IESR : Pembentukan Badan Pelaksana EBT Tidak Menyelesaikan Masalah

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pembentukan Badan Pelaksana EBT yang digagas dalam RUU EBT tidak memecah persoalan lambannya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. 

“Jangan malah terjebak logika potong kompas, berharap (pembentukan) satu institusi menyelesaikan masalah tersebut, tapi malah memunculkan masalah baru (kelak),” jelasnya dalam FGD FPKB DPR RI (2/2/2021).

Menurut Fabby, sebaiknya RUU EBT sudah mengidentifikasi hambatan utama untuk mencapai target bauran energi terbarukan seperti dari segi kebijakan, kelembagaan, sosial, teknikal dan infrastruktur sehingga mampu mempercepat perkembangan energi terbarukan.

“Pembentukan badan usaha khusus erat kaitannya dengan target nasional dan institusinya harus beradaptasi dengan lingkungan pendukung. Sedangkan RUU EBT diarahkan untuk membentuk ekosistem pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan serta mengatasi hambatan yang selama ini kita alami,”

Ia menganalisa bahwa selama ini, pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan terkendala karena faktor PLN. Sepanjang persoalan finansial PLN tidak terselesaikan, penetrasi energi terbarukan pada sistem PLN akan terhambat. Ia juga menyinggung soal target bauran energi terbarukan 23 persen di tahun 2025, yang hingga akhir tahun 2020 masih mencapai sekitar 10 persen saja.

“Target 23 persen EBT dalam PP No 70/2014 tidak segera diintegrasikan ke dalam RUPTL 2015 dan program 35 GW. Sementara program 35 GW dengan PLTU batubara berjalan, ternyata kebutuhan listrik tidak sebesar yang diproyeksikan. PLN dalam kondisi susah. Sementara  dalam 5 tahun ke depan, PLN harus tambah lebih dari 10 GW untuk mencapai 23 persen padahal mereka punya kemampuan hanya 5 GW misalnya,” urainya.

Fabby mengambil contoh badan usaha yang Pemerintah India bentuk yakni Solar Energy Corporation of India (SECI)  pada tahun 2007 untuk memecah persoalan perubahan iklim. Sementara saat itu, lebih dari 70 persen pembangkit listrik di India menggunakan batubara. Sementara, India kaya dengan air, surya dan angin. Akhirnya pemerintah India menargetkan untuk pembangunan PLTS 20 GW pada 2022. Sejak diluncurkannya program tersebut di tahun 2010, di akhir tahun 2020, India berhasil mencapai 100 GW energi terbarukan.

Sukses India ini tidak terlepas dari peran SECI.  Agar implementasi PLTS berjalan lancar SECI bertugas dalam pengerjaan berbagai skema PLTS seperti VGF, solar park, grid connected rooftop PV, dan lainnya. SECI juga melakukan koordinasi antara utilitas, perusahaan transmisi, regulator, finansial dan lainnya, sehingga pengembangan proyek energi terbarukan tidak terhambat.

PLTS Semakin Bergairah, Pemerintah Jawa Tengah Optimis Capai Target Bauran Energi Terbarukan 21,35 % di 2025

Semarang, 16 Februari 2021– Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tetap memegang teguh komitmen untuk mewujudkan Jawa Tengah sebagai provinsi yang mengandalkan energi bersih terbarukan dalam pembangunan daerahnya. Hal ini ditegaskan oleh Pj Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah, Prasetyo Aribowo mewakili Gubernur Jawa Tengah dalam Central Java Solar Day 2021 yang diselenggarakan oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR).

“Pemanfaatan energi surya sangat relevan dengan arah kebutuhan menuju energi bersih, kita juga sudah menandatangani kesepakatan dengan Bappenas untuk penurunan karbon. Secara peta jalan kebijakan, hal ini akan menjadi mainstream dalam perencanaan pembangunan di Jawa Tengah untuk tidak bergantung sepenuhnya pada fosil,” jelas Prasetyo.

