Negara ASEAN Butuh Bergotong Royong untuk Transisi Energi

Jakarta, 29 Juli 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan satu kawasan strategis dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina. Asia Tenggara diprediksi akan terus berkembang secara ekonomi. Permintaan energi diprediksi juga akan terus naik. Dengan kondisi energi fosil masih banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara diperlukan upaya bersama antar negara-negara di Asia Tenggara untuk mencapai dekarbonisasi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. 

Korea Selatan dan Cina yang menjadi investor berbagai proyek fosil khususnya PLTU batubara di kawasan Asia Tenggara telah berkomitmen untuk tidak lagi membiayai proyek PLTU di luar negeri pada tahun 2021. Komitmen ini diharapkan menjadi sinyal yang menggiring investasi energi terbarukan semakin masif.

Dongjae Oh, program lead for climate finance, Solutions for Our Climate (SFOC) dalam webinar bertajuk “The State of Southeast Asia Energy Transition” menyatakan bahwa komitmen Korea Selatan untuk tidak lagi membiayai PLTU batubara memang cukup mengejutkan namun ada hal lain yang patut diwaspadai terkait preferensi investasi Korea Selatan.

“Meski sudah menarik pendanaan untuk PLTU batubara, namun Korea Selatan tetap berinvestasi pada sektor minyak dan gas di kawasan Asia Tenggara dengan nilai 10 kali lipat yaitu sebesar $127 miliar dari investasi batubara yang hanya sebesar $10 miliar. Indonesia merupakan penerima investasi migas terbesar dari Korea Selatan,” jelas Dongjae.

Dongjae menambahkan bahwa gas dianggap oleh pemerintah Korea sebagai energi alternatif yang bersih untuk masa transisi. 

Cina juga mengumumkan tidak akan lagi membiayai proyek batubara di luar negeri pada September 2021. Sejumlah kebijakan baik luar maupun dalam negeri Cina mengalami perubahan sejak saat itu. Isabella Suarez, peneliti Center for Research on Energy and Clean Air, menjelaskan pemerintah Cina mulai memasukkan klausul tentang penghentian pembiayaan batubara pada UU mereka.

“Sejumlah bank lokal Cina juga mulai menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi membiayai proyek batubara,” tambah Isabella.

Mundurnya Korea Selatan dan Cina dalam pembiayaan PLTU batubara diharapkan mendesak negara-negara ASEAN untuk mengembangkan energi terbarukan secara lebih masif. 

Sementara itu, situasi transisi energi di beberapa negara Asia Tenggara masih perlu banyak dorongan, dan insentif.

Handriyanti Diah Puspitarini, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan situasi perkembangan transisi energi di Indonesia saat ini cukup lambat dan belum cukup untuk mengejar target mitigasi iklim untuk membatasi kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat. 

“Jika Indonesia tidak melakukan sesuatu untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan, menurut hitungan IESR pada tahun 2025 kita hanya akan mencapai 15% energi terbarukan pada bauran energi dan 23% pada tahun 2030,” jelas Handriyanti.

Handriyanti menekankan pentingnya pemerintah Indonesia untuk mencari model pendanaan dan memiliki political will yang konsisten dalam proses transisi energi Indonesia, mengingat proses transisi terjadi dalam waktu panjang dan membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Mirip dengan situasi sektor ketenagalistrikan Indonesia, Filipina juga masih didominasi oleh energi fosil pada sektor kelistrikannya. Albert Dalusung, penasihat transisi energi, Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menyatakan saat ini pemerintah Filipina sedang fokus untuk mengurangi penggunaan minyak pada sektor transportasi dan mengembangkan energi terbarukan. 

“Presiden telah menyatakan bahwa energi terbarukan menjadi garda terdepan untuk agenda iklim, tingginya harga energi fosil juga membuat pemerintah mengubah kebijakan energi,” jelas Albert.

Negara tetangga Indonesia, Malaysia, memiliki target 31% energi terbarukan pada tahun 2025 dan mencapai status netral karbon pada 2050. Antony Tan, executive officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM – SDG), menyatakan bahwa saat ini Malaysia optimis dapat mencapai target tersebut.

