Menggalakkan Pemanfaatan Energi Surya di Jambi

Jambi, 28 November 2023 – Dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia menargetkan 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Hingga tahun 2023, Indonesia baru meraih 12,5% energi terbarukan pada bauran energinya. Dalam Forum Pemerintah Jambi yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR) berkolaborasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jambi (28/11), Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan menyatakan bahwa Dewan Energi Nasional (DEN) memprediksi pada tahun 2025 Indonesia hanya akan mencapai 17-19 persen bauran energi terbarukan pada bauran energi nasional.

“Peran provinsi dalam mengejar target energi terbarukan yang telah ditentukan penting, sesuai dengan potensi di tiap-tiap daerah,” kata Yunus.

Yunus menambahkan,  Jambi memang memiliki sumber daya fosil yang cukup banyak, namun masih dapat menangkap berbagai peluang untuk mengembangkan energi terbarukannya, seperti penggunaan PLTS atap pada bangunan pemerintah.

Anjas Bandarso, Analisis Kebijakan Energi dari Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, dalam forum yang sama menyoroti perihal kewenangan pemerintah daerah yang terbatas untuk urusan energi. 

“Apapun yang dilakukan oleh daerah, selama tidak ada kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah maka hanya akan menjadi cerita belaka. Maka pemerintah pusat mencari upaya bagaimana daerah bisa mengembangkan energi baru terbarukan. Hal ini dapat diwujudkan dengan Perpres 11/2023 tentang tambahan kewenangan konkuren bagi pemerintah daerah,” kata Anjas.

Nanang Kristanto, Sub Koordinator Pemantauan Pelaksanaan RUEN, Dewan Energi Nasional menambahkan bahwa target apapun yang menjadi prioritas pemerintah baik itu untuk Net Zero Emission (NZE) ataupun mencapai angka bauran energi terbarukan, pemerintah daerah memiliki peran penting. 

“Pemerintah daerah memiliki peran penting untuk mendorong agenda transisi energi dengan memaksimalkan kegiatan turunan transisi energi di wilayahnya, dukungan pendanaan, menyiapkan SDM untuk menjaga instalasi pembangkit terdesentralisasi, serta sosialisasi tentang energi baru terbarukan di kabupaten bahkan kecamatan,” kata Nanang.

Selain memiliki hasil alam seperti perkebunan kelapa sawit dan penghasil batubara, Jambi juga memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Provinsi Jambi menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 24% pada tahun 2025, dan target ini optimis tercapai sebab saat ini sedang dibangun PLTA Merangin-Kerinci dengan kapasitas 350 MW. 

Jambi juga memiliki potensi energi surya yang cukup besar, mencapai 281,5 GW berdasarkan kesesuaian lahan. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR menyatakan bahwa energi surya bisa menjadi salah satu pilihan yang memungkinkan berbagai pihak untuk ikut berkontribusi pada tersedianya listrik yang bersih. 

“PLTS atap memiliki sejumlah manfaat seperti sebagai sarana gotong-royong pencapaian target bauran energi dan penurunan emisi, tersedianya sumber listrik bersih di berbagai daerah, membuka peluang usaha/kerja bagi warga sekitar, juga meningkatkan daya saing industri/usaha tenaga surya di Indonesia,” katanya.

Marlistya menambahkan bahwa masyarakat mendambakan adanya insentif untuk pengguna PLTS atap yang dapat berupa kemudahan perizinan, ataupun fasilitasi pembiayaan oleh pemerintah.

Menggali Lebih Dalam Dampak Transisi Energi pada Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 21 November 2023 – Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Produksi batubara di Indonesia terkonsentrasi pada empat provinsi yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan. Batubara atau sektor pertambangan menjadi komponen signifikan pada perekonomian lokal para daerah penghasil batubara ini. 

Adanya agenda transisi energi secara global membuat setiap negara berpotensi menurunkan permintaan batubara. Hal ini akan menjadi ancaman utamanya bagi provinsi penghasil batubara jika tidak disikapi dengan strategis.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam acara Media Dialogue: Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia menyatakan tren penurunan produksi batubara akan dirasakan mulai tahun 2025 berdasarkan proyeksi IESR. 

