Upaya Berkelanjutan Percepatan Energi Surya di Indonesia

press release

Jakarta, 26 Juli 2023 – Indonesia Solar Summit 2023 diselenggarakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta bersama lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR), menegaskan komitmen untuk mempercepat penyebaran tenaga surya di tanah air. Pemanfaatan energi surya secara signifikan mendorong Indonesia mencapai jalur nol emisi karbon (net zero emission,NZE), dengan penggunaan energi surya diproyeksikan sebesar 61% dari total sumber listrik pada tahun 2060. Sebuah studi terpisah sebelumnya oleh IESR menjelaskan, energi surya menjadi tulang punggung sistem energi nol emisi pada tahun 2050.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, Arifin Tasrif memaparkan,  pengembangan energi surya menjadi strategi penting untuk mencapai 23% dari bauran energi terbarukan dalam dua tahun ke depan sebelum 2025. Namun, ia juga menekankan pentingnya memiliki akses ke teknologi dan pendanaan untuk berhasil memanfaatkan energi surya dan memenuhi target bauran energi terbarukan. Menurutnya, investasi energi surya akan mudah mengalir ke Indonesia jika permintaan di dalam negeri cukup signifikan.

“Terdapat dua isu penting yang menjadi dukungan dalam percepatan energi surya yaitu ketersediaan teknologi yang harus didukung industri dan ketersediaan pendanaan internasional serta dalam negeri yang perlu dimobilisasi. Target bauran energi terbarukan mencapai 23% pada 2025, namun demikian, saat ini baru mencapai 12,5%, waktunya tinggal 2 tahun lagi untuk mengejar target tersebut. Kita juga ada target menurunkan emisi gas rumah kaca sekitar 290 juta ton di 2030 yang sudah ditingkatkan menjadi 358 juta ton. Untuk itu, beragam upaya dilakukan untuk pengurangan emisi antara lain melalui program dedieselisasi dan konversi kendaraan motor berbahan bakar fosil menjadi motor listrik,” jelas Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia.

Kemajuan adopsi energi surya di Indonesia masih lambat. Realisasi kapasitas terpasang PLTS pada tahun 2022 sebesar 271,6 MW atau jauh di bawah rencana sebesar 893,3 MW, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), KESDM. Ada beberapa faktor yang menghambat pengadopsian energi matahari secara luas, termasuk masalah kepemilikan tanah, kurangnya pengalaman lokal dan tarif yang tidak menarik. Padahal,  potensi teknis energi surya mencapai 3.295 GWp, untuk itu percepatan penggunaan energi surya menjadi penting untuk mencapai target energi terbarukan dan NZE. Dalam jangka pendek, energi surya dibutuhkan sekitar 18 GW untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, dengan nilai investasi sebesar USD 14,1 miliar, berdasarkan studi BloombergNEF dan IESR

Dengan pengumuman dukungan Just Energy Transition Partnership (JETP) tahun lalu pada KTT G20 2022 di Bali, Indonesia – rencana investasi dan kebijakan yang komprehensif saat ini sedang disusun melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait, yang mencakup penghentian awal batu bara, langkah-langkah transisi yang adil, dan percepatan pengembangan energi terbarukan. Kemitraan senilai USD 20 miliar ini bertujuan untuk mencapai puncak emisi sektor ketenagalistrikan Indonesia pada tahun 2030, dan energi surya telah menjadi bagian penting dari perencanaan tersebut karena keuntungan tekno-ekonomi dan potensi pengurangan emisi gas rumah kaca yang tinggi. Versi pertama dari rencana investasi akan diluncurkan pada Agustus 2023.

Rachmat Kaimuddin, Deputi Koordinator Bidang Transportasi dan Infrastruktur Kemenko Marves menekankan, untuk membangun industrialisasi energi surya, Indonesia perlu menyiapkan permintaan terlebih dahulu.

“Berkaca dari hal tersebut, kita mengintervensi dalam negeri, misalnya melalui JETP, bagaimana kita meminimalisir ketergantungan terhadap energi fosil, bisa dalam beberapa bentuk seperti mengurangi output pembangkit listrik berbasis batubara dan menciptakan permintaan baru,” jelasnya.

Ia juga menegaskan, kerja sama Indonesia dengan Singapura untuk listrik hijau mensyaratkan modul surya dan baterai harus diproduksi di Indonesia, sehingga permintaan yang muncul menjadi pemicu terbentuknya industri PLTS di Indonesia.

“Kita tidak ingin ke depan hanya impor. Kita berharap industri dalam negeri sudah terbentuk selama kita dalam proses transisi energi,” ujarnya.

Antha Williams, yang memimpin Program Lingkungan, Bloomberg Philanthropies menuturkan, untuk mengembangkan industri surya rumahan menjadi komponen kunci untuk memajukan transisi Indonesia menuju energi yang bersih, terjangkau, dan andal. 

“Dengan memupuk kemitraan internasional untuk memobilisasi modal dan meningkatkan kapasitas produksi tenaga surya dalam negeri, Indonesia memiliki potensi untuk mewujudkan tujuan jalur energi bersih-nol melalui penerapan proyek energi bersih secara cepat. Bloomberg Philanthropies menyambut baik kesempatan untuk mendukung tujuan Indonesia menjadi pemimpin dalam pengembangan energi surya,” terang Antha. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa memaparkan,  selama dua tahun terakhir, pasar baru telah muncul, memanfaatkan energi surya tidak hanya untuk menjual listrik tetapi juga untuk menghasilkan produk bernilai tambah baru, seperti hidrogen hijau dan amonia. Berdasarkan data IESR, saat ini terdapat 10 proyek hidrogen hijau dan amonia yang telah dirintis sejak tahun lalu, dengan tujuan memanfaatkan tenaga surya sebagai sumber listrik utama. Proyek-proyek tersebut saat ini sedang dalam tahap studi dan diharapkan dapat terealisasi dalam 2-3 tahun ke depan. Fabby juga menegaskan, pengalaman dari berbagai negara, termasuk beberapa negara berkembang, menunjukkan bahwa membangun pembangkit listrik tenaga surya skala Gigawatt dalam waktu satu tahun merupakan prestasi yang dapat dicapai.

Fabby menyoroti tiga faktor pendukung penting untuk mendorong pengembangan solar PV, “Pertama, dibutuhkan kemauan politik dan kepemimpinan yang kuat dan aktif dari pemerintah, serta penetapan kebijakan dan regulasi yang transparan dan berkelanjutan. Kedua, perlunya pengembangan ekosistem terpadu, yang meliputi penentuan standar kualitas dan jaminan modul surya, memastikan ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan terlatih. Terakhir, sangat penting untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur PV surya yang terintegrasi dan kompetitif.”

Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 menghadirkan kesempatan untuk melibatkan masyarakat dan meningkatkan kesadaran tentang manfaat adopsi energi surya. Kampanye penjangkauan publik, program pendidikan, dan inisiatif berbasis masyarakat dapat menginformasikan masyarakat tentang keuntungan lingkungan, manfaat ekonomi, dan kemandirian energi yang datang dengan penggunaan energi surya. Membangun dukungan dan pemahaman publik dapat memfasilitasi adopsi teknologi energi surya yang lebih luas. Selain itu, Keketuaan Indonesia dapat menjadi preseden adopsi energi surya di ASEAN melalui penyelarasan kebijakan, kerja sama regional, promosi investasi, dan inovasi. Keketuaan Indonesia di ASEAN menjadi waktu yang tepat untuk mempromosikan dan mendorong industri tenaga surya domestik dan rantai pasokan secara paralel dengan penerapan cepat proyek tenaga surya.

 

Privilese yang Tidak Seharusnya Ada

Malam itu, saya tengah tertidur. Tiba-tiba, seekor makhluk berbulu melompat ke ujung tempat tidur saya. Saya hampir berteriak – namun ketika mata saya sudah terbiasa dengan kegelapan di ruangan, saya tersadar bahwa makhluk tersebut adalah kucing gendut milik si empunya rumah. 

Itu adalah pengalaman saya menginap di Kepayang, sebuah desa di Kecamatan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Listrik desa dibangkitkan dari penggunaan generator diesel kecil, dan terbatas pemakaiannya dari pukul 6 sore sampai 10 malam untuk menghemat bahan bakar. Maka, selepas jam 10 semua rumah menjadi gelap; walau beberapa rumah memiliki generator mereka masing-masing, mereka jarang menggunakannya sehabis jam 10.

Tanpa jaringan listrik? Saya mencapai desa ini melalui jalur sungai – menggunakan kapal mesin kecil yang berangkat dari sungai Musi di Palembang, ibu kota provinsi. Perjalanan tersebut memakan waktu tiga jam, dengan pemberhentian singkat di pom Pertamina terapung di tengah perjalanan. Sejujurnya, saya sempat takut, namun rute tadi memakan waktu tersingkat – transportasi darat akan lebih panjang dan melelahkan. 

