Ridwan Kamil Undang IESR Beri Pandangan tentang RUU EBT

Bandung, 26 Maret 2021-Terpilih menjadi Ketua Umum Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) masa jabatan 2020-2025, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil secara gamblang dalam pelantikannya mengatakan bahwa ADPMET akan berfokus pada pengembangan energi terbarukan atau biofuel berbasis sampah, kotoran hewan, dan tumbuhan.

Keseriusan ADPMET terhadap  isu pengembangan energi terbarukan dan transisi energi tampak dari inisiatif Ridwan Kamil mengundang para pihak yang konsisten menyuarakan tentang kedua isu tersebut untuk berdiskusi mengenai RUU EBT di kantor Gubernur Jawa Barat (26/3). Institute for Essential Services Reform (IESR) yang termasuk dalam undangan tersebut, memberikan pandangan dan paparan terkait energi terbarukan dan RUU EBT.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menjabarkan bahwa, meski gerakan transisi energi sudah mengglobal secara signifikan dan banyak negara di dunia seperti Uni Eropa, India, RRT, Chile mengembangkan energi terbarukan secara massif, Indonesia masih mencatat pencapaian yang sangat rendah dalam hal target bauran energi terbarukan. Dari 23 persen di tahun 2025, Indonesia baru di angka 11,5 persen pada akhir 2020 lalu.

“Di tahun 2020 saja, hanya terdapat penambahan sebesar 187,5 MW kapasitas pembangkit energi terbarukan terpasang. Ini berarti hanya tumbuh sekitar 1,8 persen setiap tahunnya. Sangat lambat,” jelasnya.

Sementara, berdasarkan hasil kajian terbaru IESR tentang potensi teknis PLTS berjudul “Beyond 207 Gigawatts : Unleashing Indonesia’s Solar Potential”, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang jauh melebihi angka resmi yang dirilis pemerintah Indonesia.

“Indonesia mempunyai potensi PLTS (fotovoltaik) mencapai 3.000 – 20.000 GWp. Potensi ini lebih tinggi 16 hingga 95 kali dibandingkan data resmi perkiraan potensi yang dirilis oleh Kementerian ESDM, yaitu 207 GWp (ESDM, 2016). Bila potensi teknis tersebut dimanfaatkan, maka dapat menghasilkan energi listrik sebesar 27.000 TWh per tahun, hampir 100 kali kebutuhan listrik saat ini,” ungkapnya.

Dalam penjelasannya, Fabby juga memaparkan potensi teknis yang provinsi Jawa Barat miliki berdasarkan hasil perhitungan IESR dengan menggunakan data geospasial yang mengidentifikasi lahan yang cocok untuk PLTS. Hasil pemetaan menunjukkan dengan luas maksimal 16.746 km2, Jawa Barat mempunyai potensi teknis tenaga surya maksimal sebesar 687 GWp.

Potensi energi terbarukan yang demikian besar seharusnya menjadi bintang dalam RUU Energi terbarukan. Hal ini juga tertulis dengan jelas sebagai dasar pertimbangan penyusunan RUU EBT dimana transisi energi perlu di akselerasi menuju sistem energi nasional yang berkelanjutan. Namun, RUU EBT yang masih menjadi perbincangan di DPR ini, memasukkan unsur energi baru sehingga menjadikan RUU ini tidak fokus untuk mendukung energi terbarukan saja.  Energi baru sendiri mempunyai definisi sebagai energi yang dihasilkan oleh teknologi baru dengan sumber energi tidak terbarukan maupun terbarukan (PP 79/2014) seperti nuklir, pemrosesan energi fosil seperti gasifikasi batubara dan juga batubara tercairkan. Hal ini berarti UU EBT masih sarat dengan energi yang tidak terbarukan dan bertentangan dengan prinsip sistem energi berkelanjutan itu sendiri.

IESR memandang Indonesia butuh undang-undang yang fokus mendukung energi terbarukan. Indonesia dapat merujuk pada negara India atau Cina, yang sudah mempunyai UU Energi Terbarukan sehingga pengembangan energi terbarukan mereka sangat pesat.

“Keberadaan RUU Energi Terbarukan akan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengembangkan energi terbarukan sehingga memberikan sinyal positif kepada stakeholder, khususnya investor. Saat ini, pengaturan mengenai energi terbarukan ada di tingkat aturan yang lebih lemah, seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri sehingga rentan terhadap perubahan dan preferensi menteri sektoral,” imbuh Fabby.

Lebih lanjut dalam penjelasannya, Fabby mendorong agar RUU EBT secara khusus menyatakan kebijakan yang mendukung energi terbarukan. Ketegasan dalam kebijakan ini akan berguna dalam menciptakan pasar / permintaan energi terbarukan, penetapan harga energi terbarukan yang layak, pemberian insentif/dukungan bagi pengusahaan energi terbarukan, penyediaan dana pengembangan energi terbarukan, pembentukan tata kelola energi terbarukan dan pengaturan kelembagaan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan energi terbarukan.

Merespon penjelasan IESR, Ridwan Kamil mengungkapkan rasa terima kasihnya dan segera menunjuk Dinas ESDM Jawa Barat untuk menggali potensi teknis energi terbarukan di Jawa Barat untuk pengembangan yang lebih baik.

Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 24 Maret 2021- Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR)) 2050.  Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. 

Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target Persetujuan Paris. 

Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu:

  1. Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah; 
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
  • Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT, 
  • Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU), 
  • Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
  • Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU, 
  • Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
  • Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut  tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 2050;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 2030;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonisation Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain:
    1. Ketenagalistrikan
      1. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
      2. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
      3. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    2. Transportasi
      1. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
      2. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal
  6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk mencapai net zero emission. 
  7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik. Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050. 

 

Narahubung Media:

Lisa Wijayani

Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828

Deon Arinaldo

Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687

Uliyasi Simanjuntak

Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 081236841273

LTS-LCCR KLHK – IESR: Indonesia Mampu Capai Netral Karbon Sebelum 2060

Jakarta, 25 Maret 2021 — Sebagai upaya memenuhi mandat Persetujuan Paris, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku national focal point untuk UNFCCC, mengumumkan Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. Pertemuan ini dihadiri pula oleh kementerian terkait. Meski terdapat kemajuan yang positif, namun Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang peta jalan Indonesia menuju rendah karbon di 2050, seperti yang tercantum dalam pemaparan dokumen LTS-LCCR 2050, masih kurang ambisius dan tidak sesuai dengan target
Persetujuan Paris.

