Masa Depan Cerah Energi Surya Butuh Dukungan Penuh Pemerintah

“Surya akan menjadi komoditas unggulan yang diperebutkan banyak pihak di masa depan, seperti minyak saat ini,” tutur Fabby Tumiwa dalam forum REinvest Indonesia – China (25/5/2021).

Forum tersebut bertujuan untuk menjembatani kedua negara dalam kolaborasi investasi energi terbarukan. Indonesia secara aktif sedang mencari cara untuk menyediakan sumber energi yang lebih bersih, lebih murah, dan lebih handal untuk merevitalisasi sistem energinya yang saat ini sangat bergantung pada fosil. Sementara itu, China menghadapi desakan global untuk mengurangi emisi karbon, dan telah berjanji untuk mencapai netral karbon pada tahun 2060. Karena kedua negara memiliki kesamaan untuk mengurangi emisi karbon, maka dialog untuk menjembatani kebutuhan tersebut diadakan.

Fabby Tumiwa, Ketua Indonesia Solar Association dan Direktur Eksekutif IESR, mengatakan bahwa Indonesia perlu mempercepat pemanfaatan energi terbarukan untuk mengejar target RUEN yaitu 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional dan selanjutnya menjadi nol emisi pada tahun 2050. Walaupun pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target net emisi pada tahun 2070.

PLTS dapat menjadi penggerak utama dan kunci untuk mencapai target dekarbonisasi. Hal ini sejalan dengan urgensi global untuk menerapkan dekarbonisasi secara menyeluruh. Disebutkan oleh IEA dalam laporan terbarunya bahwa tenaga surya dan angin akan mendominasi sistem energi di masa depan hingga 78% pembangkit listrik pada tahun 2050, dimana tenaga surya harus meningkat dari 160 GW sekarang menjadi 650 GW pada tahun 2030. Pada kesempatan yang sama, IEA menekankan pentingnya peningkatan energi terbarukan dalam dekade ini untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050. Dari segi strategis, tenaga surya sedikit lebih mudah didorong pemanfaatannya karena dapat dipasang secara modular. Kedepannya, energi surya akan menjadi komoditas yang populer seperti minyak bumi saat ini.

Namun, masa depan yang tampak cerah dan menjanjikan ini bukannya tanpa kekurangan. Ada banyak situasi yang menghambat percepatan industri PLTS di Indonesia.

Kondisi kelebihan pasokan listrik yang dialami PLN adalah salah satu hambatan terbesar untuk penggunaan tenaga surya. Situasi tersebut membuat pemerintah dan pengusaha swasta sulit untuk memasukkan energi terbarukan ke dalam sistem kelistrikan.

Sementara itu Eka Satria, CEO Medco Power Indonesia, menyoroti beberapa hal antara lain preferensi pemerintah dan pasar Indonesia untuk memilih sumber energi berbiaya rendah jangka pendek, ketidakpastian kebijakan dan regulasi, persyaratan BPP vs kandungan lokal, serta masalah pembebasan lahan untuk PLTS skala utilitas.

Selaku Ketua Umum Asosiasi Produsen Panel Surya Indonesia (APAMSI) Linus Sijabat menyampaikan hal-hal yang harus disiapkan investor asing dalam kesempatan kali ini China, sebelum menembus pasar Indonesia. Manajemen rantai pasok, terutama terkait dengan kebutuhan konten lokal menjadi poin utamanya.

“Diperlukan kerja sama luar dan dalam negeri untuk produk lebih dari 60% yang harganya kompetitif, kualitasnya bersertifikat internasional, dan pasarnya berkelanjutan,” tuturnya.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan energi surya atau secara umum energi terbarukan harus tersurat dalam regulasi seperti RUPTL (Rencana Umum Pemenuhan Tenaga Listrik) agar investor swasta bisa melihat potensi pasar energi terbarukan di Indonesia. Apalagi di Indonesia PLN merupakan pembeli tunggal listrik, maka calon investor harus sungguh memperhitungkan potensi pasar yang ada. Selain peluang yang harus terlihat dalam dokumen perencanaan resmi, lingkungan pendukung lain seperti kejelasan regulasi, dan skema insentif untuk investasi energi terbarukan juga harus dipastikan tersedia. 

IESR rilis peta jalan menuju nol emisi pada tahun 2050

 

Peta jalan menuju nol emisi pada tahun 2050:

Mampu Secara Teknologi dan Ekonomi, Indonesia Hanya Butuh Kemauan Politik yang Kuat dan Rencana yang Matang untuk Capai Nol Emisi pada 2050

Sisa waktu semakin menipis untuk menghadapi krisis iklim yang semakin mengancam. Namun, NDC Indonesia masih kurang ambisius dalam memenuhi Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi di bawah 2 derajat, apalagi dibawah 1,5 derajat celcius. Hal ini terlihat dari dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dalam mitigasi perubahan iklim, yang hanya menargetkan netral karbon di tahun 2070.

Laporan terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” menunjukkan bahwa secara teknologi dan ekonomi, sektor energi Indonesia mampu mencapai nol emisi karbon di tahun 2050.

Laporan ini merupakan kajian komprehensif pertama di Indonesia yang menggambarkan peta jalan mencapai emisi nol karbon di 2050 di sistem energi. Hal ini merupakan tonggak penting mengingat saat ini aksi mitigasi di sektor energi tidak cukup ambisius. Sementara, emisi dari sektor energi diperkirakan akan meningkat menjadi 58% pada tahun 2030, sebagaimana ditunjukkan dalam skenario business as usual (BAU) dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, terutama didorong oleh peningkatan konsumsi energi final.

“Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia dan dengan posisi strategisnya di Asia Tenggara, Indonesia harus memimpin dalam mentransformasi sistem energinya dari sekarang. Dekarbonisasi sistem energi Indonesia dapat membawa dampak signifikan bagi kawasan dan menginspirasi negara lain untuk mempercepat transisi energi. Komitmen politik dan kepemimpinan yang kuat dari Presiden Jokowi akan sangat diperlukan untuk mewujudkan hal ini,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby menambahkan bahwa langkah pertama dan krusial dari upaya dekarbonisasi adalah dengan mencapai puncak emisi selambatnya pada tahun 2030. Menurutnya, dengan dukungan kebijakan yang kuat, pembangkit energi terbarukan dapat dikembangkan dengan masif disertai dengan penurunan kapasitas pembangkit listrik fosil.

