Menggali Lebih Dalam Dampak Transisi Energi pada Daerah Penghasil Batubara

Jakarta, 21 November 2023 – Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Produksi batubara di Indonesia terkonsentrasi pada empat provinsi yakni Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sumatera Selatan. Batubara atau sektor pertambangan menjadi komponen signifikan pada perekonomian lokal para daerah penghasil batubara ini. 

Adanya agenda transisi energi secara global membuat setiap negara berpotensi menurunkan permintaan batubara. Hal ini akan menjadi ancaman utamanya bagi provinsi penghasil batubara jika tidak disikapi dengan strategis.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam acara Media Dialogue: Transisi Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia menyatakan tren penurunan produksi batubara akan dirasakan mulai tahun 2025 berdasarkan proyeksi IESR. 

“Berangkat dari hipotesa ini, kami mencoba melihat empat aspek dari transisi energi pada daerah penghasil batubara yaitu sektor pekerjaan, masyarakat sekitar yang bergantung secara ekonomis pada industri tambang, penerimaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), dan perekonomian daerah secara keseluruhan,” kata Fabby.

Untuk itu, Fabby menekankan pentingnya mempersiapkan daerah penghasil batubara melakukan transisi bertransisi sebab akan ada dampak ekonomi yang signifikan jika proses transisi tidak dipersiapkan sejak sekarang.

Syahnaz Nur Firdausi, analis iklim dan energi IESR, menjelaskan salah satu temuan utama kajian ini yakni kontribusi signifikan sektor pertambangan pada pendapatan daerah.

“Kontribusi sektor pertambangan pada PDRB sebesar 50% di Muara Enim dan 70% di Paser. Namun kontribusi besar ini tidak berbanding lurus dengan nilai tambah pada besaran upah tenaga kerja atau efek pengganda lainnya. Dengan kata lain, keuntungan dari sektor pertambangan sebagian besar dinikmati oleh perusahaan, bukan masyarakat sekitar,” kata Syahnaz.

Martha Jessica, analis sosial dan ekonomi IESR, menambahkan bahwa ada kesenjangan pemahaman diantara masyarakat, pemerintah daerah, dan perusahaan tambang. Perusahaan tambang sudah menyadari adanya tren untuk beralih ke energi terbarukan dan mereka memang berencana untuk bertransisi.

“Perlu ada komunikasi antara perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat terkait rencana transisi dan bisnis model baru dari perusahaan supaya pemerintah daerah dan masyarakat dapat bersiap-siap,” kata Martha.

Hasil temuan studi IESR ini diamini oleh perwakilan pemerintah daerah Muara Enim dan Paser. Kepala Bappeda Muara Enim, Mat Kasrun, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerahnya bersifat eksklusif. 

“Pertumbuhan ekonomi di Muara Enim sebesar 8,3% pada 2023 namun angka kemiskinan ekstrem masih di angka 2,9%. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dinikmati segelintir orang saja,” katanya.

Kondisi di kabupaten Paser kurang lebih mirip dimana kontribusi sektor pertambangan pada pendapatan daerah sangat besar. Rusdian Noor, Sekretaris Bappeda kabupaten Paser, menyatakan bahwa daerahnya membutuhkan pendampingan khusus untuk menghadapi era transisi energi ini. 

“75% pendapatan kabupaten Paser pada tahun 2022 disumbang oleh sektor pertambangan dan pertanian, dan alokasi belanja APBD ini banyak untuk pembangunan infrastruktur. Kalau langsung beralih ke energi bersih dan tambang tidak lagi beroperasi, kami tidak bisa lagi melakukan pembangunan. Nah, kami perlu pendampingan khusus supaya dengan adanya transisi ini, kami tidak kehilangan daya (ekonomi, red),” kata Rusdian.

Reynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menanggapi studi ini dengan menggarisbawahi keterbatasan wewenang pemerintah daerah dalam urusan energi. Untuk itu, diperlukan pendekatan komprehensif untuk memastikan proses transisi berjalan secara berkeadilan.

“Transisi yang berkeadilan adalah transisi yang mendukung pemulihan dan perbaikan ekosistem. Transisi energi Ini bisa menjadi momentum harmonisasi kebijakan antara pusat dan daerah,” kata Reynaldo.