Penduduk desa tentunya mengharapkan akses energi yang lebih baik, bersih, dan terjangkau – dan ketika jaringan listrik yang luas belum akan datang ke desa dalam waktu dekat, energi terbarukan lokal dapat memberikan mereka pilihan pembangkitan listrik. Namun, mereka tidak tahu dari mana harus memulai. 

Saya bisa menceritakan lebih banyak lagi (dan saya senang menceritakannya), namun saya akan langsung ke poinnya: akses energi, terutama yang berkelanjutan, masih  menjadi tantangan besar di Indonesia. Dan ketika akses saja masih menjadi kemewahan, bisa disebut apa kemampuan seseorang untuk memilih sumber energinya? Utopia? 

*****

Di antara semua privilese (hak istimewa) yang saya punya dan pernah saya rasakan, memiliki akses energi adalah salah satu hal yang saya anggap biasa. Sebagai salah satu kebutuhan mendasar, listrik seharusnya tidak menjadi hak istimewa – namun ketika saya mendapat kesempatan untuk mengerti Indonesia (dalam konteks ketimpangan) dengan mendatangi beberapa desa terpencil di Indonesia, termasuk kepulauan Natuna (Anda tahu itu di mana?); secara pandangan helikopter atau angka yang menunjukkan akses listrik keseluruhan belum bisa menjadi representasi kenyataannya.

Di tahun 2019, IESR meneliti kualitas akses energi  di dua provinsi dengan rasio elektrifikasi terendah di Indonesia Timur menggunakan kerangka kerja multi-tingkat (MTF) yang dikembangkan oleh ESMAP milik Bank Dunia. Temuan IESR sesuai dengan hipotesis awal kami: akses tidak selalu berarti kualitas, dan indikator akses Indonesia sejauh ini yaitu rasio elektrifikasi (ER) tidak lagi sesuai untuk mempromosikan penggunaan dan pengembangan produktif. Lebih dari 70% rumah tangga yang disurvei menerima listrik hanya sekitar 4 jam/hari (akses listrik tingkat 1) dan hanya dapat digunakan untuk mentenagai peralatan kecil seperti lampu dan radio.

Sebelum studi ini, kami berargumen bahwa program lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE), yang membagikan perlengkapan lampu hemat energi pada komunitas terpencil dan tidak dialiri listrik, tidak seharusnya dihitung sebagai elektrifikasi, namun pre-elektrifikasi karena sifatnya yang terbatas untuk pemakaian produktif. Penting pula untuk mendefinisikan kembali akses energi dan melihat akses lebih dalam dari koneksi.  Rekomendasi dari kami termasuk mengoptimisasi penggunaan energi terbarukan lokal, karena dapat menjadi sumber energi yang demokratis. Selain itu, teknologi energi terbarukan termasuk energi surya yang sudah termasuk dalam arus utama kebijakan energi Indonesia, sudah lebih murah dibandingkan perluasan jaringan listrik dan generator diesel. 

Kemewahan dalam memilih sumber energi sendiri

Beberapa minggu yang lalu, saya melihat keramaian di Twitter mengenai fitur terbaru iPhone milik Apple: Pengisian Daya Bersih. Fitur ini hanya tersedia di AS dan menurut penjelasan resminya: “..iPhone Anda mendapatkan prediksi mengenai emisi karbon di jaringan listrik lokal Anda dan menggunakannya untuk mengisi daya iPhone Anda di saat produksi energi yang lebih bersih.” Membandingkan bagaimana kita memilih energi bersih di Indonesia dan di AS tentunya bagai membandingkan apel dengan jeruk – maka mari kita lihat lagi perjalanan Indonesia menuju demokrasi energi.

Indonesia memiliki sistem kelistrikan yang ketat dan terintegrasi secara vertikal yang dimiliki oleh satu perusahaan milik negara yaitu PLN, yang memiliki kepemilikan operasional tunggal atas pembangkitan energi, transmisi, dan distribusi (singkatnya – sebuah monopoli). Benar, secara teknis memang ada produsen daya independen dan perusahaan swasta yang memiliki lisensi bisnis wilayah usaha – namun kebanyakan dari kita sebagai konsumen individu akan mendapatkan listrik dari PLN (sehingga saya akan menyebut konsumen PLN sebagai konsumen). Pembangkitan daya kita masih didominasi energi fosil (dan ~60% dari batubara), sehingga tidak terlalu susah untuk menyimpulkan bahwa listrik yang kita pakai sekarang juga berbasis fosil. 

Tahun 2013, konsumer dapat secara ‘legal’ memilih sumber energi mereka sendiri – melalui instalasi PLTS atap. Tahun itu, Presdir PLN menetapkan regulasi internal yang memperbolehkan operasi paralel PLTS atap dengan jaringan listrik PLN. Syaratnya: net-metering, 1:1 tarif import, dan adanya tagihan dasar. Tanpa peluncuran besar, bahkan tanpa sosialisasi yang memadai – namun ini menjadi pencapaian besar.

Di level individu, energi solar tetap menjadi satu-satunya energi terbarukan yang terjangkau yang dapat kita pakai untuk mentenagai aktivitas kita (saya punya satu di atap rumah saya!). Dengan landasan tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) memulai upaya awal untuk mengarusutamakan energi surya di tatanan energi Indonesia di 2016 – menyumbang bagian signifikan dalam dicetuskannya peraturan menteri (Permen) pertama mengenai PLTS atap, mendorong keterlibatan aktif dari stakeholder yang beragam dalam mempromosikan energi surya, mendorong regulasi yang lebih baik (Permen awal telah direvisi dua kali dan digantikan sekali), dan hingga kini, melawan kemunduran saat kementrian mencoba ‘membatasi’ adopsi PLTS atap.

Kami percaya bahwa energi adalah jasa esensial (yang lainnya sandang, pangan, papan, colokan, paketan), dan kami mendukung penuh ide bahwa konsumen seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih sumber energi mereka – terbarukan dan lebih berkelanjutan yang mampu memberikan akses energi berkualitas. Tidak seharusnya ini menjadi hak istimewa atau kemewahan. Tahun 2019-2021, kami bertanya pada masyarakat sekitar Jawa-Bali apakah mereka berkenan untuk berpindah ke energi surya – dan hasilnya terdapat potensi pasar (pemakai dan pengikut awal) sebesar 13% di Jabodetabek, 19% di Surabaya, 9.6% di Jawa Tengah, dan 23.3% di Bali. Pengusaha juga memiliki ketertarikan serupa: 9.8% potensi pasar di Jawa Tengah dan 21.1% di Bali. Bukan angka yang kecil, kan?

Sekarang, apakah kebijakan yang kini berlaku, praktik bisnis, naratif, dan bahkan pandangan dan gaya hidup pribadi kita – cukup untuk mendukung hak konsumen, masyarakat, untuk memilih sumber energi berkelanjutan kita sendiri?

Saya cukup kesusahan menyarikan tulisan panjang ini – jadi saya hanya ingin mengucapkan terima kasih telah membaca tulisan ini dalam keseluruhannya dan mendukung karya kami. Anda dapat membantu kami lebih lanjut dengan membagikan tulisan ini ke sesama.

Sampai berjumpa lagi.

Penerjemah: Regina Felicia Larasati

Usulan Perubahan Permen ESDM tentang PLTS Atap Berpotensi Melemahkan Minat Pasar Residensial

Jakarta, 6 Januari 2023 – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sedang melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum. Perubahan ini dimaksudkan untuk menjawab kendala-kendala pemasangan PLTS atap yang terjadi dalam setahun terakhir sejak peraturan menteri tersebut resmi dikeluarkan.

Dalam public hearing yang dilakukan Jumat, 6 Januari 2023, Kementerian ESDM memaparkan usulan perubahan substansi di antaranya: tidak ada pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem, ekspor listrik ditiadakan (tidak lagi dihitung sebagai pengurang tagihan), biaya kapasitas untuk pelanggan industri dihapuskan (tidak lagi 5 jam), dan aturan peralihan untuk pelanggan eksisting diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.

“Sejak diundangkan pada Agustus 2021 lalu, Permen ESDM No. 26/2021 praktis tidak berjalan karena PLN menolak pelaksanaannya. Akibatnya target pemerintah mencapai 450 MWp tambahan kapasitas PLTS di 2022 tidak tercapai. Revisi ini sepertinya merupakan titik temu kepentingan pemerintah dengan PLN dan sangat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering karena kondisi overcapacity. Tapi AESI menyayangkan bahwa akomodasi ini justru berpotensi memangkas keekonomian dan minat PLTS Atap golongan residensial, yang berpotensi tumbuh,” kata Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) di Jakarta.    