  1. Beberapa hal yang tercantum dalam dokumen LTS-LCCR 2050 tersebut, yaitu: Pencapaian NDC pertama Indonesia ditargetkan pada tahun 2030, lalu Indonesia akan menuju net zero emission di tahun 2070;
  2. Dalam upaya mitigasi, skenario LCCP (low carbon scenario compatible with Paris Agreement target) yang menunjukkan target ambisius akan diterapkan di sektor AFOLU (pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan), energi, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), serta limbah;
  3. Pada arah kebijakan yang rendah karbon dan memiliki ketahanan iklim, diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak tertinggi (peaking) pada emisi GRK di tahun 2030 di sektor AFOLU dan energi sebelum akhirnya mencapai net zero emission di 2070. Dalam perhitungan emisi, peak di tahun 2030 akan mencapai 1163 juta ton dan emisi ini akan turun menjadi sekitar 766 juta ton CO2e di tahun 2050;
  4. Untuk sektor energi, skenario transisi dan LCCP akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dalam target LCCP yang lebih ambisius, bauran energi primer akan diisi oleh batubara 34%, gas 25%, minyak 8%, EBT 33% di tahun 2050. Penggunaan batubara akan turun menjadi 205 juta toe (293 juta ton batubara);
  5. Tambahan EBT untuk pembangkit sekitar 38 GW di tahun 2035 dan akan diprioritaskan untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dikarenakan biaya investasi yang semakin rendah. Selain itu penurunan emisi akan didorong melalui aksi berikut:
    ● Penyediaan listrik melalui pembangkit EBT,
    ● Penerapan efisiensi energi seperti pada bangunan dan penerangan jalan umum (PJU),
    ● Penggunaan Bahan Bakar Nabati;
    ● Implementasi Co firing biomassa untuk mengurangi konsumsi batu bara di 52 PLTU,
    ● Pemanfaatan kendaraan listrik dengan target 2 juta mobil dan 13 juta motor di 2030,
    ● Transisi menuju bahan bakar rendah karbon dan teknologi pembangkit bersih seperti penggunaan CCUS/CCS (carbon capture, utilisation and storage/carbon capture and storage) dan hidrogen.

Menyikapi pemaparan mengenai Indonesia LTS-LCCR 2050, berikut tanggapan dari IESR:

  1. IESR menanggapi positif mengenai target peak emission di tahun 2030. Hal ini akan memberikan target jangka menengah yang jelas bagi rencana aksi mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Namun, perlu kejelasan mengenai dukungan kebijakan dan regulasi yang memungkinkan setiap sektor untuk melakukan transisi secara cepat dan mencapai peak emission di tahun 2030;
  2. Pencapaian net zero emission di tahun 2070 terlalu lama dan tidak sesuai dengan Persetujuan Paris. Agar selaras dengan Persetujuan Paris dan mendukung pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1.50 C, maka emisi GRK Indonesia harus sudah turun mencapai 622 juta ton CO2e di tahun 2030 (di luar sektor AFOLU) dan mencapai net zero pada tahun 20501;
  3. Perlu adanya upaya yang lebih kuat terutama untuk dapat beralih (shifting away) dari penggunaan batu bara. Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara pada tahun 2037 dan meningkatkan target energi terbarukannya setidaknya menjadi 50% pada tahun 20302;
  4. Setiap sektor perlu menetapkan ukuran mitigasi yang kredibel, transparan, dan terukur agar dapat sesuai (on-track) dengan Persetujuan Paris. Berdasarkan beberapa pemodelan global, seperti Integrated Assessment Models (IAMs), Deep Decarbonization Pathway Project, Energy Watch Group/LUT University, terdapat beberapa parameter yang bisa jadi acuan bagi Indonesia dalam mengukur kesesuaian capaian penurunan emisi GRK dengan target Persetujuan Paris. Untuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi, parameter tersebut antara lain3:
    a. Ketenagalistrikan
    i. Intensitas emisi dari sektor ketenagalistrikan; harus berada di kisaran 50-255 gCO2/kWh di tahun 2030 dan 0 di tahun 2050
    ii. Bauran pembangkitan listrik dari energi terbarukan; mencapai 50-85% di tahun 2030 dan 98-100% di tahun 2050
    iii. Bauran pembangkitan listrik dari PLTU batubara; turun menjadi 5-10% di tahun 2030
    b. Transportasi
    i. Intensitas emisi dari sektor transportasi penumpang darat; berada di kisaran 25-30 g CO2/pkm pada tahun 2030
    ii. Bauran dari bahan bakar rendah karbon; mencapai 20-25% dari total
    permintaan energi di sektor transportasi pada tahun 2030
  5. Studi IESR mengenai skenario transisi energi Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia dapat mencapai bauran primer energi terbarukan sebesar 69% pada tahun 2050 dengan meningkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025, membangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan pada tahun 2050, dan menghentikan pembangunan PLTU batubara baru sejak 2025 serta mempensiunkan PLTGU lebih awal.
  6. 7. IESR mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik.

Climate Transparency Report 2020 menjelaskan bahwa bahan bakar nabati berkelanjutan yang tidak meninggalkan jejak karbon (carbon footprint), penggunaan kendaraan listrik, serta standar efisiensi bahan bakar yang lebih ketat akan mengurangi emisi GRK terutama dari sektor transportasi secara signifikan. Selain itu, persentase bahan bakar rendah karbon dalam bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Narahubung Media:
Lisa Wijayani
Program Manajer Ekonomi Hijau, IESR, lisa@iesr.or.id, 08118201828
Deon Arinaldo
Program Manajer Transformasi Energi, IESR, deon@iesr.or.id, 081318535687
Uliyasi Simanjuntak
Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 08123684127

Referensi:

1 CAT (n.d.). Indonesia country summary
2 Climate Transparency (2020).The Climate Transparency Report 2020
3 CAT (2020). Paris Agreement Compatible Sectoral Benchmark
4 IESR (2020). National Energy General Plan (RUEN): Existing Plan, Current Policies Implication and Energy Transition
Scenario6. Perlu adanya peningkatan investasi dan dorongan riset ke arah pengembangan inovasi dan
teknologi ET seperti hidrogen agar dapat segera diimplementasikan dan dioptimalkan untuk
mencapai net zero emission.

