High Call to Global Leaders: Indonesia Civil Society View on Climate Crisis
Laporan Sintesis IPCC yang diterbitkan pada tahun 2018, secara gamlang menyatakan kita hanya punya waktu sekitar 10 tahun (2020-2030) untuk mentransformasikan pembangunan agar suhu permukaan bumi rata-rata samapai 2100 berada pada kisaran dibawah 2 derajat agar kehidupan terjaga keberlangsungannya.
Komitmen dari berbagai negara yang dituangkan dalam kesepakatan Paris masih jauh dari harapan. Laporan agregat global komitmen negara yang dilaporkan dalam Nationally Ditermined Contribution (NDC) berada di sekitar 3.3 derajat Celsius. Karenanya mobilisasi pemangku kepentingan termasuk publik menjadi penting untuk mendorong agar komitmen yang dijalankan ambisius dan progresif.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menerapkan target penurunan emisi pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional yang sudah disampaikan sebagai komitmen Nationally Ditermine Contributions (NDC) ke UNFCCC sebagai bagian dari kesepakatan global Paris Agreement (2015). Selanjutnya komitmen ini secara nasional diterjemahkan dalam kebijakan ke berbagai sektor baik energi, transportasi, industri, lahan dan kehutanan maupun pengelolaan limbah.
Dialog yang dilaksanakan oleh IESR, Yayasan Madani Berkelanjutan, ICLEI Indonesia, WALHI dan Thamrin School pada tanggal 9 April yang lalu menunjukkan bahwa aksi yang ambisius mungkin dilakukan oleh Indonesia sebelum tahun 2050. Berbagai kemungkinan yang digulirkan bersama dengan negara lainnya dan aktor-non negara untuk mentranformasikan ekonominya yang rendah karbon, inklusif berkeadilan dan berkelanjutan sejalan dengan apa yang telah disetujui dalam Persetujuan Paris.
Keseriusan dan keberpihakan akan urgensi terhadap krisis iklim dan berbagai solusinya ke berbagai pemangku kepentingan merupakan upaya yang harus dijalankan dan ditunjukan oleh para pemimpin dunia secara konsisten dengan muatan yang mudah dipahami oleh publik sekalipun. Hal ini penting karena pada akhirnya keberhasilan agar kita keluar dari krisis bergantung pada perubahan perilaku rendah emisi yang dijalankan secara konsisten baik pada tingkat kebijakan dan implementasinya, maupun dalam kegiatan keseharian warga.
Dialog ini dirancang secara komprehensif dengan alur yang runut yang ditujukan kepada seluruh pemimpin dunia dan para pemangku kepentingan, khususnya empat puluh pemimpin dunia yang akan hadir pada “Biden Summit”, 22-23 April 2021. Secara khusus TS Climate Summit ini bertujuan untuk:
(1). Menyampaikan pandangan dari masyarakat sipil Indonesia yang direpresentasikan oleh empat puluh representasi organisasi, komunitas dan individu masyarakat sipil Indonesia akan urgensi krisis iklim dan pentingnya keberpihakan pemimpin negara didunia.
(2). Mengajak pemangku kepentingan lainnya untuk menjadi bagian dari gerakan untuk terus menerus menyuarakan aspirasinya
PESERTA
Kegiatan ini akan menyasar para penentu kebijakan, peneliti, para praktisi baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, dan individu yang tertarik pada isu krisis iklim dan berbagai kebijakan lainnya yang terkait.
LINGKUP & MEKANISME PEMBAHASAN
Dialog ini akan dilaksanakan dalam enam sesi yang akan dikelompokkan kepada dua kelompok pembahasan: pertama, pembahasan pandangan tentang pentingnya strategi jangka panjang (LTS) yang ambisius, progresif dan dilakukan melalui proses yang transparan dan inklusif kepada seluruh pemangku kepentingan. Pembahasan ini akan mengundang para narsumber yang mumpuni khususnya yang terkait dengan sektor energi, tataguna lahan, perubahan lahan dan kehutanan serta perkotaan.