“Namun ada hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan energi di Malaysia, yaitu perlu adanya kementerian energi secara spesifik serta kebijakan yang lebih holistik untuk mendesain sistem transportasi yang lebih berkelanjutan,” jelas Antony.

Pengoperasian PLTU Secara Fleksibel untuk Mengakomodasi Penetrasi Energi Terbarukan Yang Tinggi

press release

Jakarta, 15 Juni 2022  Dominasi PLTU batubara di sistem kelistrikan Indonesia menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya pemanfaatan potensi teknis energi terbarukan yang melimpah. Sekitar 70% dari pembangkitan listrik di Indonesia masih berasal dari PLTU, di mana sebagian besar unit PLTU ini berusia di bawah 10 tahun. Di samping itu, pertumbuhan kebutuhan listrik tidak sebesar proyeksi, sehingga menyebabkan suplai listrik yang lebih. Kondisi ini menutup peluang untuk integrasi pembangkit energi terbarukan dengan masif dalam dekade ini yang lebih besar seiring dengan transisi sistem kelistrikan menuju net-zero emission.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam kajiannya berjudul Operasi Fleksibel PLTU (The Flexible Thermal Power Plant) menganalisis bahwa sebagai langkah sementara perlu dilakukan modifikasi (retrofit) PLTU batubara sehingga dapat dioperasikan secara fleksibel. Hal ini akan menggeser peran PLTU yang semula berfungsi murni sebagai pembangkit beban dasar (baseload), menjadi dapat menyesuaikan keluaran pembangkitnya mengikuti intermitensi energi terbarukan sehingga membantu kestabilan jaringan listrik. Opsi ini dapat diterapkan sebelum akhirnya PLTU dihentikan secara permanen. Artinya PLTU fleksibel akan dihentikan setelah pasokan energi terbarukan dapat memenuhi permintaan dan intermitensinya dapat diatasi dengan opsi lainnya, misalnya interkoneksi jaringan listrik, manajemen permintaan listrik melalui mekanisme pasar, dan penyimpan energi alternatif seperti  baterai, turbin gas bertenaga hidrogen.

“Berdasarkan kajian IESR, agar sistem kelistrikan Indonesia selaras dengan target Paris Agreement, maka pada 2030 sekitar 47% energi listrik di Indonesia harus berasal dari pembangkit energi terbarukan. Tantangannya adalah over capacity pembangkit PLN yang mencapai 5 GW membuat bauran energi terbarukan di sistem tidak dapat dinaikkan tanpa dilakukan penurunan kapasitas PLTU melalui pensiun dini (early retirement) atau menurunkan faktor kapasitas PLTU dengan melakukan mode operasi fleksibel. Rencana pemerintah dan PLN untuk melakukan pensiun terhadap 5 GW PLTU dan mengganti 3,7 GW dengan pembangkit energi terbarukan memberikan sedikit harapan. Langkah ini perlu dilengkapi dengan pengoperasian PLTU yang lebih fleksibel untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan.,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

IESR memandang pengoperasian PLTU yang fleksibel merupakan hal yang secara teknis dapat dilakukan oleh Indonesia. PLTU di Indonesia didominasi PLTU subkritikal sehingga bisa mencontoh praktik operasi fleksibel PLTU di negara lain yang umumnya juga diterapkan di PLTU subkritikal.

Selain itu, PLTU di Indonesia umumnya berusia muda (0-22 tahun), dengan rata-rata umur 9 tahun. Sekitar 55% berada di luar Jawa-Madura-Bali (Jamali) dan pulau Sumatera, dan sekitar 34% berada di Jamali dan Sumatra. Meretrofit PLTU berusia muda untuk beroperasi secara fleksibel dapat menjadi pilihan yang lebih baik karena tidak memerlukan investasi yang mahal, bahkan bisa tanpa biaya, dibandingkan memodifikasi PLTU yang berusia tua.  Sehingga, IESR mendorong pemerintah untuk melakukan pemetaan pembangkit listrik  menurut kelompok usia untuk menyiapkan rencana operasi PLTU yang fleksibel. Rencana tersebut perlu diintegrasikan dengan target bauran energi terbarukan yang lebih besar.