Indonesia dapat menjadi Super Power Energi Surya di ASEAN

Potensi Teknis Surya Indonesia Melimpah Hingga 95 Kali Lipat dari Estimasi Sebelumnya, Pemerintah Perlu Agresif Pacu Akselerasi PLTS 

 

Jakarta, 18 Maret 2021-Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) yang termuat dalam laporan “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential” memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai potensi PLTS (fotovoltaik) mencapai 3.000 – 20.000 GWp. Potensi ini lebih tinggi 16 hingga 95 kali dibandingkan data resmi perkiraan potensi yang dirilis oleh Kementerian ESDM, yaitu 207 GWp (ESDM, 2016). Bila potensi teknis tersebut dimanfaatkan, maka dapat menghasilkan energi listrik sebesar 27.000 TWh per tahun, hampir 100 kali kebutuhan listrik saat ini.

“Temuan ini menunjukan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ketersediaan potensi energi surya, yang dikombinasikan dengan teknologi penyimpan energi (storage) dapat memenuhi kebutuhan energi Indonesia dan mendukung transisi energi bersih saat ini dan di masa depan, bahkan mendukung 100% penyediaan listrik dari energi terbarukan,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. 

Selain menunjukkan potensi teknis yang masif, kajian ini juga memperlihatkan detail potensi hingga ke level kabupaten dan kota. Dengan menggunakan data geospasial, lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi. IESR memandang informasi potensi teknis dan identifikasi lahan ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk merancang kebijakan dan strategi yang lebih agresif dan terarah untuk pengembangan PLTS. Terlebih, saat ini pemerintah dan DEN berencana merevisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) untuk merespon melemahnya ekonomi dan menurunnya permintaan energi akibat pandemi COVID-19. Selain itu, pemerintah dan PLN sedang menyusun Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (2021-2030) dengan rencana untuk menambah 3,7 GW yang berasal dari gabungan energi terbarukan seperti surya, angin, dan sampah. Meskipun demikian, rasio spesifik untuk PV surya masih belum jelas (Umah , 2021b). Dalam banyak kesempatan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral juga menyebutkan adanya grand strategy energi nasional pengembangan energi terbarukan yang akan memprioritaskan pemanfaatan energi surya.

Berdasarkan RUPTL sebelumnya (2019-2028), PLTS belum menjadi prioritas dalam perencanaan sistem tenaga listrik. Data menunjukkan pada RUPTL (2019-2028), PLTS hanya menyumbang 1,6% (908 MW) dari total rencana penambahan kapasitas pembangkit 56,4 GW. Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan 20 ribu GWp potensi teknis PLTS di Indonesia. Hasil perhitungan yang diperoleh jauh lebih besar (16 hingga 95 kali) dibandingkan dengan estimasi potensi resmi dari Pemerintah saat ini. 

“Perbedaan hasil yang sangat signifikan ini pun dapat dikaitkan dengan perbedaan penggunaan asumsi yang digunakan dalam perhitungan potensi teknis resmi saat ini, dimana—berdasarkan informasi publik yang terbatas—perhitungan potensi resmi tersebut masih sangat konservatif, hanya mengkonversi potensi sumber daya energi surya per provinsi (dalam kWh/m2/hari) dengan 15% efisiensi modul yang kemudian dianggap sebagai potensi teknis, seperti yang terdaftar dalam lampiran dokumen RUEN,” ungkap Daniel Kurniawan, penulis utama kajian  “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”.

Miliki Potensi Teknis Surya Ratusan GWp, Sumba dan Bali Berpotensi Dilistriki 100 persen Energi terbarukan 

Sebagai kawasan pariwisata yang populer di Indonesia, permintaan listrik Bali diperkirakan akan tumbuh dengan rata-rata tahunan sebesar 6,5% antara 2019-2028, menurut RUPTL PLN 2019. Sementara Menurut data dari PLN Bali (2020), kebutuhan puncak sistem kelistrikan Bali terbaru adalah sebesar 980 MW (per Januari 2020).

Merujuk pada hasil analisis IESR  dalam laporan ini, potensi teknis energi matahari di Bali memiliki total 26,4 GWp, dengan potensi pembangkitan 40,5 TWh/tahun di sembilan kabupaten. Selain itu, untuk mengatasi intermittency tenaga surya, Bali juga menunjukkan potensi yang sangat besar untuk penyimpanan energi – dalam bentuk pumped hydro energy storage (PHES), yang mampu menyimpan listrik 559,9 GWh/jam. 

IESR memandang bahwa dengan potensi surya fotovoltaik dan PHES, Bali bahkan dapat mengupayakan sistem energi terbarukan 100% dengan perencanaan yang matang. Dilihat dari segi kebijakan, Bali memperlihatkan langkah yang ambisius dalam pengembangan PLTS dengan adanya Peraturan Gubernur Bali No. 45/2019 tentang Bali Energi Bersih. Peraturan gubernur ini mengatur bangunan komersial, industri, sosial, dan tempat tinggal dengan luas lantai lebih dari 500 m2 untuk memasang atap surya minimal 20% dari kapasitas daya terpasangnya — PLN Bali mencatat sebanyak 237 Potensi MWp — atau 20% dari ruang atap yang tersedia (PLN Bali, 2020).

“Bali dapat menjadi daerah pionir 100% energi terbarukan, apalagi dengan semakin meningkatnya tren sustainable dan eco-tourism, sehingga pemanfaatan energi terbarukan akan memberikan nilai tambah pariwisata di sana. Ini juga akan menjadi contoh dan portfolio bagus bagi Indonesia di mata dunia internasional, dan dengan dukungan pemerintah pusat, replikasinya dapat digulirkan untuk daerah lainnya,” ujar Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Berkelanjutan, IESR.

Selain Bali, Sumba sangat berpotensi sebagai pulau yang digerakkan dengan energi terbarukan. Kajian ini menemukan bahwa Sumba memiliki total 133 GWp potensi teknis surya fotovoltaik dengan potensi pembangkitan 216 TWh/tahun, dengan potensi (kapasitas) tertinggi ada di Kabupaten Sumba Timur (Sumba Timur) (60%).

Temuan ini tentu saja akan menguatkan inisiatif pemerintah Nusa Tenggara Timur untuk menjadikan Sumba sebagai menjadi pusat pengembangan energi surya dengan potensi hingga 20 GW (Bere, 2020; Lewokeda, 2020). Inisiatif ini diharapkan dapat menyalurkan listrik tidak hanya di seluruh Nusa Tenggara Timur, tetapi juga ke Bali, Jawa, dan pusat beban lainnya menggunakan sistem transmisi arus searah bertegangan tinggi (HVDC), menurut Kementerian ESDM (EBTKE, 2020).


