ekonomi negatif yang kita alami. Namun di sisi lain, Covid 19 membuka kesempatan untuk mengubah arah pembangunan ekonomi menjadi lebih hijau dan lebih rendah emisi. Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change Assessment Report 6 (IPCC AR6), kita tidak lagi punya waktu lama untuk menjaga kenaikan suhu bumi dalam batas aman. Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia sekaligus penghasil emisi terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menurunkan emisinya terutama dari sektor energi. Dalam situasi pemulihan ekonomi pasca Covid19, Indonesia harus menemukan cara untuk keluar dari krisis ekonomi sekaligus mengatasi krisis iklim. Melakukan transisi energi menjadi suatu keharusan jika Indonesia bersungguh-sungguh ‘menghijaukan’ program pemulihan ekonominya.

 

Dalam mengawal proses pemulihan ekonomi Indonesia segala lapisan masyarakat perlu ikut mengawasi dan menyuarakan pendapatnya untuk memastikan jalan yang ditempuh pemerintah adalah jalan yang akan membawa Indonesia menuju pemulihan ekonomi rendah emisi. Penting untuk Indonesia sebagai suatu bangsa melakukan pemulihan ekonomi yang memperhatikan kondisi krisis iklim karena krisis yang menjadi sumber segala krisis di masa mendatang. Urgensi krisis iklim dan pemulihan ekonomi yang rendah emisi ini perlu disampaikan pada masyarakat, salah satunya melalui media massa, sehingga masyarakat dapat ‘menuntut’ pemerintah saat pemerintah tidak memilih jalan pemulihan ekonomi yang lebih hijau. 

 

Untuk membantu para awak media memberikan liputan yang komprehensif tentang isu transisi energi, program Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia, IESR menyelenggarakan pelatihan untuk para jurnalis. Pelatihan ini meliputi input materi mengenai energi dan transisi energi, serta bagaimana menuliskan liputan transisi energi supaya dapat lebih dipahami oleh masyarakat luas. Program ini akan berlangsung dalam sepuluh sesi yang berlangsung dari bulan September hingga Oktober 2021, dan diikuti oleh 20 wartawan pilihan dari berbagai daerah di Indonesia.

 

Dalam sambutannya, Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR menekankan pentingnya peran media dalam proses transisi energi. “Masyarakat harus dapat mendukung, mendorong, dan menyuarakan pendapatnya ke pembuat kebijakan. Disinilah  media berperan penting untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat supaya Indonesia membangun ekonominya lebih hijau,” tutur Fabby.

 

Dalam sesi pertama yang berlangsung pada Selasa, 7 September 2021, peserta dikenalkan dengan konsep energi dan transisi energi dipandu oleh tiga narasumber dari Agora Energiewende. 

 

Tharinya Supasa, Project Lead Energy Policy South East Asia Agora Energiewende, menekankan penting untuk seluruh lapisan masyarakat memahami pentingnya transisi energi.

 

“Karena energi sangat dekat dengan kita, mulai dari memasak, menonton TV hingga bekerja dengan komputer atau perangkat elektronik lainnya. Jadi apapun yang terjadi di bidang energi akan mempengaruhi kehidupan semua orang,” ungkap Tharinya.

Krisis Iklim Makin Serius, Transisi Energi Mesti Dipercepat

Jakarta, 27 April 2021 – Indonesia dapat menjaga bumi dari emisi karbon dengan mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan. Desakan agar pemerintah lebih yakin, berani dan ambisius untuk mengembangkan energi bersih disuarakan dalam Diskusi dan Peluncuran soft launching buku berjudul “Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia” yang ditulis oleh Tim Kompas. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Harian Kompas dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) (27/4).

Sutta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, mengatakan bahwa kebijakan editorial Harian Kompas mendukung percepatan energi terbarukan. Menurutnya, naiknya suhu bumi saat ini disebabkan penggunaan energi fosil sehingga akselerasi energi terbarukan akan mampu menjaga suhu bumi di tidak melebihi 2 derajat celcius.