Tidak hanya itu, kondisi kelebihan pasokan listrik yang saat ini terjadi seharusnya menjadi kesempatan untuk mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Menurut RUPTL PLN terbaru, margin cadangan ideal untuk sistem Jamali berkisar antara 35% (PLN, 2021). Sementara, margin cadangan sistem Jamali bahkan telah mencapai pada 46,8%. 

“Kelebihan margin cadangan di beberapa sistem membuat beberapa pembangkit di sistem tersebut tidak perlu dioperasikan penuh, sehingga ada kesempatan untuk melakukan retrofit yang akan membutuhkan pembangkit listrik berhenti beroperasi selama kurang lebih 6 bulan sampai setahun,” jelas Raditya Wiranegara, Peneliti Senior, IESR yang juga merupakan Penulis Kajian Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-Fired Power Plants Flexibly to Enable the High-Level in Variable Renewables in Indonesia’s Power System

Kajian IESR ini menunjukkan bahwa retrofit operasi PLTU yang fleksibel dapat difokuskan pada pengurangan beban minimum PLTU, dari 50% menjadi 30%, peningkatan kemampuan PLTU untuk menanggung loncatan beban secara cepat (ramp rate) sebanyak 2 kali lipat dari biasanya, serta mempercepat waktu menghasilkan uap (start-up) dari 2-10 jam menjadi 1,3-6 jam.  Manfaat dari pengurangan beban minimum PLTU adalah untuk mengurangi biaya akibat proses start-up/shutdown yang akan semakin sering jika bauran listrik dari energi terbarukan semakin tinggi. Alasan lainnya, selain menghasilkan emisi yang tinggi adalah jika PLTU sering melakukan start-up/shutdown akan berimplikasi pada biaya operasi yang mahal karena start-up/shutdown membutuhkan minyak diesel yang harganya mahal. Di samping itu, fleksibilitas PLTU akan mengurangi biaya sistem karena biaya operasi fleksibel PLTU  lebih murah dibandingkan menggunakan penyimpan daya. Selain itu,  operasi fleksibel PLTU dapat  memberi keluasan peran bagi pembangkit lain serta penyimpanan energi seperti baterai dan pembangkit listrik berbahan bakar gas alam.

Berkaca dari pengalaman Jerman dan India yang sudah lebih awal melakukan retrofit PLTU yang lebih fleksibel, IESR menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia yang mencakup dalam 3 kategori berikut  yaitu kebijakan dan kontrak, pasar, serta teknis dan keterlibatan pemangku kepentingan.

Di segi kerangka aturan, pemerintah perlu melakukan restrukturisasi ketentuan kontrak Power Purchasing Agreement (PPA) untuk PLTU yang fleksibel. Termasuk melakukan revisi Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) yang saat ini masih menempatkan PLTU sebagai base load.

“Agar operasi fleksibel dapat diimplementasikan, revisi PPA yang masih memiliki tenor panjang, 30 tahun, dan mewajibkan pembangkit untuk beroperasi di Capacity Factor yang tinggi, 80 sampai 85%, perlu dilakukan. Sebaliknya, PPA yang direvisi harus dapat mendorong pembangkit beroperasi secara fleksibel dengan melakukan negosiasi klausal-klausal di skema Take or Pay (ToP). Negosiasi ini sebaiknya mempertimbangkan penurunan rasio 80% di dalam perhitungan skema ToP, serta mendorong operator pembangkit berpartisipasi di pasar ancillary services dan kapasitas. Dengan berpartisipasi di kedua pasar tersebut, diharapkan kerugian dari penurunan rasio di skema ToP dapat tertutupi,” papar Raditya. 

Sementara, untuk mekanisme pasar yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan yang lebih besar, pemerintah perlu membangun mekanisme penawaran untuk menentukan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif.  Agar pasar ini bekerja, harus ada badan independen yang dibentuk untuk mengatur pasar yang baru terbentuk dan mekanisme penawarannya.

