CNBC | PLTS Bakal Jadi Raja Energi Dunia, Simak Faktanya

Jakarta, CNBC Indonesia – Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ke depan bakal menjadi raja dalam bauran energi baru terbarukan (EBT) dibandingkan pembangkit lainnya di dunia. Hal ini dikarenakan sifatnya yang modular, kapasitasnya cukup besar, lebih mudah diakses, dan tidak membutuhkan waktu yang lama dalam pemasangannya.

Artikel asli

 

CNBC | Simak, Ini Sederet Masukan untuk RUU Energi Baru Terbarukan

Jakarta, CNBC Indonesia – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) tengah dikebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan ditargetkan rampung pada Oktober 2021 mendatang.

Executive Director Of Institute For Essensial Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan tantangan yang dihadapi hari ini adalah menyediakan energi yang terjangkau, berkelanjutan, dan andal.

Artikel asli

 

Kerjasama Bilateral Jerman dan Indonesia Upayakan Percepatan Transisi Energi di sektor Ketenagalistrikan melalui Program Clean, Affordable, and Secure Energy for Southeast Asia (CASE)

 

Peluncuran program Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia (CASE) (2/2/2021) menandai kerjasama pemerintahan Indonesia dan Jerman untuk mendorong transisi energi, khususnya di sektor ketenagalistrikan, di Indonesia dan juga wilayah Asia Tenggara.

Norbert Gorrißen, Deputy Director General German Federal Ministry For the Environment, Nature, Conservation and Nuclear Safety (BMU) mengatakan dalam pembukaannya bahwa saat ini masalah perubahan iklim menjadi perhatian banyak negara besar di dunia. Menurutnya, Jepang, Cina, Filipina sudah mengambil komitmen untuk memenuhi Perjanjian Paris agar suhu bumi berada dibawah 2°C dengan mengurangi penggunaan batubara di sektor energinya. Indonesia, selaku salah satu negara berpengaruh di Asia Tenggara dan G20, patut juga mengambil komitmen serupa.

“Situasi energi di Indonesia memang sangat kompleks, tapi tidak ada cara lain selain melakukan transisi energi. Proyek CASE ini merupakan proyek besar antara Jerman dan Indonesia. Melaluinya, kami siap berbagi pengalaman terkait transisi energi yang sudah Jerman lakukan. Saat ini, di Jerman, lebih dari 50 persen listriknya berasal dari energi terbarukan,” jelasnya.

Lisa Tinschert, Program Manager CASE Indonesia untuk GIZ Indonesia mengemukakan bahwa salah satu tantangan terbesar yang harus CASE hadapi untuk dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia adalah kapabilitas dan kemauan politik yang masih rendah atau tidak tersedianya informasi mengenai transisi energi.

“Tantangan selanjutnya adalah kebijakan, peraturan dan rencana yang tidak senantiasa konsisten dan tidak memprioritaskan pembangunan desentralisasi energi terbarukan, serta ekosistem bisnis dan akses terhadap pendanaan yang belum terlalu mendukung transisi energi,” urai Lisa.

Fabby Tumiwa, Project Lead CASE Indonesia dari Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan bahwa transisi energi tidak sekedar hanya dengan mengembangkan dan menambah jumlah pembangkit listrik energi terbarukan, tapi juga menghentikan pembangunan PLTU batubara (baru), serta mempensiunkan PLTU batubara yang berumur lebih dari 30 tahun.

“Meski tidak signifikan, terjadi peningkatan pembangunan energi terbarukan di 2020, umumnya berasal dari tenaga air dan juga surya sebanyak 28,8 MW. Total kapasitas pembangkit energi terbarukan yang terpasang hingga 2020 sekitar 10,5 GW,” imbuhnya.

Menurut Fabby, hal penting yang masih menjadi pekerjaan rumah dalam transisi energi adalah efisiensi energi. Beberapa program untuk mendukung efisiensi energi di Indonesia di antaranya adalah mengurangi konsumsi energi di sektor transportasi, memperbaharui dan memperkenalkan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) dan mewajibkan pencantuman Label Tanda Hemat Energi bagi peralatan-peralatan listrik, dan memanfaatkan potensi bangunan hijau. Mengutip laporan IESR terbaru, Indonesia Energy Transition Outlook 2021, Fabby mengemukakan bahwa kekurangan dana dan minimnya pengawasan menyebabkan potensi besar di energi bangunan hijau menjadi sia – sia.

“Meningkatkan efisiensi energi akan menghentikan permintaan energi sehingga mengurangi beban untuk membangun pembangkit listrik, terutama PLTU batubara di waktu mendatang. Meningkatkan pembangunan energi terbarukan dan efisiensi energi menjadi kunci percepatan transisi energi,” tambahnya.

Menyoal mandat bauran energi terbarukan dengan target 23 persen di 2025, EVP Electricity System Planning PLN Edwin Nugraha Putra, mengatakan PLN berkomitmen untuk mencapainya, salah satunya dengan menggiatkan co-firing di PLTU batubara. Hanya saja ia menyadari tantangan terbesar melakukan co-firing adalah ketersediaan feedstock-nya hingga mencapai 16 juta ton biomassa/tahun.

“Kami berharap dengan kehadiran CASE akan mampu mengurai permasalahan mengenai demand serta mendorong investasi energi terbarukan. Kami siap membangun energi terbarukan dengan (salah satunya-red) renewable energy base on economic development (REBED).,” kata Edwin.

Investasi menjadi bagian yang juga disoroti oleh Zulvia Dwi Kurnaini, Analis Kebijakan Senior, BKF, Kementerian Keuangan. 

“Kementerian keuangan berkomitmen untuk transisi energi. CASE akan menjadi mitra dalam memberikan masukan kebijakan fiskal yang mendukung investasi energi terbarukan untuk  mencapai transisi energi tersebut. Saat ini pemerintah melakukan kewajibannya untuk menyediakan listrik dengan harga terjangkau dengan memberikan subsidi di energi fosil. Namun, di sisi lain, pemerintah juga memiliki kewajiban lain untukmengembangkan energi bersih. Padahal APBN masih sangat terbatas,” tukasnya.

Zulvia berharap Bappenas selaku mitra politik dari program CASE dapat memainkan peranannya sebagai lokomotif untuk melihat berbagai aspek transisi energi seperti kesehatan PLN, APBN, dan keekonomian energi terbarukan menjadi satu bagian yang utuh.

Mewakili Bappenas, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Rachmat Mardiana berharap dengan bekerja sama dalam program CASE bisa membantu untuk memberikan solusi bagi permasalahan di sektor kelistrikan di Indonesia, mulai dari sisi energi primer seperti ketergantungan pada energi fosil, transformasi dalam sistem ketenagalistrikan yang di antaranya belum terintegrasi dan sinergis, serta hambatan di pengguna akhir, seperti akses listrik yang belum merata.

Di Indonesia, program CASE dijalankan oleh GIZ Indonesia bersama Institute for Essential Service Reform (IESR) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Kementerian PPN/Bappenas merupakan mitra politik di dalam Program CASE Indonesia yang menjadi badan pelaksana atas nama Pemerintah Republik Indonesia.  Selanjutnya, Direktorat Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas akan mengelola dan mengkoordinasikan program CASE di Indonesia. Selain itu, Program CASE Indonesia juga akan mendapatkan dukungan mitra konsorsium internasional yang terdiri dari Agora Energiewende dan NewClimate Institute.


Materi paparan

Fabby Tumiwa_CASE KickOff_Energy Transition Status in Indonesia

Unduh

CASE Kick-Off Workshop - CASE Intro - Lisa Tinschert final

Unduh

02.02.2021 - (rev5)Presentasi Direktorat KTI - Kick Off CASE

Unduh

02.02.2021 - (Pak Yusuf?) Outlook and Agenda

Unduh

Transisi Energi Mendesak, Indonesia Harus Segera Akselerasi Pengembangan Energi Terbarukan

Transisi energi telah berlangsung di seluruh dunia dan perkembangan energi bersih di dunia semakin menjanjikan. Kemajuan teknologi dan implementasi skala luas memungkinkan penurunan biaya investasi energi terbarukan, terutama pada PLT Surya (PLTS) dan PLT Bayu (PLTB). Hanya dalam satu dekade (2010-2019), harga panel surya dan turbin angin telah turun masing-masing sebesar 89% dan 59%. 

Selain itu, inovasi teranyar di bidang teknologi penyimpanan baterai memberikan akses biaya yang lebih murah pada harga baterai Li-ion yang juga turun sebesar 89% di periode yang sama. Pada tahun 2030, membangun pembangkit listrik baru dari energi terbarukan akan lebih murah daripada mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang sudah ada di seluruh belahan dunia. Bahkan di beberapa negara, kondisi ini sudah terjadi. Perkiraan tersebut mengindikasikan bahwa pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil baru akan semakin tidak menguntungkan dan berisiko.

Pengembangan energi terbarukan dalam skala besar dan cepat merupakan keniscayaan untuk menghindari krisis perubahan iklim akibat pemanasan global sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia sebagai salah satu negara pengemisi terbesar di dunia dituntut untuk menurunkan konsumsi energi fosil dengan melakukan transisi energi secepatnya, khususnya di sektor kelistrikan.

Tahun 2020-2021 merupakan waktu yang krusial untuk memulai proses transisi energi Indonesia. Pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19 seharusnya dapat diselaraskan dengan pembangunan rendah karbon. Namun, berdasarkan data yang dihimpun oleh IESR dalam IETO 2021, pemerintah Indonesia masih belum beranjak dari pengembangan energi fosil. Hal ini terlihat dari upaya penyelamatan ekonomi Indonesia dari dampak krisis COVID-19. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar 6,76 miliar dolar untuk bidang energi, namun hanya 3.5% untuk energi bersih

Pemerintah juga tetap merencanakan untuk melanjutkan pengembangan industri hilir batubara dengan sembilan usulan insentif yang dibahas di tiga kementerian yang berbeda. Padahal inisiatif tersebut berpotensi menjadi beban anggaran pemerintah seiring dengan risiko proyek hilirisasi batubara yang tinggi dan semakin terbatasnya investasi sektor batubara.

Pandemi COVID-19 menyebabkan Indonesia mengalami penurunan permintaan konsumsi listrik yang signifikan dan, juga kelebihan pasokan listrik dalam negeri. Bahkan, diperkirakan pertumbuhan permintaan untuk beberapa tahun ke depan lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan dalam lima tahun terakhir, berkisar antara 4–4,5% per tahun. Strategi untuk mendorong transisi energi perlu mempertimbangkan pertumbuhan permintaan listrik yang lebih rendah tersebut sehingga pembangunan energi terbarukan merupakan prioritas serta mempensiunkan pembangkit listrik tenaga fosil, khususnya batubara, perlu segera dipertimbangkan.

Faktor kuat lainnya untuk melakukan transisi energi berasal dari hasil pemodelan Institute for Essential Services Reform (IESR) terhadap RUPTL 2019-2028 yang menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) PLTU batubara dapat mencapai lebih dari 300 juta ton CO2e sebelum tahun 2028. Bahkan di tahun 2022, Indonesia diproyeksikan akan melampaui jalur emisi GRK 2° C. Padahal sejak 2016, Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris, melalui UU No 16/2016 dan pemerintah sudah menyerahkan Nationally Determined Contribution (NDC) ke UNFCCC sebagai tindak lanjut komitmen tersebut. Oleh karena itu, negara terikat secara hukum untuk memenuhi target perubahan iklim global dan harus memprioritaskan upaya untuk mengurangi emisi GRK secara signifikan.

Pemerintah sepatutnya menggunakan momentum ini dengan membuat kebijakan agresif untuk memenuhi komitmen Kesepakatan Paris agar suhu bumi terjaga di bawah 1.5o C. Pada laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, IESR mendesak Presiden Jokowi dan menteri sektoral terkait untuk segera memperkuat komitmen politiknya untuk melakukan transisi energi, dimulai dengan sektor kelistrikan. Komitmen transisi energi ini diwujudkan dengan akselerasi pengembangan energi terbarukan dan peningkatan ambisi dari target penurunan emisi gas rumah kaca dalam NDC Indonesia yang selaras dengan target dan kerangka waktu Kesepakatan Paris menuju net-zero emission pada pertengahan abad ini. 

Komitmen diwujudkan dalam penguatan ekosistem untuk mendukung transisi energi, termasuk diantaranya meningkatkan daya tarik untuk mendorong investasi proyek pembangkit listrik energi terbarukan sebesar $3-5 miliar/tahun sampai dengan 2025, melakukan moratorium pembangunan PLTU batubara, mempercepat penutupan secara berkala PLTU batubara di bawah umur 20 tahun, serta pengembangan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan.

“Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Pemerintah mempunyai target 23 % bauran energi terbarukan di 2025. Menurut analisa IESR, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahun sekitar 2 hingga 3 GW hingga tahun 2025,” ungkap Fabby Tumiwa, Eksekutif Direktur IESR.

IESR memprediksi penambahan kapasitas baru hanya sekitar 400-500 MW tahun ini, terutama yang berasal dari proyek panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air. Pemerintah patut mempertimbangkan pengembangan energi terbarukan yang juga berpotensi besar seperti PLTS baik secara industri maupun rumah tangga.

Hasil asesmen pada Kerangka Kesiapan Transisi (Transition Readiness Framework) yang IESR kembangkan dan perkenalkan dalam IETO 2021 menunjukkan bahwa secara umum Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk mendorong proses transisi energi. Pada kerangka kesiapan transisi tersebut, IESR telah mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam empat dimensi utama, yaitu dimensi politik dan regulasi, investasi dan pendanaan, tekno-ekonomik, dan sosial. Kerangka tersebut akan dapat membantu melacak kemajuan Indonesia dalam mengatasi tantangan transisi energi Indonesia dari tahun ke tahun.

Deon Arinaldo, penulis utama dalam laporan IETO 2021 menjelaskan bahwa kerangka kesiapan transisi IESR dibangun dengan mengadaptasikan beberapa kerangka pengukuran transisi energi global dan juga disesuaikan dengan tantangan transisi energi yang unik ada di Indonesia. Dalam melakukan asesmen kerangka tersebut, IESR melakukan analisis serta wawancara dan survei kepada berbagai pemangku kepentingan di sektor ketenagalistrikan sehingga dapat merefleksikan progres transisi energi Indonesia secara lebih inklusif.

“Pemerintah dapat menggunakan kerangka kesiapan transisi sebagai alat bantu dalam mengidentifikasi isu-isu yang dihadapi selama ini sehingga dapat memfokuskan upaya dalam mengakselerasi proses transisi energi Indonesia,”ujar Deon.

IETO 2021 sendiri merupakan transformasi dari laporan Indonesia Clean Energy Outlook (ICEO) yang telah secara rutin IESR hasilkan untuk memantau perkembangan energi bersih.

Rebranding ICEO menjadi IETO dilakukan dalam rangka menegaskan dan merefleksikan misi IESR dalam  mendukung akselerasi pembangunan energi bersih dan mengurangi porsi energi fosil di tanah air dalam kerangka transisi energi,” jelas Fabby Tumiwa.

Laporan IETO 2021 ini tidak hanya fokus menganalisa perkembangan energi bersih, namun juga mulai menyoroti dinamika dan penerapan kebijakan pemerintah di energi fosil dalam memberikan gambaran yang jelas sejauh mana Indonesia berjalan pada jalur transisi energi yang kini semakin progresif tidak hanya di dunia, tetapi juga di Asia Tenggara.

Peluncuran laporan IETO 2021 diadakan pada Selasa, 26 Januari 2021 pukul 09.00-13.00 WIB melalui saluran Zoom maupun kanal YouTube IESR.

Sindo | Indonesia Belum Beranjak dari Energi Fosil

JAKARTA – Berdasarkan data yang dihimpun oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, pemerintah Indonesia masih belum beranjak dari pengembangan energi fosil . Sementara itu tahun 2020-2021 merupakan waktu yang krusial untuk memulai proses transisi energi Indonesia.

Baca artikel lengkapnya

 

iNews | Defisit Transaksi Berjalan Migas 2021 Diperkirakan Naik

JAKARTA, iNews.id – Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah di sektor energi terkait impor minyak dan LPG yang masih tinggi. Periset Data dan Informasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo memperkirakan defisit transaksi berjalan migas cenderung kembali naik pada 2021.

“Untuk migas, defisit transaksi berjalan akan membengkak lagi seiring dengan kenaikan harga minyak,” ujarnya dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, Selasa (26/1/2021).

Baca artikel lengkapnya

 

CNBC | PLTU Harus Disetop Kalau Mau Capai Nol Emisi, Bisa Nggak Ya?

Jakarta, CNBC Indonesia – Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara harus dihentikan jika ingin meraih target emisi nol persen pada 2050 sebagaimana kesepakatan dalam Perjanjian Paris.

Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, berdasarkan The World Energy Outlook 2020, jika ingin mencapai Perjanjian Paris tersebut, maka PLTU subcritical yang memproduksi sekitar 5.000 Tera Watt hours (TWh) harus berakhir pada 2030 dan semua jenis PLTU yang lebih maju harus berhenti sebelum 2040.

Baca artikel lengkapnya

 

Sindo | PLTS Atap Akan Jadi Penyumbang Utama Program EBT

JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) memproyeksi penambahan kapasitas terpasang energi baru terbarukan mencapai 400-500 MW di 2021. Hal ini masih jauh di bawah realisasi target yang tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Periset Teknologi dan Material Fotovoltaik IESR Daniel Kurniawan mengatakan, pada tahun 2020, penambahan kapasitas energi terbarukan hanya 187,5 MW, terendah dibandingkan 5 tahun sebelumnya. Hal ini karena penundaan konstruksi, terutama proyek-proyek PLTA dan juga panas bumi.

Baca artikel lengkapnya