“Berangkat dari hipotesa ini, kami mencoba melihat empat aspek dari transisi energi pada daerah penghasil batubara yaitu sektor pekerjaan, masyarakat sekitar yang bergantung secara ekonomis pada industri tambang, penerimaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan perekonomian daerah secara keseluruhan,” kata Fabby.

Untuk itu, Fabby menekankan pentingnya mempersiapkan daerah penghasil batubara melakukan transisi bertransisi sebab akan ada dampak ekonomi yang signifikan jika proses transisi tidak dipersiapkan sejak sekarang.

Syahnaz Nur Firdausi, analis iklim dan energi IESR, menjelaskan salah satu temuan utama kajian ini yakni kontribusi signifikan sektor pertambangan pada pendapatan daerah.

“Kontribusi sektor pertambangan pada PDRB sebesar 50% di Muara Enim dan 70% di Paser. Namun kontribusi besar ini tidak berbanding lurus dengan nilai tambah pada besaran upah tenaga kerja atau efek pengganda lainnya. Dengan kata lain, keuntungan dari sektor pertambangan sebagian besar dinikmati oleh perusahaan, bukan masyarakat sekitar,” kata Syahnaz.

Martha Jessica, analis sosial dan ekonomi IESR, menambahkan bahwa ada kesenjangan pemahaman diantara masyarakat, pemerintah daerah, dan perusahaan tambang. Perusahaan tambang sudah menyadari adanya tren untuk beralih ke energi terbarukan dan mereka memang berencana untuk bertransisi.

“Perlu ada komunikasi antara perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat terkait rencana transisi dan bisnis model baru dari perusahaan supaya pemerintah daerah dan masyarakat dapat bersiap-siap,” kata Martha.

Hasil temuan studi IESR ini diamini oleh perwakilan pemerintah daerah Muara Enim dan Paser. Kepala Bappeda Muara Enim, Mat Kasrun, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerahnya bersifat eksklusif. 

“Pertumbuhan ekonomi di Muara Enim sebesar 8,3% pada 2023 namun angka kemiskinan ekstrem masih di angka 2,9%. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dinikmati segelintir orang saja,” katanya.

Kondisi di kabupaten Paser kurang lebih mirip dimana kontribusi sektor pertambangan pada pendapatan daerah sangat besar. Rusdian Noor, Sekretaris Bappeda kabupaten Paser, menyatakan bahwa daerahnya membutuhkan pendampingan khusus untuk menghadapi era transisi energi ini. 

“75% pendapatan kabupaten Paser pada tahun 2022 disumbang oleh sektor pertambangan dan pertanian, dan alokasi belanja APBD ini banyak untuk pembangunan infrastruktur. Kalau langsung beralih ke energi bersih dan tambang tidak lagi beroperasi, kami tidak bisa lagi melakukan pembangunan. Nah, kami perlu pendampingan khusus supaya dengan adanya transisi ini, kami tidak kehilangan daya (ekonomi, red),” kata Rusdian.

Reynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menanggapi studi ini dengan menggarisbawahi keterbatasan wewenang pemerintah daerah dalam urusan energi. Untuk itu, diperlukan pendekatan komprehensif untuk memastikan proses transisi berjalan secara berkeadilan.

“Transisi yang berkeadilan adalah transisi yang mendukung pemulihan dan perbaikan ekosistem. Transisi energi Ini bisa menjadi momentum harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah,” kata Reynaldo.

Nikasi Ginting, Sekretaris Jenderal DPP FPE Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia,  menyoroti adanya kesenjangan kebutuhan jumlah pekerja dari transisi energi ini.

“Contoh yang terjadi di Sidrap tahun 2013, saat proses pembangunan PLTB dibutuhkan hingga 4480 pekerja namun saat selesai dan beroperasi tenaga kerja yang dibutuhkan hanya ratusan saja. Nasib dari ribuan pekerja ini harus menjadi perhatian bersama,” katanya.

Laporan lengkap Transisi yang Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia dapat diunduh di sini.