Menggunakan Model Transisi Sistem Energi yang dikembangkan oleh  Lappeenranta University of Technology (LUT), laporan ini memperlihatkan bahwa Indonesia mampu menggunakan 100 persen energi terbarukan di sektor kelistrikan, industri, dan transportasi.

“Model yang menggunakan analisis skenario secara terperinci untuk Indonesia ini didesain menggunakan resolusi hitungan waktu per jam dan terdiri dari wilayah-wilayah yang saling terhubung, sehingga sangat relevan untuk model transisi energi di Indonesia serta memastikan pasokan energi yang stabil di segala jam dan wilayah,” ujar Christian Breyer, Professor Ekonomi Surya di LUT.

Satu dekade mendatang akan menjadi penentu bagi upaya dekarbonisasi di Indonesia. Untuk mulai menurunkan emisi GRK, Indonesia perlu memasang sekitar 140 GW energi terbarukan pada tahun 2030, sekitar 80% nya merupakan PLTS. Selain itu, penjualan mobil listrik dan sepeda motor perlu ditingkatkan masing-masing menjadi 2,9 juta dan 94,5 juta pada tahun 2030. Suatu peningkatan yang sungguh dramatis bila dibandingkan dengan tingkat penjualan kendaraan listrik yang masih minim saat ini. Di sektor industri, pemenuhan kebutuhan panas industri menggunakan listrik perlu menjadi pilihan utama, diikuti oleh energi biomassa. Selain itu, hal terpenting lainnya, PLN perlu menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru pada tahun 2025.

Pada tahun 2045, energi terbarukan memasok 100 persen listrik di Indonesia. Untuk pertama kalinya, sektor kelistrikan Indonesia menjadi bebas karbon. PLTS merupakan penyumbang terbesar dalam pembangkit listrik dengan pangsa 88%, diikuti oleh tenaga air sebesar 6%, panas bumi sebesar 5%, dan energi terbarukan lainnya sebesar 1%. Teknologi penyimpanan energi, terutama baterai, berperan besar dalam mengatasi masalah intermitten. Sementara itu, bahan bakar sintetik, hidrogen, dan pemanas listrik akan lebih berperan dalam dekarbonisasi sektor transportasi dan industri.

Agar dapat mengandalkan energi terbarukan sebagai tulang punggung sistem energi di Indonesia maka penting untuk membangun integrasi jaringan listrik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain. Kebutuhan ini akan meningkat mulai tahun 2030 hingga seterusnya. Model IESR menunjukkan bahwa pada tahun 2050, kapasitas transmisi listrik sebesar 158 GW diperlukan untuk menghubungkan nusantara dari barat sampai timur.

Menyongsong tahun 2050, upaya dekarbonisasi terus berlanjut terutama untuk sektor transportasi dan industri yang sulit di dekarbonisasi dengan listrik secara langsung, hingga akhirnya Indonesia akan mencapai titik di mana seluruh sektor energi menjadi bebas karbon melalui penggunaan 100% energi terbarukan. Dekarbonisasi sistem energi berpotensi mengurangi biaya sistem tahunan sebesar 20% dibandingkan dengan sistem energi berbasis fosil.

Demi mencapai target yang ambisius tersebut, Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD 20-25 miliar per tahun mulai tahun ini hingga tahun 2030 dan akan meningkat menjadi USD 60 miliar per tahun antara tahun 2030 hingga 2040. Mengingat kebutuhan investasi yang besar, pemerintah harus berusaha menarik investasi dari sektor swasta dan individu. Oleh karena itu, perbaikan iklim investasi sangat penting dalam mewujudkan hal tersebut.

“Besarnya tantangan tidak boleh mengaburkan fakta bahwa dekarbonisasi yang menyeluruh akan membawa manfaat dan peluang yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia,” tegas Pamela Simamora, Koordinator Riset IESR.

Melakukan dekarbonisasi secara total akan menciptakan 3,2 jutaan pekerjaan baru yang berkelanjutan dan berkualitas, peningkatan kesehatan masyarakat (yang juga akan menurunkan biaya kesehatan yang substansial), dan pembentukan ekonomi modern, yang memungkinkan negara untuk bersaing dalam pasar dunia yang berkembang dengan produk netral karbon. Tentu saja, untuk merealisasikan hal tersebut perlu dukungan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah Indonesia. Pemerintah juga perlu menerapkan kebijakan dan regulasi yang tepat dan menghapus regulasi dan kebijakan yang dianggap sebagai penghalang investasi teknologi bersih di negara ini.

Laporan “Deep decarbonization of Indonesia energy system: A pathway to zero emission by 2050” adalah studi IESR bekerja sama dengan Agora Energiewende, dan Lappeenranta University of Technology (LUT). Peluncuran kajian ini dilaksanakan pada 28 Mei 2021. Laporan tersebut dapat diunduh di tautan berikut:

https://iesr.or.id/pustaka/deep-decarbonization-of-indonesias-energy-system-a-pathway-to-zero-emissions-by-2050

Pengembangan Biofuel di Indonesia Perlu Terintegrasi Dalam Strategi Jangka Panjang Transisi Energi

Jakarta, 4 Mei 2021– Sejak awal 2000-an, produksi minyak Indonesia terus menurun dan untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, pemerintah Indonesia melakukan impor minyak. Oleh karena itu, pemerintah juga berupaya mencari bahan bakar alternatif untuk mengurangi impor minyak. Biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) menjadi salah satu fokus pemerintah untuk dikembangkan dan telah menjadi mainstream dari kebijakan energi Indonesia,

“Ada harapan bahwa biofuel ini akan menjadi prime energy supply di Indonesia, namun perlu disoroti beberapa hal, diantaranya mengenai rencana dan strategi pemerintah untuk masa depan biofuel di tengah perkembangan teknologi alternatif seiring dengan akselerasi transisi energi” tutur Fabby Tumiwa pada pembukaan peluncuran laporan Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia.. Selain itu pertemuan yang dihadiri sekitar 70an orang secara daring ini juga membahas ketersediaan bahan baku (feedstock) dan disparitas harga dengan bahan bakar fosil saat ini. 