Sejak Januari 2022, pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15% terjadi di berbagai wilayah di Indonesia untuk beragam pelanggan, baik residensial dalam skala kilowatt hingga ke pelanggan industri dengan kapasitas dalam skala megawatt. Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 (maksimum 100% daya listrik terpasang) dan menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap. 

Dalam usulan perubahan substansi Permen tersebut, pembatasan kapasitas hingga 100% tidak akan diberlakukan kembali melainkan didasarkan pada sistem kuota per sistem dan bersifat first come, first serve. Perubahan ini menjawab langsung pembatasan kapasitas yang terjadi di lapangan, namun teknis penentuan kuota sistem perlu diperjelas terutama dalam kaitannya dengan rencana pengembangan energi terbarukan di daerah. Selain itu periode waktu penetapan kuota per 5 tahun yang terlalu lama karena dinamika teknologi penyediaan listrik.

AESI mendukung penetapan kuota dengan mempertimbangkan kehandalan jaringan listrik IUPTLU tapi mengusulkan agar penentuan kuota kapasitas dilakukan setiap 2 tahun, denga peninjauan (review) dilakukan setiap enam bulan.

Peniadaan net-metering dengan penghapusan ekspor listrik ke jaringan PLN yang berlaku untuk semua kategori pelanggan tanpa terkecuali akan berdampak besar pada pasar residensial (rumah tangga). Tingkat keekonomian PLTS atap saat ini masih dipengaruhi oleh net-metering karena profil beban rumah tangga yang kebanyakan di malam hari. Tidak adanya ekspor akan menurunkan pengurangan tagihan listrik rumah tangga dan memperpanjang masa balik modal (payback period) pembelian sistem PLTS atap, membuat PLTS Atap tidak menarik secara ekonomi untuk pelanggan rumah tangga. 

Survei pasar yang dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) di 7 provinsi di Indonesia pada 2019 – 2021 menunjukkan bahwa keekonomian menjadi salah satu faktor penting dan penentu bagi pelanggan residensial untuk menggunakan PLTS atap. Mayoritas responden juga ingin mendapatkan penghematan minimal 50% dan prosedur pemasangan yang jelas serta cepat,” Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menambahkan.

Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTS atap dengan target 3,6 GW pada tahun 2025 dan pencapaian target energi terbarukan 23% justru mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat. Dengan pangsa pasar 20% saja untuk pelanggan golongan R2 dan R3 (3.500 VA ke atas), terdapat potensi 400.000 rumah tangga di seluruh Indonesia – setara dengan 1,2 GWp PLTS atap jika masing-masing memasang minimal 3 kWp. 

Dampak pada PLTS Atap residensial akan menurunkan manfaat penciptaan lapangan kerja hijau yang terjadi oleh pelaku usaha instalasi PLTS skala kecil yang menyasar segmen pasar rumah tangga yang sudah mulai tumbuh sejak 2018 lalu. Dengan potensi penggunaan tersebar di berbagai kota di Indonesia, pasar PLTS atap residensial juga berkontribusi pada terbukanya lapangan kerja hijau, misalnya teknisi dan pemasang, dan tumbuhnya UMKM pemasang PLTS atap. Jika revisi Permen terbaru disahkan dengan klausul usulan saat ini, pertumbuhan dan peluang usaha hijau ini tentunya akan terhambat. AESI dan IESR merekomendasikan net-metering tetap diberlakukan untuk pelanggan residensial dengan perhitungan ekspor-impor yang dapat didiskusikan kemudian.

Dalam public hearing tersebut, terdapat banyak pertanyaan yang disampaikan oleh pengembang energi surya (developer), pemasang (perusahaan EPC), pemerintah daerah, hingga pengguna PLTS atap

AESI menilai alih-alih mendukung transisi energi terbarukan, revisi Permen ini justru akan menghambat penambahan PLTS Atap. Untuk itu AESI mengusulkan agar ketentuan ekspor listrik dari pelanggan residensial tetap diijinkan dengan syarat kapasitas terpasang 100% daya pelanggan. Ketentuan ini ditinjau ulang dalam waktu 5 tahun atau setelah PLTS Atap residential mencapai kumulatif 5% dari total kapasitas terpasang pembangkit di sistem tersebut. 

Kementerian ESDM membuka kanal penyampaian masukan untuk proses ini hingga tanggal 13 Januari 2023.

Didukung IESR, Jawa Tengah Berikan Peluang Menarik Bagi Masyarakat Untuk Pasang PLTS Atap

Semarang 16 Februari 2021 – Pemerintah provinsi Jawa Tengah melalui Dinas ESDM bekerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan webinar Central Java Solar Day 2021 (16/2). Acara ini mengundang Gubernur Jawa Tengah, yang diwakili oleh Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo, Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, Sujarwanto Dwiatmoko, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Manajer Revenue Assurance & Mekanisme Niaga, M. Khamzah yang mewakili GM PLN UID Jateng dan DIY. Hadir pula Fabby Tumiwa – Direktur Eksekutif IESR, Chairiman, VP Residential Market, ATW Solar, dan Karyanto Wibowo, Sustainable Development Director Danone.

Dalam kegiatan yang dihadiri sekitar 300 orang secara daring ini, selain membahas pencapaian Jawa Tengah setelah mendeklarasikan diri sebagai Central Java Solar Province yang diresmikan di tahun 2019, pemaparan dari berbagai narasumber mengindikasikan bahwa peluang besar tersedia bagi  provinsi Jawa Tengah untuk mewujudkan cita-cita besarnya tersebut.

Secara konsisten, Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo yang  membacakan sambutan Gubernur Jawa Tengah, mengungkapkan, pemerintah daerah terus mendukung upaya daerahnya dalam memenuhi target bauran energi terbarukan yang sudah tertera pada Rencana Umum Energi Daerah (RUEN).

Dadan Kusdiana menimpali bahwa PLTS menjadi salah satu solusi prioritas untuk pemenuhan bauran energi bersih sebesar 23% di 2025, sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% di 2030. Ia mengungkapkan bahwa hal ini menjadi perhatian pihaknya dalam menyusun grand strategy energi nasional, demi mencapai target bauran energi sebesar 23% pada tahun 2025.

“Kita hanya punya waktu lima tahun lagi untuk menuju kesana, jadi kalau EBT tidak tercapai, pasti target penurunan gas rumah kaca pun tidak akan tercapai,” ujarnya. 

Dadan juga menjelaskan bahwa untuk menarik minat masyarakat untuk memasang PLTS atap, saat ini Dirjen EBTKE sedang merevisi Permen ESDM No. 49/2018, terutama 3 poin utama: perbaikan tarif net-metering, perpanjangan reset ekspor listrik, dan percepatan penyediaan meter ekspor-impor (exim).

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam paparannya menjelaskan bahwa berdasarkan kajian yang telah dilakukan IESR, potensi pengembangan energi surya di Jawa Tengah tinggi, baik untuk PLTS di atas tanah (ground-mounted) juga PLTS terapung (floating PV). 

“Sesuai Permen PUPR No. 6/2020 bahwa sebagian area waduk boleh dimanfaatkan untuk floating PV, kami lihat potensi teknis PLTS terapung bisa mencapai lebih dari 700 MW bila 10 bendungan terbesar di Jawa Tengah juga dimanfaatkan untuk PLTS terapung,” tutur Fabby.

Potensi Teknis PLTS Terapung di Jawa Tengah

Kepala Dinas ESDM Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, menjabarkan bahwa meski situasi sulit karena merebaknya Covid-19,  Jawa Tengah pada tahun 2020 berhasil melampaui target bauran energi terbarukan, dari target 11,60%, menjadi 11,89%. Di tahun 2025, Jateng menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 21,35%.

Ia menegaskan bahwa obsesi ke depan Jateng Solar Province menjadi hal yang serius, tidak sekedar slogan, tapi mencapai hasil yang setinggi-tingginya. Salah satu cara yang pihaknya akan dorong di tahun 2021 ialah dengan membuka ruang konsultasi bagi masyarakat yang tertarik memasang PLTS atap.

Sujarwanto juga menargetkan bahwa sektor industri dan komersial akan menjadi sasaran pengembangan untuk PLTS atap. Agar biaya investasi PLTS atap semakin menarik, pihaknya mendorong berbagai lembaga keuangan untuk terlibat dan menggali potensi skema pembiayaan dengan zero capex, atau tanpa biaya investasi awal dengan kredit lunak.

“Mendukung program pemerintah nasional kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), kami juga berencana membangun pembangunan charging station dari PLTS secara hibrid,”ungkapnya.

