Webinar Regional : Apa Arti Pendanaan Iklim bagi Asia? – Pelajaran yang Dipetik dari Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Selatan
Latar Belakang
Suhu global telah ditetapkan untuk melampaui ambang batas 1,5°C di atas tingkat pra-industri, batas yang ditetapkan untuk mencegah dampak perubahan iklim yang paling dahsyat. Namun, upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) masih jauh dari harapan. Pada tahun 2030, emisi diproyeksikan hanya akan berkurang 11%, jauh di bawah target yang diperlukan untuk mengurangi separuh dari tingkat emisi tahun 2019. Kekurangan ini menekankan perlunya kolaborasi global yang lebih intensif, terutama dari kawasan seperti Asia, yang tidak hanya menjadi rumah bagi beberapa penghasil emisi GRK terbesar, tetapi juga salah satu kawasan yang paling rentan terhadap perubahan iklim (IMF, 2024; WMO, 2024).
Sebagai wilayah yang paling terdampak bencana pada tahun 2023, kawasan Asia dan Pasifik mengalami percepatan pemanasan, hampir dua kali lipat dari tingkat yang terjadi antara tahun 1961 dan 1990. Wilayah ini menanggung beban 79 bencana hidrometeorologi pada tahun 2023, dengan banjir dan badai menyumbang lebih dari 80% dari kejadian ini, mengakibatkan lebih dari 2.000 korban jiwa dan berdampak pada sembilan juta orang (WMO, 2024). Seiring dengan iklim yang terus memanas, intensitas kejadian-kejadian ini diperkirakan akan meningkat. Terutama, penghasil emisi besar seperti Cina, India, dan Indonesia berkontribusi secara signifikan terhadap emisi GRK di kawasan ini, tetapi kerentanan geografis dan demografis Asia meningkatkan risiko untuk upaya adaptasi dan mitigasi iklim ( IMF, 2024).
Kawasan Asia dan Pasifik, yang bertanggung jawab atas sekitar 50% emisi GRK global, merupakan jantung dari aksi iklim global (ADB, 2023). Meskipun telah melakukan berbagai upaya yang signifikan, kawasan ini menghadapi kesenjangan pendanaan yang sangat besar, dengan perkiraan investasi sebesar $1,1 triliun yang dibutuhkan setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan mitigasi dan adaptasi (IMF, 2024). Namun, hanya $333 miliar dari jumlah tersebut yang berhasil dikumpulkan, sehingga menyisakan kesenjangan pendanaan sebesar $815 miliar. Kesenjangan ini semakin diperparah dengan menipisnya keuangan publik setelah pandemi COVID-19, sehingga memaksa pemerintah untuk mencari keterlibatan sektor swasta dalam meningkatkan aksi iklim (IMF, 2024).
Menurut ADB (2023), pada periode 2018-2019, kawasan ini telah mengeluarkan setidaknya $519,9 miliar, dengan peningkatan pembiayaan sebesar 30% pada tahun 2019. Berdasarkan sumber pendanaan, sektor publik masih memberikan kontribusi terbesar dari keseluruhan pendanaan iklim (68%) dibandingkan dengan sektor swasta. Hal ini juga terjadi di sebagian besar sub-kawasan kecuali di Asia Selatan, di mana pembiayaan sektor swasta berkontribusi sama besarnya dengan sektor publik. Upaya pendanaan iklim di kawasan ini dalam sektor mitigasi, terutama di bidang energi, cukup kuat, dengan investasi di bidang energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, yang mendominasi pendanaan mitigasi iklim. Secara proporsional, pendanaan mitigasi mencapai $ 472,5 miliar (91%) pada periode yang sama. Di sisi lain, pendanaan adaptasi masih sangat kurang, yaitu hanya 8% dari total pendanaan iklim, padahal pendanaan adaptasi sangat penting untuk melindungi masyarakat yang rentan (ADB, 2023).
Dibandingkan dengan sub-kawasan lainnya, Asia Timur tetap menjadi penerima pendanaan iklim terbesar di kawasan ini. Asia Timur menerima sekitar 80% dari total pendanaan iklim, dan menempatkan sebagian besar dana tersebut untuk proyek-proyek mitigasi di sektor energi, transportasi, serta bangunan dan infrastruktur. Komitmen Tiongkok dalam mencapai tujuan karbon gandanya juga menjadi pendorong utama kemajuan yang dicapai saat ini. Penerima pendanaan iklim tertinggi kedua dan ketiga adalah Asia Selatan (9% dari total aliran) dan Asia Tenggara (5%). Pendanaan iklim mengalir terutama untuk mendukung energi bersih, sistem kereta api, dan transportasi umum perkotaan yang terintegrasi di kedua sub-kawasan ini (ADB, 2023).
Dinamika di tingkat regional dan negara di kawasan Asia-Pasifik memainkan peran penting dalam kemajuan pendanaan iklim saat ini. Dari perspektif masyarakat sipil, pertukaran pengetahuan lintas kawasan mengenai masalah ini sangat penting, karena kondisi atau strategi yang sama dapat memberikan pelajaran berharga bagi kawasan atau negara lain. Selain itu, pertukaran pengetahuan seperti itu akan membantu meningkatkan pemahaman masyarakat sipil menjelang Konferensi Para Pihak (COP) 29 mendatang di Baku, Azerbaijan, di mana pendanaan iklim akan menjadi topik diskusi utama. Untuk mendukung hal ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Climate Emergency Collaboration Group (CECG) menyelenggarakan webinar lintas kawasan yang mempertemukan perwakilan masyarakat sipil dari Asia Timur, Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Tujuan
- Untuk mendiskusikan perkembangan terbaru dari pendanaan iklim di tiga wilayah Asia yang berbeda (Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Selatan).
- Mengidentifikasi tantangan dan hambatan dalam implementasi pendanaan iklim.
- Untuk menemukan perspektif dan solusi bersama dalam mengatasi tantangan tersebut.
Presentasi
Putra Maswan – IESR _ CLIMATE FINANCE IN SOUTHEAST ASIA
Putra-Maswan-IESR-_-CLIMATE-FINANCE-IN-SOUTHEAST-ASIA
Prabin Man Singh – Climate Action Network South Asia _ State of Climate Finance in South Asia
Prabin-Man-Singh-Climate-Action-Network-South-Asia-_-State-of-Climate-Finance-in-South-AsiaSpeakers
-
Arief Rosadi - Climate and Energy Diplomacy Program Manager IESR
-
Putra Maswan - Finance and Economic Analyst IESR
-
Benita Sashia Jayanti - Climate Diplomacy Program Officer IESR
-
Prabin Man Singh - Director (Programme and Finance) - Prakriti Resources Centre
-
Liangyi Chang - Asia Managing Director 350.org