Jika Pemerintah Serius Dalam Susun Peta Jalan Transportasi Rendah Karbon, Indonesia Berpotensi Dapat Cegah 500 Ton Emisi Karbon di 2050

Liputan Kegiatan – Seri laporan studi tematik peta jalan transisi energi di Indonesia: Transisi Menuju Transportasi Rendah Karbon

Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020 –  Seiring dengan perkembangan ekonomi, transportasi berkembang menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hanya saja, limbah karbon yang dihasilkannya, bila tidak ditangani secara serius oleh pemerintah dan berbagai pihak, kelak akan menaikkan suhu bumi yang membahayakan kehidupan manusia. Selain itu, jika lalai, Indonesia sendiri berisiko terkucilkan dari pergaulan internasional karena tak dapat memenuhi janjinya pada Kesepakatan Paris untuk menghasilkan nol emisi di tahun 2050.

Urgensi inilah yang menjadi pembahasan Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam peluncuran laporan seri keduanya dari lima seri laporan studi mengenai Peta Jalan Transisi Energi Indonesia yang berjudul A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia: A Technological Perspective. Berlangsung secara daring, acara ini turut mengundang Firdaus Komarno, Kepala Pusat Pengelolaan Transportasi Berkelanjutan Kementerian Perhubungan dan Faela Sufa,  Direktur Asia Tenggara dari Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) untuk merespon temuan dan rekomendasi dari laporan yang ditulis oleh Julius Christian Adiatma.

Julius memaparkan bahwa sebagai pengguna BBM terbesar, transportasi menyumbang gas rumah kaca (GRK) di tahun 2017 itu sekitar 150 juta ton. Jika pola konsumsi energinya tetap sama maka di tahun 2050 akan menghasilkan sebesar 500 ton emisi karbon.

Ia menawarkan tiga pendekatan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan memitigasi dampak dari transisi energi di bidang transportasi yaitu Avoid, Shift, dan Improve (ASI).

“Pendekatan Avoid artinya kita sebisa mungkin mengurangi jumlah perjalanan dan jumlah kebutuhan transportasi dengan melalui tata kota yang lebih baik. Sementara Shift itu adalah beralih ke moda transportasi yang lebih hemat energi atau lebih tidak karbon intensif. Improve berarti meningkatkan efisiensi dari kendaraan ataupun intensitas karbon dari kendaraan itu sendiri, “ jelasnya.

Membahas moda transportasi yang hemat energi, Julius menyarankan segera melakukan pengembangan elektrifikasi kendaraan ringan. Namun tentu saja, hal tersebut membutuhkan perencanaan yang matang dengan memperhatikan sistem kelistrikan di Indonesia yang masih menggunakan batu bara serta masih minimnya infrastruktur pendukung seperti pengisi daya kendaraan listrik.

“Intinya, mau tidak mau, transisi energi ini akan terjadi juga. Tentu saja menyebabkan beberapa dampak yang negatif, misalnya ketidaksiapan infrastruktur atau kesalahan pemilihan teknologi. Penurunan aktivitas ekonomi atau terjadinya aset terdampar,” imbuhnya.

Julius juga menyinggung peta jalan yang telah disusun oleh Kementerian Perhubungan. Menurut Julius, cita-citanya belum sesuai dengan Paris Agreement.

“Kalau kita lihat roadmap dari industri otomotif kan itu sampai tahun 2034, kalau tidak salah baru 30% dari produksi kendaraan dalam bentuk kendaraan energi surya atau biofuel. Jika demikian, maka proyeksinya di tahun 2020, hanya 30 persen kendaraan listrik yang ada di jalan,” urainya.

Menurutnya lagi, peta jalan transisi energi di bidang transportasi harus memuat pembangunan infrastruktur yang sesuai perkembangan teknologi, mengantisipasi dampak ekonomi-sosial dari transisi beserta rencana mitigasinya, serta riset dan pengembangan teknologi alternatif transportasi rendah karbon. Selain itu,  pemerintah harus memiliki rencana dan memastikan bahwa proses transisi ini dapat dicapai dengan sukses sekaligus mengurangi risiko-risiko dari proses transisi yang terjadi, utamanya kepada pemangku kepentingan yang terlibat (termasuk didalamnya para pelaku industri, pekerja dan masyarakat yang terdampak).

Menanggapi penjabaran Julius, Faela sepakat agar pemerintah harus lebih proaktif menyikapi kebutuhan transportasi rendah karbon, tidak hanya di tataran nasional bahkan hingga daerah.

“Perlu ada peta jalan dan target di tingkat daerah untuk beralih ke transportasi publik dengan energi terbarukan jadi tidak hanya listrik saja,” tandasnya.

Ia juga menyarankan agar Kementerian Perhubungan bisa mendorong kebijakan insentif non fiskal di pemerintah daerah seperti tiket parkir yang lebih rendah bagi kendaraan yang rendah karbon.

Merespon hal ini, Firdaus Komarno secara umum sepakat akan kebutuhan Indonesia untuk melakukan transisi energi. Melalui presentasinya, Firdaus mengungkapkan bahwa pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong perubahan energi di bidang transportasi. Namun, ia mengakui kebijakan tersebut belum cukup terintegrasi dengan baik.

“Mudah-mudahan makin kedepan terutama tiga Kementerian yakni Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Perhubungan dan Perindustrian saling bersinergi, berintegrasi dalam rangka mengawal pembangunan rendah karbon ini,” harapnya.

Firdaus mempunyai pandangan yang sama terkait tantangan transisi energi di Indonesia. Selain yang sudah Julius sebutkan, pemerintah juga masih terkendala pada belum adanya penetapan tarif listrik sehingga tidak memberi kepastian bagi produsen kendaraan listrik. Selanjutnya pemerintah juga belum mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi pengguna kendaraan rendah karbon.

Lebih jauh, Firdaus merasa senang dan terbuka bila ada kesempatan diskusi bagi pihaknya, IESR ataupun organisasi lain yang mempunyai visi sama untuk mewujudkan transportasi rendah karbon di Indonesia.


Saksikan kembali siaran tundanya:

Materi paparan

A Transition Towards Low Carbon Transport in Indonesia_ a technological perspective

Unduh

Bahan Webinar IESR 061020

Unduh

Share on :

Leave a comment