Selanjutnya ia menuturkan untuk 2021, pembangunan akan difokuskan pada pemulihan ekonomi pasca-Covid 19 melalui pembangunan PLTS atap pada UMKM dan pondok pesantren. Pembangunan PLTS atap 2021 akan dilakukan pada 31 unit di sekitar delapan kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Muhammad Khamzah dari PLN UID Jateng dan DIY juga memberikan gambaran persebaran pengguna PLTS atap di Jawa Tengah, yang umumnya didominasi oleh rumah tangga golongan R2 (2200 VA ke atas). PLN UID Jawa Tengah dan DIY mengupayakan percepatan proses permohonan pelanggan untuk menggunakan PLTS atap tersambung jaringan dan penyediaan kWh ekspor-impor.

Pelanggan industri seperti Danone merupakan salah satu kelompok yang memiliki minat besar untuk menggunakan energi terbarukan, termasuk PLTS atap. Karyanto Wibowo menggarisbawahi komitmen berbagai perusahaan multinasional untuk menggunakan 100% energi terbarukan pada tahun tertentu. Anggota gerakan RE100 ini juga banyak yang memiliki fasilitas operasional di Indonesia, sehingga pemerintah juga harus melihat kondisi ini dalam perencanaan dan penyesuaian sistem kelistrikan.

Menurut Chairiman dari ATW Solar, product knowledge dari calon pengguna memang menentukan tingkat adopsi PLTS atap, sehingga penyedia layanan dan produk (perusahaan EPC) harus memastikan bahwa edukasi publik juga berjalan dan jaminan mutu produk yang ditawarkan baik. Informasi yang komprehensif mengenai manfaat, biaya, hingga kepastian perawatan dan operasional menjadi faktor penting bagi pengguna untuk memasang PLTS atap. Portal solarhub.id merupakan inisiatif IESR yang diharapkan mampu menjawab ketimpangan informasi bagi masyarakat tentang energi surya secara umum dan PLTS atap secara khusus.

Mengingat Indonesia memiliki target untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025, penetrasi PLTS atap menjadi penting karena cara inilah yang paling strategis untuk dilakukan saat ini. Kerjasama dari berbagai pihak dengan didukung kebijakan dan peraturan yang jelas akan mempercepat penetrasi energi surya dalam bauran energi nasional.

 

Komitmen Pemerintah, Kebijakan yang Konsisten dan Transparan, dan Instrumen yang Tepat Mampu Menarik Investasi Energi Terbarukan di Vietnam, Indonesia Kapan?

Ancaman perubahan iklim, krisis pasokan listrik, dan investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang semakin mahal merupakan beberapa faktor yang membuat Vietnam semakin serius beralih ke energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Dalam dua tahun, Vietnam mampu meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari 100 MW (0,1 GW) menjadi 5 GW, hampir 50 kali lipat.

Kiat sukses Vietnam dalam mengakselerasi pengembangan energi surya  ini menjadi pembelajaran menarik untuk ditiru Indonesia. Hal ini pula yang menjadi bahasan dalam seminar daring seri Gigawatt Club episode kedua yang digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: Vietnam Made It, and So Can We. Narasumber di seminar ini adalah Tran Viet Nguyen, Vice Director of Business Department of Vietnam Electricity Group (EVN), Pham Nam Phong, CEO Vu Phong Solar, dan Nguyen Thi Ha, Program Manager Sustainable Energy, Green Innovation and Development Centre, Vietnam. Sementara itu, selaku penanggap hadir pula Sripeni Inten Cahyani, Tenaga Ahli Menteri Bidang Kelistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Ridha Yasser, Kepala Bidang Program dan Investasi Energi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi RI, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Tran Viet Nguyen mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah Vietnam memudahkan Vietnam Electricity (EVN), perusahaan listrik negara Vietnam, untuk mengembangkan energi terbarukan, terutama PLTS.

“Selain memiliki target dan komitmen yang jelas, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan 13 (Decision 13) yang memberikan insentif berupa feed-in tariff (FiT) untuk berbagai jenis pemanfaatan energi surya, baik solar farm, floating solar, dan PLTS Atap,” jelasnya.

Melalui kebijakan itu pula, tersedia sejumlah model bisnis yang bisa dipilih pengembang sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Pengguna PLTS Atap dapat membeli dan menggunakan PLTS secara mandiri (disebut sebagai skema Capex/capital expenditure) dan menjual kelebihan listrik ke EVN seharga 8,38 sen USD/kWh (level FiT untuk PLTS Atap). Sumber pembiayaan mereka bisa mandiri atau menggunakan pinjaman lunak dari bank. 

Skema lainnya adalah direct/corporate power purchase agreement (direct PPA) yaitu perjanjian jual beli listrik antara perusahaan swasta penghasil listrik surya langsung pada pelanggan (pembeli) tanpa melalui EVN. Terdapat juga skema solar leasing yang memungkinkan kepemilikan pihak ketiga sehingga perusahaan swasta yang bergerak di bidang energi terbarukan atau perusahaan surya dapat berinvestasi dan memasang PLTS Atap pada pemilik fasilitas.

“Hingga kini, EVN sudah memasang sekitar 500 sistem di seluruh kantor kami, dan mulai menjalin banyak kerja sama dengan mitra lokal, kontraktor atau perusahaan EPC (engineering, procurement, and construction), serta bank atau lembaga keuangan untuk memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk berinvestasi di PLTS Atap. Pelanggan juga cukup menandatangani satu kontrak saja dengan bank atau dengan perusahaan EPC, dan mereka langsung bisa berinvestasi di PLTS Atap,” papar Nguyen.

Tidak hanya itu, pihaknya juga menyediakan informasi dan saluran konsultasi konsumen yang dapat diakses dengan mudah oleh publik, berupa platform EVNSolar. 

Kemudahan informasi penyedia jasa pemasangan PLTS dan kampanye penggunaan PLTS atap, juga menjadi hal yang diperjuangkan oleh organisasi masyarakat sipil di Vietnam, salah satunya oleh Green Innovation and Development Centre (GreenID).

“Kami menyediakan situs interaktif bagi para pengguna PLTS Atap untuk menceritakan manfaat yang sudah mereka terima dengan menggunakan PLTS Atap. GreenID juga melakukan berbagai pertemuan rutin melalui seminar daring untuk mendekatkan lebih banyak orang dengan PLTS Atap,” ungkap Nguyen Thi Ha. Menyoal kebijakan pemerintah Vietnam, meskipun kini telah keluar kepastian investasi energi terbarukan, Ha menyayangkan usia kebijakannya yang  tergolong singkat.

“Kami berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan jangka panjang untuk mempromosikan cetak biru PLTS di Vietnam. Selanjutnya, kami juga ingin menghubungkan lebih banyak bank dan lembaga pembiayaan untuk mempromosikan PLTS. Selain itu, standar teknis dan kualitas juga sangat penting dan perlu didorong,” harapnya.

Meski tidak menyangkal keterbatasan pemerintah, Pham Nam Phong dari Vu Phong Group beranggapan bahwa Decision 13 berkontribusi pada membaiknya iklim investasi PLTS bagi perusahaan swasta.

“Skema Opex (Operating Expenditure/Pembelanjaan Operasional) menjadi pilihan kami. Kami bertindak sebagai investor dan menjual pasokan daya kepada pelanggan,” katanya.

Phong mengamati bahwa bisnis PLTS Atap menjadi semakin berkembang di sektor komersial dan industri (C&I), antara lain dengan keterlibatan perusahaan multinasional yang tergabung dalam RE100 yang menargetkan penggunaan energi terbarukan dalam industri mereka.

Fabby Tumiwa membandingkan perkembangan PLTS di Vietnam yang jauh berbeda dengan Indonesia. Meski Indonesia lebih dahulu memanfaatkan panel surya di tahun 80an, namun total kapasitas energi terbarukan Indonesia sampai 2019 hanya 200 MW. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan Vietnam yang baru memulainya di tahun 2016. Ia melihat komitmen pemerintah Vietnam yang konsisten berkontribusi pada terciptanya lingkungan investasi PLTS yang kondusif. Selain menggunakan instrumen FiT, pemerintah juga mempermudah investor untuk memobilisasi pendanaan dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing, memberikan pembebasan sewa tanah selama 14 tahun sampai akhir proyek (tergantung lokasi), serta mengeluarkan berbagai insentif perpajakan.