Strategi pemerintah Indonesia dalam pengembangan biofuel menjadi pemantik diskusi. Julius Christian Adiatma, Penulis laporan “Critical Review on the Biofuel Development in Indonesia” menyebutkan bahwa penggunaan bahan bakar cair di Indonesia didominasi oleh sektor transportasi dan trennya terus meningkat. Dengan skenario business as usual, peningkatan konsumsi bahan bakar cair akan mencapai tiga kali lipat. Pada skenario intervensi teknologi, penetrasi kendaraan listrik dan penggunaan fuel cell dipilih sebagai solusi. Jika tidak direncanakan dengan baik pengembangan biofuel dan percepatan penetrasi kendaraan listrik akan bertabrakan pada suatu saat di masa mendatang. Tren global yang mengarah pada penggunaan kendaraan listrik juga menimbulkan ancaman bahwa investasi pada sektor biofuel berpotensi menjadi aset terdampar (stranded asset).

Djoko Siswanto selaku Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN)  mengatakan bahwa berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), sampai tahun 2050 Indonesia akan menggunakan berbagai macam sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, “Kita menggunakan bahan bakar fosil dan EBT. Saat ini kita masih impor minyak mentah, LPG, dan bensin. Jadi fokus kita sekarang adalah bagaimana caranya mengurangi impor, karena kita percaya bahwa jika impor semakin sedikit maka ketahanan energi kita tentu akan semakin baik.”

Merespon kondisi disparitas harga, pihaknya mengakui bahwa selisih harga yang cukup jauh antara biofuel dengan BBM fosil lainnya menjadi tantangan tersendiri. 

“Sebagai contoh, green gasoline saat ini harganya mencapai 19.000 dengan harga sekian apakah masyarakat mampu untuk membeli? Atau apakah negara mampu mensubsidi selisih harganya jika dijual dengan harga yang lebih murah?” ujarnya.

Senada dengan Djoko Siswanto, Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, juga mengatakan bahwa salah satu tujuan pengembangan biofuel, seperti biodiesel di Indonesia adalah untuk menekan angka impor bahan bakar minyak yang masih tinggi. 

“Kita mengacu pada RUEN sebagai roadmap pengembangan biofuel. Tahun 2020 ini target kita adalah 8 juta kilo liter. Target ini tercapai dengan penggunaan biodiesel mencapai 8,4 juta kilo liter.Meskipun demikian dalam Grand Strategy National, ada penyesuaian yaitu penurunan target biodiesel sebanyak 15% dengan pertimbangan masuknya kendaraan listrik,” jelas Feby.  Feby menambahkan bahwa yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah adalah bensin yang 50% masih impor.   

Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia, Tatang Hernas Soerawidjaja menyoroti kecenderungan pemerintah yang bersifat responsif bukan antisipatif dalam mengeluarkan kebijakan juga dalam hal biodiesel ini. “Kebijakan pemerintah itu sifatnya reaktif, tidak ada kebijakan yang bersifat antisipatif untuk teknologi baru yang akan datang,”

Bahan baku biodiesel yang saat ini masih bergantung pada sawit, juga menjadi sorotan Tatang. Ia menyebut jika ketergantungan pada sawit dalam pengembangan biodiesel merupakan suatu indikator ketidakberlanjutan. 

Ketergantungan pada satu bahan baku ini juga menjadi perhatian Ricky Amukti, Engagement Manager Traction Energy Asia. “Sayang sekali produk biodiesel kita masih single feedstock dari sawit. Padahal kita punya potensi bahan baku lain seperti selulosa dari batang sawit yang dapat diolah menjadi bensin. Potensi lain yang ada juga biodiesel dari minyak jelantah yang memiliki emisi daur hidup yang lebih rendah yaitu sebesar 0,31 – 0,62 Kg CO2 equiv/L.” Menurut Ricky, jika potensi ini direalisasikan akan ada enam juta kiloliter biodiesel yang dihasilkan dan 2,2 juta lapangan kerja baru yang akan tercipta. 

IESR memandang penting bagi pemerintah untuk memastikan ketersediaan energi bagi masyarakat. Kedepannya, bahan bakar cair akan tetap dibutuhkan mengingat penetrasi kendaraan listrik di berbagai wilayah di Indonesia akan beragam rentang waktunya dan ada sektor transportasi yang akan sulit untuk dielektrifikasi. Melalui peluncuran kajian Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia  ini, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk: 1) mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi, selaras dengan pengembangan teknologi alternatif. 2) Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan untuk mengukur manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program biofuel. 3) Melakukan diversifikasi bahan baku biofuel. 4) Menetapkan dukungan kebijakan untuk mendorong produksi dan pengembangan biofuel generasi kedua, ketiga dan berikutnya. 5) Mengubah skema insentif untuk mendorong inovasi dengan memasukkan aspek keberlanjutan sebagai persyaratan.


Pembangunan Rendah Karbon: Kunci Mengatasi Darurat Iklim dan Krisis Ekonomi

Jakarta, 28 April 2021 – Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Leader Summit on Climate Change yang menyatakan akan serius menangani isu krisis iklim dinilai kurang progresif oleh sejumlah pihak. Pasalnya, dalam pernyataan Presiden Jokowi menitikberatkan sektor FOLU (penggunaan dan alih guna lahan), sementara sektor energi yang akan menjadi penyumbang terbesar emisi di masa mendatang tidak dibahas sama sekali. Sementara, dalam kesempatan yang sama, sejumlah pemimpin negara juga menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi dan target untuk menjadi netral karbon. Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah merilis dokumen Strategi Jangka Panjang (Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. yang menargetkan  bahwa Indonesia akan menjadi netral karbon pada tahun 2070. Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang bahwa target ini dinilai kurang ambisius dan menunjukkan upaya pemerintah yang tampak setengah hati menangani krisis iklim.

Merespon hal ini, IESR melanjutkan seri diskusi #Sebelum2070 untuk melihat peluang Indonesia dalam mencapai netral karbon sebelum 2070. Webinar ini merupakan bagian kedua dari seri webinar #Sebelum2070 yang bertujuan mendorong pemerintah untuk membuat target kebijakan iklim yang lebih ambisius. Target Indonesia untuk menjadi netral karbon pada 2070 dinilai tidak sejalan dengan komitmen Persetujuan Paris (Paris Agreement) yang ditandatangani Indonesia pada tahun 2015 dan diratifikasi melalui UU No. 16 tahun 2016. 

Menyiapkan Strategi Jangka Panjang untuk menuju karbon netral pada 2050 adalah kewajiban tiap-tiap negara yang menandatangani Paris Agreement. Hanya saja, dokumen LTS-LCCR 2050  yang dimiliki pemerintahmenjadi perdebatan dan menimbulkan kontroversisl bahkan di kalangan pemerintah sendiri. Hal ini terlihat dari inkonsistensi dokumen dan pemaparan antar lembaga pemerintahan mengenai target netral karbon Indonesia.

