Mendefinisikan Adil dan Memastikan Komitmen JETP

Jakarta, 18 April 2023 – Mengatasi masalah perubahan iklim tidak hanya membutuhkan komitmen tetapi juga membutuhkan sumber daya yang sangat besar. Pembiayaan telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi negara-negara seperti Indonesia yang bergantung pada pembangkit batubara dan perlu mengubahnya menjadi pembangkit listrik berbasis terbarukan untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Ini pasti membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Kelompok negara-negara maju berkomitmen untuk mendistribusikan dana ke beberapa negara untuk mempercepat transisi energi. Pendanaan itu disebut Just Energy Transition Partnership (JETP). Hingga April 2023, dua negara yaitu Afrika Selatan dan Indonesia menerima komitmen pendanaan.

Vietnam, salah satu negara Asia yang berkembang pesat dalam energi terbarukan beberapa tahun terakhir, sedang menjalin komunikasi intensif untuk menerima pendanaan JETP selanjutnya. Minh Ha Duong, ketua Dewan Anggota VIETSE, dalam webinar bertajuk “Between Vision and Reality: Navigating JETP in South Africa, Indonesia, and Vietnam” mengatakan bahwa JETP akan kembali menggeliatkan pengembangan energi terbarukan di Vietnam.

“Selama beberapa tahun, kami dapat mengatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di Vietnam sedang booming hingga kami dapat memiliki beberapa gigawatt energi terbarukan, tetapi akhir-akhir ini terhenti. Dengan adanya pendanaan JETP ini akan memanaskan kembali pembangunan energi terbarukan,” ujarnya.

Afrika Selatan, yang menjadi negara pertama penerima JETP, mencatat poin-poin yang patut dipertimbangkan bagi negara lain dan anggota IPG dalam mereplikasi proyek di negara lain.

“Pembiayaan JETP bertindak sebagai katalis selama proses transisi energi. Tentu saja tidak cukup untuk menutupi seluruh dana yang dibutuhkan untuk mengubah sektor listrik dan dampak sosial dan ekonominya, tetapi itu masih dapat mempercepat transisi,” kata Tracy Ledger, pimpinan program transisi energi di Public Affairs Research Institute (PARI). Tracy juga menyoroti bahwa partisipasi publik selama negosiasi JETP sangat terbatas.

Mengamankan komitmen JETP sebesar USD 20 miliar selama pertemuan G20 November lalu, Indonesia telah membentuk sekretariat khusus untuk JETP di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Institute for Essential Services Reform (IESR), yang secara aktif terlibat dan meninjau sektor energi di Indonesia dan terus memberikan masukan kepada pembuat kebijakan tertentu, menunjukkan bahwa komitmen USD 20 miliar, tetapi pencairannya dapat bergantung pada banyak hal. Oleh karena itu Indonesia perlu menyiapkan ekosistem untuk menyambut pendanaan tersebut.

Pemerintah Indonesia setidaknya perlu menangani masalah-masalah berikut: ketersediaan proyek-proyek yang bankable, lelang pembangkit listrik energi terbarukan yang terjadwal, dan lingkungan yang memungkinkan bagi para pengembang untuk memulai proyek mereka di Indonesia.

“Kita juga perlu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ‘adil’ atau ‘just’ dalam konteks JETP. Konteks kami (IESR) yang dimaksud ‘adil’ melibatkan tenaga kerja dan transisi ekonomi terutama mereka yang berada di provinsi penghasil batubara,” jelas Fabby Tumiwa, direktur eksekutif IESR.

JETP Indonesia menangani target pengurangan emisi sebesar 290 juta ton CO2 dan campuran energi terbarukan sebesar 34% pada tahun 2030. Target ini memerlukan penghentian penggunaan batu bara sebagai prasyarat untuk mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan. Sebagai salah satu dampaknya, produksi batu bara akan turun drastis dan berdampak pada daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan.

Kegiatan ekonomi lokal pasti akan bergeser karena provinsi-provinsi tersebut sangat bergantung pada produksi batubara untuk produk domestik brutonya. Kualitas akses energi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain menjadi tantangan implementasi JETP di Indonesia.

“Target 34% energi terbarukan pada 2030 tidak cukup untuk mendekarbonisasi sistem energi Indonesia tetapi ini adalah awal yang baik untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan, apalagi USD 20 miliar. Namun, itu dapat membuka lebih banyak peluang untuk transisi energi,” kata Fabby.

Fabby menambahkan, pendirian industri energi terbarukan seperti manufaktur baterai dan panel surya menjadi salah satu kunci keberhasilan transisi energi.

Peluncuran Studi Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023

Jakarta, 17 Oktober 2022 – Institute for Essential Services Reform meluncurkan laporan unggulan terbarunya bertajuk Indonesia Sustainable Finance Outlook (ISFO) 2023. Laporan ini merupakan bagian dari Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) yang akan diluncurkan bulan Desember 2022. ISFO 2023 secara khusus membahas perkembangan pembiayaan transisi energi di Indonesia. Dalam sambutan pembukanya, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan langkah transformasi yang masif dan drastis untuk memastikan kita sesuai dengan target Persetujuan Paris yaitu untuk membatasi suhu bumi pada level 1,5 derajat. 