“Indonesia perlu belajar dari pemerintah Vietnam yang melakukan proyek percontohan seperti direct power purchase agreement (PPA) yang memungkinkan pelanggan industri membeli listrik energi terbarukan dari pengembang secara langsung menggunakan jaringan listrik EVN. Apalagi dengan keberadaan perusahaan multinasional RE100 di Indonesia yang menargetkan penggunaan listrik dari energi terbarukan 100 persen sebelum 2030. Fleksibilitas ini menarik minat mereka untuk investasi atau berekspansi lebih lanjut di Indonesia,” kata Fabby. 

Fabby juga menyarankan agar pemerintah Indonesia membangun solar park.  Dengan skema ini, pengadaan lahan, perencanaan pembangunan infrastruktur dan transmisi dapat dilakukan  secara terintegrasi, dengan biaya yang efisien.

Menanggapi keberhasilan Vietnam, Sripeni Inten Cahyani mengakui Indonesia masih perlu banyak belajar. Menurutnya, pemerintah Indonesia dapat meniru penerapan skema bisnis PLTS yang beragam, penggunaan instrumen FiT, serta penyediaan informasi dan konsultasi yang memadai terkait PLTS.

“Saat ini, instrumen FiT sudah masuk dalam rancangan peraturan presiden tentang harga energi terbarukan. Jadi kita tunggu saja,“ ungkapnya.

Ridha Yasser menganggap bahwa hambatan pengembangan PLTS bukan karena aspek teknis. Pergantian staf yang kerap terjadi di instansi pemerintah, berikut dengan masalah egosentris struktural berpengaruh pada lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Namun, ia yakin masalah ini dapat segera teratasi dengan kerja sama yang lebih baik dan menggunakan metode yang tepat sehingga Indonesia bisa segera masuk dalam Gigawatt Club energi surya, seperti Vietnam.

Saksikan rekaman diskusi tersebut di:

Mengadopsi “Resep Surya” India dan Vietnam untuk Indonesia

 

“Energi surya adalah raja (solar power is king),”

demikian salah satu kesimpulan dari laporan World Energy Outlook 2020 dari International Energy Agency (IEA). Secara global, harga listrik dari energi surya telah menjadi yang terendah dibandingkan dengan sumber energi fosil dan sumber energi terbarukan lain. Pertumbuhan tahunan pembangkit listrik tenaga surya terus memimpin dari tahun ke tahun, dan IEA memperkirakan di tahun 2040 pertumbuhannya akan mencapai 200 GW/tahun, dua kali lipat dari pertumbuhan saat ini. 

 

Belajar dari India

India merupakan salah satu pemain terdepan energi surya di dunia. Sejak tahun 2000an, pemerintah India telah menggarap energi surya secara serius. Misi Surya Nasional (National Solar Mission) dideklarasikan oleh India pada tahun 2010, dengan target “hanya” 20 GW pada tahun 2022. Selain komitmen politik yang kuat, target yang jelas, serta turunan kebijakan dan regulasi yang mendukung, terbukanya pasar energi surya global yang berkontribusi pada penurunan harga modul surya kemudian mendorong India untuk merevisi target tersebut menjadi 100 GW, dan ditambah kembali menjadi 200 GW dengan tenggat waktu yang sama. 

“Resep surya” India yang membuat mereka berhasil mengembangkan energi surya hingga puluhan dan akan mencapai ratusan gigawatt mencakup:

  1. Komitmen politik dan kebijakan yang konsisten dengan target jangka panjang yang jelas dan terarah. Dengan adanya komitmen ini, pengembang lokal dan internasional memiliki keyakinan untuk membangun PLTS di India karena mampu memproyeksikan bisnis mereka dalam 10 sampai 20 tahun mendatang. Selain itu, banyaknya pengembang yang tertarik membangun PLTS juga meningkatkan daya saing, banyak dari mereka yang mampu menawarkan harga energi surya rendah. Pemerintah India juga menetapkan ketentuan Renewable Purchase Obligation (RPO), di mana setiap negara bagian wajib menetapkan target  energi terbarukan sebagai prioritas yang harus dicapai. Pemerintah negara bagian juga membantu pencapaian target ini dengan mempermudah akuisisi lahan atau perizinan.
  2. Implementasi kebijakan dalam program dan proyek yang lebih nyata. Pemerintah India membuat satu perusahaan milik negara yang khusus membantu pencapaian Misi Surya Nasional, yaitu Solar Energy Corporation of India Limited (SECI). Dengan misi sangat spesifik ini, SECI bertanggung jawab akan penyaluran bantuan pembiayaan untuk pengembangan PLTS melalui berbagai skema, misalnya viability gap fund (VGF) untuk PLTS skala besar, pembukaan solar park, dan skema khusus, seperti skema canal-top (PLTS di atas kanal/saluran air). 
  3. Tersedianya dukungan pembiayaan melalui National Clean Energy and Environmental Fund (NCEEF), pendampingan finansial kepada pengembang proyek dan optimalisasi pendanaan secara publik.
  4. Proses pengadaan (procurement) yang efektif dan menciptakan daya saing. Dengan desain yang baik, dilakukan transparan, serta dibuat dalam skala besar, lelang terbalik (reverse auction) yang diadopsi pemerintah India mampu menghasilkan harga pembangkitan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan energi fosil.  

Meski demikian, terdapat juga beberapa risiko yang harus digarisbawahi, di antaranya penundaan pembayaran dari offtaker (perusahaan listrik), curtailment (keterbatasan penyerapan energi surya ke jaringan), fluktuasi mata uang asing, proses akuisisi lahan dan bangunan yang terkadang menemui kendala, serta beberapa perubahan kebijakan dan regulasi yang juga bisa bervariasi di masing-masing negara bagian. 

Simak diskusi daring IESR #GigawattClub episode pertama di tautan berikut:


 

Belajar dari Vietnam

Di Asia Tenggara, Vietnam saat ini dikenal sebagai solar power house karena menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam waktu singkat. Hingga 2019, Vietnam berhasil meningkatkan kapasitas total PLTS (skala besar dan PLTS atap) hingga lebih dari 5 GW, dari sekitar 100 MW pada 2017. Akhir tahun ini, kapasitas terpasang mereka diprediksikan akan mencapai 10 GW. Untuk PLTS skala besar, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk konstruksi dan commissioning juga sangat cepat, yakni 275 hari.

Apa “resep surya” Vietnam sehingga bisa mencatatkan perkembangan yang masif ini? Terdapat beberapa kesamaan strategi Vietnam dan India untuk mendorong energi surya mereka, juga beberapa langkah inovatif yang disesuaikan dengan konteks negara, yaitu:

  1. Pemerintah Vietnam merespon ancaman krisis listrik di masa depan dengan memastikan keamanan pasokan energi dari energi terbarukan. Energi surya menjadi pilihan Vietnam karena lebih cepat dibangun, melibatkan banyak pihak untuk investasinya sehingga tidak membebani anggaran negara dalam jangka panjang, dan harga teknologi surya yang semakin lama semakin rendah akan berkontribusi pada penurunan harga energi secara keseluruhan.
  2. Selain untuk mengamankan pasokan energi, energi surya juga menjadi strategi pemerintah Vietnam untuk pembangunan hijau, menumbuhkan ekonomi dalam negeri, dan upaya keluar dari jebakan negara berpendapatan rendah (middle-income trap).
  3. Adanya kebijakan yang tepat, konsisten, dan menarik, salah satunya dengan penetapan feed-in-tariff (FiT). Sejak 2017 hingga saat ini, pemerintah Vietnam merancang dan menerapkan FiT dengan desain adaptif yang disesuaikan dengan lokasi serta perkembangan pasar surya dalam negeri. Dengan kepastian regulasi dan dukungan pemerintah, proyek-proyek surya di Vietnam dinilai menarik secara ekonomi dengan IRR pada angka belasan. Pengguna PLTS atap rumahan dan bangunan komersial juga dapat menikmati FiT ini sehingga penggunaan PLTS atap dilihat sebagai investasi yang menguntungkan.
  4. Terbukanya akses pada sumber pembiayaan, di mana pengembang dapat memobilisasi pembiayaan dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing.
  5. Adanya berbagai insentif dan kemudahan, misalnya pembebasan tarif impor barang, termasuk modul surya, dan pembebasan pajak penghasilan untuk pengembang selama 4 tahun pertama dan diskon di tahun-tahun berikutnya. Selain itu, pemerintah juga membebaskan sewa tanah untuk proyek-proyek PLTS tertentu sampai dengan 14 tahun.
  6. Perusahaan listrik negara (EVN) mendukung pemanfaatan energi surya secara masif dan memiliki beberapa skema yang ditujukan untuk target berbeda-beda; misalnya platform EVNSolar untuk pengguna PLTS atap, dan direct/corporate PPA (power purchase agreement), di mana penjualan listrik dimungkinkan antar pihak tanpa terlebih dahulu menjualnya ke EVN.
  7. Dukungan lembaga pembiayaan dan perbankan dalam bentuk skema pembiayaan menarik, misalnya soft loan. 