Lebih jauh, Dadan Kusdiana, Dirjen EBTKE yang turut hadir pada kesempatan yang sama juga memaparkan bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun grand strategy energi nasional terkait perencanaan energi hingga tahun 2035. Menurutnya, demi mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% di tahun 2025, maka pendekatan yang paling cepat untuk mengejar ketertinggalan 11,5 persennya adalah dengan tenaga surya.

Direktorat Jenderal EBTKE saat ini juga dalam proses merevisi Permen ESDM No. 49/2018 agar dapat menarik lebih banyak masyarakat memasang PLTS atap.

“Minimal ada tiga hal yang akan kita lakukan, pertama penyesuaian aturan tarif metering 1:6,5, membuat proses reset (pengenolan) yang selama ini dilakukan per 3 bulan sekali menjadi setahun sekali, dan mengatur proses pendaftaran untuk menjawab kesulitan dalam mendapat meteran exim misalnya dengan skema online, jadi yang mendaftar akan dapat melihat ketersediaan meteran dan kesiapan PLTS atapnya,” jelas Dadan.

“Dalam RUPTL yang sedang disusun, kami akan masukkan semua yang ada di Jawa untuk danau, waduk, bendungan. Secara angka sudah ada 1900 MW yang akan kami masukkan untuk mendorong pemanfaatan tenaga surya di danau sebagai PLTS terapung,” tambahnya lagi.

Menyambut penjelasan Dadan, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menjelaskan bahwa IESR telah melakukan kajian terhadap potensi pengembangan energi surya di Jawa Tengah juga tinggi untuk PLTS di atas tanah (ground-mounted) dan PLTS terapung (floating PV). Di provinsi ini terdapat 42 waduk yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lokasi PLTS terapung sesuai Permen PUPR No. 6/2020, misalnya Waduk Gajah Mungkur (148 MWp) dan Waduk Kedung Ombo (268 MWp). 

 “Potensi teknis PLTS terapung bisa mencapai lebih dari 700 MW PLTS terapung  bila 10 bendungan terbesar di Jawa Tengah dikembangkan,” ungkap Fabby.

Ia juga menjabarkan bahwa memasang PLTS atap di sarana fasilitas publik, seperti kantor pemerintah, fasilitas publik, dan pusat layanan kesehatan bisa mencapai orde puluhan megawatt sekaligus menunjukkan kepemimpinan pemerintah provinsi Jateng yang serius dalam mengembangkan energi terbarukan.

“Survey IESR juga menunjukkan minat masyarakat besar untuk memasang PLTS atap, hanya saja informasi mengenai teknologi dan supplier masih terbatas. Untuk mendorong adopsi PLTS atap, perlu ketersediaan fasilitas pendanaan dalam bentuk kredit ringan, bunga rendah, cicilan tetap. Hal ini bisa didorong pemerintah daerah lewat Bank Jateng atau bank BUMN lainnya, khususnya untuk memberikan bantuan pendanaan pemasangan PLTS atap untuk bisnis komersial seperti UMKM,” tandas Fabby.

Agar semakin banyak yang tertarik untuk berinvestasi pada PLTS atap, IESR juga merekomendasikan agar pemerintah terus melakukan pemerataan informasi, tidak hanya teknis dan kebijakan, juga penyedia layanan pemasangan. Selanjutnya, mendorong ketersedian layanan pengoperasian dan service pada fasilitas PLTS atap untuk menjamin keberlanjutan sistem. Tidak hanya itu, perlu pula adanya skema pembiayaan yang menarik untuk fasilitas umum dan bangunan pemerintah misalnya dengan cara leasing, ESCO, third party financing, serta skema pembiayaan yang menarik untuk rumah tangga, bangunan komersial dan industri. Tentu saja, hal ini akan dapat tercapai dengan dukungan kebijakan, regulasi, dan insentif dari pemerintah daerah.

Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, semakin optimis cita-cita Jawa Tengah untuk mencapai target bauran energi terbarukan daerah sebesar 21,35% di 2025 akan tercapai pula

“Meskipun dalam kondisi sulit, pemerintah Jawa Tengah berhasil melewati target bauran energi terbarukan di tahun 2020. Dari target 11,60%, kita mampu merealisasikan sebesar 11,89%. PLTS menggeliat cukup baik,” jelasnya.

Sujarwanto juga mencontohkan salah satu upaya yang pemerintah lakukan di tahun 2020 untuk mendorong penetrasi PLTS dalam menyokong perekonomian masyarakat adalah dengan membangun  pompa air tenaga surya off grid yang tidak menggunakan aki (baterai) di Desa Kaliwungu, Kabupaten Purworejo. Berkapasitas 12 kWp, pompa ini menaikkan air dari sungai dan mengaliri lahan pertanian (sawah) seluas 20 ha.

“Ternyata, meski beroperasi pada waktu siang saja, dari jam 8 pagi hingga 5 sore, pompa ini mampu mengairi sawah 20 ha hanya dalam waktu 5 hari secara gratis. Sedangkan jika menggunakan diesel membutuhkan waktu 10 hari, dan harus membeli minyak solar lagi,” jelasnya bersemangat.

Selain itu, di 2020, bermodalkan dana dari APBN, pemerintah Jawa Tengah membangun PLTS atap di 14 titik di 11 kabupaten/kota dengan kapasitas total 505 kWp.

“Jumlah ini akan kita tingkatkan di tahun 2021. Pemerintah berencana untuk membangun sekitar 31 unit di sekitar 8 (delapan) kabupaten/kota di Jawa Tengah. Umumnya akan difokuskan pada UMKM dan pondok pesantren,”tuturnya.

Ia berharap dengan adanya PLTS atap tersebut, beban energi listrik UMKM dan pondok pesantren semakin berkurang secara signifikan, sehingga penghematan yang ada dapat digunakan untuk mengembangkan usaha. Pemerintah provinsi juga aktif mensosialisasikan regulasi, manfaat, dan perkembangan PLTS kepada berbagai kalangan, termasuk sektor komersial dan industri.

“Saat ini ESDM membuka konsultasi bagi yang berminat menggunakan PLTS. Hasilnya, PLTS cukup bergairah di Jawa Tengah. Terlihat dari semakin banyak pengembang perumahan yang berkonsultasi di ESDM untuk paket rumah baru hemat energi dengan instalasi surya atap,” tuturnya.

Berdasarkan catatan PLN UID Jateng – DIY, pertumbuhan PLTS atap semakin meningkat, dari 52 pelanggan di tahun 2019 menjadi 138 pelanggan di 2020. Pengguna PLTS atap didominasi oleh pelanggan R-2 yakni konsumen untuk rumah tangga menengah dengan daya 3.500 VA sampai 5.500 VA sebanyak 41 pelanggan. Untuk golongan tarif S2 yakni golongan sosial daya 1300 VA ke atas, semuanya berasal dari pesantren, berjumlah 23 pelanggan.

Butuh Kebijakan Suportif untuk Pengembangan Kendaraan Listrik Indonesia

Tahun 2019 yang lalu, pemerintah menerbitkan Perpres 55 tahun 2019 tentang Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa target capaian produksi mobil listrik adalah 2200 dan 2,1 juta motor listrik pada tahun 2025. Sebuah target yang ambisius untuk dicapai, mengingat saat ini ekosistem kendaraan listrik di Indonesia masih perlu banyak pengembangan.

Dalam paper “Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina” yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ekosistem kendaraan listrik meliputi: (1) infrastruktur pengisian daya; (2) model dan pasokan kendaraan listrik; (3) kesadaran dan penerimaan publik; (4) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik; (5) insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah. Studi ini secara khusus melihat strategi dan kebijakan yang dipakai tiga negara, Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dalam membangun ekosistem kendaraan listriknya. 

