Diskusi Publik Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023: Menuju Regional Frontrunner dalam Isu Iklim dan Transisi Energi
Tayangan Tunda
Latar Belakang
ASEAN saat ini sedang mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang pesat, dengan PDB yang diprediksi akan tumbuh sekitar 4,6% pada tahun 2023 (Shofa, 2023a) dan menjadi ekonomi terbesar kelima dunia pada tahun 2030 (Shofa, 2023b). Ramalan ini juga diadopsi dalam pernyataan pemimpin ASEAN bahwa ASEAN akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia saat ASEAN Summit di bulan September lalu. Pernyataan tersebut juga menekankan pentingnya mengembangkan ekonomi hijau pada level regional untuk mencapai target nol bersih emisi, walaupun ASEAN juga menghadapi tantangan bahwa sistem energinya masih didominasi oleh energi fosil. Menurut World Economic Forum (2023), bauran energi fosil mencapai 83% pada keseluruhan bauran energi di ASEAN, sehingga menjadikan energi tersebut sebagai sumber emisi terbesar regional. Pada saat yang sama, ASEAN tidak dapat lagi mengandalkan energi fosil sebagai penyokong ekonominya dan perlu dengan segera bertransisi ke energi terbarukan, untuk mencapai target bauran EBT 23% di tahun 2025 (ASEAN, 2023). Untuk mencapai target tersebut, ASEAN sebagai kawasan perlu untuk menguatkan kebijakan energi regionalnya serta implementasi kebijakan domestik di masing-masing negara anggotanya (AMS).
Pada kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023, Indonesia juga mengadopsi beberapa isu prioritas G20 tahun lalu, seperti transformasi digital, energi berkelanjutan, dan pemulihan ekonomi global. Lebih lanjut, Indonesia juga menekankan tema keamanan energi berkelanjutan melalui interkoneksi melalui seruan untuk meningkatkan interkoneksi dengan implementasi ASEAN Power Grid (APG) dan juga Trans-ASEAN Gas Pipeline (TAGP) (JMS, 2023). Gestur ini mengindikasikan bahwa kepemimpinan Indonesia pada ASEAN 2023 lebih difokuskan pada ambisi untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur regional, dibandingkan untuk mencapai tujuan kolektif seperti peningkatan target iklim dan juga EBT dalam bauran energi ASEAN, seperti yang tertuang dalam ASEAN Joint Statement on Climate Change to the UNFCC for COP28 (ASEAN, 2023). Dalam ASEAN Leaders Declaration (2023), termuat bagaimana ASEAN akan mencapai targetnya dan juga pengakuan terhadap beberapa agenda, diantaranya adalah pembangunan ekosistem regional untuk kendaraan listrik, perubahan iklim, ketahanan energi, transisi berkeadilan, dan isu pembangunan lainnya di dalam kerangka ekonomi yang inklusif, untuk menjamin ketercapaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di ASEAN. Dokumen ini juga menggabungkan perubahan iklim sebagai salah satu isu ekonomi, seperti yang digambarkan dalam ASEAN Strategy for Carbon Neutrality (ASEAN, 2023). Kendati telah memiliki keluaran-keluaran yang membahas mengenai ekonomi hijau (1. Industri hijau; 2. Interoperabilitas dalam ASEAN; 3. Standar global yang kredibel; dan 4. Kapabilitas hijau), ASEAN masih tetap menyambut dengan hangat penggunaan teknologi CCS/CCUS yang belum terbukti dampaknya untuk pengurangan emisi. Preferensi ASEAN untuk menggunakan teknologi CCS/CCUS dapat menjadi hambatan bagi pencapaian target iklim dan transisi energi di kawasan.
Dalam konteks domestik, Indonesia masih belum memanfaatkan potensi energi terbarukannya untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris. Menurut analisis Climate Action Tracker (2022), Indonesia dinilai ‘Sangat Tidak Memadai’ dalam ambisi iklimnya. Salah satu penyebabnya adalah ketidakkonsistenan di sektor energi, dimana persentase bauran batubara meningkat dari 62% di tahun 2025 menjadi 64% di tahun 2030 mengacu pada RUPTL 2021-2023. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga sedang mengembangkan kerangka regulasi terkait CCUS dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai Hub CCS di kawasan Asia Tenggara. Di sisi lain, Indonesia masih belum mengembangkan strategi penetapan harga karbon yang lebih komprehensif. Kondisi ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan energi terbarukan yang lebih rendah karbon dan upaya dekarbonisasi di Indonesia dan kawasan. Indonesia, sebagai negara dengan perekonomian terbesar dan salah satu negara paling berpengaruh di kawasan, perlu menunjukkan posisi yang lebih strategis untuk mendorong ambisi iklim negara-negara anggota ASEAN lainnya melalui contoh konkret yang akan tercermin dalam diplomasi energi dan iklim, terutama setelah kekuatannya di ASEAN pada tahun 2023.
Terkait hal ini, Institute for Essential Services Reform (IESR) akan menyelenggarakan sebuah diskusi publik untuk membahas posisi diplomasi energi dan iklim Indonesia di ASEAN. Diskusi ini akan merefleksikan posisi Indonesia dan membangun masukan untuk pengembangan strategi diplomasi energi dan iklim pasca kekuatannya di ASEAN 2023.
Tujuan Acara
- Untuk menyediakan wadah diskusi bagi publik dan pemangku kepentingan relevan untuk meningkatkan peran diplomasi iklim dan energi Indonesia di ASEAN, secara spesifik terkait dengan pembiayaan karbon dan strategi diplomasi energi dan iklim.
- Memperoleh umpan balik dan masukan untuk persiapan rencana diplomasi iklim dan energi Indonesia yang bisa ditindaklanjuti oleh pemangku relevan baik di tingkat nasional dan regional.
Materi Presentasi
Masa Depan Energi Bersih di ASEAN – Arief Rosadi
Masa-Depan-Energi-Bersih-di-ASEAN-Arief-Rosadi-Carbon Pricing ASEAN – Kuki Soejachmoen
Carbon-Pricing-ASEAN-Kuki-SoejachmoenSpeakers
-
Moekti Handajani Soejachmoen - Direktur Eksekutif - Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID)
-
Arief Rosadi - Koordinator Diplomasi Energi dan Iklim - IESR