Sebagai contoh Kementerian Bappenas sebelumnya memaparkan tentang  Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia (LCDI) yang menawarkan beberapa skenario jika Indonesia menjadi netral karbon pada 2045, 2050, 2060, atau 2070. Berbagai skenario ini menunjukkan korelasi target menjadi netral karbon yang diwujudkan melalui pembangunan rendah karbon dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Komitmen iklim haruslah diintegrasikan dengan program pembangunan nasional. Komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission telah tertuang dalam RPJMN,” jelas Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas. Dia juga menekankan bahwa tidak boleh ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dengan upaya penurunan emisi. Menurutnya, untuk mencapai netral karbon, diperlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, selain kerja sama dan komitmen multipihak, Indonesia perlu mendapat dukungan yang kuat dari negara internasional. 

Dari sektor energi, Agus Cahyono Adi, Kepala Pusdatin Kementerian ESDM menyatakan bahwa pihaknya tengah bersiap untuk mendukung Indonesia mencapai net-zero emission memenuhi kebutuhan energi dengan berbagai upaya. 

“Sektor energi menjadi sektor penting dalam rencana net zero emission karena kita sebagai salah satu kontributor emisi. Selain penurunan emisi kita juga sedang berusaha menaikkan demand (permintaan), peningkatan energi terbarukan dan penggunaan bahan bakar bersih berperan penting dalam meningkatkan permintaan energi,” ucap Agus. 

Namun demikian pihaknya belum berani mengumumkan target angka atau batas  waktu untuk menjadi netral karbon dari sektor energi.

“Untuk setiap pilihan yang akan kami ambil, kami perlu mempertimbangkan sisi ketersediaan (available), kemudahan untuk diakses (accessible), dan keterjangkauan (affordable),” jelasnya. 

Untuk mencapai netral karbon perlu upaya yang lebih inovatif terutama melalui pengembagan iklim investasi seperti melakukan perdagangan karbon (carbon trading). Kus Prisetiahadi, Asisten Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memaparkan bahwa saat ini RPerpres untuk nilai ekonomi karbon sebagai pedoman penurunan emisi GRK dan pembangunan nasional yang rendah karbon  masih dirancang. Ada setidaknya 8 komponen pengaturan dalam RPerpres ini dan sektor kelautan menjadi salah satu sektor yang akan dikembangkan untuk upaya menuju mitigasi.  

Dian Afriyanie, peneliti senior Lokahita, menyoroti kurangnya integrasi lintas sektor dan lintas skala dalam pembuatan kebijakan. Hal ini berakibat pada produk kebijakan yang kerapkali  terasa tidak sinkron antara satu kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga lainnya. 

Lebih lanjut, Eka Melissa, Penasihat Senior The Partnership for Governance Reform (Kemitraan), menegaskan bahwa pembangunan rendah karbon mestinya dilihat sebagai suatu kesempatan untuk membangun negeri, menjadi ramah lingkungan sekaligus memenuhi target perjanjian internasional. 

“Saya melihat Bappenas sudah melihatnya begitu (sebagai suatu kesempatan) namun kementerian lain sepertinya masih memandangnya sebagai tantangan terbukti dari berbagai dokumen yang dihasilkan, pembangunan rendah karbon masih dilihat sebagai ganjalan dan tantangan,” tuturnya. 

Sinkronisasi sudut pandang ini harus pertama-tama dilakukan supaya produk kebijakan yang dihasilkan tiap-tiap lembaga mengarah pada satu muara yang sama. Jika sudut pandang masing-masing lembaga pada satu isu sudah berbeda, maka hasil akhir pada produk kebijakannya pasti tidak akan berjalan searah. 

Peran pemerintah daerah dinilai sangat penting dalam mencapai pembangunan dengan netral karbon. Andy Simarmata, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) memberikan pandangan agar pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya dapat mengkampanyekan netral karbon sampai ke tingkat daerah sehingga dapat ditranslasikan ke dalam RPJMD. Insentif terhadap dunia usaha terutama pola perilaku usaha bisnis juga perlu diberikan selain mendorong teknologinya. 

Untuk komitmen iklim terutama target untuk menuju netral karbon, masing-masing pihak terkait perlu melihat situasi iklim saat ini sebagai suatu krisis yang memerlukan strategi penanganan yang cepat dan tepat. Semakin kita menunda penanganan krisis iklim ini, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan dan semakin berat upaya yang harus dilakukan di kemudian hari. 

 

IESR Sarankan Pemerintah Untuk Kembangkan Strategi Jangka Panjang Biofuel dan Memperjelas Perannya dalam Transisi Energi

Indonesia mengembangkan BBN sejak 2006 sebagai respon kenaikan harga minyak bumi dan meningkatnya impor bahan bakar seiring dengan anjloknya produksi minyak mentah dalam negeri. Pemerintah pun telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendukung BBN di antaranya penetapan mandat pencampuran, mekanisme penetapan harga, hingga skema subsidi atau insentif. Namun, dari berbagai target yang disusun dalam peta jalan BBN sejak tahun 2008 untuk bioetanol, biodiesel dan minyak nabati murni, hanya target konsumsi biodiesel solar sebesar 20 persen yang tercapai di tahun 2019.

Institute for Essential Services Reform (IESR) melakukan kajian terhadap pengembangan bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia dalam “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”. Studi ini merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan pengembangan BBN yang mempertimbangkan secara matang implikasi ekonomi, lingkungan, dan sosial dari BBN, serta ketidakpastian permintaan BBN di masa mendatang.

“Pengembangan biofuel yang masih terfokus pada satu bahan baku yakni crude palm oil (CPO) juga menjadi ancaman keberlanjutannya. CPO juga dipakai untuk makanan, kosmetik dan sebagainya sehingga kita perlu melakukan diversifikasi bahan baku,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Secara umum harga indeks pasar referensi biodiesel dan bioetanol lebih tinggi dari harga bahan bakar minyak bumi. Perhitungan IESR menunjukkan bahwa biaya produksi biofuel drop-in (yang dapat digunakan secara langsung) lebih tinggi daripada bahan bakar minyak. Biaya produksi biofuel adalah sekitar Rp 6.000 hingga Rp 12.000 per liter, sedangkan harga referensi solar adalah Rp 4.500 per liter (rata-rata tahun 2020). Begitu pula dengan BBN berbasis minyak sawit mempunyai biaya lebih tinggi dikarenakan harga bahan baku yang tinggi.  