Dalam publikasi tersebut, dijelaskan bahwa kunci keberhasilan ketiga negara dalam meningkatkan penetrasi kendaraan listrik adalah dengan menyediakan ekosistem pendukung yang memadai. Mengingat target pemerintah untuk capaian kendaraan listrik yang cukup ambisius, perlu untuk segera membangun ekosistem yang memadai untuk kendaraan listrik.

Saat ini pengembangan kendaraan listrik di Indonesia menemui berbagai rintangan salah satu yang cukup besar adalah belum ada target dan peta jalan yang terintegrasi antar lembaga yang menaungi pengembangan kendaraan listrik Indonesia. Saat ini setidaknya ada 2 target berbeda yang dikeluarkan pemerintah tentang kendaraan listrik. Pertama, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) disebutkan bahwa target kendaraan listrik adalah sebanyak 2.200 mobil dan 2,1 juta motor pada tahun 2025. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) di sisi lain memiliki target yang lebih ambisius lagi untuk kendaraan listrik ini yaitu, 20% dari total produksi kendaraan (400.000 mobil dan 1.760.000 motor) di tahun 2025 hingga 30% (1.200.000 mobil dan 3.225.000 motor) pada tahun 2035.

Alief Wikarta, dosen dan peneliti di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, menyatakan bahwa pembangunan ekosistem kendaraan listrik tidak bisa dilakukan dengan skema business as usual. Perlu peran investor swasta untuk ikut serta menyediakan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

Salah satu kendala kendaraan listrik saat ini terkait harganya yang masih lebih mahal daripada kendaraan konvensional. Komponen yang membuat mahal kendaraan listrik adalah baterai. “40-50% harga EV dialokasikan untuk harga baterai. Jika ada skema bisnis yang bisa mengeluarkan biaya baterai dari harga yang harus ditanggung konsumen, harga kendaraan listrik akan turun drastis,” jelas Alief.

Berbagai skema untuk menekan harga kendaraan listrik diperkenalkan salah satunya yang diperkenalkan oleh kementerian ESDM yaitu skema battery swap. Dalam skema ini biaya baterai dapat ditekan, dengan syarat ada investor yang mau berinvestasi untuk membuka swap station

Skema apapun nanti yang diambil sebagai solusi, pemerintah perlu mencari investor yang siap untuk lari marathon dalam membangun ekosistem battery swap ini yaitu menanggung biaya baterai dan membuat swap stationnya. Komitmen jangka panjang dari investor ini penting karena yang akan dibangun adalah ekosistem pendukung supaya industri kendaraan listrik dalam negeri dapat bersaing di kancah global. 

“Tentu kita berharap industri kita tidak hanya dipasarkan untuk segmen pasar dalam negeri, namun juga dapat diterima pasar global. Maka kita harus memastikan kualitas kendaraan listrik yang kita buat itu baik dan memiliki ekosistem pendukung yang memadai,”

 

Integrasi Bisnis Energi Bersih

Komitmen jangka panjang dari investor ini termasuk juga kemampuan penelitian dan pengembangan (research & development) dari investor tersebut. Kemampuan penelitian dan pengembangan ini penting karena yang ingin diwujudkan adalah lahirnya ekosistem secara keseluruhan bukan sekedar capaian produksi yang meningkat. 

“Saya coba berpikir searah dengan agenda pemerintah saat ini yang sedang memberikan perhatian pada baterai. Kita perlu lebih menyuarakan lagi tentang second-life battery. Baterai-baterai yang kapasitasnya sudah di kisaran 80% mungkin sudah tidak optimal lagi untuk digunakan di mobil/motor listrik, namun baterai tersebut masih dapat digunakan untuk bidang lain misalnya PLTS atap atau turbin angin.”

Artinya apa? Kita dapat mengintegrasikan kendaraan listrik dan energi terbarukan menjadi satu ekosistem yang utuh, yang lebih bersih dan secara ekonomi menguntungkan. Kesempatan untuk menggunakan kembali (reuse) ini tidak dapat dilakukan pada kendaraan konvensional.