Simak diskusi daring IESR #GigawattClub episode kedua di tautan berikut:


 

“Resep Surya” yang bisa diadopsi oleh Indonesia

Meski memiliki potensi energi surya yang tinggi, pertumbuhan energi surya di Indonesia terbilang lambat, termasuk karena iklim investasi yang kurang mendukung. “Resep surya” India dan Vietnam yang dapat diadopsi ke dalam konteks Indonesia di antaranya:

  1. Adanya komitmen politik yang kuat dengan target dan perencanaan yang strategis dan jelas. Konsistensi kebijakan dan adanya target serta rencana jangka panjang dianggap sebagai sinyal kepastian untuk pengembang.
  2. Proses dan prosedur administrasi yang lugas, sederhana, dan transparan.
  3. Jaminan ketersediaan jaringan dan penyerapan, sehingga tidak terjadi curtailment. 
  4. Reformasi subsidi listrik dan tarif listrik, dengan mempertimbangkan potensi aset terdampar (stranded assets) dari energi fosil dan keekonomian energi terbarukan termasuk energi surya saat ini. Untuk penyediaan listrik perdesaan, PLTS dapat menjadi alternatif penyediaan akses energi yang least-cost dan untuk menggantikan PLTD berbahan bakar diesel. PLTS atap juga bisa menjadi pengganti subsidi listrik untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin.
  5. Perlunya skema inovatif untuk mendorong pemanfaatan energi surya bagi beragam sektor, seperti direct PPA yang memungkinkan sektor komersial atau industri (C&I) untuk menjual atau mendapatkan listrik energi terbarukan secara langsung dari perusahaan lain.  
  6. Untuk PLTS skala besar, pemerintah perlu menyediakan lokasi atau kawasan eksklusif (solar park) atau membantu pengembang untuk mengakuisisi atau menyewa lahan dengan biaya rendah. Solar park ini perlu terintegrasi dengan kegiatan ekonomi atau industri terdekat.
  7. Perlunya strategi sosialisasi dan peningkatan kesadaran atau minat berbagai kalangan. Sebagai sumber energi yang demokratis, peran serta pemerintah di berbagai tingkat, masyarakat, kelompok industri dan komersial akan membantu peningkatan pemanfaatan energi surya dengan sumber-sumber pembiayaan yang beragam. Lembaga keuangan juga dapat berpartisipasi secara aktif untuk menyediakan skema pembiayaan yang menarik. 

Jadi bisakah Indonesia segera menyusul India dan Vietnam masuk ke dalam Gigawatt Club energi surya?

 

Beyond 100%: What Does Universal Energy Access Mean?

The term “energy access”, while widely used to underline modern development, has no single global definition. In global level, the definitions often cover 4 important aspects: connections (or at least for lighting), access to clean cooking energy, energy for productive uses, and energy for public services. The importance of energy access for modern development has been integrated in The UN’s Sustainable Development Goals, i.e. SDG 7, and is being tracked regularly every year. With the importance of defining energy access, IESR held a public webinar on 4 September 2020.

In May 2020, The World Bank (with several agencies) issued a report on global energy access status Tracking SDG 7: The Energy Progress report 2020. In this report, highlights for Indonesia include significant developments on three main targets: availability of electricity (based on electrification ratio) and clean energy for cooking, utilization of renewable energy, and energy efficiency. However, based on IESR’s analysis, this good development should be considered with several notes.

Energy access in Indonesia is often narrowly interpreted only as a connection to the grid, access to LPG distribution networks, or the availability of basic lighting. However, as essential services, energy access should be able to contribute to poverty alleviation, economic growth, and general development agenda. Beyond the basic needs for daily activities, that often tend to be consumptive in nature, the provision of energy is a driving force for productive activities; whether on a household scale, in the case of small and medium enterprises, and on a large scale. Access to energy is also important for education and health services. With better education and health, more windows of opportunity are opened, including opportunities to get a job or to an entrepreneurship.

In Indonesian context, “quality energy access” has yet to enter mainstream energy discourse, for both electricity and clean cooking. With government’s plan to achieve 100% electrification this year, it is then necessary and timely to introduce access beyond connections – as to influence future planning related to energy access. Lessons learned from other countries on integrated energy planning are needed, specifically to answer the gaps in considering quality and community context to energy provision.

Dr. Sarah Wykes from CAFOD explained the importance of an inclusive and integrated energy planning as to answer the needs for energy and its intended impacts. Building Energy Delivery Model (EDM) with IIED, Sarah elaborated on interventions on energy should cover maximum impact, sustainability, as well as scalability. From her experience, planning in national level was not always delivered seamlessly into sub-national level; thus EDM could fit the “translation” process – as it allows community and the government to work together in identifying needs and solution. EDM is currently being piloted in Indonesia and also being used for Kenya County Energy Planning. The 6-steps toolkit of EDM is useful to map energy needs, prioritization, available resources, as well as potential collaborators to implement the solutions – Kitui County in Kenya was applying this to develop their mid-term energy planning.

Fabby Tumiwa of IESR told the story of EDM pilot in Indonesia. Boafeo, a village in Ende (East Nusa Tenggara) was chosen based on multi-criteria assessment. Upon energy needs assessment, Boafeo community identified 3 priorities: increased income from coffee production, better energy for household, and education outcome improvement. These choices showed that “energy access” is not confined under lighting need or simply connection – but on how the energy would play a part in the whole ecosystem. In the case of Boafeo, education is seen as important, and with the multiple appearance of stunting, improving education quality could be made possible with audiovisual learning process – requiring electricity. Solar panels has now been installed in Boafeo School, along with complementary teachers training on interactive learning and creative class.

Rachmat Mardiana from Bappenas agreed that comprehensive energy planning is needed, also with the redefinition of energy access. Bappenas is now developing a platform for energy planning with the aid from development agencies to obtain renewables-based least-cost electrification in eastern Indonesia. The platform embeds multi-tier framework adoption, covering quality energy access beyond connection. Faridz Yazi from Ministry of Village also elaborated on “village development” as seen from promoting local economic potential, and energy access is much needed to boost the process. With the availability of Village Fund and programs from Ministry of Village, local renewable development and integrated energy planning is possible – in collaboration with relevant stakeholders and with capacity buildings for village government and community.

Wahid Pinto Nugroho from Ministry of Energy and Mineral Resources took the time to show MEMR’s planning in establishing more accurate database and mapping for energy needs, using GIS-based platform. The challenges in energy planning include data validation and other socio-economic indicators, thus the platform will serve as comprehensive database for future program. For short-term measure, MEMR is currently rolling “power tube” – a portable rechargeable tube to provide basic energy access for remote areas. He mentioned that in the long term, more sustainable energy sources tailored to people’s needs will be arranged.

From the private sector, Jaya Wahono of Clean Power Indonesia shared his story in promoting renewable energy access for community. In his opinion, Indonesia needs “fit for purpose” energy solution: using local renewable energy with minimum damage to the environment, dispatchable and scalable, also reliable and sustainable. His company has worked with community to provide biomass for local electricity generation, and this scheme could be replicated in Indonesia with several prerequisite, including funding and financing scheme, technology readiness, and local employment benefits.

Recording of the webinar is available here and the slide decks are available in this link.

 

 

Beyond 100%: Mendorong Penyediaan Akses Energi Berkelanjutan dan Berkualitas di Indonesia

Energi merupakan kebutuhan mendasar manusia modern, dan akses energi yang berkualitas berkontribusi pada pembangunan manusia. Paradigma penyediaan akses energi Indonesia saat ini masih terfokus pada ketersambungan dan tidak memiliki definisi yang terstandar dengan indikator kualitas; sehingga pemerataan akses energi belum mampu menjawab bagaimana akses energi akan berdampak pada kegiatan produktif masyarakat dan layanan umum. Untuk membahas penyediaan akses energi ini, Institute for Essential Services Reform menyelenggarakan diskusi publik daring dengan tema “Beyond 100%: Mendorong Penyediaan Akses Energi Berkelanjutan dan Berkualitas di Indonesia” dan mengundang perwakilan dari Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian ESDM, dan Yayasan Dian Desa.

Menurut Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR), Indonesia masih bicara soal target listrik dalam bentuk angka dan persen, sedangkan dimensi penyediaan energi lainnya belum menjadi perhatian serius. Kesejahteraan masyarakat bisa dicapai bila energi bisa dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif, dan karenanya energi harus tersedia dengan kualitas yang baik dan terjangkau.  Dalam konteks pembangunan, akses energi tidak bisa dimaknai secara biner dan harus mencakup kualitas, kehandalan, kecukupan, keterjangkauan, penerimaan masyarakat, kelayakan lingkungan,  dan manfaat sosial-ekonomi berganda.