“Dengan biaya produksi yang lebih tinggi, pemanfaatan BBN membutuhkan insentif. Diperkirakan subsidi tahunan yang dibutuhkan untuk menjalankan program biofuel bisa mencapai 29 hingga 57 triliun rupiah pada periode 2021-2024. Besaran subsidi ini bahkan bisa meningkat dua kali lipat apabila harga minyak sawit mencapai titik tertingginya selama 10 tahun terakhir pada USD 970/ton (rata-rata tahunan),” jelas Julius Christian A, Periset Bahan Bakar Bersih IESR dan Penulis Laporan “Critical Review on the Biofuel Development Policy in Indonesia”.

Selain itu, ditinjau dari perspektif lingkungan, studi tentang analisis siklus hidup biofuel generasi pertama (termasuk minyak sawit) menunjukkan bahwa alih fungsi lahan untuk bahan baku BBN generasi pertama berpotensi mengeluarkan lebih banyak emisi GRK daripada bahan bakar minyak (BBM). Traction Energy Asia memperkirakan emisi GRK biodiesel Indonesia dapat mencapai 20 kali lipat emisi pembakaran BBM ketika  terjadi konversi hutan gambut. 

Dari segi sosial-ekonomi, industri BBN dan perkebunan kelapa sawit turut menyokong ekonomi di tingkat lokal melalui peningkatan nilai output pertanian, output manufaktur, dan PDRB. Pengembangan BBN dalam program B20 pada 2019 juga diperkirakan menciptakan 801 ribu lapangan kerja, namun disisi lain, masih dibayangi dengan berbagai permasalahan terkait kesehatan dan keselamatan pekerja, pekerja anak, diskriminasi, khususnya di perkebunan kelapa sawit. Ditambah lagi, perkebunan kelapa sawit juga kerap menimbulkan konflik lahan dan hilangnya akses sumber daya bagi masyarakat lokal.

IESR memandang, selain isu keekonomian, lingkungan dan sosial, pengembangan BBN juga perlu memperhatikan perkembangan teknologi alternatif, terutama di sektor transportasi. Secara business-as-usual, potensi permintaan BBN dapat meningkat menjadi 190 MTOE pada tahun 2050 dari konsumsi biodiesel saat ini sebesar 8 MTOE. Namun, dalam kasus penetrasi kendaraan listrik yang tinggi dan perpindahan moda yang tinggi ke angkutan umum, potensi permintaan bahan bakar nabati dapat turun menjadi hanya 93 MTOE pada tahun 2050. Adapun potensi permintaan pada skenario ini terutama akan berasal dari angkutan berat dan industri.

Indonesia mempunyai beragam target untuk BBN, diantaranya seperti tercantum dalam RUEN untuk target jangka panjang hingga target jangka pendek yang terdapat dalam RPJMN.  IESR mengkaji bahwa penetapan target yang menitikberatkan pada BBN pengganti solar merupakan strategi yang relatif aman. BBN pengganti solar ini masih menjadi pilihan utama di sektor transportasi alat berat, industri, dan penggunaan khusus (konstruksi, pertanian, pertambangan). Sektor-sektor ini diperkirakan masih memiliki pasar yang besar hingga tahun 2050. Selain itu, potensi permintaan avtur ramah lingkungan juga akan sangat besar, termasuk di pasar global, karena alternatif rendah karbon terbatas.

“Di sisi lain, perencanaan infrastruktur produksi BBN, terutama untuk BBN pengganti bensin perlu mempertimbangkan skenario permintaan yang rendah untuk meminimalkan potensi aset yang terlantar,”ujar Julius.

Agar mengatasi berbagai implikasi tersebut, IESR merekomendasikan agar pemerintah dapat : 1) mengembangkan strategi jangka panjang peran biofuel dalam transisi energi, selaras dengan pengembangan teknologi alternatif. 2) Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan untuk mengukur manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari program biofuel. 3) Melakukan diversifikasi bahan baku biofuel. 4) Menetapkan dukungan kebijakan untuk mendorong produksi dan pengembangan biofuel generasi kedua, ketiga dan berikutnya. 5) Mengubah skema insentif untuk mendorong inovasi dengan memasukkan aspek keberlanjutan sebagai persyaratan.

Krisis Iklim Makin Serius, Transisi Energi Mesti Dipercepat

Jakarta, 27 April 2021 – Indonesia dapat menjaga bumi dari emisi karbon dengan mendorong percepatan pengembangan energi terbarukan. Desakan agar pemerintah lebih yakin, berani dan ambisius untuk mengembangkan energi bersih disuarakan dalam Diskusi dan Peluncuran soft launching buku berjudul “Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia” yang ditulis oleh Tim Kompas. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Harian Kompas dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) (27/4).

Sutta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, mengatakan bahwa kebijakan editorial Harian Kompas mendukung percepatan energi terbarukan. Menurutnya, naiknya suhu bumi saat ini disebabkan penggunaan energi fosil sehingga akselerasi energi terbarukan akan mampu menjaga suhu bumi di tidak melebihi 2 derajat celcius.

“Bencana meteorologis di Indonesia selama satu tahun membawa kerugian sebesar 22,3 triliun rupiah. Saya iseng menghitung bila uang sebesar itu digunakan untuk membeli nasi padang, maka setara dengan 639 juta boks nasi padang. Sangat rugi sekali,”tegasnya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama menuturkan bahwa makin tahun, krisis iklim akan menjadi lebih serius.

“Kajian para ahli menyatakan bahwa kalau temperatur global naik lebih dari 1,5 derajat implikasinya sangat luas terhadap ekosistem, produksi pangan, dan ekonomi secara keseluruhan,”urainya.

Transisi energi menjadi pilihan yang harus diambil oleh para pembuat kebijakan untuk menurunkan emisi rumah kaca. Sistem energi fosil berkontribusi pada 75 persen GRK di seluruh dunia. Persetujuan Paris bahkan mengamanatkan seluruh negara di dunia untuk mengembangkan energi terbarukan untuk mencapai netral karbon di tahun 2050.

“Hal ini berarti, saat ini, target NDC kita tidak compatible dengan Persetujuan Paris. Kalau ingin compatible emisi, maka kita harus mencapai puncak (peak emission) pada 2030 dan harus turun drastis sampai 2050. Jika terlambat maka upaya yang dilakukan menjadi lebih berat dan akan lebih mahal,” ungkapnya.

