Webinar Perang Dagang vs Perang Iklim: Industri Indonesia Dihimpit Dua Tantangan

Latar Belakang

Pada April 2025, Presiden AS Donald Trump kembali memperkenalkan kebijakan tarif resiprokal melalui “Liberation Day Tariffs” yang memberlakukan tarif dasar 10% untuk seluruh impor, serta tambahan tarif hingga 54% bagi negara-negara dengan defisit perdagangan terhadap AS. Indonesia termasuk dalam daftar negara terdampak dengan tambahan tarif sebesar 32%, khususnya terhadap produk padat karya dan manufaktur seperti tekstil, alas kaki, komponen elektronik, dan baja ringan.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara tujuan ekspor indonesia di mana negara tersebut menjadi kontributor surplusnya perdagangan nasional pada periode 2015-2025. Selama periode Januari hingga Maret 2025, Indonesia mengekspor sejumlah komoditas unggulan ke Amerika Serikat. Di antaranya adalah mesin dan peralatan listrik yang mencatatkan nilai ekspor sebesar 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp20,1 triliun. Selain itu, sektor alas kaki juga menjadi kontributor utama, dengan nilai ekspor mencapai 657,9 juta dolar AS atau setara Rp11 triliun. Komoditas ini menyumbang sekitar 9,01 persen dari total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang mencapai 7,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp122 triliun

Sebelumnya pada tahun 2022, Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Joe Biden telah mengeluarkan peraturan tentang Inflation Reduction Act (IRA). Kebijakan ini dikenal sebagai kebijakan iklim US untuk mengurangi inflasi dan meningkatkan investasi di sektor energi hijau. Melalui kemampuan fiskal dalam insentif kredit pajak produksi untuk komponen seperti baterai, modul surya, dan turbin angin, Kredit investasi untuk pabrik baru dan ekspansi kapasitas industri bersih, Kredit konsumen untuk kendaraan listrik, panel surya, dan efisiensi rumah serta Persyaratan konten lokal yang mendorong penggunaan material dari AS atau negara mitra dagang bebas (FTA). 

Kebijakan Proteksionis tersebut berpotensi memicu negara-negara lain untuk menerbitkan peraturan serupa yang dapat mempengaruhi landscape perdagangan internasional. Seperti yang telah dikeluarkan oleh Uni Eropa melalui CBAM (Cross Border Adjustment Mechanism) yang bertujuan untuk menghindari kebocoran karbon atas barang impor. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, CBAM mengharuskan perusahaan melaporkan pencatatan emisinya pada fase pertama atau hingga tahun 2025 dan selanjutnya perusahaan disyaratkan untuk membeli CBAM certificate. Meskipun CBAM baru akan diberlakukan pada komoditas besi baja, semen, pupuk, aluminium, listrik dan hidrogen, kebijakan CBAM akan berpotensi untuk diperluas pada sektor lainnya. 

Tidak hanya negara Barat, negara lain seperti Tiongkok dan Kanada juga telah memperkuat kebijakan hijau dan mempertimbangkan penerapan regulasi berbasis emisi. Di kawasan ASEAN, Singapura dan Vietnam bergerak cepat dalam mengintegrasikan prinsip hijau dalam kebijakan industrinya agar tetap kompetitif dalam rantai pasok global. Perang dagang dan kebijakan lingkungan ini mengakibatkan terjadinya perubahan peta investasi dan rantai pasok, di mana perusahaan multinasional mulai mempertimbangkan relokasi produksi untuk menghindari beban tarif dan regulasi lingkungan yang ketat. 

Di sisi lain, Indonesia telah memperbarui komitmen iklim melalui dokumen Enhanced NDC yang menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan hingga 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030. Dalam konteks ini, sektor industri diidentifikasi sebagai penyumbang emisi terbesar kedua, menyumbang hampir 22% dari total emisi nasional, setara dengan lebih dari 170 juta ton CO₂e per tahun.

Sektor-sektor seperti semen, baja, pupuk, tekstil, dan pulp-kertas menghadapi tekanan besar untuk mengadopsi teknologi rendah karbon, termasuk elektrifikasi proses, substitusi bahan baku, efisiensi energi, dan penggunaan hidrogen atau biomassa. Namun, adopsi teknologi ini membutuhkan investasi yang besar dan infrastruktur pendukung yang belum merata.

Di saat industri nasional dipaksa berinvestasi dalam teknologi bersih dan efisiensi proses untuk merespons kebijakan proteksionis negara-negara tujuan ekspor, Industri juga harus menghadapi risiko kenaikan biaya dan akses pasar akibat tarif dagang. Tekanan ganda ini membutuhkan strategi nasional yang tangguh dan adaptif. Strategi yang tidak hanya bertumpu pada insentif teknologi atau instrumen harga karbon, namun juga mencakup diplomasi dagang, reformasi kebijakan fiskal, dan penguatan koordinasi lintas sektor.

Webinar Perang Dagang vs Perang Iklim: Industri Indonesia Dihimpit Dua Tantangan bertujuan untuk membahas lebih detail mengenai kebijakan geopolitik dalam perdagangan internasional yang mempengaruhi pengembangan industri rendah karbon nasional. 

Tujuan Kegiatan: 

  1. Menganalisis Dampak Kebijakan Perdagangan Global terhadap Ekspor Industri Nasional
  2. Mengidentifikasi Tantangan dan Kesiapan Industri Indonesia dalam Transisi Menuju Produksi Rendah Karbon
  3. Mendiskusikan Strategi Kebijakan dan Diplomasi Dagang untuk Meningkatkan Ketahanan Industri Indonesia.
  • 00

    days

  • 00

    hours

  • 00

    minutes

  • 00

    seconds

Book Event

Form/ticket icon icon
Book for Webinar Trade War vs Climate War: Indonesian Industry Faces Two Challenges
Form/up small icon icon Form/down small icon icon
Available Tickets: Unlimited
The "Book for Webinar Trade War vs Climate War: Indonesian Industry Faces Two Challenges" ticket is sold out. You can try another ticket or another date.

Date

Mei 09 2025

Time

14:00 - 15:30
Category
REGISTER

Speakers

QR Code

Leave a comment