Kedua, pernyataan dan komitmen dari aktor negara yang direpresentasikan oleh organisasi, komunitas dan individu dalam merespon krisis iklim. Pernyataan yang akan disampaikan menyangkut pandangan, komitmen dan harapan yang dilanjutkan dengan merespon pertanyaan yang dipandu oleh moderator.
AGENDA
Pengantar Summit
- Farhan Helmy, Thamrin School of Climate Change and Sustainability
- Kementerian Luar Negeri*
- Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia*
Sesi 1
PANDANGAN SOAL STRATEGI JANGKA PANJANG (LTS) & AMBISI
Narasumber :
1. Fabby Tumiwa (IESR)
2. Hariadi Kartodiharjo (Guru Besar Fakultas Kehutanan, IPB)
3. Nur Hidayati (WALHI)
4. Andri Wibisana (Guru Besar Fakultas Hukum UI)
5. Ahmad Arif (Kompas)
6. Dino Patti Djalal, TBC
Chair: Mas Achmad Santosa*
Sesi 2
PANDANGAN & PERNYATAN PERNYATAAN SIKAP TENTANG KRISIS IKLIM
Sesi ini akan menampilkan para narsum yang Akan memberikan pandangan dan pernyataan yang dikelompokkan kedalam berbagai isu dan pemangku kepentingan: kelompok rentan, sains keberlanjutan dan peran perguruan tinggi, resiliensi dan pengurangan resiko bencana, ekonomi, investas dan peran Aktor non-negara; Agama, keyakinan dan Kebudayaan.
(1). PERNYATAAN KELOMPOK RENTAN
Persetujuan Paris yang disepakati oleh seluruh pemimpin dunia pada pertemuan tinggkat tinggi ke-21 (COP) pada tahun 2015 menyatakan secara tegas upaya pengurangan emisi global pada batas yang tidak membahayakan harus juga menaruh perhatian pada kelompok rentan: anak-anak, perempuan, masyarakat adat/lokal, penyandang disabilitas dan berbagai kelompok lainnya. Kelompok rentan ini adalah yang paling terkena dampak karena keterbatasan akses ekonomi dan kapasitas dalam menghadapi berbagai disrupsi, termasuk perubahan iklim.
Narasumber:
1. Aden Muhamad (Aktivis Disabilitas)
2. Atnike Sigiro (Jurnal Perempuan)
3. Melisa Kowara (Representasi Extinction Rebellion)
4. Ina Juniarti (Bandung System Dynamic Boothcamp/BSDB)
5. Mina Setra (Masyarakat Adat Nusantara/AMAN)
6. Didi Yakub (phi-LAB for social movement and innovation)
7. Anis Hidayah (Migran Care), TBC
Chair: Sita Supomo (Thamrin School of Climate Change and Sustainability)
Co-chair: Pardi Pay, (Forest Watch Indonesia)*
(2). SAINS KEBERLANJUTAN & PERAN PERGURUAN TINGGI
Sains memegang penting didalam menjaga agar berbagai pengambilan kuputusan mengenai respon terhadap dampak maupun peluang adanya krisis iklim didasarkan kepada sains. Peran perguruan tinggi dan berbagai lembaga penelitian sangat signifikan dan strategik untuk terus menerus men
Narasumber:
1. Edvin Adrian (Anggota IPCC)
2. Jan Sopaheluwakan (LIPI)
3. Riyanti Jalante (ASEAN Secretariat)*
4. Perdinan (IPB University)
5. Hendra Gunawan (Guru Besar Matematika ITB)
6. Yanuar Nugroho (ALMI)*
7. Karlina Soepeli (STF Drikarya)*
8. Mia Siskawati*
9. Akhmad Riqqi (Geodesi dan Geomatik, ITB)
Chair: Giorgio Indarto
Co-Chair: Farah Sofa*
(3). RESILIENSI & PENGURANGAN RESIKO BENCANA
Akumulasi kegiatan pembangunan yang eksploitatif dan ekstraktif dimasa lalu telah berdampak secara perlahan dan pasti. Cuaca ekstrim, curah hujan dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi, banjir, kekeringan, berbagi penyakit yang dipicu karena temperatur permukaan bumi yang berubah adalah diantara dampak yang sudah kita rasakan beberapa waktu ini. Aksi yang harus dilaksanakan semestinya merupakan suatu kesatuan yang komorehensif baik mitigasi, adaptasi maupun pembangunan kapasitas kelembagaan dan kesiapan warga terutama di kawasan perkotaan. Hampir lebih dari 50 persen penduduk tinggal di kawasan perkotaan, dan diperkirakan akan terus bertambah. Fokus kepada kawasan perkotaan merupakan intervensi yang strategik baik dalam penurunan emisi sekaligus membangun resiliensi.
Narasumber:
1. Andi Simarmata (IAP)
2. Ari Mochmad (ICLEI Indonesia)
3. Ahmad Safrudin (KPBB)
4. Gita Syahrani (Lingkar Temu Kabupaten)
5. Dian Afriyanie (Lokahita)
6. Irma Hidayana (Kawal Covid)*
7. Jonathan Lassa (Charles Darwin University)*
8. Laode Syarief (Kemitraan)
Chair: Eka Melisa (Thamrin School)
Co-chair: Torry Kuswandono (Perkumpulan Pikul)
(4). EKONOMI, INVESTASI & PERAN NON-STATE ACTORS
Berbagai riset yang kredibel menunjukkan bahwa kerugian ekonomi dan sosial sangatlah signifikan. Laporan WEF(2019) bahkan menempatkan dampak dari krisis iklim merupakan peringkat kedua dari sisi resiko global. Disisi lain, berbagai aksi melalui berbagai program dan proyek telah menunjukkan adanya harapan bahwa praktek ekonomi rendah emisi karbon memberikan peluang baru terhadap ekonomi yang punya daya tahan, tidak boros material dan berkelanjutan. Kerangka ekonomi yang menempatkan kegiatannya dalam batasan sumberdaya alam adalah suatu keniscayaan. Tentunya menjalankannya secara konsisten harus juga didukung oleh pengembangan berbagai instrumen pendanaan yang membuka ruang yang luas pada investasi hijau dan didukung oleh suatu tatakelola yang baik.
Narasumber :
1. Sonny Mumbunan (WRI Indonesia)
2. Timer Manurung, (Auriga)
3. Jaya Wahono (CPI)
4. Fitrian Andiansyah (IDH)
5. Heliyanti Hilman (Javara)*
6. Tiza Mafira (Diet Plastik)*
7. Misi Misiah (Kapal Perempuan)*
8. Urip Haryanto (Poros Nusantara)
9. Gema Minang (Setali Indonesia)
10. Tri mumpuni (IBEKA)*
Chairs: Jalal (TS Reader on Good Corporate Governance and Political Ecology)
Co-chairs: Anggalia Putri (Madani)*
(5). AGAMA, KEYAKINAN & KEBUDAYAAN
Peran agama dan keyakinan dalam mendorong literasi yang membumi tentang krisis iklim kepada umatnya sangatlah relevan dan penting agar berbagai norma yang diyakininya dapat dipraktekan dalam keseharian.
Narasumber:
1. Amanda Katili Niode (Climate Reality Indonesia)
2. Nana Firman (GreenFaith, USA)
3. Andri Hernandi (Komunitas Penghayat Aliran Kebatinan Perjalanan)
4. John Muhammad (Partai Hijau)*
5. Andar Manik (Jendela Ide)
6. The Habibie Center*
Chair: Victor Rembeth (Komisi PRB PGI)
Co-chairs: Hening Parlan (PP Aisyiah)