Jakarta, 24 Maret 2023 – Pencapaian target Net Zero Emission (NZE) indonesia pada 2060 atau lebih cepat perlu disertai dengan peralihan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Sayangnya, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih terhalang kompetisi yang tidak setara dengan energi fosil yang sarat subsidi. Sementara, di berbagai negara, penurunan harga pembangkit energi terbarukan telah mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang signifikan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) hari ini meluncurkan laporan berjudul Making Energy Transition Succeed: A 2023’s Update on The Levelized Cost of Electricity and Levelized Cost of Storage in Indonesia dan perangkat simulasi berbasis web yang dapat diakses oleh masyarakat untuk memperkirakan biaya pembangkitan energi untuk setiap teknologi pembangkitan dan penyimpanan energi. Perhitungan biaya pembangkitan ini dapat membantu para pembuat kebijakan, pengembang energi terbarukan, investor, dan masyarakat luas dalam merencanakan pembangunan energi terbarukan dan menentukan pilihan-pilihan teknologi energi yang lebih murah secara biaya, dengan emisi GRK yang rendah.
Di Indonesia, perkembangan kapasitas energi terbarukan dalam lima tahun terakhir di bawah target yang direncanakan. Selama 2015 sampai 2021, kapasitas energi terbarukan bertambah rata-rata 400 MW atau kurang dari seperlima dari pertumbuhan yang seharusnya untuk mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan di 2025. Pada 2022, kapasitas pembangkit energi terbarukan bertambah 1 GW tapi masih jauh dari pertumbuhan seharusnya.
“Perkembangan energi terbarukan tidak signifikan karena adanya ketidaksesuaian level of playing field. Selama ini pembangkit energi terbarukan ini dianaktirikan dengan PLTU batubara. Terdapat pandangan bahwa batubara merupakan sumber energi paling murah. Padahal yang sebenarnya terjadi, listrik PLTU batubara murah karena ditopang oleh kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan subsidi-subsidi lainnya mulai 2018. Sementara itu, energi terbarukan tidka mendapatkan dukungan, malah harganya selalu diminta bersaing dengan listrik PLTU dan PLTG yang mendapatkan subsidi negara,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Analisis IESR menunjukkan harga pembangkit energi terbarukan semakin menurun dan kompetitif. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berskala menengah memiliki biaya pembangkit rata-rata (Levelized Cost of Electricity, LCOE) yang paling rendah yakni sebesar 4,1 sen/kWh. Di posisi kedua dan ketiga terendah secara berturut adalah Pembangkit Listrik Mini/Mikro Hidro (PLMTH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) senilai 4,9 sen/kWh dan 5,8 sen/kWh. Namun penghitungan biaya pembangkitan ini tidak memasukkan biaya penggunaan lahan dan biaya persiapan proyek, sehingga akan ada kemungkinan peningkatan LCOE setidaknya 6% untuk PLTA skala menengah, dan 18% untuk PLTS skala utilitas.
“Saat ini, iklim investasi pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan memang belum kondusif. Salah satu penyebabnya adalah disebabkan oleh sejumlah regulasi yang meningkatkan biaya tinggi. Misalnya, untuk pengembangan PLTS skala utilitas, ada aturan TKDN yang mengharuskan penggunaan komponen dalam negeri yang harga produknya masih lebih mahal dan kalah dari segi kualitas dari komponen impor. Harga komponen yang lebih mahal menyebabkan biaya investasi yang dibutuhkan meningkat. Sementara, tidak adanya jaminan mutu dan pemenuhan standar juga membuat pendanaan proyek lebih mahal, terutama dari luar negeri, menjadi sulit,” tutur His Muhammad Bintang, Peneliti IESR yang juga merupakan penulis utama laporan ini.
Meskipun demikian, tren penurunan harga teknologi diperkirakan membuat pembangkit energi terbarukan lebih kompetitif dalam waktu dekat. PLTS, contohnya, proyeksi LCOE PLTS skala utilitas baru di tahun 2050 akan mencapai 3 sen/kWh atau lebih rendah, jauh lebih murah dibandingkan biaya operasi PLTU batubara eksisting. Pada 2030an, kombinasi PLTS dan BESS akan semakin terjangkau dan kompetitif dibandingkan dengan listrik dari PLTU Terlebih, pemerintah mulai mengimplementasikan aturan pengurangan emisi, misalnya lewat mekanisme carbon pricing dan pembatasan gas-gas buang yang dapat meningkatkan LCOE PLTU.