Nikasi Ginting, Sekretaris Jenderal DPP FPE Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia,  menyoroti adanya kesenjangan kebutuhan jumlah pekerja dari transisi energi ini.

“Contoh yang terjadi di Sidrap tahun 2013, saat proses pembangunan PLTB dibutuhkan hingga 4480 pekerja namun saat selesai dan beroperasi tenaga kerja yang dibutuhkan hanya ratusan saja. Nasib dari ribuan pekerja ini harus menjadi perhatian bersama,” katanya.

Laporan lengkap Transisi yang Berkeadilan di Daerah Penghasil Batubara di Indonesia dapat diunduh di sini.

Menghitung Biaya Pengakhiran Dini Operasional PLTU Batubara dan Intervensi Dekarbonisasi Lain

Jakarta, 11 Oktober 2023 – Pengakhiran dini operasional PLTU batubara dari tahun pensiun PLTU alaminya dipandang memiliki biaya yang lebih rendah dibandingkan memperpanjang usia PLTU batubara dengan penambahan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage, CCS). Hal tersebut disampaikan oleh Fadhil Ahmad Qamar, Staff Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara (SEA), Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023.

Fadhil menyampaikan biaya penambahan teknologi CCS cenderung tinggi disebabkan oleh besarnya biaya pengadaan atau modal awal (capital expenditure, Capex) dan pengeluaran operasional (operating expenditure, Opex) CCS. Selain itu, menurutnya, pengakhiran dini operasional PLTU batubara berpotensi untuk menghasilkan pengurangan emisi PLTU yang mirip dengan pengurangan emisi yang dihasilkan dari penerapan CCS, dengan biaya yang lebih rendah.

“Untuk dapat menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari pengakhiran dini operasional PLTU batubara dan penerapan teknologi CCS pada PLTU batubara dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian dari pembiayaan inovatif sehingga tidak membebankan anggaran negara,” ungkap Fadhil.

Raditya Wiranegara, Analis Senior, IESR pada kesempatan yang sama, juga menekankan kembali pentingnya aspek sosial dan ekonomi dari pengakhiran dini operasional PLTU batubara, terutama jika kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap beroperasinya PLTU batubara. Selain itu, pemangku kebijakan juga perlu untuk menggunakan pendekatan perumusan kebijakan terkait rencana penghentian pengoperasian PLTU batubara yang berbasis data, baik itu data aset pembangkitnya sendiri maupun biaya-biaya eksternalitas yang terkait dengan operasinya, seperti biaya sosial akibat polusi lokal yang dihasilkan oleh PLTU batubara. 

“Sehingga, penting untuk ke depannya, rencana penghentian operasi PLTU batubara ini masuk ke dalam RPJPN, sehingga dapat dipersiapkan jaringan pengaman sosial seperti apa dan berapa banyak yang diperlukan untuk meminimalisir dampak pengakhiran operasi PLTU batubara, baik pada masyarakat di sekitar pembangkit maupun di daerah penghasil batubara. Langkah-langkah antisipasi lainnya, seperti penyiapan peralihan tenaga kerja dari PLTU batubara ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam RPJPN,” jelas Raditya.

Negara ASEAN Butuh Bergotong Royong untuk Transisi Energi

Jakarta, 29 Juli 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan satu kawasan strategis dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina. Asia Tenggara diprediksi akan terus berkembang secara ekonomi. Permintaan energi diprediksi juga akan terus naik. Dengan kondisi energi fosil masih banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara diperlukan upaya bersama antar negara-negara di Asia Tenggara untuk mencapai dekarbonisasi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. 

Korea Selatan dan Cina yang menjadi investor berbagai proyek fosil khususnya PLTU batubara di kawasan Asia Tenggara telah berkomitmen untuk tidak lagi membiayai proyek PLTU di luar negeri pada tahun 2021. Komitmen ini diharapkan menjadi sinyal yang menggiring investasi energi terbarukan semakin masif.

Dongjae Oh, program lead for climate finance, Solutions for Our Climate (SFOC) dalam webinar bertajuk “The State of Southeast Asia Energy Transition” menyatakan bahwa komitmen Korea Selatan untuk tidak lagi membiayai PLTU batubara memang cukup mengejutkan namun ada hal lain yang patut diwaspadai terkait preferensi investasi Korea Selatan.