“Bencana meteorologis di Indonesia selama satu tahun membawa kerugian sebesar 22,3 triliun rupiah. Saya iseng menghitung bila uang sebesar itu digunakan untuk membeli nasi padang, maka setara dengan 639 juta boks nasi padang. Sangat rugi sekali,”tegasnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menuturkan bahwa makin tahun, krisis iklim akan menjadi lebih serius.

“Kajian para ahli menyatakan bahwa kalau temperatur global naik lebih dari 1,5 derajat implikasinya sangat luas terhadap ekosistem, produksi pangan, dan ekonomi secara keseluruhan,”urainya.

Transisi energi menjadi pilihan yang harus diambil oleh para pembuat kebijakan untuk menurunkan emisi rumah kaca. Sistem energi fosil berkontribusi pada 75 persen GRK di seluruh dunia. Persetujuan Paris bahkan mengamanatkan seluruh negara di dunia untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai netral karbon di tahun 2050.

“Hal ini berarti, saat ini, target NDC kita tidak compatible dengan Persetujuan Paris. Kalau ingin compatible emisi, maka kita harus mencapai puncak (peak emission) pada 2030 dan harus turun drastis sampai 2050. Jika terlambat maka upaya yang dilakukan menjadi lebih berat dan akan lebih mahal,” ungkapnya.

IESR telah merampungkan sebuah pemodelan netral karbon Indonesia di tahun 2050 yang  menunjukan bahwa Indonesia mampu mencapai net zero pada tahun 2050. Bahkan dengan menggunakan 100% energi terbarukan, biaya sistem energi akan menjadi lebih murah dibandingkan dengan sistem yang berbasis energi fosil.

“Sektor listrik merupakan quick win karena pengembangan energi terbarukan di sektor ini bisa lebih cepat dibanding industri dan transportasi. Tentu saja, kebijakan transisi energi merupakan sesuatu yang membutuhkan banyak inovasi, perubahan regulasi, dan cara pandang kita melihat sumber daya energi yang kita miliki. Namun, jika kita bisa melakukan 100% energi terbarukan maka akan tercipta 3,2 juta lapangan kerja baru,” tegas Fabby.

Senada dengan Fabby, ketua tim penulis, Aris Prasetyo, menjabarkan bahwa pengembangan energi terbarukan dengan mendorong transisi energi adalah suatu yang pasti akan terjadi. Ia juga menceritakan tentang kemandirian energi yang ia temui saat kunjungannya ke Desa Kamanggih di Kecamatan Kahaungu Eti di Sumba Timur.

“Masyarakatnya sudah mandiri energi. Listriknya dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) bahkan kelebihannya dijual ke PLN. Untuk memasak, mereka menggunakan biogas dari kotoran ternak. Namun saat terjadi pandemi, ternyata pelanggan PLTMH tidak dapat diskon tarif listrik artinya sesuatu yang bersih dan mendukung program pemerintah dan adaptasi perubahan iklim tidak ada dukungan, sementara untuk program yang bergantung pada energi fosil mendapat insentif,” tuturnya.

Aris juga menambahkan bahwa ketimpangan kebijakan juga terjadi di skala industri, terutama dalam hal masalah tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan. Menurutnya, bahkan bagi pengembang sendiri, tarif yang ditawarkan PLN tidak ekonomis karena biaya produksinya lebih tinggi. Sedangkan untuk kebijakan tarif energi terbarukan, Perpresnya tidak kunjung keluar.

Menyoal mengenai kebijakan energi terbarukan, Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, bertekad untuk menyelesaikan UU mengenai energi terbarukan. Meskipun menurutnya banyak kepentingan yang tidak mendukung kemunculan UU ini.

“Padahal keberadaan UU ini akan menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan EBT,” imbuh Sugeng. 

Di lain pihak Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional memandang bahwa membangun ketahanan energi, pemerintah harus memastikan keamanan pasokan, mudah diakses, affordability kaitannya dengan kemampuan dan environmentally friendly.

“Jika kita berbicara keekonomian, maka energi terbarukan yang dapat dikembangkan lebih jauh adalah PLTS. PLTS sedang kita pompa besar-besaran,”ujarnya.