IESR telah merampungkan sebuah pemodelan netral karbon Indonesia di tahun 2050 yang  menunjukan bahwa Indonesia mampu mencapai net zero pada tahun 2050. Bahkan dengan menggunakan 100% energi terbarukan, biaya sistem energi akan menjadi lebih murah dibandingkan dengan sistem yang berbasis energi fosil.

“Sektor listrik merupakan quick win karena pengembangan energi terbarukan di sektor ini bisa lebih cepat dibanding industri dan transportasi. Tentu saja, kebijakan transisi energi merupakan sesuatu yang membutuhkan banyak inovasi, perubahan regulasi, dan cara pandang kita melihat sumber daya energi yang kita miliki. Namun, jika kita bisa melakukan 100% energi terbarukan maka akan tercipta 3,2 juta lapangan kerja baru,” tegas Fabby.

Senada dengan Fabby, ketua tim penulis, Aris Prasetyo, menjabarkan bahwa pengembangan energi terbarukan dengan mendorong transisi energi adalah suatu yang pasti akan terjadi. Ia juga menceritakan tentang kemandirian energi yang ia temui saat kunjungannya ke Desa Kamanggih di Kecamatan Kahaungu Eti di Sumba Timur.

“Masyarakatnya sudah mandiri energi. Listriknya dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) bahkan kelebihannya dijual ke PLN. Untuk memasak, mereka menggunakan biogas dari kotoran ternak. Namun saat terjadi pandemi, ternyata pelanggan PLTMH tidak dapat diskon tarif listrik artinya sesuatu yang bersih dan mendukung program pemerintah dan adaptasi perubahan iklim tidak ada dukungan, sementara untuk program yang bergantung pada energi fosil mendapat insentif,” tuturnya.

Aris juga menambahkan bahwa ketimpangan kebijakan juga terjadi di skala industri, terutama dalam hal masalah tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan. Menurutnya, bahkan bagi pengembang sendiri, tarif yang ditawarkan PLN tidak ekonomis karena biaya produksinya lebih tinggi. Sedangkan untuk kebijakan tarif energi terbarukan, Perpresnya tidak kunjung keluar.

Menyoal mengenai kebijakan energi terbarukan, Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, bertekad untuk menyelesaikan UU mengenai energi terbarukan. Meskipun menurutnya banyak kepentingan yang tidak mendukung kemunculan UU ini.

“Padahal keberadaan UU ini akan menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan EBT,” imbuh Sugeng. 

Di lain pihak Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional memandang bahwa membangun ketahanan energi, pemerintah harus memastikan keamanan pasokan, mudah diakses, affordability kaitannya dengan kemampuan dan environmentally friendly.

“Jika kita berbicara keekonomian, maka energi terbarukan yang dapat dikembangkan lebih jauh adalah PLTS. PLTS sedang kita pompa besar-besaran,”ujarnya.

Menghadiri Musrembang Kabupaten Paser, IESR Beri Paparan Bertransisi Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau

Jakarta, 1 April 2021, Institute for Essential Services Reform (IESR) secara daring memberikan pemaparan tentang Transisi Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Kabupaten Paser, Kalimantan Timur dalam Musrenbang dan Konsultasi Publik RPJMD 2021-2026 Kabupaten Paser (1/4). Kesempatan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan IESR dengan Bappeda Kalimantan Timur dan Kabupaten Paser di tahun 2020.

Di hadapan Bupati Paser dan jajarannya, IESR mendorong pemerintah Paser untuk tidak lagi mengandalkan batubara baik di sektor energi maupun ekonomi, melainkan mulai melakukan diversifikasi ekonomi untuk peningkatan ekonomi Paser seperti pengembangan industri diantaranya industri pertanian (padi, jagung, bawang merah), industri pariwisata, dan industri energi terbarukan.

Transisi Energi Terjadi, Kontribusi Ekonomi dari Sektor Batubara Diprediksi Akan Turun

Selama ini, Paser menggantungkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada batubara. Hal ini menjadikan Paser rentan terhadap kontraksi ekonomi terutama karena kondisi permintaan batubara ekspor yang cenderung menurun, akibat adanya fenomena transisi energi yang diadopsi oleh negara tujuan ekspor batubara dari Kabupaten Paser. Terutama karena 80 persen produksi batubara Paser diperuntukkan untuk ekspor sehingga pertumbuhan ekonomi Paser sangat dipengaruhi oleh Harga Batubara Acuan (HBA).

“Negara tujuan ekspor batubara seperti  Cina, India, Korea, dan Jepang  sangat ambisius dalam melakukan transisi energi. Selain itu, banyak negara untuk mengatasi ancaman krisis iklim berpindah dari energi fosil ke energi terbarukan. Diperkirakan di tahun 2050 nanti permintaan batubara dunia akan turun 40-90 persen. Tentu penurunan permintaan ini akan terjadi secara bertahap dalam waktu dekat. Hal ini perlu diwaspadai oleh daerah yang selama ini menjadi penghasil batubara terbesar, seperti Kalimantan Timur,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fakta ini diakui pula oleh HM Aswin, Kepala Bappeda Kaltim, “Meski struktur PDRB Kaltim masih didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, harga batubara yang kian menurun dan rendahnya permintaan batubara dari negara tujuan ekspor tetap membuat pertumbuhan ekonomi dari sektor batubara minus 4, 58 di Kalimantan Timur.”

Kontribusi sektor batubara pada PDRB Paser sangat besar, lebih dari 70 persen, namun PDRB per kapita kabupaten Paser relatif stagnan dalam satu dekade terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa daya ungkit dari industri pertambangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sudah sangat terbatas. Untuk itu pengembangan sektor ekonomi baru perlu dilakukan.

“Produksi batubara relatif stagnan, namun kegiatan produksi ini 95 persennya dilakukan oleh satu perusahaan saja. Sehingga di tahun 2016 terjadi penurunan produksi sektor pertambangan, khususnya batubara, menyebabkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Paser negatif tahun 2016 (Diskominfo Paser, 2019),” imbuh Fabby.

Hal senada disampaikan oleh Ketua DPRD Kabupaten Paser, Hendra Wahyudi, dalam kesempatan yang sama saat menyampaikan pokok-pokok pikiran DPRD dalam rangka penyusunan RKPD Kabupaten Paser  tahun 2022 dan Konsultasi Publik RPJMD 2021-2026. Ia  menegaskan bahwa kontraksi ekonomi semasa COVID-19 sangat terasa di Paser dengan pertumbuhan ekonomi minus 2,77 di tahun 2020.