Narahubung Media:

Daniel Kurniawan

Peneliti dan Penulis, “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential”, daniel@iesr.or.id, 08978246145

Marlistya Citraningrum

Manajer Program Akses Berkelanjutan, citra@iesr.or.id, 081945526737

Uliyasi Simanjuntak

Koordinator Komunikasi IESR, uliyasi@iesr.or.id, 081236841273

Terbebas dari Energi Fosil, Indonesia Butuh Komitmen Politik, Strategi dan Kebijakan Memperkuat Iklim Investasi Energi Be

Jakarta, 3 Maret 2021-Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah Indonesia untuk merencanakan proses transisi energi di Indonesia, dengan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan secara masif dan melaksanakan efisiensi energi dalam rangka memenuhi komitmen Indonesia untuk mencapai Persetujuan Paris, yang diratifikasi dengan UU No. 16/2016. 

Dampak perubahan iklim sebagai akibat kenaikan suhu global meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana iklim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hanya 2 bulan saja di tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa telah terjadi 657 kejadian bencana alam, 98 persennya merupakan bencana hidrometeorologi, dengan jumlah terdampak lebih dari 3,4 juta orang.

Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi mencapai target Persetujuan Paris dengan mitigasi gas rumah kaca (GRK) yang dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Salah satu strategi utama mencapai target 29% penurunan emisi GRK yang tertuang di NDC ialah mengakselerasi pembangunan energi terbarukan sehingga mencapai bauran sebesar 23% dalam bauran energi nasional di 2025. Namun, hingga akhir 2020, Indonesia baru mencapai 11,5 persen. 

Pencapaian bauran energi terbarukan ini merupakan milestone penting untuk Indonesia berada pada jalur transisi energi. Untuk mencapai target dalam Persetujuan Paris dan net-zero pada pertengahan abad ini, emisi global harus turun menjadi 45% dari tingkat tahun 2010 di 2030. Agar tujuan tersebut tercapai, maka pembakaran energi fosil, yang merupakan kontributor 70% emisi GRK global, harus diturunkan. 

Hal ini ditegaskan pula pada kajian McGlade and Ekins yang dimuat di Jurnal Nature tahun 2015 yang menunjukan bahwa untuk mencegah kenaikan temperatur global tidak melebihi 2℃ maka dua pertiga cadangan energi fosil (minyak, gas dan batubara) yang saat ini ditemukan tidak boleh dibakar. Konsekuensinya, transformasi sistem energi yang berbasis pada 100% energi bersih harus segera dipersiapkan dari sekarang sehingga dapat tercapai sebelum 2050. 

“Indonesia yang 90% pasokan energinya masih berasal dari bahan bakar fosil perlu bersiap diri melakukan transformasi energi. Dalam tiga dekade mendatang, kita harus mampu meningkatkan pasokan energi terbarukan kita secara masif, dan bertransformasi menuju sistem energi bersih,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Membahas kesiapan Indonesia dalam bertransisi ke energi terbarukan,  IESR bekerja sama dengan Kompas Media melaksanakan webinar Kompas Talk berjudul “Siapkah Indonesia Tanpa Energi Fosil.” 

“Transformasi energi yang meninggalkan energi fosil yang kotor menuju energi bersih tidak bisa dilakukan secara serampangan dan sesaat, melainkan butuh perencanaan di berbagai bidang, risiko perlu dipetakan dan strategi mitigasi perlu dipersiapkan untuk mengurangi dampak negatif dan biaya ekonomi. Untuk itu diperlukan strategi dan peta jalan transisi energi di Indonesia,” tambah Fabby.

Dengan menggunakan Transition Readiness Framework (Kerangka Kesiapan Transisi) dalam Laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, IESR menemukan bahwa kesiapan Indonesia untuk melakukan transisi energi masih rendah. Namun, Indonesia masih mempunyai cukup waktu bila pemerintah lebih ambisius membenahi kesiapan berbagai aspek transisi energi yaitu: a) komitmen politik dan regulasi yang mendorong akselerasi pengembangan energi terbarukan, b) investasi dan keuangan, c) tekno-ekonomi, dan  d) penerimaan publik. Hal ini penting dilakukan agar proses transisi energi berjalan secara berkeadilan serta tidak membawa kerugian sosial ekonomi yang lebih besar.

IESR memandang bahwa hal prioritas dalam waktu dekat yang pemerintah dapat lakukan adalah memperkuat komitmen politik dan kualitas peraturan serta memastikan ketersediaan investasi dan keuangan terhadap pengembangan energi terbarukan. Agar Indonesia dapat mencapai target bauran 23%, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan perlu mencapai minimal 24 GW di tahun 2025. Hal ini berarti total penambahan pembangkit listrik energi terbarukan harus di kisaran 2-3 GW/tahun. 

Kondisi tersebut akan dapat terpenuhi dengan ketersediaan investasi pembangkit energi terbarukan mencapai 5-7 miliar dolar/tahun. Tentu saja, agar investasi mengalir dan fokus pada pengembangan energi terbarukan, pemerintah perlu memiliki komitmen tegas yang meyakinkan investor untuk berinvestasi dan membuat kebijakan investasi yang menarik. Selain itu, komitmen politik dan kebijakan yang tegas, dengan mengeluarkan kebijakan moratorium pembangunan PLTU dan mempensiunkan PLTU berumur lebih dari 20 tahun secara bertahap, akan menghindari pendanaan yang sia-sia ke depan sebagai akibat dari stranded asset (aset terdampar) PLTU.

Percepatan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia dapat dicapai dengan mengoptimalkan energi surya. Indonesia memiliki potensi sangat tinggi, analisis IESR menunjukkan potensi 655 GWp untuk sektor residensial saja dan ribuan gigawatt untuk skala besar. Dengan teknologi yang modular dan bisa dimanfaatkan dalam beragam skala, radiasi matahari yang tersedia cukup merata di seluruh Indonesia, dan investasi yang dapat ditanggung oleh beragam pihak, energi surya akan menjadi penggerak utama pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Menilik potensi energi surya yang berperan besar untuk transisi energi di daerah, Jawa Tengah melakukan langkah progresif dengan deklarasi Inisiatif Jawa Tengah sebagai Provinsi Energi Surya bersama IESR pada 2019.

Komitmen dan semangat ini mampu meningkatkan kapasitas terpasang PLTS atap di Jawa Tengah hingga 5,1 MW dari berbagai sektor di tahun 2020. Di tahun ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendukung pemanfaatan energi surya untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi dengan pemasangan PLTS atap di UMKM.  Surat Edaran Gubernur untuk pemanfaatan PLTS atap di bangunan pemerintah, publik, komersial, dan industri yang dikeluarkan di 2019 juga menunjukkan keseriusan Jawa Tengah. 

Berdasarkan hasil perhitungan IESR, Potensi Teknis PLTS terapung di Jawa Tengah dengan bendungannya dapat  mencapai 723 MWp. Pemerintah Jawa Tengah pun menangkap potensi tersebut dan berkomitmen mengembangkan PLTS Terapung.

““Rencana investasi untuk PLTS terapung akan bekerja sama dengan IESR, sebagai tindak lanjut dari Jateng Solar Province, di Waduk Kedung Ombo, Waduk Gajah Mungkur, Waduk Wadaslintang dan Waduk Mrica,”papar Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dalam kesempatan yang sama.

12 Rekomendasi IESR untuk Percepatan Pembangunan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia

Selasa, 23 Februari 2021-Indonesia perlu berupaya lebih keras untuk mencegah peningkatan suhu bumi di bawah 2℃, dengan mengurangi penambahan emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia, di antaranya dengan mendorong penetrasi energi terbarukan dan transportasi yang ramah lingkungan.

Sektor transportasi menjadi penyumbang sekitar seperempat dari total emisi GRK global. Jumlah emisi ini akan semakin meningkat seiring semakin berkembangnya perekonomian suatu negara.  Di tahun 2019, sektor transportasi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia terbesar kedua (157 juta ton CO2 atau 27 %) setelah sektor industri (215 juta ton CO2 atau 37%).Banyak negara di dunia, termasuk Cina, Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa semakin mengadopsi kendaraan listrik yang terbukti memiliki emisi rendah dan efisiensi penggunaan energi listriknya lebih baik daripada kendaraan konvensional.

Pada hari ini secara daring, Institute for Essential Services Reform (IESR) meluncurkan  kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina, yang berisi  rekomendasi strategi dan kebijakan penting bagi pemerintah untuk kemajuan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.

“Hingga hari ini ada 17 negara yang sudah tidak mengizinkan penjualan kendaraan berbasis fosil fuel dari 2025-2040, salah satunya adalah Norwegia yang akan melarang  kendaraan internal combustion engine, pada tahun 2025,” tandas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Kendaraan listrik dipandang sebagai salah satu solusi untuk menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi. Perkembangan kendaraan listrik dalam satu dekade juga semakin pesat. Fabby menambahkan bahwa secara global, mobil listrik mengalami kenaikan pesat dalam satu dekade terakhir, dari 0,1 market share di 2011, menjadi 4,4 % di tahun 2020. 

“Walaupun secara umum, penjualan kendaraan menjadi turun sebesar 15 persen karena pandemi Covid-19, tapi permintaan kendaraan listrik tercatat meningkat di sejumlah negara. Dibandingkan tahun 2019, di Cina naik 5 persen, Eropa meningkat 10 persen, Amerika Serikat naik 4 persen,” paparnya.

Mengutip data dari IEA, Fabby menegaskan bahwa agar temperatur bumi terjaga sesuai kesepakatan Paris, maka adopsi kendaraan listrik haruslah sebesar 13,4% dari total kendaraan dari tahun 2030.

Indonesia Belum Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik Secara Terencana

Idoan Marciano, Penulis Kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina menjelaskan alasan IESR memilih ketiga negara itu sebagai best practices yang bisa ditiru oleh Indonesia. Terbukti, negara yang mencatatkan adopsi kendaraan listrik tertinggi (2019) adalah Cina (3,4 juta unit) dan Amerika Serikat (1,5 juta unit), sedangkan negara dengan pangsa pasar kendaraan listrik terbesar di negaranya di dunia adalah Norwegia (lebih besar dari 50 persen). 

IESR memandang bahwa ekosistem kendaraan listrik di Indonesia belum terbangun dengan baik. Adapun ekosistem yang dimaksud dalam studi ini mencakup beberapa aspek, yaitu: (a)  insentif dan kebijakan pendukung dari pemerintah, (b) infrastruktur pengisian daya; (c) model dan pasokan kendaraan listrik; (d) kesadaran dan penerimaan publik; (e) rantai pasokan baterai dan komponen kendaraan listrik. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga bulan Agustus 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.

“Untuk motor listrik, sebanyak 1.947 unit, belum mencerminkan jumlah adopsi setelah Indonesia meluncurkan program akselerasi pengembangan kendaraan listrik karena angka tersebut masih menggambarkan kendaraan listrik berperforma rendah, sudah ada dari tahun sebelumnya,” imbuh Idoan.

Agar realisasi target terpenuhi, IESR mendorong agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan fiskal sehingga membuat harga kendaraan listrik lebih kompetitif. Berkaca dari pengalaman ketiga negara tersebut, insentif dapat berupa pembebasan PPN, pajak registrasi, bea impor serta pemberian subsidi. Sementara saat ini total insentif yang diberikan pemerintah Indonesia hanya mampu mengurangi sekitar 40 persen dari harga awal kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia. 

Tidak kalah penting adalah pemberian insentif non-fiskal yang sesuai dengan kebutuhan pengguna seperti kemudahan mendapatkan plat nomor (registrasi) yang dinilai sangat menambah daya tarik kendaraan listrik di Cina, pemberian akses ke jalur berpenumpang banyak (high occupancy vehicle) di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, dan pemberian akses jalur bus di Norwegia. 

“Saat ini Indonesia belum mempunyai aturan pembatasan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, dibandingkan negara pembanding yg sudah menargetkan 100 persen EV di 5-20 tahun kedepan,” tukas Idoan.

Selain itu, dari sisi pasokan, pemerintah perlu pula meningkatkan kuantitas dan ketersediaan beragam model kendaraan listrik dengan memberikan kebijakan yang mendorong produsen untuk memproduksi lebih banyak kendaraan listrik, seperti dengan penetapan standar efisiensi bahan bakar pada tahap awal dan penggunaan mekanisme kredit kendaraan listrik saat pasar sudah semakin berkembang seperti yang diterapkan di Cina dan California. 

Dalam mendukung terciptanya industri kendaraan listrik domestik, pemerintah dapat belajar dari Cina dengan memberikan insentif khusus bagi produsen lokal dan menggunakan pengadaan umum sebagai alat untuk menggenjot volume produksi kendaraan listrik buatan lokal sehingga mempercepat terjadinya economies of scale.  

Pembangunan dan perluasan jaringan SPKLU dan SPBKLU, serta penyiapan infrastruktur home charging diperlukan untuk menunjang adopsi kendaraan listrik. Rasio kendaraan listrik terhadap SPKLU pada tahun 2019 di Cina paling masif yakni rasio 6,5:1. Rasio tersebut menggambarkan negara-negara dengan tingkat pengembangan kendaraan listrik yang lebih matang. Sementara Indonesia bila mengikuti peta jalan yang dikeluarkan PLN, hanya akan mencapai sekitar 70:1. 

Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni

  1. Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat. 
  2. Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi
  3. Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil
  4. Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional
  5. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
  6. Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional. 
  7. Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik
  8. Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai 
  9. Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik 
  10. Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target
  11. Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
  12. Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah

 

Laporan kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia, dan Cina dapat diunduh di:

Dorong Berkembangnya Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia, IESR Bandingkan dengan Amerika Serikat, Norwegia dan Cina

Jakarta, 23 Februari 2021- Agar selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia perlu mengutamakan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor transportasi sehingga suhu bumi tetap terjaga di bawah 2oC. Di Indonesia, sektor transportasi mengkonsumsi 45% dari total energi final dimana 94% berasal dari bahan bakar kendaraan. Emisi gas buang hampir sepertiga dari total emisi sektor energi. 

Salah satu cara yang sudah diadopsi di banyak negara di dunia adalah dengan penetrasi secara masif dan agresif kendaraan listrik. Tentu saja sumber tenaga listrik kendaraan tersebut harus pula berasal dari energi terbarukan.

Secara khusus Institute for Essential Services Reform (IESR) menelaah upaya penciptaan ekosistem yang mendukung kemajuan kendaraan listrik di Indonesia, dalam kajiannya berjudul Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina. Lebih dari 100 orang mengikuti secara daring peluncuran kajian tersebut (23/2). Hadir dalam kesempatan yang sama Firdaus Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi Kemenko Marves, Alief Wikarta, Dosen dan Peneliti Jurusan Teknik Mesin, ITS, dan Muhammad Samyarto, PT Wika Industri Manufaktur (WIMA) sebagai penanggap.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam pembukaannya mengatakan bahwa Indonesia mesti bergegas membangun ekosistem yang tepat untuk mendukung akselerasi adopsi kendaraan listrik di Indonesia dengan belajar dari pengalaman negara pembanding dalam studi tersebut.

“Penjualan kendaraan listrik di Norwegia mencapai 54,3% pada tahun 2020 dibandingkan pada tahun 2011 yang hanya 1 %. Hal ini merupakan buah dari hasil konsistensi dari pemerintah Norwegia menerapkan kebijakan untuk mendorong penetrasi kendaraan listrik,” ungkapnya.

Norwegia tercatat sebagai negara yang mempunyai pangsa pasar kendaraan listrik tertinggi yakni lebih dari 50%, sementara total kendaraan listriknya sekitar 430 ribu. Sedangkan Cina di tahun 2019, total kendaraan listriknya sekitar 3,4 juta dan Amerika Serikat sebesar 1,5 juta.

Indonesia sendiri melalui Kementerian Perindustrian menargetkan jumlah kendaraan listrik mencapai 20% dari total produksi kendaraan di tahun 2025 (400.000 kendaraan beroda empat Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) dan 1.760.000 kendaraan listrik beroda dua). Namun, hingga bulan Agustus 2020 tercatat baru ada sekitar 2.279 kendaraan listrik yang sudah layak jalan.

 

Lima Ekosistem Kendaraan Listrik  yang Belum Terbangun di Indonesia

Idoan Marciano, penulis kajian Mengembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia: Pelajaran dari Pengalaman Amerika Serikat, Norwegia dan Cina menilai ekosistem kendaraan di Indonesia belum terbangun dengan baik, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 55/2019 yang menjadi dasar dalam akselerasi pengembangan kendaraan listrik, namun kebijakan turunannya masih belum mampu untuk meningkatkan adopsi kendaraan listrik secara signifikan. 

Idoan memaparkan bahwa setidaknya ada lima ekosistem yang harus mendapat perhatian khusus, yaitu a) kebijakan, b) infrastruktur/pengisian daya, c) industri/rantai pasokan, d) kesadaran masyarakat, e) pasokan dan ketersediaan model.

“Secara umum, Indonesia masih tertinggal dari semua aspek ini. Dari segi kebijakan finansial, Indonesia memang sudah memberikan berbagai insentif, namun secara jumlah total insentif pemerintah hanya baru dapat mengurangi 40 persen dari harga kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia. Selanjutnya Indonesia juga belum memiliki aturan pembatasan kendaraan fosil, sementara negara pembanding sudah menargetkan 100 persen kendaraan listrik dan melarang kendaraan konvensional,”jelasnya.

Dari segi infrastruktur pengisian daya, Idoan memandang rasio charger dan kendaraan listrik di Indonesia masih sangat rendah, yakni 70: 1 sementara negara dengan penetrasi kendaraan listrik tinggi rasionya kurang dari 25:1.

Menilik rantai industri dan pasokan, Indonesia juga belum memiliki kapasitas produksi yang sudah beroperasi untuk memproduksi komponen kendaraan listrik, terutama baterai, sementara di Cina sudah mampu memproduksi baterai hingga 200 GWh/tahun.

Selain itu, motivasi masyarakat untuk membeli kendaraan listrik di Indonesia lebih mengacu pada alasan ekonomi dan ketersediaan infrastruktur, sedangkan masyarakat di negara pembanding lebih dipengaruhi oleh alasan ekonomi, lingkungan dan teknologi. 

Lebih lanjut, Idoan menemukan bahwa ketersediaan pasokan dan beragam model juga menjadi faktor penting dalam adopsi kendaraan listrik.