Menghadiri Musrembang Kabupaten Paser, IESR Beri Paparan Bertransisi Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau

Jakarta, 1 April 2021, Institute for Essential Services Reform (IESR) secara daring memberikan pemaparan tentang Transisi Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Kabupaten Paser, Kalimantan Timur dalam Musrenbang dan Konsultasi Publik RPJMD 2021-2026 Kabupaten Paser (1/4). Kesempatan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan IESR dengan Bappeda Kalimantan Timur dan Kabupaten Paser di tahun 2020.

Di hadapan Bupati Paser dan jajarannya, IESR mendorong pemerintah Paser untuk tidak lagi mengandalkan batubara baik di sektor energi maupun ekonomi, melainkan mulai melakukan diversifikasi ekonomi untuk peningkatan ekonomi Paser seperti pengembangan industri diantaranya industri pertanian (padi, jagung, bawang merah), industri pariwisata, dan industri energi terbarukan.

Transisi Energi Terjadi, Kontribusi Ekonomi dari Sektor Batubara Diprediksi Akan Turun

Selama ini, Paser menggantungkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada batubara. Hal ini menjadikan Paser rentan terhadap kontraksi ekonomi terutama karena kondisi permintaan batubara ekspor yang cenderung menurun, akibat adanya fenomena transisi energi yang diadopsi oleh negara tujuan ekspor batubara dari Kabupaten Paser. Terutama karena 80 persen produksi batubara Paser diperuntukkan untuk ekspor sehingga pertumbuhan ekonomi Paser sangat dipengaruhi oleh Harga Batubara Acuan (HBA).

“Negara tujuan ekspor batubara seperti  Cina, India, Korea, dan Jepang  sangat ambisius dalam melakukan transisi energi. Selain itu, banyak negara untuk mengatasi ancaman krisis iklim berpindah dari energi fosil ke energi terbarukan. Diperkirakan di tahun 2050 nanti permintaan batubara dunia akan turun 40-90 persen. Tentu penurunan permintaan ini akan terjadi secara bertahap dalam waktu dekat. Hal ini perlu diwaspadai oleh daerah yang selama ini menjadi penghasil batubara terbesar, seperti Kalimantan Timur,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fakta ini diakui pula oleh HM Aswin, Kepala Bappeda Kaltim, “Meski struktur PDRB Kaltim masih didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, harga batubara yang kian menurun dan rendahnya permintaan batubara dari negara tujuan ekspor tetap membuat pertumbuhan ekonomi dari sektor batubara minus 4, 58 di Kalimantan Timur.”

Kontribusi sektor batubara pada PDRB Paser sangat besar, lebih dari 70 persen, namun PDRB per kapita kabupaten Paser relatif stagnan dalam satu dekade terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa daya ungkit dari industri pertambangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sudah sangat terbatas. Untuk itu pengembangan sektor ekonomi baru perlu dilakukan.

“Produksi batubara relatif stagnan, namun kegiatan produksi ini 95 persennya dilakukan oleh satu perusahaan saja. Sehingga di tahun 2016 terjadi penurunan produksi sektor pertambangan, khususnya batubara, menyebabkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Paser negatif tahun 2016 (Diskominfo Paser, 2019),” imbuh Fabby.

Hal senada disampaikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Paser, Hendra Wahyudi, dalam kesempatan yang sama saat menyampaikan pokok-pokok pikiran DPRD dalam rangka penyusunan RKPD Kabupaten Paser  tahun 2022 dan Konsultasi Publik RPJMD 2021-2026. Ia  menegaskan bahwa kontraksi ekonomi semasa COVID-19 sangat terasa di Paser dengan pertumbuhan ekonomi minus 2,77 di tahun 2020.

“Kami menyarankan untuk mengambil langkah strategis dengan memaksimalkan sektor ekonomi non tambang seperti industri pertanian, pengolahan dan perdagangan sehingga tidak terlalu bergantung pada industri pertambangan dan penggalian,”ungkapnya.

Industri Pertanian Paser Termasuk Dalam Fokus Pembangunan Hijau

Analisis IESR menunjukkan  bahwa sektor pertanian, perikanan dan perburuan menjadi penyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan pertambangan yang hanya menduduki peringkat keempat. Selain itu, sektor pertanian ini juga tidak terlalu  mengalami fluktuasi ekonomi yang signifikan bila dibandingkan dengan  sektor pertambangan.