“Kompetitifnya harga sistem penyimpanan energi tentu membantu pengembangan energi terbarukan. Salah satu tantangan pembangkit energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB adalah intermitensi yang membutuhkan integrator agar stabilitas sistem eksisting tetap terjaga. Sistem penyimpan energi ini lah integrator yang paling populer karena fungsinya yang bervariasi,” jelas Bintang.
Menyoal penggunaan carbon capture storage (CCS) pada PLTU batubara untuk mengurangi emisi GRK, Deon Arinaldo, Manager Transformasi Energi, IESR, menyatakan hal tersebut justru akan meningkatkan LCOE PLTU batubara.
“Inisiatif untuk menggunakan CCS pada PLTU batubara seharusnya tidak menjadi pilihan lagi karena dua alasan. Satu, belum ada implementasi CCS ke PLTU batubara yang sukses mencapai target pengurangan emisnya. Dua, LCOE dari PLTU batubara dengan CCS akan meningkat sampai setidaknya dua kali lipat atau lebih besar dari 10 cent per kWh. Ini setara dengan memberlakukan carbon tax sekitar 50 dolar per Ton CO2e ke seluruh emisi PLTU batubara. Semua energi terbarukan sudah jauh lebih kompetitif dan terbukti (proven) untuk menghasilkan listrik tanpa emisi GRK,” jelas Deon Arinaldo.
Agar pengembangan energi terbarukan berlangsung secara adil, IESR merekomendasikan pemerintah dan perusahaan utilitas seperti PLN untuk mempercepat pengakhiran operasional PLTU batubara, serta memberikan insentif kepada pengembangan energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi, serta secara bertahap menghapuskan ketentuan DMO batubara di 2025. Pengembangan energi terbarukan akan menciptakan berbagai peluang ekonomi yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
“Industri manufaktur energi terbarukan seperti surya dan juga baterai berpeluang menciptakan basis ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja hijau, dan juga membantu mendorong LCOE dan LCOS energi terbarukan dan Energy Storage System (ESS) lebih murah lagi di Indonesia dalam jangka panjang. Oleh karena itu, perlu ada strategi integrasi pembangunan listrik energi terbarukan dan ESS dengan pengembangan industri manufaktur lokal. Misalnya untuk energi surya, perlu mengalokasikan pasar energi terbarukan yang besar di Indonesia untuk membantu pertumbuhan industri lokal dan juga insentif industri lokal untuk membangun rantai pasok lengkap dan produksi modul tier 1 kualitas ekspor,” lanjut Deon.
Selanjutnya, IESR mendorong agar PLN sebagai operator sistem kelistrikan dapat secara aktif menerapkan solusi untuk mengatasi intermitensi energi terbarukan, misalnya dengan penyesuaian sistem operasinya dan meningkatkan fleksibilitas sistem. Selain itu, pemanfaatan sistem penyimpanan energi perlu dipersiapkan ketika penetrasi energi terbarukan sudah cukup besar di sistem energi di Indonesia.
“PLN sebagai operator utama sistem kelistrikan di Indonesia perlu menginisiasi beberapa proyek pilot sistem penyimpanan energi dengan berbagai macam jenis teknologi agar menemukan praktik baik dalam pemilihan teknologi dan prosedur operasinya. Sejauh ini implementasi sistem penyimpanan energi masih terbatas pada sistem off-grid, padahal penyimpanan energi bisa memiliki banyak fungsi pada sistem skala besar, selain untuk integrasi pembangkit energi terbarukan. Dengan banyaknya inisiatif proyek dan adanya kejelasan regulasi, bisa meningkatkan percaya diri investor, produsen teknologi, dan pengembang untuk mengembangkan rantai pasok sistem penyimpanan energi di Indonesia yang lebih lanjut membuat biayanya lebih ekonomis,” tutup Bintang.***
Pengembangan Energi Terbarukan