Cerita Energi Melalui Komedi

Jakarta, 16 November 2023 – Komunikasi yang efektif penting dilakukan untuk mengubah paradigma dan menyebarkan narasi transisi energi. Isu yang cukup kompleks dan lintas sektoral membuat komunikasi transisi energi menjadi menantang. Untuk itu perlu dicari bentuk-bentuk komunikasi alternatif sebagai pembuka jalan penyebaran narasi transisi energi ini. 

Program Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia melaksanakan pagelaran komedi tunggal (standup comedy) untuk mendorong narasi transisi energi dengan cara yang lebih informal dibalut dengan komedi. Acara yang bertajuk “Ngomongin Energi Pake Komedi” ini menampilkan lima komedian tunggal dengan berbagai latar belakang.

Dalam sesi pengenalan program, Manajer Proyek CASE, Agus Tampubolon menjelaskan bahwa inisiatif ini terinspirasi dari science slam seperti di Jerman. 

“Tujuannya supaya science itu dibedah dengan bahasa yang mudah dipahami dan dikaitkan dengan topik-topik sehari-hari,” kata Agus.

Hal ini senada dengan pandangan Rahmat Mardiana, Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas, yaitu perlu upaya khusus untuk mendorong komunikasi isu transisi energi di Indonesia.

“Transisi (energi) ini hal yang cukup kompleks, di mana kita perlu mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Menjadi kompleks karena berhubungan erat dengan SDM dan ketersediaan finansial, sehingga perlu kegiatan yang komunikatif supaya pemahaman ini semakin menyebar luas,” kata Rahmat.

Deputi Sarana dan Prasarana, Kementerian PPN/ Bappenas, Ervan Maksum, menambahkan bahwa narasi transisi energi dan kebutuhan untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celcius mungkin sudah menjadi pemahaman bagi sebagian orang. Namun bagi kelompok tertentu diperlukan contoh peristiwa dan bahasa yang lebih mudah dipahami.

“Masyarakat bahkan mungkin pemerintah daerah membutuhkan topik relevan yang lebih konkret seperti durasi dan pola musim yang semakin kacau untuk memahami krisis iklim dan transisi energi ini. Maka kegiatan ini sangat baik karena meski mungkin saat tampil tidak membawakan materi transisi energi atau tidak lucu, minimal saat persiapan dia (komika-red) pasti membaca atau belajar tentang transisi energi sehingga proses pembelajaran tetap terjadi,” katanya.

Acara ini menampilkan Byan Yukadar (1st Runner Up Porseni Stand-Up Comedy Bappenas), Muhammad Fadhil (2nd Runner Up Porseni Stand-Up Comedy Bappenas), Irvan S. Kartawiria, (Wakil Rektor bidang Akademik, Swiss German University (SGU) Periode 2018-2022), Hery Sutanto (Dekan Fakultas Teknik dan Ilmu Hayati, Swiss German University (SGU) dan Pandji Pragiwaksono (CEO of COMIKA & Stand-up Comedian Indonesia).

Inventarisasi Aksi Perubahan Iklim di Asia Tenggara

Johor Bahru, 15 November 2023 – Dalam mencapai agenda transisi energi global, berbagai pihak kawasan Asia Tenggara mengambil langkah-langkah aksi iklim termasuk aktor non-negara. Partisipasi penuh makna dari aktor non-negara sangat penting dalam mencermati kebijakan yang sedang berjalan dan memberikan masukan untuk perbaikan di masa depan.

Inventarisasi menjadi kegiatan penting untuk melihat kemajuan mitigasi dan komitmen iklim saat ini. Hasil penilaian tersebut kemudian dapat digunakan untuk merancang rekomendasi kebijakan yang kuat. Aktor non-negara dapat memperkaya nuansa inventarisasi global dengan menyelaraskan aksi iklim dengan kepentingan komunitas global.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essentials Services Reform (IESR) menyoroti hal-hal penting yang dapat diambil dari survei global pertama pada Asia Pacific Climate Week 2023 dalam sesi “Integrating the role of NSAs focused on the thematic areas–Adaptation, Finance, and Mitigation”. Ketidakseimbangan pertumbuhan emisi global dibandingkan dengan rencana mitigasi iklim membuat kebutuhan untuk bertransformasi secara sistematis menguat.