Secara teknis, pemerintah harus mengidentifikasi unit PLTU untuk proyek percontohan PLTU yang fleksibel seperti PLTU subkritikal yang berusia kurang dari 5 tahun, berkapasitas antara 100 MW dan 600 MW. Selain itu dapat memilih PLTU yang terletak di sistem Sulawesi untuk proyek percontohan ini. 

“PLTU di sistem ini didominasi oleh unit-unit muda. Selain itu, tren pemanfaatan energi terbarukan di sistem ini cukup optimistis. Pada tahun 2030 diperkirakan setengah dari pembangkitan di sistem ini akan datang dari energi terbarukan berdasarkan pemodelan perencanaan sistem ketenagalistrikan menggunakan PLEXOS yang sedang dilakukan IESR. Diharapkan, proyek ini akan membantu dalam menentukan kelayakan ekonomi dan mengidentifikasi investasi modal awal serta biaya operasional dan pemeliharaan,” pungkas Raditya.

IESR juga mendorong untuk dilakukannya peningkatan kapasitas bagi pembuat kebijakan, regulator dan operator kelistrikan untuk menjalankan PLTU secara fleksibel. Hal ini berguna untuk memberikan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menyiapkan aturan pasar dan, mereformasi pasar tenaga listrik yang ada.***

Indonesia Butuh Tingkatkan Instalasi Energi Terbarukan hingga 10 kali lipat untuk capai Net Zero Emissions

Jakarta, 22 Maret 2022 – Indonesia melalui dokumen LTS-LCCR (Long Term Strategy Low Carbon Climate Resilience) menyatakan akan mencapai status netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Kapasitas energi fosil pada sistem energi terutama kelistrikan Indonesia disorot sebab dengan tujuan menjadi netral karbon, Indonesia harus segera memensiunkan sebagian besar PLTU batubaranya.

Dalam Simposium A Just Energy Transition: Matching Learning Curves from Germany and Indonesia yang digelar secara daring pada 22 Maret 2022, Ottmar Edenhofer, Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research, menjelaskan bahwa untuk mengejar target penurunan emisi pada Persetujuan Paris, kawasan Asia Tenggara  harus menurunkan kapasitas batubara hingga 60% dalam dekade ini.

“Batubara menyerap banyak porsi carbon budget yang kita punya, untuk menjaga cadangan carbon budget kita harus menurunkan kapasitas batubara yang ada saat ini secara signifikan,” tutur Ottmar.

Memegang Presidensi G20, Indonesia menjadikan transisi energi berkeadilan sebagai salah satu isu prioritas. Sama seperti Indonesia dalam  presidensi G20 -, Jerman yang memegang presidensi G7 saat ini juga menjadikan transisi energi sebagai salah satu topik utama. Kesamaan agenda utama dua aliansi negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia ini harus menjadi akselerator terjadinya transisi energi global secara umum, khususnya di Indonesia.

Patrick Graichen, State Secretary at the Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action, melihat kesamaan visi ini sebagai suatu hal yang baik, namun perlu juga dibarengi dengan upaya untuk menurunkannya dalam aksi nyata.

“Kita membutuhkan kepemimpinan yang kuat, visi netral karbon yang jelas di suatu negara, serta dukungan kebijakan dan pembiayaan untuk segera mencapai target netral karbon kita,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, dalam kesempatan yang sama mengutarakan bahwa saat ini Indonesia perlu menimbang lagi masa depan penggunaan batubara di Indonesia. Mendominasi sektor ketenagalistrikan Indonesia lebih dari 60%,  pensiun batubara merupakan salah satu strategi kunci dekarbonisasi Indonesia serta sebagai kunci pencapaian target Persetujuan Paris untuk Indonesia.

“Aksi penurunan emisi Indonesia mengacu pada dokumen LTS-LCCR tidak cukup untuk memenuhi target Persetujuan Paris, kita butuh upaya yang lebih ambisius lagi,” jelas Fabby.

Fabby menjelaskan bahwa saat ini salah satu isu yang dihadapi Indonesia salah satunya terkait infrastruktur ketenagalistrikan yang memang didesain untuk PLTU batubara. PLN sendiri masih memiliki kewajiban untuk membangun PLTU yang telah memasuki masa kontrak sebagai bagian dari proyek 35 GW yang dicanangkan pemerintah pada 2015 lalu. Salah satu imbas dari megaproyek ini pula beberapa unit PLTU masih terhitung baru yang mengakibatkan biaya pensiunnya lebih mahal.

“Situasi saat ini untuk PLN sendiri memang cukup sulit, namun kita tetap harus memulai. Dengan dukungan kebijakan yang tepat kita bisa melakukannya,” jelas Fabby.

Transisi energi menjadi salah satu isu utama dalam forum global, salah satunya G20. Jika negara-negara G20 serius mendorong transisi energi, hal ini juga harus dibarengi dengan dukungan kebijakan. Paket transisi energi yang komprehensif penting untuk disediakan untuk menjamin transisi yang terjadi berkeadilan dan tidak meninggalkan satu pihak pun dalam kesulitan akibat transisi ini. Stefan Schurig, Sekretaris Jenderal F20, juga menyoroti peran negara-negara G20 yang masih belum optimal dalam mendorong transisi energi.

“Menahan kenaikan suhu pada level 1,5 derajat masih sebuah pilihan bagi kita saat ini, dan kita masih bisa mengupayakannya bersama-sama,” kata Stefan.

Transformasi Global Menuju Sistem Energi yang Lebih Bersih Harus Segera Diikuti PLN

Kendari, 7 Februari 2022 – Dunia sedang menghadapi perubahan besar merespon kenaikan suhu rata-rata bumi yang meningkat 1,1 derajat Celcius sejak masa pra-industri. Berbagai komitmen global disepakati untuk membatasi kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius pada pertengahan abad ini. Kenaikan suhu rata-rata bumi ini disebabkan oleh emisi karbon yang banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil salah satunya pada sektor energi. 

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisinya sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan asing, serta mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. 

Dr. Kuntoro Mangkusubroto, pengamat energi senior, dalam Seminar Pertambangan, perayaan Hari Pers Nasional menyebutkan bahwa sektor energi memegang peran krusial untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Namun perlu diingat, bukan berarti urusan net-zero emission ini lantas menjadi beban PLN saja karena terkait dengan energi. Perlu kolaborasi berbagai pihak untuk memastikan target 2060 tercapai,” pungkasnya mengakhiri sambutan kunci.

PLN mempunyai peran besar dalam menciptakan pasar untuk energi terbarukan. Untuk mengejar target pemenuhan energi terbarukan perlu keterlibatan pihak swasta. Maka dari itu, kebijakan dan iklim investasi yang kondusif perlu untuk diupayakan.

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM menyampaikan bahwa Indonesia masih selaras untuk memenuhi pencapaian komitmen perjanjian internasional, namun ada pilihan-pilihan untuk melakukan berbagai percepatan.

“Kita sudah menyusun peta jalan nasional untuk mencapai net-zero emission 2060, dan kita terus mengkaji pilihan-pilihan yang mungkin untuk diambil untuk mempercepat target-target yang ada,” tegasnya.

Khusus dari sektor ketenagalistrikan Evy Haryadi, Direktur Perencanaan Corporate PLN menyatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berada dalam dilema. Di satu sisi, pembangkit listrik yang tersedia dengan harga terjangkau saat ini adalah pembangkit fosil (PLTU) yang menghasilkan emisi tinggi, untuk menggantinya dengan pembangkit energi terbarukan diperlukan investasi yang besar. 

“Kami melihat tren penurunan harga listrik dari energi terbarukan seperti surya dan angin saat ini berkisar antara 18-21 sen per kWh, dibanding dengan batubara (6-8 sen/kWh) untuk saat ini listrik dari energi terbarukan masih lebih mahal.”

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengingatkan bahwa PLN perlu cermat dalam melihat tren investasi di sektor kelistrikan. Sektor komersial dan industri menjadikan energi bersih sebagai kebutuhan utama dan prasyarat untuk berinvestasi di suatu negara.  

“PLTU batubara bukanlah pembangkit listrik termurah saat ini. Subsidi pemerintah melalui skema DMO (Domestic Market Obligation) yang membuat harga batubara tetap sebesar USD  70/ton, menjadikan harga listrik dari PLTU terlihat murah. Padahal harga batubara di pasar saat ini mencapai USD 150/ton,” jelasnya.

Fabby melanjutkan, jika harga batubara USD 150/ton diteruskan ke PLTU biaya pembangkitan listrik akan naik sebesar 32% – 61%. 

Disrupsi sistem energi sedang terjadi di seluruh dunia. Untuk menjamin kehandalan, keterjangkauan dan keberlanjutan sistem energi Indonesia, PLN harus melakukan transformasi. Transformasi ini juga akan mengurangi risiko aset terdampar bagi PLN dan IPP (Independent Power Producer). Seiring berkembangnya teknologi, diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan biaya pembangunan PLTS beserta sistem penyimpanan energinya akan lebih murah daripada biaya operasional PLTU batubara. 

Untuk menuju tujuan bersama mencapai net-zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat, meningkatkan kapasitas energi terbarukan harus dilakukan. PLTU yang saat ini sedang beroperasi perlu dikelola dengan bijak dan secara bertahap dikurangi. Rencana pemerintah Indonesia untuk melakukan phase-down 9,2 GW PLTU batubara melalui skema Energy Transition Mechanism merupakan langkah tepat, namun pemerintah berkesempatan untuk membuat langkah yang lebih agresif.

Negara-Negara G20 Telah Memutakhirkan Ambisi Iklimnya Namun Belum Selaras dengan Target Persetujuan Paris

Tahun 2021 ditandai sebagai tahun kembali naiknya emisi terutama di negara-negara G20 seiring dengan dimulainya kembali aktivitas ekonomi dan sosial. Sebelumnya pada tahun 2020, emisi di negara-negara G20 tercatat mengalami penurunan karena adanya regulasi pemerintah tentang pembatasan kegiatan sosial untuk mengatasi wabah Covid-19. Laporan Transparansi Iklim (Climate Transparency Report) 2021 menemukan bahwa beberapa negara seperti Argentina, Cina, India, dan Indonesia diproyeksikan akan melampaui tingkat emisi 2019 mereka. Meski 14 negara G20 telah mengajukan target net-zero yang mencakup sekitar 61 persen emisi GRK di dunia, namun masih belum sejalan dengan jalur 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan Paris Agreement. Dengan semakin sempitnya kesempatan untuk mengejar target Persetujuan Paris, negara-negara G20 perlu meningkatkan ambisi iklim mereka lebih tinggi lagi dan bergerak bersama untuk memerangi krisis iklim.

Laporan Transparansi Iklim merupakan laporan tahunan yang mengkaji ambisi dan kebijakan iklim negara-negara G20, mengungkapkan beberapa temuan kunci untuk laporan 2021 yang diluncurkan pada 14 Oktober 2021. Diantaranya adalah:

  • Ambisi Teranyar Belum Mematuhi Perjanjian Paris

Pada tahun 2021, 14 negara G20 memperbarui ambisi iklim mereka dan mengusulkan target net-zero emission. 13 NDC yang diperbarui telah diserahkan ke UNFCCC dan 6 dari negara-negara tersebut yaitu Argentina, Kanada, Uni Eropa (termasuk Prancis, Jerman dan Italia), Afrika Selatan, Inggris dan AS meningkatkan target NDC mereka. Sayangnya, semuanya belum cukup untuk memenuhi target 1,5 derajat. Dengan mengikuti ambisi saat ini, suhu global masih akan naik hingga 2,4 derajat. Upaya yang lebih menyeluruh dan melibatkan semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga suhu global di level 1,5 derajat.

“Jika G20 menyelaraskan target dan kebijakannya dengan jalur satu setengah derajat dan menerapkan kebijakan tersebut, kesenjangan emisi global sekitar 23 gigaton dapat dikurangi secara signifikan,” kata Justine Holmes, Solutions For Our Climate menjelaskan.

  • Subsidi Bahan Bakar Fosil Masih Terus Dilakukan

Selama pemulihan ekonomi, sebagian besar negara G20 menyuntikkan subsidi untuk sektor bahan bakar fosil. Padahal, besaran subsidi BBM jauh lebih besar dari paket pemulihan hijau yang disiapkan pemerintah G20. Dari Januari 2020 hingga Agustus 2021 negara-negara G20 mengucurkan dana sebesar USD 298 miliar untuk mensubsidi industri bahan bakar fosil. USD 248 miliar dari USD 298 miliar mensubsidi sektor bahan bakar fosil tanpa syarat, artinya industri bahan bakar fosil tidak berkewajiban misalnya menurunkan emisinya, atau kesepakatan lain untuk mempertimbangkan lingkungan atau situasi perubahan iklim.


  • Emisi yang Kembali Naik

Saat aktivitas ekonomi dimulai kembali, emisi di negara G20 kembali meningkat. Total emisi pada tahun 2020 turun hingga 6% dan diproyeksikan meningkat 4% tahun ini. Negara-negara seperti Argentina, China, India, dan Indonesia bahkan diproyeksikan melampaui tingkat emisi 2019. Hal ini sebenarnya diprediksi, bahwa penurunan emisi pada tahun 2020 terkait erat dengan pembatasan aktivitas sosial selama wabah pandemi.

  • Penting untuk Segera Menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara

Pembangkit listrik tenaga batu bara dikenal karena emisi karbonnya yang intens. Hingga 2020, China (163 GW), India (21 GW), Indonesia (18 GW), dan Turki (12 GW) masih memiliki pembangkit listrik tenaga batu bara. Semua anggota G20 perlu menghapus batubara antara tahun 2030 – 2040 untuk membatasi suhu rata-rata global hingga 1,5 derajat Celcius. 

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam paparannya menjelaskan bahwa saat ini Indonesia masih didominasi oleh batubara dalam bauran energinya. Pada bulan Oktober, pemerintah Indonesia mengeluarkan RUPTL baru yang mengakomodasi lebih banyak porsi energi terbarukan daripada rencana pembangkit listrik termal, ditambah rencana PLN untuk menonaktifkan pembangkit listrik tenaga batubara superkritis mulai tahun 2030.

“Baru-baru ini kami juga membahas kemungkinan untuk melakukan moratorium batubara lebih awal sebelum tahun 2025 tetapi itu masih rencana, belum diselesaikan dan kami masih memberikan subsidi bahan bakar fosil. Penghapusan subsidi bahan bakar fosil akan membantu mempercepat transisi energi,” pungkasnya.

Krisis Energi di Inggris dan Eropa: Pembelajaran proses transisi energi di Indonesia

Siaran Tunda


Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia (SEA) adalah program regional yang berjalan di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam. Tujuan CASE adalah untuk mengubah arah sektor energi di Asia Tenggara untuk secara substansial beralih ke transisi energi berbasis bukti, yang bertujuan untuk meningkatkan ambisi politik untuk mematuhi Perjanjian Paris.

Melalui CASE Indonesia, kami ingin mengadakan diskusi dengan pembicara dari Inggris, dan perwakilan Eropa untuk membahas apa yang terjadi dan apa pelajaran yang didapat. Indonesia tidak mengalami musim dingin dan ketergantungan pada gas alam. Namun, dengan lebih banyak pembangkit listrik intermiten (misalnya solar) yang direncanakan akan dipasang, pemerintah melihat untuk menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar gas untuk menyeimbangkan intermittency ini. Kami juga berharap diskusi ini dapat membantu menentukan arah yang tepat untuk transisi energi Indonesia.


Materi Presentasi

Aquatera

Indonesia-briefing-on-UK-energy-prices-and-offshore-wind-prospects-rev-3.pptx

Download

Agora Energiewende

2021-10-11_Energy_crunch_pescia

Download

ECA

20211008_820_ECA-Energy-Crisis-Slides_v3

Download