“Pada 2030 kita harus memangkas 45% emisi di tingkat 2010. Untuk itu upaya-upaya transformasi secara masif dan drastis harus dilakukan. Khususnya oleh negara-negara G20 yang bertanggung jawab terhadap 85% total emisi GRK dunia. Indonesia berada di peringkat ke-7 sebagai negara penghasil emisi yang bersumber dari sektor hutan dan lahan, dan energi,”  jelas Fabby.

Kajian IESR dan University of Maryland menunjukkan bahwa untuk selaras dengan pembatasan kenaikan temperatur 1,5 derajat, maka seluruh kapasitas PLTU di Indonesia, sebanyak 44 GW, harus diakhiri pada 2045. Pada periode 2022 – 2030, sebanyak 9,2 GW PLTU harus dipensiunkan. Kapasitas selebihnya dipensiunkan secara bertahap hingga 2045. 

IESR memperkirakan biaya pengakhiran 9,2 GW PLTU sepanjang 2022-2030 sebesar $4,6 milyar. Pensiun dini seluruh PLTU pada 2045 dengan usia rata-rata 20 tahun memerlukan $28 milyar, biaya ini untuk kompensasi stranded asset dan biaya decommissioning pembangkit. 

Farah Vianda, Program Officer Green Economy IESR dan salah satu penulis ISFO 2023 menjelaskan bahwa situasi pembiayaan transisi energi di Indonesia masih sangat minim.

“Kita masih kekurangan pendanaan untuk mencapai target energi terbarukan pada tahun 2025, untuk melakukan penghentian operasi batubara, dan untuk memitigasi risiko transisi,” katanya.

Farah menambahkan secara teknis ketersediaan pendanaan publik (APBN) yang terbatas dan masih adanya kebijakan pemerintah yang mendukung penggunaan sumber energi fosil membuat mobilisasi keuangan dan investasi untuk transisi energi cukup sulit, dari sisi institusi finansial sendiri masih sedikit kebijakan yang mendukung institusi keuangan untuk mendukung pembiayaan transisi energi.

Ichsan Hafiz Loeksmanto, Penulis Utama ISFO 2023, menyoroti salah satu instrumen pembiayaan berkelanjutan yaitu pajak karbon. Menurut Ichsan, meski sudah merencanakan untuk menerapkan pajak karbon, dan mekanisme cap & trade (batasi dan dagangkan) pada 92 unit PLTU batubara pada 2022, namun penerimaan pajak karbon tersebut bersifat tidak earmarked. Artinya, penggunaan penerimaan pajak karbon belum dikhususkan untuk pembiayaan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Pemerintah perlu memastikan alokasi pendapatan pajak karbon untuk mitigasi & adaptasi iklim, dan jaring pengaman sosial. Selain itu, perlu pula transparansi publik mengenai pembayaran pajak karbon dan transaksi karbon,” jelas Ichsan.

Fransiska Oei, Ketua Bidang Pengembangan Kajian Hukum & Peraturan Perbanas, menyatakan pihak institusi keuangan lokal memerlukan setidaknya dua dukungan. Pertama, untuk manajemen risiko pembiayaan dan dukungan penguatan kapasitas untuk menganalisis risiko untuk proyek-proyek energi terbarukan. 

“Kapabilitas bank untuk menganalisa feasibility terkait proyek EBT masih kurang, kami mencoba bekerjasama dengan organisasi lainnya (ex: USAID) untuk memahami risiko dan mitigasinya, selain itu mungkin kami juga perlu dukungan regulator untuk keringanan prudential banking regulation untuk proyek EBT ini,” tutur Fransiska.

Lutfyana Larasati, Analis Senior Climate Policy Initiatives menyatakan ke depannya perlu diperbanyak proyek-proyek yang eligible untuk masuk dalam green bond atau green sukuk. PBI 24 tahun 2022 sudah memberikan ruang yang lebih besar kepada perbankan dan institusi keuangan untuk berkontribusi pada pembiayaan hijau terutama di proyek yang didanai green bond dan green sukuk.

“Kita perlu sinkronisasi kriteria indikator untuk taksonomi hijau sehingga semakin banyak proyek (hijau)  yang layak untuk mendapat pendanaan publik baik melalui green bond atau green sukuk,” kata Lutfyana.

Radian Nurcahyo, Asisten Deputi Hukum dan Perjanjian Maritim, Kementerian Maritim dan Investasi menekankan bahwa energi adalah penggerak ekonomi. Maka investasi untuk transisi energi ini pun harus terus dimobilisasi. 

“Kementerian Keuangan telah menerbitkan skema blended finance seperti energy transition mechanism dan country platform untuk sumber pendanaan phasing down PLTU batubara, platform SDG Indonesia one sebagai pembangunan green energy untuk mencapai NZE 2060,” jelas Radian.

