Peluncuran Studi dan Diskusi: Analisis Operasi Fleksibel PLTU dalam Rangka Integrasi Energi Terbarukan
Siaran Tunda
Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Paris melalui UU no 16/2016 yang berarti Indonesia telah mengikatkan diri untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dengan mendukung upaya global dalam membatasi kenaikan temperatur rata-rata sebesar 1.5 0C dibawah level rata-rata temperatur sebelum masa industri. Dalam salah satu model IPCC, untuk membatasi kenaikan temperatur dibawah 1.5 0C maka emisi GRK harus dikurangi sebesar 45% pada tahun 2030 dibandingkan level emisi GRK di tahun 2010, dan mencapai net zero pada tahun 2050.Dalam komitmen tersebut, pemerintah Indonesia telah menyampaikan aspirasi mencapai net-zero pada tahun 2060 atau lebih awal.
Pada COP26 di Glasgow, Pemerintah Indonesia juga menyampaikan komitmen untuk mempensiunkan dini PLTU batubara dengan kapasitas total 9,2 GW pada tahun 2030, jika ada bantuan Internasional. Dengan memberlakukan pensiun dini PLTU, maka akan ada ruang integrasi untuk energi terbarukan di sistem ketenagalistrikan Indonesia. Sasaran pensiun dini PLTU akan cenderung pada PLTU yang sudah tidak efisien dan tua.
Di sisi lain, sebagian besar PLTU Indonesia justru baru berumur dibawah 10 tahun. Bahkan sekitar 13,8 GW lagi baru mulai beroperasi pada dekade menuju 2030 ini (PLN RUPTL 2021-2030). Mempensiunkan seluruh PLTU dalam dekade mendatang akan memerlukan biaya tinggi dan juga dapat mengancam kestabilan sistem ketenagalistrikan, terutama jika pembangkit energi terbarukan belum siap dikembangkan dengan masif untuk menggantikan PLTU tersebut.
Sebagai langkah sementara, belajar dari negara lain seperti Jerman dan India, operasi PLTU dapat dikurangi secara bertahap dan bahkan dibuat fleksibel. Solusi sementara ini dapat membantu mengintegrasikan energi terbarukan (variable renewable energy terutama energi surya dan angin) sehingga mendorong kematangan dan kesiapan industri energi terbarukan untuk pembangunan energi terbarukan yang lebih masif dimasa yang akan datang. Di saat yang bersamaan, manfaat lain berupa emisi gas rumah kaca juga dapat mulai dikurangi (listrik PLTU sebagian digantikan energi terbarukan). Selain itu, biaya dan kestabilan sistem ketenagalistrikan juga dapat dijaga selama masa transisi.
Berdasarkan alasan diatas, IESR melakukan kajian terkait penerapan operasi fleksibel PLTU di Indonesia. Adalah penting untuk memastikan bahwa penerapan operasi fleksibel adalah semata untuk meningkatkan bauran energi terbarukan pada proses transisi energi sembari memastikan pengurangan emisi gas rumah kaca agar sesuai dengan Persetujuan Paris. Studi yang berjudul “An Analysis on Operating Coal-Fired Power Plants Flexibly to Further Integrate Renewables into Indonesia’s Power System” ini disusun untuk meninjau lebih dalam aspek mitigasi gas rumah kaca dan peran operasi PLTU terutama jika dibuat lebih fleksibel sebagai salah satu strategi (sementara) untuk mengintegrasikan energi terbarukan.
Publikasi Terkait
Materi Presentasi
Dimitri Pescia – Programme Lead Southeast Asia, Agora Energiewende
“Flexible Coal Generation”
2022-06-15.Pescia_Flexiblity_exisiting_coal_power_IESR
Dr. Raditya Wiranegara – Peneliti Senior IESR
220615-IESR-Flexible-CFPP-report-launch-presentation
Speakers
-
M Priharto Dwinugroho - Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan KESDM*
-
Evy Haryadi - Direktur Perencanaan Korporat PT PLN*
-
Frank Peter - Agora Energiewende*
-
Dr Raditya Wiranegara - Analis Senior IESR