Indonesia Belajar dari India yang Ambisius Capai 200 GW Energi Surya di 2022

Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: India Made It, and So Can We


Jakarta 16 September 2020 – Sejak tahun 2000-an, pemerintah India menunjukan keseriusannya dalam mengembangkan  energi terbarukan  untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya. Tidak tanggung-tanggung,  pemerintah India berambisi menargetkan pembangunan pembangkit  energi terbarukan sebesar 200 GW atau 42 persen dari total pembangkit listrik di tahun 2022.

Pemerintah India membangun ekosistem untuk mendukung pencapaian target energi terbarukan dalam kebijakan dan programnya seperti pembangunan solar parks dan kota surya.  Hasilnya, India mulai menunjukkan posisinya sebagai negara yang baru memiliki  10 MW pembangkit listrik tenaga surya di tahun 2010, kini mencapai 88 GW di tahun 2020.

Apa yang dilakukan India dalam mengakselerasi energi terbarukan  menjadi sesuatu yang patut ditiru pemerintah Indonesia. Untuk mengerti lebih lanjut resep sukses pengembangan PLTS di India, Institute for Essential Services Reform (IESR) melaksanakan seminar daring berjudul Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: India Made It, and So Can We. Seminar ini menghadirkan para pelaku industri energi surya dari India untuk berbagi  pengalaman dan pelajarannya.  Kanika Chawla, Director Centre for Energy Finance CEEW, India dan Kushagra Nardan, Co-Founder & President SunSource Energy, India menjadi narasumber. Sementara selaku penanggap  hadir pula Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Cita Dewi, EVP Energi Terbarukan Perusahaan Listrik Negara , Yohanes Bambang Sumaryo, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Kanika memaparkan bahwa salah satu praktik baik pemerintah India adalah membangun pasar energi terbarukan dengan cara menjelaskan secara rinci target jangka panjangnya. Hal ini membuat banyak investor baik domestik maupun internasional tertarik untuk berpartisipasi karena dapat memproyeksikan usaha mereka dalam lima atau sepuluh tahun ke depan. Tidak hanya itu, banyaknya investor yang berminat membuat negosiasi harga menjadi lebih kompetitif dan lebih murah.

“Saat ini di dunia, harga listrik tenaga surya dan angin sedang mengalami penurunan yang agresif. Terlebih di India yang sudah mempunyai pasar besar di energi terbarukan. Jika semula India hanyalah penerima harga, sekarang menjadi pembuat harga,” jelasnya.

Namun, Kanika tidak mengesampingkan bahwa dalam perjalanan India mendorong energi surya, terdapat berbagai risiko yang diidentifikasi oleh pasar, seperti risiko terkait offtake (penundaan pembayaran), curtailment – di mana jumlah energi yang dihasilkan tidak dapat diserap oleh jaringan, fluktuasi mata uang asing, akuisisi lahan dan bangunan, serta kebijakan yang tidak konsisten atau perubahan undang-undang.

Kushagra menambahkan bahwa pemerintah India memitigasi risiko tersebut dengan menerapkan kebijakan yang jelas dan konsisten baik dalam hal skala utilitas hingga net metering. Menyikapi iklim energi terbarukan yang kondusif di India, pihaknya sudah memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap di bangunan komersial seperti 10 MW di pabrik tekstil di India bagian utara, floating solar (PLTS terapung) di perusahaan minyak, dan PLTS Atap di bandara di New Delhi.

Selanjutnya Kushagra menceritakan pula tentang beberapa langkah yang pemerintah India ambil untuk merealisasikan target pengembangan energi terbarukan, misalnya keberadaan badan perangkat di pemerintahan yang khusus membantu pencapaian Misi Surya Nasional dengan Solar Energy Corporation Of India Limited (SECI) di tingkat nasional dan berbagai agensi di tingkat daerah.

Mengulas kembali, Fabby Tumiwa menekankan beberapa catatan penting yang layak menjadi perhatian pemerintah Indonesia dalam rangka mencapai target bauran energi terbarukan sebanyak 23 persen dengan 6,5 GW berasal dari PLTS di tahun 2025.

“Indonesia membutuhkan dukungan legislasi dan regulasi  dalam mengimplementasikan target energi terbarukan ke dalam program dan proyek yang lebih nyata. Seperti di India, dengan ketentuan Renewable Purchase Obligationnya (RPO) yang ditetapkan di Undang-Undang,  setiap negara bagian wajib menetapkan target  energi terbarukan sebagai prioritas yang harus dicapai. Selain itu, pemerintah India menyediakan pendanaan pendukung melalui National Clean Energy and Environmental Fund (NCEEF) dan pendampingan secara finansial kepada pengembang proyek dan optimalisasi pendanaan secara publik.  Juga terciptanya bermacam skema untuk on-grid dan off grid surya. Proses penawaran juga menjadi lebih kompetitif dalam format secara lelang terbalik skala besar yang efektif dan mampu menarik penawaran harga surya yang rendah,” jabarnya.

Proses pengadaan berupa lelang terbalik yang dirancang dengan baik, dilakukan secara efisien dan transparan, dan dalam skala besar merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong daya saing pembangkitan listrik energi surya dan menghasilkan harga pembangkitan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan energi fosil. Selain itu, Fabby memaparkan bahwa peran pemerintah negara bagian di India menjadi sangat penting dalam akuisisi lahan untuk skema solar park. Pemerintah India bertindak langsung untuk menyediakan lahannya dan membangun infrastruktur pelengkap. Di Indonesia, penyediaan lahan kerap terkendala perizinan dan lokasi yang kurang memadai, yang kemudian menyebabkan akuisisi lahan memakan porsi besar dalam belanja modal pembangunan PLTS.

Menanggapi pembelajaran pengembangan PLTS di India, Harris mengemukakan bahwa memang di Indonesia sendiri, beberapa langkah yang disebutkan belum terjadi.

“Regulasi yang berkaitan dengan energi terbarukan dalam bentuk peraturan presiden sedang diproses. Badan pemerintahan yang khusus menangani energi terbarukan juga belum ada. Tentu saja, kebijakan RPO, belum juga ada di Indonesia. Kebijakan ini menurut saya baik untuk ditiru,” jelasnya.

Terkait masalah pendanaan dan investasi PLTS, pemerintah Indonesia juga sedang menjalin komunikasi dengan organisasi internasional. Ia juga melihat masalah akuisisi lahan menjadi persoalan yang masih berlangsung di Indonesia. Ia berharap ke depannya ia bisa berdiskusi dengan kementerian dan lembaga di Indonesia sehingga lebih memudahkan investor untuk membangun PLTS.

Sementara itu, baik Cita maupun Sumaryo menyatakan kekagumannya atas keberhasilan India dalam mengelola berbagai risiko yang ada dan memberikan jalan keluar yang baik untuk pencapaian target energi terbarukannya.  Cita mengatakan PLN terbuka untuk mengadakan diskusi lebih dalam dengan India dalam mengadopsi langkah pembelajaran untuk kemajuan Indonesia di bidang energi terbarukan.


Government of India Ministry of Power Central Electricity Authority, “National Electricity Plan (Volume 1) Generation”, January 2018, hal. 144 (https://www.cea.nic.in/reports/committee/nep/nep_jan_2018.pdf diakses tanggal 15 Oktober 2020, Pukul 14.00 WIB)

Presentation materials

Presentation materials

KC - India's energy transition IESR -15Sep20

Unduh

Kushagra Nandan- SunSource Energy

Unduh

Share on :

Leave a comment