“Kita memerlukan ambisi iklim yang lebih besar yang diikuti dengan tindakan dan dukungan pada aksi mitigasi iklim di kawasan (Asia Tenggara-red),” katanya.

Wira menambahkan bahwa untuk mencapai emisi net-zero memerlukan transformasi sistematis di semua sektor, dan kita perlu memanfaatkan setiap peluang untuk mencapai output yang lebih tinggi. Sektor bisnis dan komersial merupakan aktor penting dalam mempercepat transisi energi karena mereka mengonsumsi energi dalam jumlah besar. Selain itu, beberapa industri (terutama yang terlibat dalam rantai pasok berskala multinasional), mempunyai kewajiban untuk menghijaukan proses bisnisnya.

“Apa yang dapat dilakukan pemerintah bagi dunia usaha (untuk mendekarbonisasi proses bisnis mereka) adalah menyediakan lingkungan yang mendukung jika mereka ingin beralih ke proses bisnis yang lebih berkelanjutan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan insentif dan disinsentif berdasarkan pilihan sumber energi yang digunakan untuk menggerakkan dunia usaha,” tutup Wira.

Jingjing Gao, dari UNEP Copenhagen Climate Centre, menambahkan bahwa inisiatif yang dipimpin oleh sektor swasta patut diperhatikan dan diapresiasi. Namun saat ini, masih terdapat kesenjangan dalam penggabungan data secara keseluruhan dari sektor swasta.

Refleksi Kewenangan Pemerintah Daerah untuk Transisi Energi pada Forum Energi Daerah 2023

Jakarta, 7 November 2023 – Peran pemerintah daerah dalam percepatan transisi energi diharapkan semakin signifikan. Kementerian Dalam Negeri sebagai badan induk yang memfasilitasi para pemerintah daerah berusaha memfasilitasi kebutuhan ini dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 tahun 2023 tentang urusan pemerintahan konkuren tambahan di bidang energi dan sumber daya mineral pada sub-bidang energi terbarukan. 

Adanya payung hukum untuk pemerintah daerah ini diharapkan dapat memberikan kewenangan tambahan bagi pemerintah daerah, dan secara linier berdampak pada percepatan transisi energi. 

Sri Retnowati, Analis Kebijakan Ahli Muda Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah I, Kementerian Dalam Negeri menegaskan dengan terbitnya Perpres 11 tahun 2023 diharapkan pemerintah daerah dapat lebih leluasa dalam mengambil program inisiatif.

“Keterbatasan kewenangan itu berkorelasi erat dengan keterbatasan anggaran, maka melalui instrumen kebijakan, kami memberikan kewenangan lebih pada daerah,” kata Retno.

Retno menambahkan bahwa pihaknya masih mendapatkan keluhan bahwa Peraturan Presiden No 11/2023 ini masih belum efektif berjalan, terutama menyangkut dengan kapasitas fiskal yang belum dapat digunakan. Retno mengungkapkan bahwa hal ini membuat beberapa daerah memilih untuk tidak segera menjalankan Perpres 11/2023.

Ariansyah, Perwakilan Dinas ESDM Sumatera Selatan, menyoroti tentang pembagian kewenangan perizinan industri. Jika seluruh perizinan industri berkumpul di pemerintah pusat, sulit bagi pemerintah daerah untuk mengawasi dan menindak tegas pelaku industri yang tidak mendukung agenda pemerintah, seperti penggunaan energi yang kurang efisien atau tidak melakukan praktik-praktik konservasi energi. 

Menyoroti perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang sedang dikerjakan oleh Dewan Energi Nasional, Ariansah memandang perlunya ketentuan mengenai konservasi energi untuk menyokong pencapaian bauran energi daerah.

“Dalam draf RPP KEN yang baru kami melihat poin konservasi energi dihapus, jika hal ini berlaku maka bauran energi terbarukan Sumatera Selatan akan turun, karena bauran energi terbarukan Sumsel yang mencapai 23% saat ini banyak disumbang dari industri-industri yang kita minta untuk melakukan konservasi energi,” kata Ariansyah. 

Yunus Saefulhak, Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan, Dewan Energi Nasional (DEN) dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa tujuan besar dari revisi kebijakan energi di Indonesia ini untuk meningkatkan ketahanan energi sekaligus menyediakan energi dengan harga terjangkau.

“Selain itu, (revisi KEN-red) bertujuan juga untuk memenuhi kebutuhan energi yang rasional untuk mencapai target human development index dan ekonomi tinggi sebagai negara maju, dan terwujudnya dekarbonisasi dan transisi energi untuk mencapai peak emission sebelum 2045 dan NZE di tahun 2060,” kata Yunus.

Pesan untuk Para Pemimpin Negara Jelang COP 28

Jakarta, 3 November 2023 – Pertemuan para Pihak untuk Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP 28) akan segera diselenggarakan di Dubai, Uni Arab Emirate. Salah satu agenda pertemuan tahunan ini adalah untuk melihat perkembangan aksi berbagai negara untuk menangani krisis iklim. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) hari Jumat 3 November 2023, Marlistya Citraningrum, Program Manajer Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa menyongsong pertemuan tahunan para pemimpin dunia ini, Pemerintah Indonesia baru saja merilis dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan) dan berencana untuk mengumumkan dokumen resmi ini pada COP 28.

“Dalam dokumen ini, secara esensi cukup mengecewakan karena meski menjanjikan proyek-proyek energi terbarukan, namun masih sangat fokus pada energi terbarukan berskala besar (base-load renewables) seperti hidro (PLTA) dan geotermal (PLTP). Energi terbarukan yang bersifat Variable Renewable Energy (VRE) seperti surya dan angin dianggap sebagai proyek berisiko tinggi,” jelas Citra.

Selain keberpihakan pada VRE yang kurang, Citra juga menyoroti rendahnya komitmen untuk pensiun dini PLTU batubara. Dalam dokumen CIPP yang saat ini sedang dalam proses konsultasi publik, negara-negara IPG hanya bersedia memfasilitasi pensiun dini PLTU sebesar 1,7 GW. Dalam draf dokumen tahun lalu, Amerika Serikat dan Jepang awalnya bersedia untuk membiayai 5GW pensiun dini PLTU batubara.

“Padahal untuk mencapai target net zero emission Indonesia butuh mempensiunkan sekitar 8 GW PLTU batubara,” tegas Citra.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, menyetujui pentingnya kenaikan komitmen dan aksi iklim bukan semata-mata sebagai aksi iklim namun juga sebagai bagian dari pembangunan.

“Dalam draf RPJPN yang saat ini sedang digarap, kami menargetkan target pengurangan emisi kita naik ke 55,5% pada tahun 2030 dan 2045% pada tahun 2045 sebesar 80%. Hal ini menjadi keharusan untuk meningkatkan target dan ambisi iklimnya,” kata Medril.

Kita Tidak Punya Pilihan, Kita Harus Mencapai Netralitas Karbon

Jakarta, 25 Oktober 2023 – Industri merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan sektor terbesar yang mendorong kemajuan teknologi. Aktivitas ekonomi dari sektor industri telah mentransformasi perekonomian global. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini harus dibayar dengan tingginya emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer.

Untuk sementara waktu, masyarakat mencoba mencari cara untuk meminimalkan emisi GRK dari proses industri. Upaya ini akan menjadi langkah berarti dalam upaya mencapai emisi nol bersih di abad ini sebagaimana diamanatkan oleh Perjanjian Paris.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) pada acara Workshop “Diseminasi Peta Jalan dan Rekomendasi Kebijakan Dekarbonisasi Industri Indonesia” pada Rabu 25 Oktober 2023 mengatakan, IESR saat ini sedang menjajaki lima industri besar yakni semen, pulp & kertas, baja, tekstil, dan amonia serta mengembangkan peta jalan dekarbonisasi.

“Kami berada pada tahap awal dekarbonisasi sektor industri, dan kami memerlukan lebih banyak kolaborasi antar pemangku kepentingan karena begitu banyak pemangku kepentingan yang terlibat di sektor industri,” kata Deon.

Farid Wijaya, analis senior di IESR kemudian menjelaskan bahwa Indonesia telah memulai kerangka kebijakan industri hijau namun masih memerlukan lebih banyak perbaikan agar lebih kuat dan kontekstual.

“Lima industri yang kami incar memiliki motivasi tinggi untuk melakukan dekarbonisasi proses bisnisnya, namun saat ini masih terdapat tantangan seperti biaya dan kerangka kebijakan yang masih perlu diperbaiki,” jelas Farid.

Menyadari bahwa proses industri membutuhkan energi dari listrik dalam jumlah besar, untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri, maka dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan juga merupakan suatu keharusan.

“(Ketersediaan) kebijakan yang mendukung industri untuk mendapatkan pasokan listrik dari sumber energi terbarukan atau mengembangkan/memasang sendiri listrik terbarukan sangatlah penting,” kata Hongyou Lu, Peneliti Teknologi Energi dan Lingkungan, LBNL.

Lu menambahkan bahwa dekarbonisasi industri tidak bisa dihindari, namun memiliki banyak aspek dan berpotensi menumbuhkan perekonomian lokal, mengurangi polusi udara, dan membuat komoditas lebih kompetitif dalam perdagangan global.

Stephane de la Rue du Can, peneliti Kebijakan Energi – Lingkungan, LBNL kemudian menambahkan bahwa harus ada paket reformasi kebijakan yang lengkap untuk dekarbonisasi sektor industri, termasuk (1) target dan perencanaan pengurangan GRK industri, (2) inovasi, (3) elektrifikasi dan peralihan bahan bakar, (4) efisiensi energi, (5) efisiensi material dan ekonomi sirkular, dan (6) tenaga kerja dan komunitas lokal.

Endra Dedy Tamtama, Koordinator Pemantauan Konservasi Energi, Kementerian ESDM menyampaikan bahwa saat ini praktik efisiensi energi yang dilakukan oleh beberapa industri masih yang bersifat tanpa biaya atau berbiaya rendah. Hal-hal terkait revitalisasi alat yang memerlukan modal besar belum dilakukan.

“Karena saat ini tidak ada insentif fiskal yang diberikan kepada industri setelah menggunakan infrastruktur hemat energi, maka perubahan apa pun yang memerlukan biaya besar, meskipun akan lebih menghemat energi, belum sepenuhnya terlaksana”

Muhammad Akhsin Muflikhun, Pakar Teknologi PSE UGM, menekankan pentingnya kesiapan teknologi untuk mendukung dekarbonisasi industri seperti pemanfaatan hidrogen.

“Hidrogen telah menjadi fokus kami dalam teknologi penyimpanan energi. Kami mencoba membandingkan penyimpanan hidrogen vs baterai, sejauh ini masih terdapat kesenjangan efisiensi energi yang sangat besar setelah disimpan dalam baterai dibandingkan ketika disimpan dalam sistem penyimpanan hidrogen,” ujarnya.

Sri Gadis Pari Bekti, Tenaga Ahli Fungsional Madya, Kementerian Perindustrian sepakat bahwa teknologi akan menjadi game changer selama dekarbonisasi industri. Teknologi baru seperti CCS dan CCUS, serta hidrogen diharapkan mampu memenuhi kebutuhan energi di industri.

“Sebagai bagian dari dukungan kami kepada industri, kami memfasilitasi sertifikasi bagi industri. Sampai batas tertentu, pemerintah dapat membantu proses peningkatan kapasitas dan sertifikasi,” kata Bekti.

Untuk memperlancar dekarbonisasi industri, ketersediaan pembiayaan ramah lingkungan sangatlah penting.

PT PLN selaku pemasok listrik utama di Indonesia melalui Manajer Bioenergi-nya Yudas Agung Santoso mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan pemetaan kebutuhan energi khususnya dari industri karena dalam waktu dekat akan datang beberapa industri besar seperti smelter nikel.

“Bagi industri (dan yang membutuhkan) saat ini kami memiliki program Renewable Energy Certificate (REC), dimana kami mendedikasikan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan untuk menyuplai mereka yang berlangganan sertifikat sehingga bisa mendapatkan listrik ramah lingkungan,” ujarnya.

Nan Zhou, peneliti Senior Kebijakan Lingkungan – Energi, LBNL, dalam sambutan penutupnya menyoroti pentingnya Indonesia mengambil pembelajaran dari negara lain yang mulai melakukan dekarbonisasi industrinya.

“Kita tidak punya pilihan lain, kita harus mencapai netralitas karbon. Jadi, kita harus mengambil tindakan apa pun untuk mewujudkannya,” kata Zhou.

Peningkatan Kapasitas untuk Para Pemangku Kepentingan di Era Transisi Berkeadilan

Jakarta, 26 Oktober 2023 – Transisi energi yang sedang digaungkan saat ini akan berpengaruh signifikan pada penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara. Berbagai negara telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai salah satu aksi kunci transisi energinya. Hal ini perlu diwaspadai oleh negara-negara penghasil fosil seperti Indonesia, karena akan ada penurunan permintaan dari pasar global.

Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur merupakan daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia. Batubara telah menjadi komponen pokok dalam pertumbuhan ekonomi kedua provinsi. Pada tahun 2022, batubara menyumbang 30-35% pada PDRB Kalimantan Timur dan 15% di Sumatera Selatan. kedua provinsi ini membutuhkan strategi khusus untuk melepaskan ketergantungan ekonomi dari batubara. Stefan Boessner, peneliti Stockholm Environmental Institute (SEI) dalam “Lokakarya Nasional Transisi yang Adil: Membangun Kapasitas Pemerintah untuk Transisi Batubara Berkelanjutan di Indonesia” mengatakan bahwa alternatif ekonomi tersedia dan dapat dikembangkan.

“Telah terdapat contoh suatu daerah berhasil mendiversifikasi perekonomiannya. Pemerintah akan membutuhkan dukungan peningkatan kapasitas dari pemerintah pusat,” katanya.

Stefan menambahkan Pemerintah Indonesia telah memulai membuat kerangka kebijakan yang menjadi dasar hukum dari transisi energi di Indonesia seperti target net zero emission, peraturan nilai ekonomi karbon, serta roadmap pensiun dini PLTU batubara. 

Dalam mempersiapkan transisi ini, perencanaan pembangunan, ekonomi, dan energi menjadi sangat penting. Keterlibatan berbagai elemen yang akan terdampak dalam transisi menjadi penting.

Martha Jessica, Analis Sosial dan Ekonomi Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan salah satu temuan awal studi yang saat ini sedang dilakukan IESR yaitu terdapat kesenjangan kapasitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga perencanaan transisi ini dirasa belum optimal.

“Untuk menghasilkan proses perencanaan dibutuhkan berbagai kapasitas yang unggul/memadai oleh pemerintah sebagai inisiator (pelaku awal) dan katalis dari transisi energi,” kata Martha.

Elisa Arond, peneliti SEI menambahkan bahwa pemerintah daerah dapat mengambil peran krusial untuk mendukung agenda transisi yang berkeadilan. Untuk melakukan semua ini tentu pemerintah daerah akan membutuhkan sejumlah dukungan dari pemerintah pusat. 

“Mereka (pemerintah daerah-red) membutuhkan dukungan keuangan baik dari pemerintah pusat maupun institusi internasional, dialog inklusi yang melibatkan aktor dengan latar belakang beragam, strategi pendanaan, dan akses informasi yang transparan tentang rencana penutupan tambang,” jelas Elisa.

Tavip Rubiyanto, Analis Kebijakan Ahli Madya selaku Koordinator ESDM, Ditjen Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri menjelaskan mengapa saat ini transisi energi terasa belum berjalan di daerah karena masih terbatasnya kewenangan daerah.

“Untuk itu, Kemendagri sudah menginisiasi penyusunan Perpres No. 11 Tahun 2023 untuk menguatkan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang ESDM, khususnya di sub-bidang energi terbarukan,” katanya.

Brilian Faisal, perwakilan Bappeda Provinsi Sumatera Selatan menyambung dengan harapan bahwa konsep transisi energi berkeadilan harus berkaitan dengan akses dan infrastruktur. 

“Di daerah kami juga belum membuat produk turunan dari berbagai aturan terkait transisi energi ini karena untuk membuatnya kami perlu merevisi RUED, secara kewenangan banyak kewenangan ada di bidang ESDM,” kata Brilian.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR menyatakan bahwa lokakarya ini merupakan momen yang tepat sebagai persiapan penyusunan RPJMN dan RPJMD yang harus memuat agenda transisi batubara ini.