“Di kendaraan konvensional kan hasil pembakaran BBM berupa polusi. Kita sudah nggak bisa apa-apakan lagi. Berbeda dengan kendaraan listrik yang baterainya dapat digunakan lagi untuk keperluan lain,” jelas Alief.

Sampai saat ini kebijakan yang ada dan cara pemerintah melihat kendaraan listrik ini sebagai komponen yang terpisah-pisah, juga aspek circular ekonomi belum banyak dipertimbangkan.

“Sampai saat ini hanya dikatakan bahwa jika kita banyak memakai kendaraan listrik, maka impor BBM kita akan berkurang. Ya itu memang benar, tapi ada hal yang jauh lebih besar lagi yang bisa kita capai jika kita mengembangkan ekosistem kendaraan listrik ini dengan serius,” pungkas Alief. 

Dengarkan Perbincangan Alief Wikarta dan IESR di IESR Bicara Energi:

 

Indonesia Kelebihan Pasokan Listrik, Bisakah di Ekspor?

Ekspor Listrik PLTU Tidak Akan Efektif

Pemerintah melalui Kementerian ESDM sedang mengkaji kemungkinan untuk ekspor listrik ke Singapura. Hal ini didasari oleh surplus pasokan listrik yang dialami PLN. Dengan masuknya pembangkit listrik dari proyek 35 GW, dan penurunan permintaan listrik dari dalam negeri. Indonesia akan mengalami surplus pasokan listrik sekitar 40%. Surplus pasokan listrik yang cukup besar ini terjadi karena ada mismatch asumsi saat perencanaan dan penyusunan proyek.

“Proyek 35 GW dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7%. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut diproyeksikan kebutuhan listrik akan meningkat sekitar 8%. Kita tahu sendiri selama 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kita rata-rata hanya 5% setiap tahun, dan pertumbuhan permintaan listrik hanya sekitar 4%, ditambah tahun 2020 ada pandemi Covid–19 yang berdampak langsung pada perekonomian,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam segmen Market Review oleh IDX Channel.

Dalam kesempatan yang sama, Fabby menanggapi rencana ekspor listrik oleh pemerintah.

“Hal yang perlu dipahami adalah, ekspor-impor listrik bukanlah hal yang tidak mungkin, tapi perlu ditinjau lagi efektivitasnya dalam konteks saat ini,” tutur Fabby.

Dalam konteks ASEAN, pembicaraan tentang ekspor-impor listrik antar negara ASEAN sudah dimulai sejak 15 tahun lalu. Indonesia sendiri sudah melakukan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) ekspor listrik dengan Tenaga Nasional Berhad (TNB) Malaysia untuk mengekspor listrik dari sistem Sumatera ke Peninsula Malaysia. Kerjasama ini mempertimbangkan periode beban puncak antara Sumatera dan Peninsula Malaysia. Tercatat bahwa sistem Sumatera mengalami periode beban puncak tenaga listrik pada pukul 17.00 – 22.00 sementara beban puncak Peninsula Malaysia terjadi pada pukul 8.00 – 16.00. Melihat perbedaan periode beban puncak tenaga listrik ini maka proses ekspor listrik dari sistem Sumatera ke Peninsula Malaysia memungkinkan terjadi. Proyek ini rencananya akan mulai bergulir pada 2028 mendatang.

Potensi Penerimaan Pasar Luar Negeri

Terkait potensi pasar ekspor listrik, dalam lingkup Asia Tenggara, negara-negara ASEAN sudah banyak berbicara tentang clean electricity. Hal ini disebabkan beberapa negara ASEAN sudah memiliki target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) bahkan zero emission. Tahun lalu Singapura menyatakan akan membeli 100 MW listrik dari Malaysia yang berasal dari energi terbarukan.