“Di Indonesia, sudah ada 15 perusahaan fasilitas produksi untuk kendaraan listrik beroda dua, dengan total kapasitas sekitar 877 ribu unit/tahun. Di Cina, sudah ada 500 perusahaan dengan total produksi lebih dari 3,5 juta unit/tahun,”ujarnya.

Studi ini merekomendasikan beberapa strategi dan kebijakan yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia, yakni

  1. Penyelarasan target transisi menuju kendaraan listrik yang bersifat mengikat. 
  2. Perlunya peta jalan transisi menuju kendaraan listrik yang terintegrasi
  3. Penerapan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil
  4. Pemberian insentif finansial dari pemerintah pusat untuk mengurangi harga beli kendaraan listrik hingga minimal sekitar 50 persen untuk mobil listrik, untuk motor listrik hanya lebih mahal 5-10 persen dari harga motor konvensional
  5. Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kondisi daerah setempat
  6. Adanya ketentuan yang mensyaratkan transfer teknologi dalam kolaborasi dengan produsen internasional. 
  7. Penetapan kebijakan dari sisi pasokan untuk mendorong produksi dan ketersediaan model kendaraan listrik
  8. Pemberian insentif yang menunjang R&D kendaraan listrik dan baterai 
  9. Pengembangan industri dan rantai pasokan kendaraan listrik 
  10. Pengembangan infrastruktur pendukung kendaraan listrik SPKLU dan SPBKLU perlu direncanakan yang lebih baik agar peta jalan tersebut dapat menyamai target
  11. Elektrifikasi transportasi umum sebagai jalur masuk adopsi kendaraan listrik. IESR mengapresiasi untuk kolaborasi yang sudah berjalan.
  12. Promosi dan kampanye kendaraan listrik sebagai kendaraan ramah lingkungan yang diinisiasi oleh pemerintah

Firdaus Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi Kemenko Marves, yang hadir dalam webinar peluncuran kajian, mengatakan bahwa pemerintah akan mendorong dan memberikan kemudahan bagi pelaku industri

“Agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, kita mengundang industri pabrikan luar, terutama roda empat, dapat terbangun di dalam negeri. Kami juga mendorong asosiasi hotel, retail, supermarket kecil bisa menyediakan SPKLU roda dua, sehingga saat berbelanja dapat men-charging kendaraan listriknya,” ucapnya. Selain itu beliau menekankan pentingnya kerja sama yang erat dengan semua stakeholder termasuk akademisi, private sector, CSO, dan bahkan masyarakat sebagai konsumen agar dapat mewujudkan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. 

Alief Wikarta, Dosen dan Peneliti Jurusan Teknik Mesin, ITS memandang bahwa kajian IESR ini dapat menjadi solusi bagi diversifikasi bahan bakar. Ia menitikberatkan pada ekosistem kesadaran masyarakat yang menjadi tantangan yang patut menjadi perhatian.

“Konsumen Indonesia itu kebanyakan aware but not care. Jadi mereka tahu bahwa misal teknologi tertentu dapat mengurangi polusi tapi tetap belum memakai teknologi tersebut. Ditambah lagi konsumen kita mempunyai sensitivitas tinggi pada harga, beda harga seribu saja, orang akan cenderung memilih yang lebih murah. Hal ini menjadi tantangan yang butuh strategi marketing dari produksi dan kebijakan dari pemerintah,”tambahnya. Indonesia juga dapat mulai mengembangkan konsep circular economy (ekonomi sirkular) untuk daur ulang baterai yang merupakan salah satu komponen utama kendaraan listrik.

Muhammad Samyarto, PT Wika Industri Manufaktur (WIMA), sepakat pada pemaparan Idoan mengenai kualitas kendaraan listrik yang lebih baik dari kendaraan konvensional.

“Persoalan charging  hanya sebuah kekhawatiran saja, sebenarnya jika sudah menggunakan motor listrik kita bisa mengatur sendiri penggunaan kendaraan listrik sehari-harinya. Namun hal tersebut tetap menjadi tantangan kita bersama sehingga menjawab kekhawatiran masyarakat,”ulasnya.

Saksikan siaran tundanya:

Anda juga dapat mengunduh laporan lengkapnya di: 

Dukung Akselerasi Energi Surya di 2021, Pemerintah Jawa Tengah Gelar Central Java Solar Day

Target 23 % bauran energi terbarukan di tahun 2025 dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), hingga akhir 2020 baru tercapai sekitar 11.5 %. Untuk 5 tahun ke depan, pemerintah masih mempunyai pekerjaan rumah yang besar untuk merealisasikan target tersebut. Berdasarkan hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), salah satu potensi yang pemerintah bisa optimalkan untuk percepatan energi terbarukan adalah dengan mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) secara masif.

IESR telah melakukan perhitungan potensi teknis energi surya residensial (rumah tangga) di Indonesia. Hasilnya, dengan menggunakan skenario tertinggi, Indonesia memiliki potensi 655 GWp (IESR, 2019), dengan Jawa Tengah menjadi salah satu tiga besar provinsi dengan potensi teknis tertinggi. Kajian potensi pasar yang dilakukan dengan survei di 7 kota di Jawa Tengah untuk 3 sektor berbeda juga menunjukkan potensi early adopters dan early followers yang cukup signifikan: 9,6% untuk kelompok residensial, 9,8% untuk bisnis/komersial, dan 10,8% untuk UMKM. Jawa Tengah juga memiliki potensi PLTS terapung (floating PV) yang cukup besar dari 42 bendungan yang tersebar di seluruh wilayah provinsi.

Dengan adanya potensi energi surya yang signifikan dan komitmen Jawa Tengah untuk mengembangkan energi terbarukan,  Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas ESDM bekerja sama dengan IESR mendeklarasikan inisiatif Central Java Solar Province  pada tahun 2019. Inisiatif yang dilandasi dengan nota kesepahaman antara Gubernur Jawa Tengah dan Direktur Eksekutif IESR ini secara khusus memiliki tujuan mengakselerasi pengembangan energi surya di Jawa Tengah dan menjadikan Jawa Tengah sebagai “provinsi surya” pertama di Indonesia. 