“Kami menyarankan untuk mengambil langkah strategis dengan memaksimalkan sektor ekonomi non tambang seperti industri pertanian, pengolahan dan perdagangan sehingga tidak terlalu bergantung pada industri pertambangan dan penggalian,”ungkapnya.

Industri Pertanian Paser Termasuk Dalam Fokus Pembangunan Hijau

Analisis IESR menunjukkan  bahwa sektor pertanian, perikanan dan perburuan menjadi penyerap tenaga kerja lebih banyak dibandingkan pertambangan yang hanya menduduki peringkat keempat. Selain itu, sektor pertanian ini juga tidak terlalu  mengalami fluktuasi ekonomi yang signifikan bila dibandingkan dengan  sektor pertambangan.

Arahan Bappeda Kalimantan Timur yang memposisikan Paser sebagai sentra pertanian dan pangan Ibukota Negara Baru (IKN) terutama komoditas padi, bawang merah, dan cabai membuat Paser perlu  meningkatkan infrastruktur yang menunjang industri pertanian dan melakukan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Peningkatan produktivitas lahan padi dapat pula meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Hitungan peningkatan produktivitas lahan menjadi 7 ton/ha dan asumsi jumlah lahan tetap, maka Kabupaten Paser dapat menyerap sekitar 9.479 pekerja. Angka ini setara dengan jumlah pekerja di sektor pertambangan sehingga dapat  menyerap tenaga kerja terdampak akibat penurunan aktivitas pertambangan.

Tidak hanya itu, melalui hasil perhitungan IESR, Paser juga memiliki potensi energi terbarukan yang  sangat besar, dengan berturut produksi teknis PLTS sebesar hampir 81 ribu GWh/tahun, energi air  721 GWh/tahun, dan pumped hydro storage (PHS), 3,5 ribu GWh/tahun.  Pengembangan sektor listrik berbasis energi terbarukan akan mampu untuk  menyuplai listrik IKN dan daerah lain di sekitar Paser.

IESR juga mengungkapkan bahwa memaksimalkan potensi sektor pariwisata di Paser akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Paser dapat menaikkan anggaran sektor pariwisata untuk menarik lebih banyak jumlah wisatawan. Selain itu  perhatian terhadap akses infrastruktur dan akses jalan menjadi penting untuk mendorong berkembangnya sektor pariwisata.

“Kabupaten Paser mempunyai dana CSR sebesar 58 miliar di tahun 2020. Dana ini dapat dimanfaatkan untuk untuk pengembangan UMKM dan SDM lebih maksimal lagi,” ulas Fabby.

Paparan Direktur Eksekutif IESR

Menurutnya, proses transformasi ekonomi membutuhkan perencanaan yang matang. Pemerintah Paser harus mempersiapkan kajian atau studi yang lebih komprehensif terhadap dampak transisi energi pada industri batubara, ekonomi lokal, lingkungan dan kesehatan sehingga Paser mampu membuat peta jalan transformasi ekonomi Paser. Hal lain yang Paser perlu persiapkan dan lakukan pendalaman adalah diversifikasi ekonomi, mekanisme pendanaan dan kebijakan pendukungnya. 

Bupati Paser dalam sambutannya menyampaikan pula bahwa pihaknya akan memprioritaskan perhatiannya di bidang pertanian.

“Saya berharap dinas pertanian bisa menyusun rencana kerja untuk meningkatkan program pertanian yang ada di Paser. Kita punya lahan luas yang terdapat di 139 desa. Mengaktifkan lahan ini dengan teknologi pertanian yang modern akan membuka peluang kerja bagi pemuda. Pertanian akan menjadi andalan selama kami menjabat,” janji Bupati Paser, Fahmi Fadli.

Inisiasi ‘Kampung Surya’ Menjaring Warga untuk Bekerja di Sektor Energi Surya

pelatihan anak muda memasang plts atap di jakarta

Jakarta, 25 Maret 2021 – Sesuai dengan namanya, ragam warna yang menempel di dinding rumah segera menyapa mata saat memasuki Kampung Warna Warni di RW 3 kelurahan Kebon Pala, Cililitan, Jakarta Timur. Berkumpul di Balai Warga, sekitar 10 orang yang didominasi kaum muda, lengkap dengan maskernya, berkumpul untuk mendapatkan pelatihan teknis pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya atap yang diadakan oleh IESR bekerja sama dengan salah satu perusahaan pengembangan PLTS atap, ATW Solar  kepada warga yang tergabung dalam FAKTA (Forum Warga Kota Jakarta) ini.

Turunnya biaya pemasangan instalasi surya dan angin dalam satu dekade belakangan membuat pemakaian energi terbarukan semakin massif. Saat ini, dengan investasi sebesar 15 – 20 juta rupiah, masyarakat bisa menikmati listrik ramah lingkungan dari PLTS atap hingga 25-30 tahun. Tidak hanya itu, setidaknya di sektor tenaga kerja, berbagai kalangan masyarakat, tanpa persyaratan pendidikan tinggi, dapat turut andil melakukan pekerjaan instalasi panel surya dengan mengikuti pelatihan yang cenderung singkat dan mudah dipahami. Akan tetapi, jika melihat masa pakai PLTS dan perhitungan jangka waktu balik modal nilai investasi ini kompetitif. Menurut perhitungan IESR, masa balik modal (return of investment period) berkisar antara 7 – 10 tahun. Setelah masa tersebut, dapat dikatakan bahwa pengguna PLTS atap menikmati listrik murah, bersih, dan ramah lingkungan.

Selama 2 hari (25-26/3), sekitar 10 orang peserta antusias mengikuti jalannya pelatihan yang dipandu oleh pelatih dari ATW Solar. Hari pertama, peserta mendapat pemahaman dasar tentang teknologi PLTS atap, macam-macam jaringan pemasangan, komponen, dan safety induction saat pemasangan. Sementara di hari kedua, meski panas menyengat, para peserta yang didominasi oleh anak-anak muda ini tetap bersemangat melakukan praktik pemasangan panel surya. Menariknya, selain memberikan pelatihan, ATW Solar membuka peluang bagi para peserta yang mempunyai potensi dan ketertarikan dengan PLTS atap untuk menjadi tenaga lepas ATW Solar sehingga dapat menangani proyek di wilayah tersebut kelak. Hal ini ditegaskan oleh Chairiman, VP Retail and Residential ATW Solar. Ia mengungkapkan bahwa dari sisi peluang kerja, tenaga pemasang (installer) akan banyak dibutuhkan di masa depan. Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah menetapkan target satu juta PLTS atap. Namun, sampai saat ini baru sekitar 3000 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap.