“Perlu disadari dan dipahami bahwa tren global saat ini adalah pergerakan menuju energi terbarukan,” tambah Fabby

Menurutnya, berdasarkan fakta ini, maka listrik yang berasal dari energi terbarukan akan lebih diminati oleh pasar global karena terkait dengan agenda penurunan emisi GRK dari masing-masing negara.  Indonesia perlu memikirkan hal ini jika ingin serius memasuki pasar global terutama untuk isu ekspor listrik. Hal yang tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah pajak karbon (carbon border tax) yang akan mulai diperhitungkan dari tiap-tiap komoditas dalam perdagangan global, tidak terkecuali daya listrik.

“Akan tidak elok jika kita membangun banyak PLTU, lalu listriknya kita ekspor, nah itu emisinya harus ditanggung Indonesia. Ketika GRK kita tinggi reputasi kita (Indonesia-red) di kancah global akan kurang baik,” jelas Fabby.

Lebih lanjut, Fabby menyatakan bahwa jika tujuannya untuk menyerap surplus tenaga listrik, ekspor listrik tidak akan menyelesaikan masalah dalam jangka pendek dan solusi ini bukanlah solusi yang berkelanjutan (sustain). Alternatif yang ditawarkan Fabby selain ekspor listrik untuk mengatasi permasalahan surplus daya listrik, yaitu reconsider dan renegotiate

Reconsider berarti Pemerintah harus berani menimbang ulang bahkan menghentikan pembangunan PLTU baru dan mengalihkannya untuk pembangkitan energi terbarukan. Strategi ini akan menghindari over supply pada 2-3 tahun ke depan sekaligus memenuhi target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Saat ini ada sekitar 7,5 GW pembangkit listrik PLTU dari proyek 35 GW yang masih dalam proses perencanaan (perizinan, kontrak, dan lain-lain).  Dengan mengalihkan proyek PLTU menjadi pembangkit energi terbarukan, PLN akan memiliki pembangkit listrik rendah karbon, otomatis emisi gas rumah kaca dari sektor sistem energi akan berkurang.

Sementara re-negotiate adalah upaya pemerintah perlu bernegosiasi dengan pengusaha PLTU untuk menurunkan kapasitas produksi PLTU-PLTU tua, supaya memberi ruang untuk pembangkit energi terbarukan dalam sistem energi. Untuk mendorong penetrasi energi terbarukan dalam sistem energi Indonesia, perlu penurunan kapasitas dari PLTU yang ada saat ini.  

Pertumbuhan ekonomi pasca Covid-19 diproyeksikan belum berbalik positif dengan cepat. Begitu juga pertumbuhan permintaan listrik. Maka menimbang ulang, dan menghentikan pembangunan PLTU baru akan menghindari over supply pasokan listrik dalam 2-3 tahun ke depan. Karena ketika terjadi over supply pasokan listrik biaya yang harus dikeluarkan (subsidi pemerintah) mahal.

Tribunnews | PLTU Diminta Stop Beroperasi di 2030 untuk Tekan Efek Gas Rumah Kaca Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul PLTU Diminta Stop Beroperasi di 2030 untuk Tekan Efek Gas Rumah Kaca

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform, Fabby Tumiwa menyebut energi fosil di dalam negeri secara bertahap harus dikurangi untuk menekan emisi gas rumah kaca.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul PLTU Diminta Stop Beroperasi di 2030 untuk Tekan Efek Gas Rumah Kaca, https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/03/02/pltu-diminta-stop-beroperasi-di-2030-untuk-tekan-efek-gas-rumah-kaca.
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Choirul Arifin

Otosia | Indonesia Disebut Harus Belajar dari China untuk Kembangkan Mobil Listrik

OTOSIA.COM – Indonesia bisa dibilang sedang berusaha untuk bisa memproduksi kendaraan listrik sendiri. Termasuk untuk mengembangkan baterai mobil listrik yang bisa diproduksi di dalam negeri.

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, pemerintah Indonesia harus belajar dari Norwegia, Amerika Serikat, dan China untuk mengembangkan kendaraan listrk. Ketiga negara tersebut dinilai berhasil mendorong adopsi kendaraan listrik.

Artikel asli