Negara ASEAN Butuh Bergotong Royong untuk Transisi Energi

Jakarta, 29 Juli 2022 – Kawasan Asia Tenggara merupakan satu kawasan strategis dengan pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina. Asia Tenggara diprediksi akan terus berkembang secara ekonomi. Permintaan energi diprediksi juga akan terus naik. Dengan kondisi energi fosil masih banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara diperlukan upaya bersama antar negara-negara di Asia Tenggara untuk mencapai dekarbonisasi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. 

Korea Selatan dan Cina yang menjadi investor berbagai proyek fosil khususnya PLTU batubara di kawasan Asia Tenggara telah berkomitmen untuk tidak lagi membiayai proyek PLTU di luar negeri pada tahun 2021. Komitmen ini diharapkan menjadi sinyal yang menggiring investasi energi terbarukan semakin masif.

Dongjae Oh, program lead for climate finance, Solutions for Our Climate (SFOC) dalam webinar bertajuk “The State of Southeast Asia Energy Transition” menyatakan bahwa komitmen Korea Selatan untuk tidak lagi membiayai PLTU batubara memang cukup mengejutkan namun ada hal lain yang patut diwaspadai terkait preferensi investasi Korea Selatan.

“Meski sudah menarik pendanaan untuk PLTU batubara, namun Korea Selatan tetap berinvestasi pada sektor minyak dan gas di kawasan Asia Tenggara dengan nilai 10 kali lipat yaitu sebesar $127 miliar dari investasi batubara yang hanya sebesar $10 miliar. Indonesia merupakan penerima investasi migas terbesar dari Korea Selatan,” jelas Dongjae.

Dongjae menambahkan bahwa gas dianggap oleh pemerintah Korea sebagai energi alternatif yang bersih untuk masa transisi. 

Cina juga mengumumkan tidak akan lagi membiayai proyek batubara di luar negeri pada September 2021. Sejumlah kebijakan baik luar maupun dalam negeri Cina mengalami perubahan sejak saat itu. Isabella Suarez, peneliti Center for Research on Energy and Clean Air, menjelaskan pemerintah Cina mulai memasukkan klausul tentang penghentian pembiayaan batubara pada UU mereka.

“Sejumlah bank lokal Cina juga mulai menyatakan bahwa mereka tidak akan lagi membiayai proyek batubara,” tambah Isabella.

Mundurnya Korea Selatan dan Cina dalam pembiayaan PLTU batubara diharapkan mendesak negara-negara ASEAN untuk mengembangkan energi terbarukan secara lebih masif. 

Sementara itu, situasi transisi energi di beberapa negara Asia Tenggara masih perlu banyak dorongan, dan insentif.

Handriyanti Diah Puspitarini, peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan situasi perkembangan transisi energi di Indonesia saat ini cukup lambat dan belum cukup untuk mengejar target mitigasi iklim untuk membatasi kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat. 

“Jika Indonesia tidak melakukan sesuatu untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan, menurut hitungan IESR pada tahun 2025 kita hanya akan mencapai 15% energi terbarukan pada bauran energi dan 23% pada tahun 2030,” jelas Handriyanti.

Handriyanti menekankan pentingnya pemerintah Indonesia untuk mencari model pendanaan dan memiliki political will yang konsisten dalam proses transisi energi Indonesia, mengingat proses transisi terjadi dalam waktu panjang dan membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Mirip dengan situasi sektor ketenagalistrikan Indonesia, Filipina juga masih didominasi oleh energi fosil pada sektor kelistrikannya. Albert Dalusung, penasihat transisi energi, Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menyatakan saat ini pemerintah Filipina sedang fokus untuk mengurangi penggunaan minyak pada sektor transportasi dan mengembangkan energi terbarukan. 

“Presiden telah menyatakan bahwa energi terbarukan menjadi garda terdepan untuk agenda iklim, tingginya harga energi fosil juga membuat pemerintah mengubah kebijakan energi,” jelas Albert.

Negara tetangga Indonesia, Malaysia, memiliki target 31% energi terbarukan pada tahun 2025 dan mencapai status netral karbon pada 2050. Antony Tan, executive officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM – SDG), menyatakan bahwa saat ini Malaysia optimis dapat mencapai target tersebut.

“Namun ada hal yang perlu diperbaiki dalam kebijakan energi di Malaysia, yaitu perlu adanya kementerian energi secara spesifik serta kebijakan yang lebih holistik untuk mendesain sistem transportasi yang lebih berkelanjutan,” jelas Antony.

Menyediakan Pembiayaan Terjangkau untuk Transisi Energi

Jakarta, 27 Juni 2022 – Transisi energi menjadi perhatian dunia akhir-akhir ini. Seiring dengan meningkatnya desakan untuk mengatasi perubahan iklim, transisi energi menjadi salah satu tindakan kunci dalam menjaga suhu global. Pembakaran bahan bakar fosil diyakini sebagai salah satu pencemar GRK terbesar yang menyebabkan kenaikan suhu. Oleh karena itu, mengubah sistem energi menjadi sistem energi terbarukan sangat penting untuk mengurangi emisi polusi.

Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam seminar G20 bertajuk “Unlocking Innovative Financing Scheme and Islamic Finance, to Accelerate a Just Energy Transition in Emerging Economies” mengatakan bahwa selama ini transisi energi merupakan tantangan.

“Dengan adanya Covid-19 dan eskalasi konflik antara Ukraina dan Rusia, transisi energi menjadi tantangan terutama bagi Indonesia sebagai presiden G20 tahun ini,” katanya.

Menteri Tasrif menambahkan, dengan strategi yang komprehensif, Indonesia dapat mendorong transisi energi. Pembiayaan menjadi salah satu masalah karena Indonesia membutuhkan sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060 untuk transisi energi.

Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin mendorong pengembangan obligasi syariah untuk mendanai transisi energi. Ia juga menekankan peran keuangan syariah dalam transisi energi.

“Salah satu potensi pembiayaan transisi adalah Sukuk/Obligasi Syariah sebagai instrumen penghimpunan dana dari masyarakat untuk transisi energi. Inovasi dan promosi sukuk perlu ditingkatkan agar masyarakat lebih tertarik untuk berinvestasi,” kata Amin.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia saat ini sedang mencari cara strategis untuk membiayai transisi energi melalui berbagai skema.

“Kami baru saja meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) dengan ADB untuk mendukung penghentian penggunaan batubara. Kami juga akan menerapkan mekanisme penetapan pajak karbon untuk PLTU batubara, serta mengembangkan pembiayaan campuran (blended finance). Sejak 2018 Indonesia telah menerbitkan sukuk hijau, dan dialokasikan untuk sektor hijau dan proyek mitigasi iklim,” pungkasnya.

Sri Mulyani juga menambahkan, untuk memenuhi target NDC Indonesia, APBN hanya mampu menutup sekitar 34% dari anggaran yang dibutuhkan. Selebihnya, kita perlu mencari cara, untuk membiayai transisi.

Sistem ekonomi berbasis fosil telah mendukung perekonomian Indonesia selama beberapa dekade. Tidak hanya ekonomi, sistem kelistrikan dan energi juga didominasi oleh bahan bakar fosil. Tidak heran mengubahnya menjadi sistem berbasis energi terbarukan terasa penuh tantangan, juga membutuhkan investasi besar. Namun kita juga tidak bisa hanya tinggal dalam ekonomi berbasis fosil. Permintaan batu bara di seluruh dunia akan menurun seiring dengan menguatnya komitmen iklim, dan daerah penghasil batu bara akan segera merasakan dampaknya pada tahun 2030. Batubara telah mendatangkan pendapatan bagi Indonesia khususnya untuk provinsi penghasil batu bara, bertransformasi dari batu bara berarti kita akan kehilangan pendapatan ini. Hal ini harus diantisipasi atau akan ada dampak bencana pada transisi batubara.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform menyoroti bahwa menyediakan dana yang cukup untuk transisi tidak hanya mengatasi masalah keuangan tetapi juga dampak dari transisi energi itu sendiri.

“Ini (pembiayaan transisi) menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai transisi yang adil dan inklusif yang mengarah pada pemerataan pembangunan,” kata Fabby.

Selain mencari pembiayaan yang terjangkau, harus ada perubahan perilaku dari lembaga keuangan. Lembaga keuangan Indonesia kebanyakan tidak memiliki kemampuan teknis untuk menilai risiko proyek energi terbarukan. Hal ini perlu segera diantisipasi. Amjad Abdulla, Head of Partnership IRENA, menekankan hal ini.

Dalam hal pensiun batu bara, pemerintah perlu menghitung berapa banyak biaya yang bisa diakomodasi oleh skema transisi yang adil, dan berapa banyak yang belum terakomodasi sehingga kita perlu mempersiapkannya; ini termasuk untuk meningkatkan keterampilan pekerja, menciptakan diversifikasi ekonomi, dll.

Udetanshu, analis Climate Transition, mengatakan selain anggaran yang harus disiapkan, pemerintah juga perlu memastikan agar tenaga kerja lokal yang sebelumnya bekerja di PLTU atau sektor batubara mendapatkan lapangan pekerjaan baru.

“Jika memungkinkan, pembangkit baru (yang merupakan pembangkit energi terbarukan) harus dibangun di dekat pembangkit lama, untuk memastikan bahwa lebih banyak pekerja lokal yang dipekerjakan dalam proyek tersebut,” katanya.

Perkembangan Transisi Energi di Kawasan Asia Tenggara

press release

Jakarta, 1 Agustus 2022- Mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025 di kawasan Asia Tenggara, memerlukan kerjasama yang kuat antar negara di kawasan untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan serta mengalihkan investasi dari bahan bakar fosil di kawasan ini ke energi terbarukan. 

Hal tersebut ditekankan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar berjudul Status Transisi Energi di Asia Tenggara (29/7). Menurutnya, Asia Tenggara tengah berkembang menjadi kawasan dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Asia setelah Cina sehingga permintaan energi akan terus meningkat ke depannya.

“Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang masih bergantung pada energi fosil seperti batubara, gas dan minyak. Sementara Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan di kawasan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada usaha global mencapai tujuan Persetujuan Paris,” ujarnya.

Indonesia sendiri mempunyai target 23% bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 dan 31% di 2030. Namun menurut Handriyanti Puspitarini, berdasarkan kajian IESR jika tidak ada perbaikan kebijakan, maka Indonesia hanya akan mencapai 15% bauran energi terbarukan di 2025 dan 23% di 2030. 

“Jika melihat tren dari 2013-2021, pangsa energi terbarukan meningkat meski lambat. Padahal berdasarkan kajian IESR, Indonesia punya potensi teknis energi terbarukan lebih dari 7.000 GW. Sedangkan yang sudah dimanfaatkan hanya 11,2 GW saja,” papar Handriyanti. Ia menilai lamanya pengurusan izin dan rumitnya mekanisme pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia membuat para investor enggan berinvestasi di Indonesia. 

“Indonesia perlu meningkatkan aspek politik, aturan kebijakan dan finansial untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, terutama berdasarkan hasil kajian IESR, kesadaran publik terhadap transisi energi dan perubahan iklim mulai meningkat,”jelasnya. 

Di sisi lain, pada 2021, komitmen untuk meningkatkan target bauran energi terbarukan Malaysia disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Malaysia melalui Rencana Transisi Energi Malaysia hingga tahun 2040. 

“Malaysia meningkatkan target bauran energi terbarukan dari semula 20% di tahun 2025 menjadi 31% di 2025 dan 40% di 2030. Malaysia juga berkomitmen untuk tidak lagi membangun PLTU batubara baru untuk mencapai netral karbon secepatnya pada 2050,” urai Anthony Tan, Executive Officer (Sustainability & Finance), All Party Parliamentary Group Malaysia on Sustainable Development Goals (APPGM-SDG) pada kesempatan yang sama.

Namun, menurutnya, pemerintah Malaysia perlu pula mendorong upaya efisiensi energi dan transportasi yang berkelanjutan secara holistik.

“Malaysia membutuhkan kebijakan energi nasional yang holistik. Selain itu, Malaysia perlu mengembangkan atau mengubah Kebijakan Otomotif Nasional menjadi Kebijakan Transportasi Nasional holistik untuk mengurangi penggunaan energi fosil di sektor transportasi,” imbuh Antony.

Komitmen Vietnam untuk mencapai bebas emisi pada 2050 juga disampaikan oleh Nguyen Thi Ha, Sustainable Energy Program Manager Green Innovation and Development Centre (GREENID). Ia menuturkan Vietnam berkomitmen untuk menghentikan pengoperasian 7-8 GW PLTU untuk mendukung dekarbonisasi sistem energi dengan peningkatan bauran energi terbarukan di PLTB lepas pantai sebesar 11,7 GW (9,7%) di tahun 2030 dan PLTB daratan sebesar 30 GW (10,5) di 2045. Taman panel surya (solar park) sendiri  , sementara akan mencapai 8,7  GW (7,2%) di 2030, dan akan meningkat 20.6% di 2045. 

Demi mencapai bebas emisi, membutuhkan investasi yang signifikan pada sektor energi, transportasi, pertanian, dan industri.

“Berdasarkan kajian World Bank, total pembiayaan yang dibutuhkan untuk dekarbonisasi sekitar USD 114 miliar pada 2022-2040,” ujar Thi Ha.

Vietnam pun telah mengeluarkan strategi terbaru untuk mengembangkan sistem transportasi yang ramah lingkungan.

“Bahkan mulai 2025, Vietnam berkomitmen untuk mengganti 100 persen busnya dengan bus listrik dan memperlengkapi infrastruktur yang mendukung elektrifikasi sistem transportasi di Vietnam,” paparnya.

Pembangkit listrik di Filipina didominasi 57% oleh batubara pada 2020, dengan bauran energi terbarukan mencapai 21% pada 2020.

Bert Dalusung, Energy Transition Advisor Institute for Climate and Sustainable Cities (ICSC) menuturkan bahwa untuk pertama kalinya Filipina mempunyai rencana yang fokus pada pengembangan energi terbarukan.

“Di skenario energi bersih ini, Filipina menargetkan 30% dan 50% pangsa energi terbarukan di bauran pembangkit listrik pada 2030 dan 2040,” ungkap Bert

Bert menambahkan pemerintah Filipina menyadari bahwa energi terbarukan akan menjadi kunci utama dalam agenda perubahan iklim. Dengan demikian, mengutip pernyataan Presiden Ferdinand Marcos, pemerintah akan memeriksa seluruh sistem transmisi dan distribusi untuk mengakomodasi pengembangan energi terbarukan dan menurunkan biaya energi bagi konsumen dan industri.  ***

Siaran ulang dari Webinar “The State of Southeast Asia’s Energy Transition” dapat disaksikan di YouTube IESR Indonesia. 

Pembiayaan Batubara Berhenti, Negara Asia Tenggara Perlu Siapkan Langkah Transisi Energi

press release

Jakarta, 1 Agustus 2022- Aksi mitigasi iklim dengan mendorong pemanfaatan energi terbarukan telah membuat banyak negara yang semula membiayai proyek PLTU batubara mengalihkan investasinya ke energi terbarukan. Transformasi ini akan memberikan  implikasi dan tantangan yang perlu disiasati oleh negara tujuan investasi energi fosil di kawasan Asia Tenggara.

Cina, Jepang dan Korea Selatan merupakan tiga negara terbesar yang membiayai proyek energi fosil di Asia Tenggara. Sebanyak 123 GW pembangkit batubara yang beroperasi di luar China mendapat dukungan finansial ataupun dukungan Engineering, Procurement, dan Construction (EPC) dari China. Proyek energi fosil tersebut sebagian besar dibangun dalam 2 dekade terakhir. Pada September 2021, Presiden Xi menjanjikan untuk mendukung negara berkembang yang akan bertransisi energi ke energi terbarukan. Ia juga menyatakan bahwa China tidak akan membiayai lagi pembangunan PLTU batubara baru di luar negeri. Sejak janji ini dikumandangkan sebanyak 12,8 GW batubara yang semula direncanakan akan dibangun, dibatalkan. 

Tidak hanya itu, beberapa perusahaan dan institusi keuangan dalam negeri China juga menghentikan pembiayaan untuk proyek batubara seperti Bank of China (BOC) yang berhenti  membiayai proyek pertambangan batubara dan pembangkit listrik tenaga batubara baru di luar negeri, kecuali untuk proyek-proyek yang telah menandatangani perjanjian pinjaman, atau Tsingshan Holding Group, pemain utama di kawasan industri luar negeri, terutama di industri baja, mengumumkan tidak akan membangun PLTU batubara baru di luar negeri.

Isabella Suarez, Analis, Center for Research on Energy and Clean Air pada pada webinar berjudul Status Transisi Energi di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan bahwa untuk pertama kalinya pernyataan Presiden Xi ini  dituangkan pada kebijakan dalam negeri China. Tidak hanya itu, berkembang pula wacana untuk mengembangkan secara bersama implementasi pembangunan hijau dalam kerangka Belt and Road Initiatives.

Menurut Isabella, hal yang perlu China lakukan untuk memastikan janjinya terlaksana adalah menentukan jangka waktu dan target pencapaiannya. Di sisi lain, negara yang selama ini mendapat pembiayaan proyek energi fosil perlu  memulai untuk melakukan pembatalan pembangunan PLTU batubara.

“Selain itu perlu pula mengarahkan pembiayaan internasional ke energi terbarukan yang lebih hijau dan infrastruktur & efisiensi jaringan, serta mengimplementasi pembangunan hijau dalam Belt and Road Initiatives,” tandas Isabella.

Selain China, dan Jepang, Dongjae Oh, Program Lead for Climate Finance Solutions for Our Climate (SFOC) memaparkan bahwa Korea Selatan juga menjadi negara terbesar ketiga di dunia yang membiayai proyek PLTU batubara. Sebanyak 87% (USD 8,7 miliar) pembiayaan hilirisasi batubara dari  Korea Selatan berada di kawasan Asia Tenggara (2011-2020).

Pada April 2022, Presiden Korea Selatan mendeklarasikan untuk menghentikan pembiayaan baru bagi proyek PLTU batubara di luar negeri. Namun menurut Dongjae, Korea Selatan masih sangat bergantung pada energi fosil lainnya yakni minyak dan gas. 

“Jika dibandingkan pembiayaan batubara yang hanya mencapai USD 10 miliar, pembiayaan minyak dan gas bisa mencapai USD 127 miliar dalam jangka waktu 10 tahun,” ungkap Dongjae.

Indonesia menjadi salah satu negara yang menerima pembiayaan terbesar dari Korea Selatan untuk  industri minyak dan gas. Investasi ini akan membuat kawasan Asia Tenggara beralih menggunakan minyak dan gas.

Dongjae menambahkan jika hal tersebut terjadi maka kawasan Asia Tenggara akan gagal mencapai target Persetujuan Paris dengan besarnya emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh gas. Selain itu mempertahankan energi fosil dengan penggunaan CCS hanya akan membuat harga bahan bakar fosil lebih mahal.

Seperti energi fosil umumnya, volatilitas harga akan membuat daya saing tenaga gas yang rendah dibandingkan energi terbarukan, sehingga dapat menyebabkan krisis keuangan bagi perusahaan utilitas di tingkat regional.

“Pemerintah Korea Selatan dan Asia Tenggara harus bekerja sama untuk meningkatkan penghentian pengoperasian batubara dan mempercepat transisi ke energi terbarukan. Di lain pihak, Korea Selatan harus menghentikan dana atau investasi batubara dan gas, mengingat harga energi terbarukan semakin murah,” tegas Dongjae.

Lisa Wijayani, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR mengungkapkan bahwa penghentian pendanaan terhadap energi fosil dari Cina dan Korea Selatan merupakan langkah konkrit dalam mendukung transisi energi secara global. 

“Indonesia seharusnya dapat menggunakan kesempatan ini untuk mengembangkan pembangunan energi terbarukan. Taksonomi hijau dan kebijakan terkait investasi hijau yang jelas hendaknya mampu menarik minat investor untuk mengalihkan pendanaan mereka ke sektor hijau seperti energi terbarukan,” ujarnya. ***

Siaran ulang dari Webinar “The State of Southeast Asia’s Energy Transition” dapat disaksikan di YouTube IESR Indonesia. 

Tangkap Peluang Pendanaan untuk Dukung Akselerasi Transisi Energi

press release

Jakarta, 28 Juli 2022 – Transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi yang signifikan terutama untuk mengembangkan pembangkit energi terbarukan, bahan bakar bersih, jaringan listrik, dan penyimpanan energi (baterai). 

G20 Seminar
Satu dari tiga panel pada rangkaian seminar G20 yang membahas tentang peluang pembiayaan berkelanjutan untuk transisi energi Indonesia (27/07/2022). (Dok. Sekretariat Seminar)

“Indonesia setidaknya membutuhkan investasi untuk transisi energi sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060”, ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Arifin Tasrif, dalam rangkaian seminar G20 berjudul “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies”. 

Berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sektor energi di Indonesia pada 2050 berkisar USD 20–25 miliar per tahun antara tahun 2020 dan 2030 dan sekitar USD 40–60 miliar per tahun dari tahun 2030 hingga 2050. 

“Indonesia memiliki potensi energi terbarukan dan kebutuhan energi yang akan terus tumbuh. Dalam banyak hal, Indonesia seharusnya menjadi tujuan investasi utama. Sayangnya inkonsistensi kebijakan, regulasi, dan kurang padunya koordinasi antar sektor membuat investor memandang investasi di Indonesia berisiko tinggi,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR. 

Laporan IISD (International Institute for Sustainable Development) tahun 2020 mengungkap, hanya 7,8% total investasi untuk sektor energi terbarukan di Indonesia. Sisanya masih memfokuskan investasi pada bahan bakar fosil. Peter Wooders, Senior Director Energy IISD menekankan bahwa arah G20 tahun ini harus menuju energi bersih – yang berarti secara bertahap menggeser dukungan terhadap bahan bakar fosil. 

“Meski pembiayaan publik tidak cukup untuk mendanai proses transisi energi, perannya sangat penting dalam membuka peluang ragam mekanisme”, lanjutnya.

Untuk itu, dalam rangkaian seminar G20 kali ini, diskusi mengenai pembiayaan Islami seperti wakaf, sukuk dan green bonds juga turut dibahas untuk memperkaya gambaran potensi pembiayaan transisi energi yang lebih luas lagi. Pembiayaan Islami memegang peran penting dalam berbagai pendanaan proyek berkelanjutan, termasuk energi terbarukan. Menurut Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019–2024, energi terbarukan mendapat dukungan melalui Murabahah (prinsip jual beli) serta donasi melalui zakat. 

Anna Skarbek, CEO Climateworks Centre menambahkan bahwa peluang investasi dalam transisi iklim, dan terobosan model-model investasi lintas kawasan ASEAN sangat bervariasi. Namun, Kuki Soejachmoen, Executive Director, Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) sekaligus moderator panel pada seminar kemarin mengingatkan bahwa mekanisme pembiayaan apa pun tetap harus perhatikan inklusivitas dan adil bagi siapa saja. 

Hal ini dikarenakan dampak dari transisi energi secara bertahap ciptakan usainya bisnis-bisnis pada sektor bahan bakar fosil serta rantai pasok terkait, pensiun dini, lapangan kerja baru, kebutuhan akan skill baru, industri baru – sehingga perlu ditangani dengan baik. 

Komitmen Hibah $200 juta dari Australia untuk Indonesia 

Pada sesi sambutan, Andrew Hudson, CEO dari Centre for Policy Development, secara khusus mengangkat perihal dana hibah dari Australia untuk Indonesia yang baru-baru ini dibicarakan antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Anthony Albanese, sebagai contoh nyata pentingnya dialog lintas-batas. 

“Penting bagi kita berdialog dan berbagi pengalaman mengenai aksi yang efektif, terukur dan berdampak seperti yang dibutuhkan dalam investasi lintas-batas pada transisi iklim, baik yang dilakukan oleh investor publik dan swasta. Kita juga harus memanfaatkan ambisi dan momentum dari kemitraan iklim serta infrastruktur sebesar $200 juta yang baru-baru ini dibicarakan antara Australia dan Indonesia.”

Rangkaian Seminar Series G20 ini diselenggarakan oleh Energy Transition Working Group (ETWG) Indonesia G20 2022 dan T20 Indonesia, berkolaborasi dengan Centre For Policy Development (CPD) Australia, Climateworks Centre, International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan the Institute for Essential Services Reform (IESR), serta didukung oleh Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC).