Arahan Bappeda Kalimantan Timur yang memposisikan Paser sebagai sentra pertanian dan pangan Ibukota Negara Baru (IKN) terutama komoditas padi, bawang merah, dan cabai membuat Paser perlu  meningkatkan infrastruktur yang menunjang industri pertanian dan melakukan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Peningkatan produktivitas lahan padi dapat pula meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Hitungan peningkatan produktivitas lahan menjadi 7 ton/ha dan asumsi jumlah lahan tetap, maka Kabupaten Paser dapat menyerap sekitar 9.479 pekerja. Angka ini setara dengan jumlah pekerja di sektor pertambangan sehingga dapat  menyerap tenaga kerja terdampak akibat penurunan aktivitas pertambangan.

Tidak hanya itu, melalui hasil perhitungan IESR, Paser juga memiliki potensi energi terbarukan yang  sangat besar, dengan berturut produksi teknis PLTS sebesar hampir 81 ribu GWh/tahun, energi air  721 GWh/tahun, dan pumped hydro storage (PHS), 3,5 ribu GWh/tahun.  Pengembangan sektor listrik berbasis energi terbarukan akan mampu untuk  menyuplai listrik IKN dan daerah lain di sekitar Paser.

IESR juga mengungkapkan bahwa memaksimalkan potensi sektor pariwisata di Paser akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Paser dapat menaikkan anggaran sektor pariwisata untuk menarik lebih banyak jumlah wisatawan. Selain itu  perhatian terhadap akses infrastruktur dan akses jalan menjadi penting untuk mendorong berkembangnya sektor pariwisata.

“Kabupaten Paser mempunyai dana CSR sebesar 58 miliar di tahun 2020. Dana ini dapat dimanfaatkan untuk untuk pengembangan UMKM dan SDM lebih maksimal lagi,” ulas Fabby.

Paparan Direktur Eksekutif IESR

Menurutnya, proses transformasi ekonomi membutuhkan perencanaan yang matang. Pemerintah Paser harus mempersiapkan kajian atau studi yang lebih komprehensif terhadap dampak transisi energi pada industri batubara, ekonomi lokal, lingkungan dan kesehatan sehingga Paser mampu membuat peta jalan transformasi ekonomi Paser. Hal lain yang Paser perlu persiapkan dan lakukan pendalaman adalah diversifikasi ekonomi, mekanisme pendanaan dan kebijakan pendukungnya. 

Bupati Paser dalam sambutannya menyampaikan pula bahwa pihaknya akan memprioritaskan perhatiannya di bidang pertanian.

“Saya berharap dinas pertanian bisa menyusun rencana kerja untuk meningkatkan program pertanian yang ada di Paser. Kita punya lahan luas yang terdapat di 139 desa. Mengaktifkan lahan ini dengan teknologi pertanian yang modern akan membuka peluang kerja bagi pemuda. Pertanian akan menjadi andalan selama kami menjabat,” janji Bupati Paser, Fahmi Fadli.

MoU Pemerintah Daerah Jambi dan IESR

Tandatangani MoU dengan IESR, Pemerintah Jambi Serius Dorong Transisi Energi dan Capai Target Bauran Energi Terbarukan Daerah 2025

Jambi mempunyai target bauran energi terbarukan daerah sebesar 24 persen di tahun 2025 dan 40 persen di tahun 2050. Target ini sudah ditetapkan dalam Perda No. 13 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019-2050. Jumlah target bauran energi terbarukan ini memang jauh lebih besar dari pada target bauran energi terbarukan nasional yang masing-masing 23 persen dan 31 persen di tahun 2025 dan 2050. Demi mencapai target RUED, pemerintah Jambi membangun kerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), untuk mengatasi tantangan diantaranya pemahaman mengenai transisi energi yang belum merata. Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan membangun infrastruktur yang mendukung juga menjadi pekerjaan rumah ESDM Jambi dalam mengembangan energi terbarukan.

“Padahal potensi energi terbarukan di Jambi cukup besar. Hanya saja, belum menjadi prioritas, sehingga harus dimulai dengan pemahaman yang benar mengenai transisi energi. Untuk itulah kami bekerja sama dengan IESR sehingga dapat memulai arah yang benar untuk hasil yang maksimal,” tandas Kepala Dinas ESDM Jambi, Harry Andria dalam acara Penandatanganan Kesepakatan Kerja Sama Dinas ESDM Provinsi Jambi dan IESR (22/3).

Menurutnya, pemahaman transisi energi yang benar di tingkat eksekutif dan legislatif daerah akan mempermudah dalam implementasi program untuk pencapaian target energi terbarukan daerah. 

Senada, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama juga menyatakan bahwa transisi energi telah menjadi fenomena yang terus diadaptasi oleh banyak negara di dunia. Hal ini dipicu oleh komitmen negara di dunia dalam Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi kurang dari 2°C .

“Transisi energi merupakan hal yang tidak ditawar. Akselerasi energi terbarukan membutuhkan komitmen seluruh stakeholder, baik di pimpinan daerah, pembuat kebijakan dan masyarakat yang akan terdampak. Kerja sama yang instrumental dibutuhkan untuk mencapai target RUED serta membangun konsensus bersama untuk pemanfaatan energi terbarukan,” tegasnya.

Fabby memandang pula bahwa implementasi transisi energi dan pencapaian target energi terbarukan di Jambi akan menjadi daya tarik Jambi ke depannya. Jambi akan terus berkembang dari segi ekonomi, baik di sektor sektor industri, bisnis, pertanian, perikanan, dan pariwisata yang membutuhkan banyak energi, salah satunya dengan pemanfaatan energi terbarukan.

IESR akan memberikan bantuan teknis bagi Pemerintah Jambi dalam hal peningkatan pemanfaatan potensi energi terbarukan, konservasi energi, dan transisi energi. Acara ditutup dengan melakukan penandatanganan dokumen Perjanjian Kerja Sama antara Dinas ESDM Jambi dan IESR secara daring.

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Sikap politik Jokowi dan tantangan pengembangan energi terbarukan di 2020

Fabby Tumiwa
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR)

Selamat Tahun Baru 2020! Apa harapan anda di 2020? Kami di IESR berharap di tahun ini energi terbarukan dapat bangkit kembali setelah mati suri selama 3 tahun terakhir. Mengapa kebangkitan energi terbarukan menjadi harapan kami? 

Pertama, membangun energi terbarukan adalah amanat UU No. 30/2007 tentang Energi, yang kemudian diturunkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Tujuannya adalah menjamin kemandirian dan ketahanan energi nasional. Pasal 9 butir (f) dari PP tersebut mentargetkan bauran energi baru dan terbarukan mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050. Ini adalah kebijakan dan target pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Kedua, peningkatan bauran energi terbarukan dan pemanfaatannya dapat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik. Hal ini sesuai dengan komitmen Indonesia yang meratifikasi Paris Agreement dengan UU No. 16/2016, yang juga memuat komitmen Indonesia menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan usaha sendiri dan tambahan 12%, menjadi 41% dengan dukungan internasional. Sektor kelistrikan adalah salah satu kontributor utama emisi GRK. Berdasarkan kajian KESDM dan UNDP (2018), emisi GRK sub-sektor pembangkitan listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017 dan diperkirakan hingga 2030 akan tumbuh sebesar 10,1% per tahun. Dengan demikian pada 2030, emisi GRK diproyeksikan mencapai 699 MtCO2e (BAU). Dengan penetrasi energi terbarukan yang lebih tinggi sebesar 20% maka emisi GRK dapat turun 36% dari skenario business as usual. Dengan itu faktor emisi listrik nasional turun dari 1,005 tCO2e/MWh menjadi 0,729 tCO2e/MWh. Oleh karena itu adanya peningkatan energi terbarukan yang signifikan menunjukan Indonesia turut berperan mengurangi risiko iklim global yang akan mengancam kehidupan generasi sekarang dan generasi masa depan. 

Ketiga, dengan memperbesar pemanfaatan energi terbarukan, biaya pasokan energi jangka panjang akan semakin rendah dan terjangkau. Berbeda dengan pembangkitan energi fosil yang cenderung naik dari tahun ke tahun karena harga bahan bakar, pengaruh nilai tukar dan inflasi, biaya O&M pembangkit energi terbarukan khususnya surya, angin dan hidro relatif rendah dan kenaikan terjaga. Capital expenditure (capex) pembangkit PLTS, PLT Angin skala besar juga cenderung turun. Oleh karena itu memperbesar porsi energi terbarukan dalam pasokan tenaga listrik dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pembangkitan listrik.   

Pengembangan pembangkit energi terbarukan selama lima tahun terakhir nyaris mandek.

Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) 2020 yang diluncurkan IESR bulan lalu mencatat penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan 2015-2019 hanya mencapai 1,6 GW, lebih rendah dari periode 2010-2014 yang mencapai 1,8 GW. Ini kabar yang kurang baik karena dibandingkan target kebijakan, penambahan kapasitas ini hanya 10-15% dari yang seharusnya terbangun sesuai target RPJMN 2015-2019.  

Praktis sejak berlakunya Permen ESDM No. 12/2017, yang kemudian digantikan dengan Permen ESDM No. 50/2017, pengembangan energi terbarukan mandek. Dari 75 PPA yang ditandatangani sepanjang 2017-2018, terdapat 5 proyek yang diterminasi dan 27 proyek lainnya belum memperoleh pendanaan. Sebagian besar proyek yang berjalan, tidak menggunakan mekanisme harga yang diatur di dua Permen tersebut dan kemungkinan bisa berjalan karena menggunakan pendanaan sendiri atau instrumen pembiayaan korporat. 

Yang lebih parah lagi adalah Permen No. 50/2017 telah menyebabkan para pelaku usaha swasta asing dan domestik kehilangan kepercayaan terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia. Para investor yang datang ke Indonesia pada 2015 dan 2016 karena melihat adanya peluang investasi di bidang energi terbarukan, secara perlahan angkat kaki dan mencoba peruntungan di negara tetangga, Vietnam, yang pada 2017 dan 2018 justru mengeluarkan kebijakan feed in tariff (FiT) untuk pembangkit listrik surya dan angin. Kebijakan ini menjadi insentif bagi para investor yang berbondong-bondong memanfaatkannya.  

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kedua, ada harapan pengembangan energi terbarukan. Sejauh ini ada sejumlah sinyal positif yang mengindikasikan pemerintah memiliki keinginan yang kuat mendorong energi terbarukan Indikasinya saat memperkenalkan Menteri ESDM yang baru pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo memerintahkannya untuk mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Selain itu, pada saat menghadiri Indonesia Mining Award pada bulan November tahun lalu, Presiden menyatakan bahwa dunia sudah bergerak menuju pada pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ketimbang menggunakan batubara

Terlepas dari pernyataan dan sikap politik tersebut, Presiden Joko Widodo sesungguhnya menghadapi tantangan untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 8% menjadi 23% pada 2025 seperti yang ditargetkan dalam Perpres No. 22/2017. Ini artinya, dalam lima tahun mendatang akan jadi ajang pembuktian apakah Presiden Joko Widodo mampu membangun pembangkit energi terbarukan dari 8 GW menjadi 30-35 GW dan pemanfaatan BBN untuk mengganti BBM.

Apa saja tantangan yang dihadapi Presiden Joko Widodo dan kabinetnya dan apa yang perlu dilakukan?

Pertama, kebutuhan me-mobilisasi investasi publik dan swasta.  Diperlukan investasi $70-90 miliar (~ Rp. 1000 triliun) untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan dan infrastruktur pendukungnya. Hanya 10%-15% dari kebutuhan investasi ini yang dapat dipenuhi oleh BUMN dan anggaran publik. Sisanya harus berasal dari swasta/investor asing dan domestik. Untuk menarik investasi, khususnya investasi asing, pemerintah harus meningkatkan kondisi iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan yang transparan, terukur, dan pasti. Kebijakan tidak transparan dan regulasi yang tidak konsisten dengan kebijakan ataupun target kebijakan menjadi penyebab investor dan perbankan menganggap investasi di sektor energi terbarukan beresiko dan tidak menarik. Regulasi Indonesia harus dapat memberikan insentif yang lebih baik, risiko yang lebih rendah dan kepastian investasi jangka panjang yang lebih baik.  

Kedua, daya tarik investasi energi terbarukan Indonesia yang rendah. Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) yang dikeluarkan oleh EY, secara konsisten menempatkan Indonesia pada peringkat bawah dari 40 negara yang dikaji. Pada RECAI edisi Oktober 2019, Indonesia berada di peringkat 38. Tiga negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia. 

Selain itu penilaian atas 5 indikator dan 11 sub-parameter atas daya tarik investasi yang dilakukan IESR yang dilaporkan dalam ICEO 2020 menghasilkan penilaian 6 dari 11 sub-parameter dianggap tidak memadai (insufficient). Penilaian menunjukan pemerintah harus bekerja keras dalam 1-2 tahun mendatang, tidak saja membuat kebijakan yang tepat dan regulasi yang menarik dan terukur, tapi juga melakukan reformasi fundamental yang berkaitan dengan reformasi struktur industri kelistrikan, mandatory pemanfaatan energi terbarukan yang agresif, dukungan pembiayaan dari lembaga finansial lokal dan penyiapan instrumen mitigasi risiko, serta pelaksanaan kebijakan TKDN yang rasional dan instrumen untuk memfasilitasi transfer teknologi serta peningkatan kemampuan EPC domestik. 

Ketiga, bertambahnya kapasitas pembangkit thermal, khususnya PLTU. Pada 2019-2028, direncanakan dibangun 27 GW PLTU batubara dan mulut tambang, dimana 22 GW dibangun pada 2019-2025. Dengan perkembangan laju permintaan listrik PLN saat ini yang berada di bawah 5%, jauh di bawah proyeksi laju permintaan listrik dalam RUPTL, maka diperlukan koreksi terhadap rencana pembangunan pembangkit thermal untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan listrik 5 tahun terakhir, kami memproyeksikan pertumbuhan permintaan listrik berada di kisaran ~5% per tahun dalam lima tahun mendatang sehingga tambahan pembangkit baru sekitar 4 GW per tahun (rata-rata). Oleh karena itu untuk mengakomodasi pembangkit energi terbarukan hingga mencapai 23-30% dari total kapasitas pembangkit PLN pada 2025, sekitar 3-4,5 GW pembangkit energi terbarukan harus masuk di sistem PLN setiap tahunnya. Ini berarti setelah 2020, pembangunan PLTU batubara harus mulai dikurangi dibarengi dengan phasing out pembangkit-pembangkit thermal tua dan yang efisiensinya rendah. Tanpa melakukan ini, PLN akan kesulitan memasukan tambahan 20-22 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. 

Mengubah rencana pembangunan pembangkit listrik terutama menunda atau membatalkan PLTU batubara tentunya bukan keputusan yang mudah bagi Menteri ESDM yang akan memutuskan RUPTL 2020-2029 dalam dua bulan mendatang. Perubahan ini dapat mengguncang berbagai macam kepentingan, terutama pemilik tambang dan pembangkit batubara yang berharap dapat mengoptimalkan aset tambang yang mereka miliki. Tapi disinilah kualitas kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan menteri-menterinya akan diuji. Menarik tentunya memperhatikan langkah dan strategi pemerintah (jika ada) dalam hal merumuskan kebijakan dan instrumen regulasi untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan politik dan bisnis dalam rangka memajukan energi terbarukan di Indonesia dan memastikan Indonesia berada di jalur transisi energi yang berkelanjutan. 

Jakarta, 2 Januari 2020

 

Indonesia Clean Energy Forum (ICEF): Mendorong Transformasi Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia Menjadi Lebih Bersih dan Berkelanjutan

Institute for Essential Services Reform (IESR), meluncurkan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) yang diharapkan dapat mendorong transformasi sektor energi, khususnya sektor ketenagalistrikan di Indonesia menuju sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Pada 2015, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% dari business as usual (BAU) di tahun 2030, dan meratifikasi Paris Agreement pada 2016. Untuk mencapai target ini, salah satu upayanya melalui pemanfaatan energi terbarukan yang lebih besar di sektor kelistrikan, dan mengurangi pembakaran batubara.

Melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah telah menetapkan target untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dari 7% saat ini menjadi 23% di tahun 2025 dan 2030, yang setara dengan 45 GW kapasitas pembangkit energi terbarukan. Sejauh ini perkembangan energi terbarukan masih terbilang lambat, dengan kapasitas terpasang saat ini baru sebesar 9 GW atau 14% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik, dan baru 20% dari total kapasitas yang menjadi target RUEN.

Sementara itu, penyediaan tenaga listrik di seluruh dunia sedang mengalami transformasi yang besar, dengan semakin terjangkau dan kompetitifnya harga listrik dari variable renewable energy (VRE) seperti angin dan surya dibandingkan dengan listrik dari pembangkit fosil, semakin berkembangnya teknologi pembangkit terdistribusi, dan transformasi digital di sektor kelistrikan melahirkan trend 4D: dekarbonisasi, desentralisasi dan digitalisasi serta demokratisasi sistem penyediaan listrik. Kecenderungan ini dapat menjadi faktor disruptif bagi sistem kelistrikan saat ini di Indonesia yang masih bersifat monopolistik, tersentralisasi, dan mengandalkan pembangkit berbahan bakar fosil. Potensi disrupsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya aset-aset terdampar (stranded assets) dari infrastruktur pembangkit dan transmisi serta distribusi (T&D) yang dibangun saat ini dan di masa depan, yang membawa konsekuensi sosial, ekonomi dan finansial.

Mencermati perkembangan yang terjadi, sejak 2017 lalu, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama dengan Prof. Kuntoro Mangkusubroto, yang pernah menjabat sebagai menteri di sejumlah kabinet dan menjadi pendiri dan Ketua Dewan Sekolah SBM ITB, menginisiasi terbentuknya Indonesia Clean Energy Forum (ICEF).

ICEF merupakan forum multi-pihak yang beranggotakan sekitar 25 orang yang merupakan eminent person di sektor energi di Indonesia dari latar belakang birokrat, akademisi, pebisnis, pimpinan BUMN energi, dan organisasi non-pemerintah. ICEF diperkenalkan untuk pertama kalinya kepada publik di hari ini. Prof. Kuntoro Mangkusubroto menjadi Ketua Dewan Pengarah (Advisory Council), adapun IESR didapuk menjadi sekretariat ICEF.

ICEF dimaksudkan sebagai wadah untuk berbagi dan tukar menukar gagasan yang objektif dan inovatif tentang transformasi sektor kelistrikan, dan tindakan adaptasi untuk menghadapi potensi disrupsi yang akan terjadi di masa depan. Gagasan dan pendekatan yang dibahas dalam forum ini diharapkan dapat mendukung para pengambil kebijakan dalam menyusun kebijakan dan kerangka regulasi yang memadai, serta menyusun strategi sektor kelistrikan yang berkembang seiring dengan perubahan teknologi yang cepat sehingga dapat mengakselerasi pemanfaatan energi terbarukan dan menghindari risiko stranded asset di masa depan. Isu-isu yang dibahas di ICEF berdasarkan pada hasil penelitian dan analisa data yang kokoh, yang dilakukan oleh IESR, maupun mitra-mitra pengetahuan lainnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menjelaskan melalui proses yang terjadi di dalam ICEF, para anggotanya yang memiliki pengaruh dan peran dalam hal perencanaan dan proses penyusunan kebijakan, investasi, dan strategi korporasi diharapkan dapat mengimplementasikan gagasan-gagasan dan rekomendasi yang relevan. Mereka juga diharapkan dapat menjadi katalisator terhadap persemaian gagasan transisi atau transformasi energi di Indonesia.

Peluncuran ICEF direncanakan pada November 2018, dimana pada saat tersebut juga akan dilakukan simposium yang membahas isu-isu mutakhir terkait dengan trend 4D yang terjadi di sektor energi, implikasi terhadap kebijakan, regulasi dan program di tingkat sektoral, dan praktek-praktek terbaik dari sejumlah negara yang relevan dengan situasi Indonesia.

###

Nara hubung

Jannata Giwangkara (Egi)

egi@iesr.or.id

0812 8487 3488