Dalam satu tahun sejak dideklarasikan, menurut catatan yang IESR keluarkan dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, Jawa Tengah meningkatkan kapasitas energi surya menjadi  5,1 MWp dengan total 147 pengguna, dibandingkan dengan hanya 155,2 kWp dan 40 pengguna pada September 2019. Penambahan terbesar datang dari sektor industri, sebanyak 73% (3,7 MWp) dari total penambahan kapasitas terpasang. Kontributor terbesar adalah instalasi surya atap 2,91 MWp Danone-AQUA baru-baru ini di pabrik Klaten. Sisanya tersebar di berbagai sektor, termasuk di gedung Dinas ESDM, proyek APBD provinsi, dan sektor permukiman. 

Salah satu faktor pendukung naiknya kapasitas dan jumlah pengguna PLTS atap baik di sektor swasta dan publik ialah terbitnya Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah untuk menggunakan PLTS atap. Namun untuk mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sebesar 21,32% di tahun 2025; salah satunya dengan penetrasi energi surya yang lebih agresif, Dinas ESDM Jateng memandang masih banyak tantangan  yang harus dihadapi; misalnya literasi energi terbarukan yang masih belum merata, tingkat kesadaran masyarakat yang rendah, terbatasnya ketersediaan kontraktor/installer surya di wilayah tersebut, dan masa tunggu yang lama untuk penggantian meteran dua arah.

Sebagai upaya mendorong keterbukaan informasi tentang energi surya yang lebih merata dan komprehensif, serta mempertemukan beragam pemangku kepentingan terkait dan mempercepat  langkah Jawa Tengah untuk menjadi “provinsi surya” di Indonesia, Pemerintah Jateng bersama IESR akan menggelar Central Java Solar Day 2021, pada 16 Februari 2021, pukul 08:30 – 12:00 WIB secara online melalui Zoom Conference + livestream Youtube (IESR/ESDM Jateng). Acara ini akan dihadiri oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo,  Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE, Feby Joko Priharto,General Manager PLN UID Jateng dan DIY Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  dan lainnya. 

INDONESIA-JERMAN USUNG PROGRAM CASE UNTUK DUKUNG TRANSISI ENERGI BERSIH

JAKARTA – Sebagai negara dengan PDB terbesar di Asia Tenggara, Indonesia diprediksi akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada 2030 berdasarkan perhitungan paritas daya beli (purchasing power parity). Salah satu tantangan upaya peningkatan roda perekonomian sekaligus mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) datang dari sektor ketenagalistrikan yang masih didominasi bahan bakar fosil. Untuk itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan German Federal

Ministry for the Environment, Nature Conservation, Building, and Nuclear Safety sepakat mendukung upaya transisi menuju energi bersih melalui program Clean, Affordable, Secure Energy for Southeast Asia (CASE SEA).

“Salah satu sektor strategis yang berperan penting dalam mencapai target-target penurunan emisi GRK nasional yaitu sektor energi, di antaranya sektor pembangkitan. Harapannya, pada 2024, sebanyak 20 persen pembangkit listrik di Indonesia berasal dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT),” ujar Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika Kementerian PPN/Bappenas Rachmat Mardiana dalam Kick Off Workshop Program Clean, Affordable, Secure Energy untuk Asia Tenggara yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (2/2).

Dilaksanakan hingga Februari 2024, CASE merupakan agenda regional yang dilaksanakan di Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia melalui
konsorsium yang terdiri atas Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) di Indonesia, Agora Energiewende, New Climate Institute (NCI), serta Institute for Essential Service (IESR), oganisasi masyarakat sipil di Indonesia. Pelaksanaan CASE di Indonesia bertujuan untuk mengubah narasi arah sektor energi secara substantif, khususnya sektor ketenagalistrikan di Indonesia menuju transisi energi ke arah energi bersih yang berlandaskan pada kebijakan berbasis bukti untuk pemenuhan komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang menanamkan kerangka global
untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. “Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan menargetkan penurunan emisi GRK hingga 29 persen pada 2030. Selain itu, RPJMN 2020-2024 sebagai arah kebijakan pembangunan nasional juga telah menjadikan Pembangunan Rendah Karbon sebagai bagian dari Prioritas Nasional,” ujar Direktur Rachmat.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memaparkan besarnya potensi Indonesia dalam mengoptimalkan sumber EBT. Perkembangan energi bersih semakin menjanjikan, terutama didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dengan biaya investasi yang semakin murah. Sebagai implikasinya, pada 2030, membangun pembangkit listrik baru dari EBT akan lebih murah daripada mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas yang sudah ada di seluruh belahan dunia. Pengembangan EBT untuk menggantikan energi fosil juga
bermanfaat untuk mitigasi perubahan iklim akibat meningkatnya emisi GRK dari sektor pembangkitan. Sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi tinggi, Indonesia dituntut menurunkan konsumsi energi fosil dengan secepatnya melakukan transisi ke energi bersih, khususnya di sektor ketenagalistrikan.

“Dalam Rencana Umum Energi Nasional, pemerintah mempunyai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Menurut analisis IESR, untuk mencapai target tersebut, Indonesia harus menambahkan kapasitas EBT sekitar dua hingga tiga GW setiap tahun hingga 2025,” ungkap Fabby. Namun, hasil analisis komprehensif IESR menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir, rata-rata penambahan kapasitas energi terbarukan hanya sebesar 250-350 MW. Sementara di sepanjang 2021, penambahan diperkirakan hanya mencapai sekitar 400-500 MW. Artinya, sebagai langkah
mengatasi masalah selisih penambahan kapasitas tersebut, Indonesia perlu mempertimbangkan opsi-opsi pengembangan energi terbarukan yang berpotensi besar seperti PLTS, mulai dari skala besar hingga skala kecil (PLTS Atap). Indonesia perlu pendekatan khusus dalam merumuskan kebijakan transisi energi, mengingat profil Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kekayaan bahan bakar fosil tersebar di berbagai provinsi menjadi tantangan utama dalam mewujudkan transisi menuju energi bersih.

Dalam upaya mitigasi tantangan dalam mewujudkan transisi energi, implementasi program CASE di Indonesia mengusung prinsip optimal dan inklusif. “Hal ini dilakukan dengan senantiasa melibatkan stakeholders dari berbagai latar belakang sehingga rumusan-rumusan solusi yang lahir dari program ini bersifat komprehensif dan tentu saja berlandaskan pada bukti-bukti dan metodologi ilmiah. Bukti nyata dari pelaksanaan program yang inklusif adalah terlibatnya IESR sebagai salah satu NGO di Indonesia di dalam konsorsium program CASE,” tegas Program Manager CASE Indonesia Lisa Tinschert.

Jakarta, 2 Februari 2021