Memperkuat Transisi Energi yang Berkeadilan dengan Pembiayaan Berkelanjutan

press release

Jakarta, 28 Juli 2022- Transisi energi menjadi krusial dan urgen untuk dilakukan demi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius pada 2050 sesuai Persetujuan Paris. Memperkuat transisi energi yang berkeadilan membutuhkan pendanaan yang berkelanjutan dan inovatif. 

IESR - Wapres - Meneteri Keuangan - Menteri ESDM
Wakil Presiden Ma’ruf Amin berfoto bersama pembicara utama dan wakil dari masing-masing organisasi mitra penyelenggara pada rangkaian seminar G20 yang dilaksanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (Dok. Sekretariat Seminar)

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif dalam sambutannya pada seri seminar G20 berjudul “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies” mengatakan Indonesia telah memiliki peta jalan transisi energi untuk mencapai neutral karbon pada 2060 atau lebih cepat.

“PLN melalui rencana bisnis penyediaan energi nasional pada tahun 2021-2023 juga telah menargetkan rencana bisnis yang lebih bersih dengan menambah pembangkit listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan hingga 51,6%. Indonesia telah merencanakan untuk membangun nusantara super grid untuk mendorong pengembangan energi terbarukan dan juga menjaga stabilitas dan keamanan kelistrikan,” jelasnya.

Arifin juga menambahkan bahwa setidaknya Indonesia membutuhkan investasi untuk transisi energi sekitar 1 triliun USD pada tahun 2060.

“Oleh karena itu, Indonesia terus menjalin kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara mitra dan lembaga keuangan internasional untuk menemukan mekanisme pendanaan yang inovatif,” ujarnya.

Senada, Yudo D. Priaadi, Chair of Energy Transition Working Group (ETWG) G20 2022 mengungkapkan pembiayaan inovatif dan pembiayaan syariah (Islamik) berpotensi membuka peluang untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusivitas menuju pembiayaan berkelanjutan.

“Kita harus mengembangkan  platform yang efektif dan teruji serta dapat mengamankan investasi,” tandasnya.

Mahendra Siregar, Ketua Otoritas Jasa Keuangan menekankan selain pembiayaan berkelanjutan digunakan untuk membiayai transisi energi, namun perlu pula selaras dengan upaya pengentasan  kemiskinan. Menurutnya, rencana transisi energi dengan pembiayaan berkelanjutan juga perlu memberikan keuntungan (profit).

“OJK berencana menyeimbangkan transisi dan ekonomi hijau, stabilitas sosial, dan pengentasan kemiskinan. OJK meyakinkan bank dan perusahaan kredit publik untuk mengatasi perubahan iklim,” jelasnya di kesempatan yang sama.

Kuki Soejachmoen, Direktur Eksekutif Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), mengungkapkan bahwa transisi energi tidak hanya berfokus pada transformasi penggantian sektor-sektor penghasil emisi GRK secara bertahap, tetapi juga terkait lapangan kerja baru, industri baru, keahlian baru, investasi baru dan peluang-peluang lainnya untuk menciptakan masyarakat yang tangguh. 

“Itu sebabnya inklusivitas dan adil pada proses transisi energi menjadi bermakna bagi masyarakat, ekonomi, industri dan lingkungan,” tegas Kuki.

Transisi energi berkeadilan perlu pula memastikan akses energi yang berkualitas bagi semua orang terutama bagi masyarakat miskin.

“Bertransisi energi dengan salah satunya mempensiunkan PLTU batubara. Kebutuhan Indonesia untuk mempensiunkan PLTU batubara sebesar 9,2 GW seperti yang sedang dikaji oleh Kementerian ESDM, menurut laporan IESR memerlukan dana sekitar USD 4,3 miliar, namun akan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat Indonesia,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Ia yakin dengan pendekatan yang berpusat pada kepentingan masyarakat akan memastikan manfaat dan biaya transformasi sistem energi didistribusikan secara adil, dan melindungi yang paling rentan di masyarakat.

Energy Transition Working Group (ETWG) Indonesia G20 2022 dan T20 Indonesia, berkolaborasi dengan Centre For Policy Development (CPD) Australia, Climateworks Centre, International Institute for Sustainable Development (IISD), Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), dan the Institute for Essential Services Reform (IESR), serta didukung oleh Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC), menyelenggarakan seminar series G20 bertajuk “Unlocking Innovative Financing Schemes and Islamic Finance to Accelerate a Just Energy Transition In Emerging Economies.

Webinar Perkembangan Transisi Energi Asia Tenggara

Untuk mendukung proses transformasi rendah karbon, sangat penting untuk memperkuat kerja sama di antara para pemangku kepentingan utama di negara-negara Asia Tenggara. Pencapaian tujuan ini akan menghadapi tantangan yang berbeda karena beberapa negara lebih maju dalam hal infrastruktur energi terbarukan dan instrumen keuangan dibandingkan dengan negara lain.

Continue reading