“Transisi ini membutuhkan beberapa hal seperti perencanaan dan pendanaan dan harus masuk dalam agenda pembangunan daerah supaya bisa mendapat pendanaan dari pemerintah,” kata Wira.

Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023

Jakarta, 20 Oktober 2023 – Berpindahnya tongkat kepemimpinan ASEAN pada Laos menandakan berakhirnya kepemimpinan Indonesia di kawasan ASEAN. Sejumlah kemajuan seperti adanya kerjasama dengan pihak eksternal non ASEAN, serta adanya beberapa peluang kerjasama antar negara anggota ASEAN menjadi satu catatan baik. Namun, catatan baik ini belum diimbangi dengan meningkatnya komitmen untuk menahan laju perubahan iklim yang dampaknya kian terasa.

Dalam Diskusi Publik Refleksi Kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2023: Menuju Regional Frontrunner dalam Isu Iklim dan Transisi Energi, Wira Agung Swadana, Program Manajer Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa selama masa kepemimpinan Indonesia, kerjasama atau aksi yang disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN masih yang bersifat infrastruktur. 

“Hasil dari KTT ASEAN 2023 dan pertemuan terkait energi dan iklim lainnya, bisa dilihat masih kurang fokus terhadap isu energi terbarukan. Misalnya saja belum ada komitmen bersama untuk peningkatan pembangunan ekosistem energi surya atau hydro power yang lebih bersih,” kata Wira.

Selain ekosistem untuk energi terbarukan, Wira juga mengatakan beberapa isu yang ‘luput’ dari perhatian para petinggi negara ASEAN seperti isu bahan mineral kritis (critical mineral), dan transportasi elektrik yang rendah karbon dan berkelanjutan.

Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Moekti Handajani (Kuki) Soejachmoen, menjelaskan fenomena tingginya kontribusi emisi dari sektor energi di negara-negara ASEAN.

“Energi merupakan engine untuk pembangunan, maka jika pembangunan masih menggunakan pola pengadaan energi dengan skema business as usual (tinggi fosil-red), emisi pasti akan naik signifikan. Di satu sisi seluruh negara anggota ASEAN butuh melakukan pembangunan namun harus menjaga emisinya,” jelas Kuki.

Kuki kemudian menambahkan bahwa dibutuhkan peran teknologi yang memungkinkan untuk tetap melakukan pembangunan dan menjaga jumlah emisi yang dilepas tetap rendah. Pemanfaatan teknologi ini akan membawa konsekuensi finansial.

Dengan melihat permasalahan ini, Kuki menekankan penting bagi ASEAN sebagai satu kesatuan kawasan untuk menyusun strategi komprehensif untuk mencapai target NDC tiap-tiap negara dan mendorong tercapainya Net Zero Emission. Dari strategi tersebut dapat dikelompokkan aksi-aksi mitigasi yang dapat dikerjakan sendiri, yang membutuhkan dukungan keuangan internasional, yang unit reduksi emisinya dapat dijual dan yang perlu tambahan pembelian unit reduksi emisi. 

Koordinator Diplomasi Energi dan Iklim IESR, Arief Rosadi menyoroti kecenderungan ASEAN yang terkesan lambat dalam mengambil posisi-posisi diplomasi strategis sehingga menciptakan berbagai kesenjangan (gaps) seperti kesenjangan kelembagaan, kesenjangan ambisi, kesenjangan implementasi, dan kesenjangan partisipasi. Menurutnya Indonesia dapat menggunakan posisinya untuk menguatkan diplomasi iklim dan energinya serta berkontribusi pada pembenahan kesenjangan di ASEAN 

“Peningkatan ambisi iklim dalam penguatan strategi diplomasi iklim dan energi Indonesia menjadi modalitas bagi Indonesia untuk mendorong hal yang sama di negara lainnya di tingkat regional, bilateral maupun multilateral. Selain itu pembenahan kesenjangan tersebut dapat dilakukan dengan mendorong penyelesaian kesenjangannya di tingkat regional dalam proses internal ASEAN,” imbuh Arief.