Cakupan dimensi akses energi ini sering disebutkan dalam kebijakan, namun hilang saat diturunkan dalam aktivitas. Contohnya, saat pemerintah berbicara mengenai elektrifikasi dan ingin mendorong elektrifikasi 100%, pemerintah mengeluarkan program LTSHE (lampu tenaga surya hemat energi) – yang hanya menyediakan penerangan tanpa listrik untuk kegiatan produktif lainnya. Keluarga yang menerima LTSHE dihitung sebagai keluarga berlistrik, padahal kualitas yang diterima tidak sama dengan mereka yang tersambung ke jaringan PLN.

Menurut laporan Tracking SDG7,  Indonesia mencatat pertumbuhan yang cukup baik untuk akses listrik dibanding dengan negara lain sekawasan – hampir mencapai 100% dalam 10 tahun terakhir. Namun angka ini tidak mengukur kualitas dan dimensi lainnya. Pada 2014, Bank Dunia mengembangkan multi-tier framework (MTF), model pengukuran akses energi yang memasukkan dimensi menyeluruh dan dibagi dalam klasifikasi tier. Tier 0-5 mendefinisikan ketersediaan listrik dilihat dari durasi listrik tersedia di siang dan malam hari, kapasitas alat elektronik yang dapat digunakan, hingga keterjangkauan harga. Dengan memasukkan dimensi ini, dapat dilihat bagaimana kecukupan akses energi dan apakah energi tersebut dapat menjawab kebutuhan energi untuk membangun manusia dan masyarakat.

Studi empirik IESR di NTT dan NTB menunjukkan ketersediaan listrik tidak mencerminkan kualitas dan tidak tersedia 24/7, akses listrik sudah sampai ke daerah terpencil namun tidak semua keluarga mendapat kualitas yang sama. Sebagian besar masyarakat berada di tier 2 dan tier 1, sedangkan Jawa dan kota besar umumnya menikmati listrik di tier 5. Secara historis, terdapat kesenjangan rasio elektrifikasi juga antara Indonesia barat dan timur. Perluasan akses listrik dengan program yang ada saat ini, termasuk pendekatan off-grid, perlu memasukkan aspek kualitas dan kebutuhan setempat masyarakat.  Untuk daerah 3T, diperlukan perencanaan yang matang, skema kerja sama dengan swasta, model bisnis untuk off-grid, dan pilihan teknologi dengan pembiayaan yang lebih efektif.

Untuk akses pada bahan bakar memasak yang bersih, masih terdapat ketimpangan antara desa dan kota. Mayoritas penduduk di perkotaan sudah menggunakan bahan bakar modern seperti LPG dan jaringan gas, sedangkan di desa masyarakat umumnya menggunakan bahan bakar padat yang memiliki tingkat polusi dalam ruangan cukup tinggi. Saat ini pemerintah belum memiliki fokus penyediaan energi bersih memasak selain gas, dan karenanya perlu memetakan potensi energi terbarukan lainnya, misalnya biogas atau kompor biomassa bersih.

Rachmat Mardiana, Direktur Energi, Telekomunikasi, dan Informatika (Kementerian PPN/Bappenas) menyampaikan bahwa perencanaan penyediaan energi Indonesia sudah dilihat sebagai penyediaan layanan dasar, sama seperti akses pada air minum dan papan (perumahan). Fokus pemerintah untuk penyediaan listrik energi terbarukan diturunkan dalam target pembangunan pembangkit energi terbarukan, misalnya PLTS atap, floating PV, hingga pembangkit dari sampah kota. Rachmat mengakui bahwa prioritas pemerintah saat ini masih pada ketersambungan listrik dulu, dan kemudian setelah semua terlistriki maka peningkatan kualitas yang akan dilakukan. Menurutnya, pemerintah juga akan memetakan kegiatan ekonomi desa sehingga bisa menumbuhkan permintaan energi, serta meningkatkan kapasitas masyarakat untuk pengelolaan energi di desa. Begitu pula dengan pemberian subsidi energi yang diharapkan bisa lebih terarah.

Budianto Hari Purnomo, Kasubdit Pengembangan Listrik Perdesaan (DJK, KESDM), memaparkan prinsip penyediaan listrik yang selama ini dilakukan pemerintah yaitu 5K (Kecukupan, Keandalan, Keberlanjutan, Keterjangkauan dan Keadilan). Target pemerintah untuk tahun 2020 adalah akses listrik universal (100%) dengan beberapa program: perluasan jaringan PLN, LTSHE, listrik off-grid, dan tabung listrik (talis). Konsumsi listrik per kapita nasional juga menunjukkan perkembangan, saat ini berada di angka 1.093 kWh dari target 1.142 kWh. Pemerintah pada tahun 2020 berencana untuk melistriki 43 desa dengan melalui jaringan PLN untuk yang terjangkau dan talis untuk desa yang kondisi geografinya sulit. Talis akan diberikan pada pelanggan yang masuk kategori penerima subsidi listrik. Meski tidak ditujukan untuk jangka panjang, menurut Hari, talis diperlukan untuk memberikan listrik sementara karena jaringan PLN baru bisa masuk bertahun-tahun kemudian.

Wahid, Kepala Seksi Penyiapan Lisdes DJK (Kementerian ESDM) juga menambahkan bahwa kesulitan peningkatan kualitas listrik disebabkan karena beberapa faktor: data masyarakat yang sulit divalidasi, kurang rincinya data lokasi geografis dan potensi energi setempat,  dan kebutuhan anggaran yang cukup besar. Untuk pemetaan yang lebih rinci, Kementerian ESDM saat ini sedang mengembangkan aplikasi MELISA – pemetaan geospasial untuk memvalidasi data kelistrikan Indonesia sehingga perencanaan listrik desa dapat dilakukan secara lebih rinci dan terintegrasi.

Prianti Utami dari Yayasan Dian Desa yang selama ini fokus pada penyediaan teknologi memasak bersih di perdesaan memaparkan mengenai status sumber energi memasak di Indonesia. Masih banyak penduduk yang menggunakan biomassa tradisional dan masih terdapat ketimpangan desa dan kota. Yayasan Dian Desa sendiri telah mengembangkan inisiatif tungku bersih (clean stove initiative) bersama Kementerian ESDM untuk penyediaan tungku bersih bersubsidi. Tingkat subsidi yang diberikan pada produsen disesuaikan dengan kinerja tungku dan jumlah pemasarannya, sedangkan Yayasan Dian Desa berperan untuk mengkaji standar, penentuan protokol pengujian tungku, dan pengembangan pusat pengujian. Inisiatif ini memiliki rencana yang cukup komprehensif, termasuk penentuan SNI dan pembuatan, namun tidak lagi menjadi prioritas pemerintah setelah asistensi dari Bank Dunia selesai pada 2016. Prianti mendorong pemerintah untuk menyelesaikan draft peta jalan, laboratorium pengujian, dan finalisasi SNI; sehingga masyarakat dapat memiliki alternatif alat masak yang bersih.

Perubahan paradigma penyediaan akses energi di Indonesia perlu terus didorong untuk mewujudkan pemerataan akses dan kualitas energi, memastikan akses tersebut berdampak luas, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan berkontribusi pada pembangunan manusia yang berkelanjutan.


Materi dapat diunduh di sini dan rekaman diskusi dapat diakses di:

Green Economic Recovery: Pemulihan Ekonomi Pasca-COVID-19 dengan Energi Surya

Pandemi COVID-19 menimbulkan dampak ekonomi bagi banyak negara di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Untuk menggali dan merumuskan strategi pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19 yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan, IESR berkolaborasi dengan Badan Kebijakan Fiskal (Kementerian Keuangan) dan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Kementerian ESDM) dalam diskusi bertema ‘Green Economic Recovery: Akselerasi Pengembangan Energi Surya Sebagai Strategi Pemulihan Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19’ pada 19 Mei 2020 lalu. 

Diskusi dibuka oleh  Dr. Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, yang menegaskan bahwa ketahanan energi menjadi hal yang penting bagi Indonesia dan telah dicanangkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Menurutnya, target capaian energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025 harus benar-benar bisa mendorong tumbuh kembangnya lapangan kerja dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Untuk mencapai hal ini maka pemerintah pusat tidak bisa sendirian, diperlukan adanya kerjasama dengan pemerintah daerah.

Pemerintah daerah tidak perlu khawatir karena Kementerian Keuangan telah memiliki budget tagging untuk mendukung pendanaan perubahan iklim termasuk di dalamnya adalah transisi energi. Menurut laporan yang disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK), kebutuhan dana terkait perubahan iklim ini mencapai kurang lebih Rp 3.400 triliun sampai dengan tahun 2030.