“Meski sudah menarik pendanaan untuk PLTU batubara, namun Korea Selatan tetap berinvestasi pada sektor minyak dan gas di kawasan Asia Tenggara dengan nilai 10 kali lipat yaitu sebesar $127 miliar dari investasi batubara yang hanya sebesar $10 miliar. Indonesia merupakan penerima investasi migas terbesar dari Korea Selatan,” jelas Dongjae.

Dongjae menambahkan bahwa gas dianggap oleh pemerintah Korea sebagai energi alternatif yang bersih untuk masa transisi. 

Cina juga mengumumkan tidak akan lagi membiayai proyek batubara di luar negeri pada September 2021. Sejumlah kebijakan baik luar maupun dalam negeri Cina mengalami perubahan sejak saat itu. Isabella Suarez, peneliti Center for Research on Energy and Clean Air, menjelaskan pemerintah Cina mulai memasukkan klausul tentang penghentian pembiayaan batubara pada UU mereka.

“Sejumlah bank lokal Cina juga mulai menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi membiayai proyek batubara,” tambah Isabella.

Mundurnya Korea Selatan dan Cina dalam pembiayaan PLTU batubara diharapkan mendesak negara-negara ASEAN untuk mengembangkan energi terbarukan secara lebih masif. 

Sementara itu, situasi transisi energi di beberapa negara Asia Tenggara masih perlu banyak dorongan, dan insentif.

Handriyanti Diah Puspitarini, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan situasi perkembangan transisi energi di Indonesia saat ini cukup lambat dan belum cukup untuk mengejar target mitigasi iklim untuk membatasi kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat. 

“Jika Indonesia tidak melakukan sesuatu untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan, menurut hitungan IESR pada tahun 2025 kita hanya akan mencapai 15% energi terbarukan pada bauran energi dan 23% pada tahun 2030,” jelas Handriyanti.

Handriyanti menekankan pentingnya pemerintah Indonesia untuk mencari model pendanaan dan memiliki political will yang konsisten dalam proses transisi energi Indonesia, mengingat proses transisi terjadi dalam waktu panjang dan membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Mirip dengan situasi sektor ketenagalistrikan Indonesia, Filipina juga masih didominasi oleh energi fosil pada sektor kelistrikannya. Albert Dalusung, penasihat transisi energi, Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menyatakan saat ini pemerintah Filipina sedang fokus untuk mengurangi penggunaan minyak pada sektor transportasi dan mengembangkan energi terbarukan. 

“Presiden telah menyatakan bahwa energi terbarukan menjadi garda terdepan untuk agenda iklim, tingginya harga energi fosil juga membuat pemerintah mengubah kebijakan energi,” jelas Albert.

Negara tetangga Indonesia, Malaysia, memiliki target 31% energi terbarukan pada tahun 2025 dan mencapai status netral karbon pada 2050. Antony Tan, executive officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM – SDG), menyatakan bahwa saat ini Malaysia optimis dapat mencapai target tersebut.

“Namun ada hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan energi di Malaysia, yaitu perlu adanya kementerian energi secara spesifik serta kebijakan yang lebih holistik untuk mendesain sistem transportasi yang lebih berkelanjutan,” jelas Antony.

Pengoperasian PLTU Secara Fleksibel untuk Mengakomodasi Penetrasi Energi Terbarukan Yang Tinggi

press release

Jakarta, 15 Juni 2022  Dominasi PLTU batubara di sistem kelistrikan Indonesia menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya pemanfaatan potensi teknis energi terbarukan yang melimpah. Sekitar 70% dari pembangkitan listrik di Indonesia masih berasal dari PLTU, di mana sebagian besar unit PLTU ini berusia di bawah 10 tahun. Di samping itu, pertumbuhan kebutuhan listrik tidak sebesar proyeksi, sehingga menyebabkan suplai listrik yang lebih. Kondisi ini menutup peluang untuk integrasi pembangkit energi terbarukan dengan masif dalam dekade ini yang lebih besar seiring dengan transisi sistem kelistrikan menuju net-zero emission.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam kajiannya berjudul Operasi Fleksibel PLTU (The Flexible Thermal Power Plant) menganalisis bahwa sebagai langkah sementara perlu dilakukan modifikasi (retrofit) PLTU batubara sehingga dapat dioperasikan secara fleksibel. Hal ini akan menggeser peran PLTU yang semula berfungsi murni sebagai pembangkit beban dasar (baseload), menjadi dapat menyesuaikan keluaran pembangkitnya mengikuti intermitensi energi terbarukan sehingga membantu kestabilan jaringan listrik. Opsi ini dapat diterapkan sebelum akhirnya PLTU dihentikan secara permanen. Artinya PLTU fleksibel akan dihentikan setelah pasokan energi terbarukan dapat memenuhi permintaan dan intermitensinya dapat diatasi dengan opsi lainnya, misalnya interkoneksi jaringan listrik, manajemen permintaan listrik melalui mekanisme pasar, dan penyimpan energi alternatif seperti  baterai, turbin gas bertenaga hidrogen.

“Berdasarkan kajian IESR, agar sistem kelistrikan Indonesia selaras dengan target Paris Agreement, maka pada 2030 sekitar 47% energi listrik di Indonesia harus berasal dari pembangkit energi terbarukan. Tantangannya adalah over capacity pembangkit PLN yang mencapai 5 GW membuat bauran energi terbarukan di sistem tidak dapat dinaikkan tanpa dilakukan penurunan kapasitas PLTU melalui pensiun dini (early retirement) atau menurunkan faktor kapasitas PLTU dengan melakukan mode operasi fleksibel. Rencana pemerintah dan PLN untuk melakukan pensiun terhadap 5 GW PLTU dan mengganti 3,7 GW dengan pembangkit energi terbarukan memberikan sedikit harapan. Langkah ini perlu dilengkapi dengan pengoperasian PLTU yang lebih fleksibel untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan.,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

IESR memandang pengoperasian PLTU yang fleksibel merupakan hal yang secara teknis dapat dilakukan oleh Indonesia. PLTU di Indonesia didominasi PLTU subkritikal sehingga bisa mencontoh praktik operasi fleksibel PLTU di negara lain yang umumnya juga diterapkan di PLTU subkritikal.

Selain itu, PLTU di Indonesia umumnya berusia muda (0-22 tahun), dengan rata-rata umur 9 tahun. Sekitar 55% berada di luar Jawa-Madura-Bali (Jamali) dan pulau Sumatera, dan sekitar 34% berada di Jamali dan Sumatra. Meretrofit PLTU berusia muda untuk beroperasi secara fleksibel dapat menjadi pilihan yang lebih baik karena tidak memerlukan investasi yang mahal, bahkan bisa tanpa biaya, dibandingkan memodifikasi PLTU yang berusia tua.  Sehingga, IESR mendorong pemerintah untuk melakukan pemetaan pembangkit listrik  menurut kelompok usia untuk menyiapkan rencana operasi PLTU yang fleksibel. Rencana tersebut perlu diintegrasikan dengan target bauran energi terbarukan yang lebih besar.

Tidak hanya itu, kondisi kelebihan pasokan listrik yang saat ini terjadi seharusnya menjadi kesempatan untuk mengoperasikan PLTU secara fleksibel. Menurut RUPTL PLN terbaru, margin cadangan ideal untuk sistem Jamali berkisar antara 35% (PLN, 2021). Sementara, margin cadangan sistem Jamali bahkan telah mencapai pada 46,8%. 

“Kelebihan margin cadangan di beberapa sistem membuat beberapa pembangkit di sistem tersebut tidak perlu dioperasikan penuh, sehingga ada kesempatan untuk melakukan retrofit yang akan membutuhkan pembangkit listrik berhenti beroperasi selama kurang lebih 6 bulan sampai setahun,” jelas Raditya Wiranegara, Peneliti Senior, IESR yang juga merupakan Penulis Kajian Flexible Thermal Power Plant: An Analysis of Operating Coal-Fired Power Plants Flexibly to Enable the High-Level in Variable Renewables in Indonesia’s Power System

Kajian IESR ini menunjukkan bahwa retrofit operasi PLTU yang fleksibel dapat difokuskan pada pengurangan beban minimum PLTU, dari 50% menjadi 30%, peningkatan kemampuan PLTU untuk menanggung loncatan beban secara cepat (ramp rate) sebanyak 2 kali lipat dari biasanya, serta mempercepat waktu menghasilkan uap (start-up) dari 2-10 jam menjadi 1,3-6 jam.  Manfaat dari pengurangan beban minimum PLTU adalah untuk mengurangi biaya akibat proses start-up/shutdown yang akan semakin sering jika bauran listrik dari energi terbarukan semakin tinggi. Alasan lainnya, selain menghasilkan emisi yang tinggi adalah jika PLTU sering melakukan start-up/shutdown akan berimplikasi pada biaya operasi yang mahal karena start-up/shutdown membutuhkan minyak diesel yang harganya mahal. Di samping itu, fleksibilitas PLTU akan mengurangi biaya sistem karena biaya operasi fleksibel PLTU  lebih murah dibandingkan menggunakan penyimpan daya. Selain itu,  operasi fleksibel PLTU dapat  memberi keluasan peran bagi pembangkit lain serta penyimpanan energi seperti baterai dan pembangkit listrik berbahan bakar gas alam.

Berkaca dari pengalaman Jerman dan India yang sudah lebih awal melakukan retrofit PLTU yang lebih fleksibel, IESR menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia yang mencakup dalam 3 kategori berikut  yaitu kebijakan dan kontrak, pasar, serta teknis dan keterlibatan pemangku kepentingan.

Di segi kerangka aturan, pemerintah perlu melakukan restrukturisasi ketentuan kontrak Power Purchasing Agreement (PPA) untuk PLTU yang fleksibel. Termasuk melakukan revisi Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik (PPA) yang saat ini masih menempatkan PLTU sebagai base load.

“Agar operasi fleksibel dapat diimplementasikan, revisi PPA yang masih memiliki tenor panjang, 30 tahun, dan mewajibkan pembangkit untuk beroperasi di Capacity Factor yang tinggi, 80 sampai 85%, perlu dilakukan. Sebaliknya, PPA yang direvisi harus dapat mendorong pembangkit beroperasi secara fleksibel dengan melakukan negosiasi klausal-klausal di skema Take or Pay (ToP). Negosiasi ini sebaiknya mempertimbangkan penurunan rasio 80% di dalam perhitungan skema ToP, serta mendorong operator pembangkit berpartisipasi di pasar ancillary services dan kapasitas. Dengan berpartisipasi di kedua pasar tersebut, diharapkan kerugian dari penurunan rasio di skema ToP dapat tertutupi,” papar Raditya. 

Sementara, untuk mekanisme pasar yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan yang lebih besar, pemerintah perlu membangun mekanisme penawaran untuk menentukan harga energi terbarukan yang lebih kompetitif.  Agar pasar ini bekerja, harus ada badan independen yang dibentuk untuk mengatur pasar yang baru terbentuk dan mekanisme penawarannya.

Secara teknis, pemerintah harus mengidentifikasi unit PLTU untuk proyek percontohan PLTU yang fleksibel seperti PLTU subkritikal yang berusia kurang dari 5 tahun, berkapasitas antara 100 MW dan 600 MW. Selain itu dapat memilih PLTU yang terletak di sistem Sulawesi untuk proyek percontohan ini. 

“PLTU di sistem ini didominasi oleh unit-unit muda. Selain itu, tren pemanfaatan energi terbarukan di sistem ini cukup optimistis. Pada tahun 2030 diperkirakan setengah dari pembangkitan di sistem ini akan datang dari energi terbarukan berdasarkan pemodelan perencanaan sistem ketenagalistrikan menggunakan PLEXOS yang sedang dilakukan IESR. Diharapkan, proyek ini akan membantu dalam menentukan kelayakan ekonomi dan mengidentifikasi investasi modal awal serta biaya operasional dan pemeliharaan,” pungkas Raditya.

IESR juga mendorong untuk dilakukannya peningkatan kapasitas bagi pembuat kebijakan, regulator dan operator kelistrikan untuk menjalankan PLTU secara fleksibel. Hal ini berguna untuk memberikan pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menyiapkan aturan pasar dan, mereformasi pasar tenaga listrik yang ada.***

Indonesia Butuh Tingkatkan Instalasi Energi Terbarukan hingga 10 kali lipat untuk capai Net Zero Emissions

Jakarta, 22 Maret 2022 – Indonesia melalui dokumen LTS-LCCR (Long Term Strategy Low Carbon Climate Resilience) menyatakan akan mencapai status netral karbon pada 2060 atau lebih cepat. Kapasitas energi fosil pada sistem energi terutama kelistrikan Indonesia disorot sebab dengan tujuan menjadi netral karbon, Indonesia harus segera memensiunkan sebagian besar PLTU batubaranya.

Dalam Simposium A Just Energy Transition: Matching Learning Curves from Germany and Indonesia yang digelar secara daring pada 22 Maret 2022, Ottmar Edenhofer, Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research, menjelaskan bahwa untuk mengejar target penurunan emisi pada Persetujuan Paris, kawasan Asia Tenggara  harus menurunkan kapasitas batubara hingga 60% dalam dekade ini.

“Batubara menyerap banyak porsi carbon budget yang kita punya, untuk menjaga cadangan carbon budget kita harus menurunkan kapasitas batubara yang ada saat ini secara signifikan,” tutur Ottmar.

Memegang Presidensi G20, Indonesia menjadikan transisi energi berkeadilan sebagai salah satu isu prioritas. Sama seperti Indonesia dalam  presidensi G20 -, Jerman yang memegang presidensi G7 saat ini juga menjadikan transisi energi sebagai salah satu topik utama. Kesamaan agenda utama dua aliansi negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia ini harus menjadi akselerator terjadinya transisi energi global secara umum, khususnya di Indonesia.

Patrick Graichen, State Secretary at the Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action, melihat kesamaan visi ini sebagai suatu hal yang baik, namun perlu juga dibarengi dengan upaya untuk menurunkannya dalam aksi nyata.

“Kita membutuhkan kepemimpinan yang kuat, visi netral karbon yang jelas di suatu negara, serta dukungan kebijakan dan pembiayaan untuk segera mencapai target netral karbon kita,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, dalam kesempatan yang sama mengutarakan bahwa saat ini Indonesia perlu menimbang lagi masa depan penggunaan batubara di Indonesia. Mendominasi sektor ketenagalistrikan Indonesia lebih dari 60%,  pensiun batubara merupakan salah satu strategi kunci dekarbonisasi Indonesia serta sebagai kunci pencapaian target Persetujuan Paris untuk Indonesia.

“Aksi penurunan emisi Indonesia mengacu pada dokumen LTS-LCCR tidak cukup untuk memenuhi target Persetujuan Paris, kita butuh upaya yang lebih ambisius lagi,” jelas Fabby.

Fabby menjelaskan bahwa saat ini salah satu isu yang dihadapi Indonesia salah satunya terkait infrastruktur ketenagalistrikan yang memang didesain untuk PLTU batubara. PLN sendiri masih memiliki kewajiban untuk membangun PLTU yang telah memasuki masa kontrak sebagai bagian dari proyek 35 GW yang dicanangkan pemerintah pada 2015 lalu. Salah satu imbas dari megaproyek ini pula beberapa unit PLTU masih terhitung baru yang mengakibatkan biaya pensiunnya lebih mahal.

“Situasi saat ini untuk PLN sendiri memang cukup sulit, namun kita tetap harus memulai. Dengan dukungan kebijakan yang tepat kita bisa melakukannya,” jelas Fabby.

Transisi energi menjadi salah satu isu utama dalam forum global, salah satunya G20. Jika negara-negara G20 serius mendorong transisi energi, hal ini juga harus dibarengi dengan dukungan kebijakan. Paket transisi energi yang komprehensif penting untuk disediakan untuk menjamin transisi yang terjadi berkeadilan dan tidak meninggalkan satu pihak pun dalam kesulitan akibat transisi ini. Stefan Schurig, Sekretaris Jenderal F20, juga menyoroti peran negara-negara G20 yang masih belum optimal dalam mendorong transisi energi.

“Menahan kenaikan suhu pada level 1,5 derajat masih sebuah pilihan bagi kita saat ini, dan kita masih bisa mengupayakannya bersama-sama,” kata Stefan.