“Saat ini baru 3000 pelanggan PLN yang menggunakan PLTS atap, padahal targetnya satu juta pengguna, jadi masih ada sekitar 997 ribu rumah lagi yang akan memasang PLTS. Jika dalam 1 instalasi kami butuh 4-5 orang, makin banyak tenaga kerja yang kami butuhkan untuk menggarap itu,” tutur Chairiman.

Direktur eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam sambutannya menyatakan bahwa inisiatif Kampung Surya ini harus menjadi milik masyarakat setempat. Sehingga keberlanjutan program ini dapat terus berjalan. 

“Angkatan yang pertama ini dilatih oleh ATW dilanjutkan juga untuk on the job training dan harapan kami sampai bisa menjadi tenaga freelance untuk installer PLTS atap. Nah selanjutnya teman-teman yang sudah ikut pelatihan ini bisa melatih lagi orang lain di kampung ini atau bahkan di kampung sebelah,” tandas Fabby.

Hal senada disampaikan oleh ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan, “PLTS inikan teknologi yang akan banyak dipakai di masa depan jadi kita harus siap-siap supaya tidak hanya jadi penonton, tapi kita bisa ambil peluang-peluang yang ada di masa depan.” 

Bagas Septiansah, Ketua Karang Taruna Wilayah RT01 RW 03, Kelurahan Kebon Pala, yang menjadi salah seorang peserta mengaku bahwa pelatihan proses pemasangan dapat ia pahami  dengan mudah. 

“Sebelumnya, saya hanya lihat  ia panel surya di bangunan – bangunan besar di Jakarta tanpa saya tahu apa itu PLTS. Namun, setelah pelatihan ini, saya semakin memahami kegunaan panel surya dan proses penggunaan energi matahari menjadi energi listrik untuk kegiatan sehari-hari,” ungkapnya.

Bagas berkomitmen untuk menyebarkan pengetahuan yang ia dapatkan kepada kelompok pemuda yang ia pimpin juga merawat panel surya yang sudah dipasang di Balai Warga.

Salah seorang peserta, Iskandar, ternyata sudah lama memasang panel surya off grid, hanya ia merasa pengetahuannya semakin bertambah setelah mengikuti pelatihan, terutama mengenai PLTS hybrid dan on grid.

“Di rumah, setelah pasang PLTS off grid, saya merasa ada pengurangan pembayaran listrik, karena saya menggunakan listrik PLTS dan PLN bergantian. Dengan adanya PLTS berdaya 40 Wp, pembayaran tagihan listrik saya bisa turun 20 persen,” imbuhnya.

Inisiatif Kampung Surya ini merupakan yang pertama di Jakarta, dimana tidak sekedar memasang PLTS namun juga memberdayakan warga setempat sebagai tenaga kerja terampil untuk installer. Dengan adanya inisiatif ini, diharapkan energi bersih semakin dapat dinikmati oleh semua kalangan karena energi yang bersih dan berkualitas adalah hak setiap warga masyarakat. Melalui skema pelatihan dan pemasangan PLTS untuk fasilitas umum ini masyarakat dapat melihat dan menikmati manfaat dari memasang PLTS atap seperti munculnya lapangan kerja, mendapat listrik yang bersih, dan juga ramah lingkungan.

MoU Pemerintah Daerah Jambi dan IESR

Tandatangani MoU dengan IESR, Pemerintah Jambi Serius Dorong Transisi Energi dan Capai Target Bauran Energi Terbarukan Daerah 2025

Jambi mempunyai target bauran energi terbarukan daerah sebesar 24 persen di tahun 2025 dan 40 persen di tahun 2050. Target ini sudah ditetapkan dalam Perda No. 13 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019-2050. Jumlah target bauran energi terbarukan ini memang jauh lebih besar dari pada target bauran energi terbarukan nasional yang masing-masing 23 persen dan 31 persen di tahun 2025 dan 2050. Demi mencapai target RUED, pemerintah Jambi membangun kerjasama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), untuk mengatasi tantangan diantaranya pemahaman mengenai transisi energi yang belum merata. Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan membangun infrastruktur yang mendukung juga menjadi pekerjaan rumah ESDM Jambi dalam mengembangan energi terbarukan.

“Padahal potensi energi terbarukan di Jambi cukup besar. Hanya saja, belum menjadi prioritas, sehingga harus dimulai dengan pemahaman yang benar mengenai transisi energi. Untuk itulah kami bekerja sama dengan IESR sehingga dapat memulai arah yang benar untuk hasil yang maksimal,” tandas Kepala Dinas ESDM Jambi, Harry Andria dalam acara Penandatanganan Kesepakatan Kerja Sama Dinas ESDM Provinsi Jambi dan IESR (22/3).

Menurutnya, pemahaman transisi energi yang benar di tingkat eksekutif dan legislatif daerah akan mempermudah dalam implementasi program untuk pencapaian target energi terbarukan daerah. 

Senada, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam kesempatan yang sama juga menyatakan bahwa transisi energi telah menjadi fenomena yang terus diadaptasi oleh banyak negara di dunia. Hal ini dipicu oleh komitmen negara di dunia dalam Persetujuan Paris untuk menjaga suhu bumi kurang dari 2°C .

“Transisi energi merupakan hal yang tidak ditawar. Akselerasi energi terbarukan membutuhkan komitmen seluruh stakeholder, baik di pimpinan daerah, pembuat kebijakan dan masyarakat yang akan terdampak. Kerja sama yang instrumental dibutuhkan untuk mencapai target RUED serta membangun konsensus bersama untuk pemanfaatan energi terbarukan,” tegasnya.

Fabby memandang pula bahwa implementasi transisi energi dan pencapaian target energi terbarukan di Jambi akan menjadi daya tarik Jambi ke depannya. Jambi akan terus berkembang dari segi ekonomi, baik di sektor sektor industri, bisnis, pertanian, perikanan, dan pariwisata yang membutuhkan banyak energi, salah satunya dengan pemanfaatan energi terbarukan.

IESR akan memberikan bantuan teknis bagi Pemerintah Jambi dalam hal peningkatan pemanfaatan potensi energi terbarukan, konservasi energi, dan transisi energi. Acara ditutup dengan melakukan penandatanganan dokumen Perjanjian Kerja Sama antara Dinas ESDM Jambi dan IESR secara daring.