Ganjar Pranowo, Gubernur Provinsi Jawa Tengah, memberikan paparan singkat terkait dampak pandemi di Jawa Tengah dan upaya Jawa Tengah untuk menjadi solar province (provinsi surya).

“Pandemi COVID-19 ini memang memberikan potret ekonomi yang buram namun ini juga momentum yang sangat baik untuk kita menyiapkan masa depan Indonesia, khususnya untuk sektor energi. Momentum  pandemi ini harus digunakan untuk membalikkan cara berpikir kita agar dapat mengambil kebijakan politik yang tidak biasa, ” ungkap Ganjar Pranowo optimis. 

Terkait penggunaan energi terbarukan, Ganjar Pranowo menyatakan siap menjadikan Provinsi Jawa Tengah sebagai laboratorium energi surya untuk percepatan pembangunan. Kesiapan Provinsi Jawa Tengah ini salah satunya ditunjukkan dengan adanya pemasangan penerangan jalan umum (PJU) tenaga surya di sepanjang jalur Pantura.

Pandemi menyebabkan angka kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah bertambah dan pertumbuhan ekonomi yang mulanya menargetkan kenaikan sebesar 7%, kini berhenti di angka 5,6%. Pihak yang paling merasakan dampak ekonomi adalah usaha kecil dan menengah seperti pertanian, perikanan dan pariwisata. Karenanya, Ganjar Pranowo berharap ada kebijakan dari pemerintah pusat agar pihak UMKM bisa mendapat suplai energi yang murah. 

Selaras dengan Ganjar Pranowo, Dr. Sujarwanto Dwiatmoko selaku Kepala Dinas Energi Sumber Daya dan Mineral Jawa Tengah juga menegaskan bahwa sektor energi menjadi perhatian penting dalam kebijakan pemulihan ekonomi karena energi merupakan infrastruktur dan faktor produksi bagi berjalannya sektor industri pada semua skala.  Selain itu ada gagasan yakni dengan adanya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bisa memberikan lapangan pekerjaan baru, baik sebagai tenaga teknis pemasang atau pelaku pemeliharaan PLTS di daerah, termasuk menjadi usahawan vendor-vendor PLTS. 

Menurut pemaparan Hariyanto yang mewakili Ir. F.X. Sutijastoto, M.A dari Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), capaian EBT di Indonesia pada tahun 2019 kurang lebih sebesar 10,3 GW. Sampai dengan tahun 2018, pembangkit EBT di Indonesia didominasi oleh pembangkit air, panas bumi dan biomassa. Untuk energi surya, terutama PLTS atap, ada penambahan yang cukup baik sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 49/2018. Strategi pengembangan PLTS yang dilakukan pemerintah di antaranya sebagai berikut:

  1. Pengembangan PLTS secara besar-besaran untuk menurunkan biaya pokok pembangkitan (BPP) listrik, termasuk PLTS pada lokasi bekas lahan tambang atau tambang yang lahan konsesinya sudah kembali ke pemerintah daerah.
  2. Pengadaan PLTS atap secara masif di daerah-daerah melalui sinergi dengan pemerintah provinsi atau pun kabupaten.
  3. Pengadaan PLTS terapung yang ada di beberapa daerah dengan potensi cukup besar. 
  4. Pengadaan PLTS di daerah terluar  3T dan program hybrid di pulau-pulau terkecil di Indonesia. 

Fabby Tumiwa dari IESR berbicara tentang rekomendasi Program Surya Nusantara, program usulan skala nasional untuk memasang PLTS atap dengan pendanaan dari APBN dan APBD sebagai bentuk stimulus ekonomi pasca-COVID-19 dengan sasaran kelompok masyarakat miskin dan rentan. PLTS atap dipilih karena sifatnya yang modular sehingga dapat dengan mudah dan cepat dipasang dalam beragam skala, juga harga sel dan modul surya sudah mulai turun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, tenaga kerja yang dibutuhkan cukup di level terampil, sehingga bisa menyerap tenaga kerja yang terdampak PHK. Kabar baiknya juga telah ada industri sel dan modul surya dengan kapasitas terbatas serta sudah ada BUMN yang mampu memproduksi inverter di dalam negeri. 

Kelompok yang bisa menjadi sasaran dari program ini adalah provinsi dengan jumlah pelanggan PLN bersubsidi terbanyak, provinsi dengan biaya pokok pembangkitan listrik (BPP) tinggi, target mandatori RUEN seperti di atas bangunan pemerintah dan fasilitas publik, dan program sejuta rumah yang dilakukan Kementerian PUPR dan program perumahan lainnya. 

Program Surya Nusantara dapat menimbulkan dampak berganda, yaitu mengalihkan subsidi listrik hingga Rp 1,3 T/tahun dan menghilangkan subsidi listrik dalam jangka panjang, mengurangi biaya listrik pelanggan, menghemat biaya produksi listrik PLN, menciptakan lapangan kerja baru hingga 30.000/tahun, mendorong tumbuhnya industri surya dalam negeri, termasuk industri jasa penunjangnya, meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dalam pelaksanannya, IESR mengusulkan agar PLN menjadi jangkar program, bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan EPC. Diperlukan juga identifikasi sasaran dan persetujuan dari pemilik rumah untuk penggunaan atap yang akan bermanfaat pada tagihan listriknya, termasuk kriteria teknis. Program ini perlu disiapkan dengan melibatkan pemerintah daerah di lokasi sasaran, PLN, dan industri penunjang; juga pelatihan dan sertifikasi untuk teknisi lokal dan dapat terintegrasi dengan program Kartu Prakerja dan lembaga yang sudah ada (BLK, BUMN, Kementerian ESDM, perusahaan EPC dan universitas).

Badan Kebijakan Fiskal melalui Dr. Joko Tri Haryanto berharap akan banyak daerah selain Jawa Tengah yang siap untuk melakukan pengembangan EBT, seperti yang dilakukan oleh DKI Jakarta  dengan InGub No. 66/2019. Salah satu isi InGub ini adalah mengembangkan EBT untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga fosil dengan pembangunan PLTS atap untuk semua sekolah, gedung pemerintah, dan fasilitas kesehatan pemerintah daerah. 

Iwan Prijanto selaku Ketua Green Building Council Indonesia mengapresiasi strategi pemerintah dalam mempromosikan PLTS atap. Namun Iwan Prijanto memberikan saran bahwa kebijakan PLTS atap akan lebih bermanfaat dan terasa hasilnya apabila diintegrasikan dengan kebijakan net-zero carbon. Perlu adanya efisiensi energi sebelum penggunaan energi yang terbarukan, sehingga permintaan energi juga bisa dikelola dengan baik. Dr. Andhika Prastawa sebagai Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia menyambut baik Program Surya Nusantara. Program ini dianggap menjadi kabar gembira bagi AESI yang selama tiga sampai empat tahun ini mendorong agar tenaga surya menjadi salah satu pilar untuk mencapai bauran energi nasional dengan Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap. Di sisi lain, perlu adanya perbaikan regulasi untuk mendorong masuknya investasi energi terbarukan di Indonesia.

Dr. Esther Sri Astuti, Direktur Program INDEF, mendukung penerapan Program Surya Nusantara sebagai bagian dari green economic recovery dan agar emisi gas rumah kaca yang dihasilkan Indonesia berkurang, sesuai target pemerintah. Menurutnya, program prioritas nasional untuk ketahanan energi akan sangat berguna bagi masyarakat dan tepat sasaran jika pemerintah bisa mengeluarkan stimulus fiskal terkait PLTS atap. Karena pemasangan PLTS atap ini membutuhkan biaya yang cukup mahal, maka INDEF menyarankan adanya skema cicilan lunak atau stimulus fiskal yang mendukung masyarakat untuk berpindah ke listrik yang menggunakan energi terbarukan. 

Dengan dampak lintas sektoral dari pandemi, terdapat peluang untuk mendorong pemulihan ekonomi hijau yang tidak business-as-usual dengan pemanfaatan energi terbarukan. Selain memberikan stimulus ekonomi pada yang membutuhkan, strategi green economic recovery juga seperti Program Surya Nusantara juga bisa mendorong penyerapan tenaga kerja, mendorong industri dalam negeri, hingga berkontribusi pada pencapaian target iklim. Diperlukan sinergi dan persiapan yang optimal, juga komitmen politik yang tinggi untuk mengubah arah pemulihan ekonomi di Indonesia ke green economic recovery. 


Materi presentasi dapat diunduh di sini dan rekaman dapat diakses di: