Emisi Usaha Kecil Menengah (UKM) tidaklah Kecil

Dekarbonisasi emisi UKM

Jakarta, 14 Maret 2024 – Sektor industri telah menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Bukan hanya industri besar, Usaha Kecil Menengah (UKM) juga menjadi penggerak roda perekonomian nasional, termasuk dalam membentuk lapangan pekerjaan serta berkontribusi pada PDB sebesar 60,5 persen pada tahun 2021. 

Akan tetapi, di balik angka kontribusi ekonomi ada emisi besar yang menghantui. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sambutannya di webinar “Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global”mengatakan bahwa emisi dari sektor UMKM pada tahun 2023 sebesar 216 juta ton CO2e.

“Angka ini setara dengan separuh dari emisi sektor industri nasional pada tahun 2022. Maka, kita perlu secara serius mengupayakan dekarbonisasi industri UKM ini karena dengan memprioritaskan aspek keberlanjutan (sustainability, red) UKM akan naik kelas,” tutur Fabby.

Fabby menuturkan, sebanyak 95 persen dari emisi sektor UKM datang dari pembakaran bahan bakar fosil, sisa 5 persen dari pembakaran sampah. Jika tidak diambil langkah signifikan untuk mengurangi emisi sektor UKM, ada kemungkinan emisi UKM akan meningkat di kemudian hari. 

Abyan Hilmy Yafi, Analis Data Energi IESR, menjelaskan dalam survei yang dilaksanakan oleh  IESR pada 1000 UKM di seluruh Indonesia bahwa untuk memulai dekarbonisasi industri UKM ini terdapat beberapa pendekatan dari yang bersifat peningkatan pemahaman hingga solusi teknis seperti penggantian teknologi. 

“Untuk lintas sektor perlu adanya peningkatan pemahaman pelaku UKM tentang konsumsi energi dan emisi yang mereka hasilkan. Juga perlu sosialisasi aktif untuk mempromosikan energi terbarukan. Secara sektoral, terdapat beberapa rekomendasi teknis seperti penggunaan boiler elektrik pada industri tekstil dan apparel (pakaian, red),” jelasnya.

Bo Shen, Energy Environmental Policy Research, Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL) menjelaskan bahwa secara global, tantangan dari melakukan dekarbonisasi industri UKM antara lain adanya gap pengetahuan dari pemilik atau pengelola UKM tentang emisi, energi, atau lebih jauh lagi perubahan iklim dan relevansinya pada usaha mereka. 

“Ketika pelaku UKM sudah memiliki pengetahuan dan kesadaran cukup untuk melakukan dekarbonisasi atau menekan emisi dari usahanya, pembiayaan menjadi kendala selanjutnya. Biaya yang harus dibayarkan di depan (upfront cost) yang ada saat ini untuk misal mencari vendor teknologi ataupun penyedia jasa energi (Energy Service Company – ESCO), masih cukup tinggi untuk skala keuangan UKM,” jelas Bo Shen.  

Tiap-tiap negara akan menggunakan pendekatan berbeda untuk mendorong dekarbonisasi UKM ini. Amerika Serikat misalnya, mereka bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk membangun pusat penilai industri (industry assessment centres). 

“Selain berguna untuk mendekarbonisasi industri UKM, pendekatan ini juga sekaligus menyiapkan tenaga kerja ahli yang memiliki kesempatan training langsung pada industri UKM,” jelas Bo Shen.

Bo juga menambahkan kasus menarik dari Cina yang membentuk inisiatif bernama Green Growth Together (GGT). Inisiatif ini mendorong dekarbonisasi UKM-UKM yang menjadi bagian rantai pasok produk besar. 

Pemilik industri bermerek besar meminta seluruh jaringan rantai pasoknya untuk menjalankan praktik pengurangan emisi atau dekarbonisasi. Tuntutan ini juga datang dengan bantuan pembiayaan ataupun asistensi teknis yang dibutuhkan. 

Ahmad Taufik dari Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan, untuk konteks Indonesia, saat ini sedang mengalami tantangan pada sektor industri. Kontribusi sektor industri pada PDB tercatat terus menurun.

“Secara struktural kami juga masih terus membenahi beragam hal mulai dari pengembangan industri, pengembangan UKM, hingga memastikan tersedianya lapangan kerja yang ramah lingkungan (green jobs) dan tenaga profesionalnya (green professional),” kata Taufik.

Meninjau Kebutuhan Investasi Energi Terbarukan Indonesia

Investasi energi terbarukan

Jakarta, 8 Maret 2024 – Komitmen transisi energi Indonesia secara resmi dimulai sejak tiga tahun lalu saat Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengeluarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menargetkan adanya penambahan kapasitas energi terbarukan sebagai salah satu prasyarat tercapainya net zero emission Indonesia pada 2060, secara khusus sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050.

Dalam sesi Market Review, Jumat 8 Maret 2024, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa pengembangan energi terbarukan merupakan suatu keniscayaan. Pemerintah melalui sejumlah kebijakan seperti RUPTL 2021, dan Perpres 112/2022 telah mencanangkan penambahan kapasitas energi terbarukan sekaligus komitmen untuk tidak lagi membangun PLTU baru kecuali yang sudah dalam proses kontrak.

“Komitmen-komitmen ini harus diturunkan sampai ke rencana teknis dan ekonomis yang dapat dijalankan. Oleh karena itu proses revisi RUKN dan RUPTL yang saat ini sedang berlangsung menjadi sangat penting,” kata Fabby.

Dalam RUPTL 2024 – 2040, PLN berencana menambah kapasitas pembangkit energi terbarukan hingga 80 GW. Rencana ini akan membawa konsekuensi adanya kenaikan signifikan untuk energi terbarukan dari saat ini sekitar 9 GW menjadi 70 GW. 

Fabby menambahkan semangat dan ambisi ini perlu dikawal publik mengingat catatan pemerintah untuk peningkatan kapasitas energi terbarukan selalu di bawah target. Dalam mengejar target bauran 23 persen energi terbarukan pada 2025 Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang diharapkan. Hingga tahun 2023, bauran energi terbarukan baru 13 persen saja. Hal ini membuat sisa dua tahun ini menjadi tantangan untuk akselerasi energi terbarukan. 

Kebutuhan biaya untuk membangun pembangkit energi terbarukan yang mencapai USD 152 miliar (setara 2.300 triliun rupiah) hingga 2040 menjadi sorotan. Angka ini dianggap sebagai angka yang realistis oleh Fabby, mengingat angka ini merupakan kebutuhan investasi meliputi kebutuhan pembangunan pembangkit energi terbarukan serta pembangunan jaringan transmisi dan distribusi.

“Angka USD 152 miliar sudah angka yang realistis saat ini. Kita juga harus memahami bahwa teknologi terus berkembang, bukan tidak mungkin ke depan kebutuhan investasi ini akan turun sesuai perkembangan teknologi,” jelas Fabby.

Fabby menyoroti niat pemerintah untuk melibatkan pihak swasta lebih banyak lagi. Untuk mengundang investasi swasta yang lebih besar diperlukan perbaikan regulasi antara lain Kebijakan Energi Nasional sesuai dengan target net zero emission sektor kelistrikan di tahun 2050, peninjauan ulang harga beli listrik dari pembangkit energi terbarukan, hingga peninjauan ulang tarif listrik yang berlaku saat ini.

Webinar Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global


Tayangan Tunda


Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan terus mengalami pertumbuhan. Di antara kegiatan ekonomi lainnya, sektor industri sebagai tulang punggung perekonomian juga diharapkan dapat terus tumbuh untuk mendukung terwujudnya Indonesia Emas di tahun 2045. Seiring dengan pertumbuhan tersebut, pertumbuhan sektor industri yang diharapkan akan memberikan kontribusi terhadap total emisi gas rumah kaca Indonesia yang pada tahun 2021 telah mencapai sekitar 420 MtCO2 dan diperkirakan akan meningkat dua kali lipat jika tidak dilakukan langkah-langkah yang diperlukan. Oleh karena itu, komitmen untuk bertransisi menuju praktik bisnis dan industri yang lebih berkelanjutan menjadi keharusan untuk mengendalikan dan membatasi emisi hingga 31,89-43,2% lebih rendah dari tingkat business-as-usual di tahun 2030, sekaligus memastikan daya saing global industri Indonesia.

Usaha kecil dan menengah (UKM) memiliki posisi yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia dan merupakan bagian terbesar dari industri manufaktur di Indonesia. Menurut Bank Pembangunan Asia, pada tahun 2019, UKM menyumbang sekitar 99% dari bisnis formal dan hampir 97% dari lapangan kerja di Indonesia. Di tingkat lokal, UKM juga mendorong pembangunan dan pemerataan sosial, berkontribusi pada pembangunan pedesaan, pemberdayaan masyarakat, dan pengentasan kemiskinan. Terlepas dari perannya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi secara lokal dan nasional, manajemen keuangan dan kapasitas teknis UKM seringkali tertinggal dibandingkan dengan bisnis besar. Selain itu, dengan adanya peraturan yang lebih longgar terhadap pelaku UKM, emisi dari sektor ini seringkali terabaikan dan dapat menghasilkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor industri yang lebih besar. Berdasarkan studi terbaru IESR, ditemukan bahwa estimasi emisi terkait energi dari UKM mencapai 216 MtCO2 pada tahun 2023, setara dengan emisi yang dihasilkan dari sektor industri secara nasional.

Webinar ini diselenggarakan untuk menyebarluaskan temuan studi terbaru dari IESR dan LBNL yang berfokus pada eksplorasi peluang dekarbonisasi yang sesuai untuk UKM di Indonesia. Wawasan utama bagi para pelaku UKM, pembuat kebijakan, dan lembaga keuangan akan dibuka untuk membuka potensi efisiensi energi dan dekarbonisasi yang belum dimanfaatkan oleh UKM sekaligus meningkatkan daya saing bisnis mereka dalam menghadapi perubahan pasar saat ini. Selain itu, pengalaman global dalam dekarbonisasi UKM akan dibagikan untuk menunjukkan praktik-praktik terbaik yang telah diterapkan di Tiongkok, Amerika Serikat, dan negara-negara ekonomi penting lainnya di dunia, sehingga dapat menjadi referensi terbaik dalam melakukan retrofit untuk lanskap UKM di Indonesia. Webinar ini akan diselenggarakan secara daring melalui Zoom dan disiarkan melalui kanal YouTube IESR. Diharapkan webinar ini dapat memberikan wawasan yang berharga dan memicu inisiatif inovatif di antara para pemangku kepentingan di Indonesia untuk memulai perjalanan dekarbonisasi bagi UKM.

Tujuan Acara 

Ada beberapa tujuan dari lokakarya ini:

  1. Menyebarluaskan dan berbagi informasi mengenai lanskap Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia dalam hal ekonomi, energi, dan pengelolaan limbah,
  2. Menerima umpan balik dari rekomendasi dekarbonisasi UKM dari para pemangku kepentingan utama yang relevan,
  3. Mendiskusikan langkah-langkah penting dan dapat ditindaklanjuti yang diperlukan untuk mengimplementasikan inisiatif dekarbonisasi bagi UKM Indonesia, dan
  4. Mendiskusikan tantangan dan peluang, serta menginisiasi kolaborasi untuk mendorong dekarbonisasi dan pertumbuhan berkelanjutan pada UKM terpilih di Indonesia.

 


Presentation

Exploring Decarbonization Opportunities in Indonesia’s Small-to-Medium Enterprises (SMEs) – Abyan Hilmy Yafi

Exploring-Decarbonization-Opportunities-in-Indonesias-Small-to-Medium-Enterprises-SMEs-Abyan-Hilmy-Yafi

Download

Unlocking Energy Efficiency – Decarbonization Potentials in SMEs – Bo Shen

Unlocking-Energy-Efficiency-Decarbonization-Potentials-in-SMEs-Bo-Shen

Download

Decarbonization of Small and Medium Industries (SMIs) in Indonesia – Achmad Taufik

DECARBONIZATION-OF-SMALL-AND-MEDIUM-INDUSTRIES-SMIs-IN-INDONESIA-Achmad-Taufik

Download

Melihat Berbagai Kemajuan Transisi Energi di Indonesia

Jakarta, 15 Desember 2023 – Dalam tiga tahun terakhir, terdapat sejumlah kemajuan dalam transisi energi di Indonesia. Sejak 2020, Pemerintah Indonesia mulai memasukkan agenda transisi energi dalam agenda pemerintah.

Dalam peluncuran laporan utama tahunan Indonesia Energy Transition Outlook 2024, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan kemajuan ini merupakan suatu hal yang penting.

“Dalam 3 tahun terakhir, Indonesia berupaya untuk konsolidasi kebijakan insentif energi terbarukan. Hasilnya belum banyak terlihat, namun isu transisi energi semakin dibicarakan, menjadi isu penting, dan menjadi agenda utama. Tahap selanjutnya, dengan adanya kebijakan yang terkonsolidasi, langkah transisi energi Indonesia dapat lebih cepat,”

Fabby menambahkan dalam menyusun laporan IETO 2024, tim IESR menggunakan empat kerangka untuk menganalisis perkembangan transisi energi di Indonesia meliputi (1) kerangka kebijakan dan regulasi, (2) dukungan pendanaan dan investasi, (3) aplikasi dari teknologi, serta (4) dampak sosial dan dukungan masyarakat.

Dalam kesempatan yang sama, Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan bahwa konsolidasi yang dilakukan pemerintah saat ini tidak hanya dilakukan dari sisi regulasi, tetapi juga dilakukan dari sisi tekno ekonomi.

“Menurut kami, salah satu kunci suksesnya NZE (net zero emission) di sektor pembangkitan listrik adalah adanya super grid yang menyambungkan pulau-pulau di Indonesia,” kata Dadan.

Capaian dekarbonisasi Indonesia selama tahun 2023, dinilai kurang menggembirakan di mana dalam kurun waktu satu tahun ini penambahan kapasitas energi terbarukan hanya bertambah sekitar 1 GW, jauh dari target RUPTL 2021-2030 yang menetapkan 3,4 GW pada periode yang sama.

Alvin Sisdwinugraha, Analis Sektor Ketenagalistrikan IESR mengungkapkan Indonesia perlu segera berbenah untuk mengejar target dekarbonisasinya, terutama dalam pengembangan proyek energi terbarukan.

“Pemerintah dapat melakukan sejumlah strategi meliputi peninjauan ulang fase persiapan proyek, meningkatkan daya tarik proyek, meningkatkan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri, dan segera meningkatkan infrastruktur jaringan ketenagalistrikan.”

Alvin juga menyoroti strategi pengembangan biomassa, yang terkait erat dengan ketersediaan lahan untuk tanaman bahan baku (feedstock). Mengingat ketersediaan lahan yang terbatas, ia mengungkapkan. baik jika penggunaan biomassa difokuskan pada sektor-sektor yang sulit untuk didekarbonisasi (hard-to-abate).

Selain sektor ketenagalistrikan, sektor lain yang mengkonsumsi energi adalah industri dan bangunan. Sektor industri merupakan pemicu peningkatan konsumsi energi yang signifikan di Indonesia, atau sekitar 81%. Pada tahun 2022, terdapat penambahan 5 unit smelter komersil, yang dapat berdampak pada potensi peningkatan konsumsi energi sebanyak 2 kali lipat pada tahun 2023.

Fathin Sabbiha Wismadi, Analis Energi Efisiensi pada Bangunan, IESR, mengungkapkan adanya regulasi yang mengikat akan menjadi salah satu akselerasi efisiensi energi.

“Kita memiliki 6 hal yang dapat berkontribusi untuk menurunkan intensitas energi di Indonesia, pertama, elektrifikasi. Kedua, efisiensi energi, ketiga, regulasi mengenai konsumsi energi dan efisiensi energi, keempat ekosistem dan infrastruktur seperti lokasi pengisian daya, kelima, insentif dan keenam, meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia,” ungkap Fathin.

Dari sisi suplai, pada level sub-nasional, sejumlah daerah di Indonesia telah menyelesaikan Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Anindita Hapsari, Analis Agrikultur, Kehutanan,

Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim IESR menyoroti kebutuhan asistensi pada tiap-tiap daerah dalam mengakselerasi adopsi energi terbarukannya.

“Kemampuan setiap daerah yang berbeda, memerlukan adanya asistensi dalam bentuk  regulasi dan skema, baik finansial dan non finansial,” kata Anin.

Ketersediaan pembiayaan menjadi salah satu isu yang menghambat akselerasi energi terbarukan. Salah satu penyebabnya adalah persepsi investasi energi terbarukan masih terbilang rendah. Martha Jessica, Analis Sosial Ekonomi IESR, menyampaikan investasi pada pembangkit energi terbarukan masih dianggap sebagai investasi berisiko tinggi (high risk).

“Realisasi investasi di renewables juga masih rendah. Tren sangat jauh dari kata ideal di mana tahun ini dan tahun lalu tidak mencapai targetnya, yaitu target investasi sebesar USD 1,8 miliar  pada 2023, namun semester kemarin hanya tercapai  sekitar 30% saja,” katanya.

Sektor ketenagalistrikan merupakan sektor terdepan dalam agenda dekarbonisasi Indonesia, karena sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi nya. Meskipun demikian, target di sektor ketenagalistrikan tetap tidak mudah untuk dicapai. 

His Muhammad Bintang, Analis Teknologi Penyimpanan Energi dan Baterai, IESR, menyebutkan setidaknya terdapat tiga hal yang perlu didorong untuk memastikan tercapainya target dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan. 

“Pertama, kita perlu membangun clean energy ecosystem, kedua physical and non-physical infrastructure, dan prioritaskan intervensi yang sudah teruji,” katanya.

Penggunaan Macam Moda Transportasi Indonesia Butuh Dorongan Kuat dari Pemerintah

Dekarbonisasi sektor transportasi Indonesia

Jakarta, 5 Desember 2023 – Sejak tahun 2021 sektor transportasi di Indonesia menduduki peringkat kedua penghasil emisi tertinggi, menggeser industri. Emisi sektor transportasi ini banyak diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar minyak yang menjadi sumber energi utama dari kendaraan. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi, dan rencana pembangunan, diprediksi emisi dari sektor transportasi akan terus meningkat. Sebagai salah satu upaya untuk memperkuat aksi mitigasi perubahan iklim, dekarbonisasi sektor transportasi penting dilakukan.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam webinar Dissemination of Indonesia’s Transportation Decarbonization Roadmap, (5/12) menekankan bahwa untuk memastikan berbagai aksi mitigasi perubahan iklim selaras dengan Persetujuan Paris (Paris Agreement) maka target penurunan emisi harusnya dihitung bukan sekedar berdasarkan persentase namun juga memperhitungkan keselarasan dengan target Paris.

“IESR melakukan pemodelan untuk menemukan kebijakan, dan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk peningkatan aksi mitigasi perubahan iklim Indonesia terutama di sektor transportasi,” kata Fabby.

Rancangan peta jalan dekarbonisasi transportasi ini fokus pada dua skala, yaitu skala nasional dan regional (Jabodetabek).

Analis mobilitas berkelanjutan IESR, Rahmi Puspita Sari menambahkan bahwa penambahan kepemilikan kendaraan pribadi terutama sepeda motor telah menjadi salah satu faktor penyebab naiknya emisi dari sektor transportasi.

“Dengan berbagai jenis demand yang besar dan pemilihan moda masih pada private transport, hal ini berdampak pada emisi gas rumah kaca (GRK) sektor transportasi. Kebanyakan dari emisi GRK berasal dari angkutan penumpang (passenger) (73%), dan dilanjut oleh transportasi darat (27%),” kata Rahmi.

Fauzan Ahmad, anggota Tasrif Modeling Team, yang turut serta mengerjakan pemodelan peta jalan dekarbonisasi transportasi ini memaparkan salah satu temuan utama dari simulasi ini yaitu dalam skema Avoid, Shift, Improve (ASI) yang sudah cukup umum dalam bidang pengelolaan transportasi, terdapat potensi pengurangan emisi hingga 18% dengan menghindari (avoid) adanya perjalanan dengan menerapkan sistem work from home (WFH).

“Sebenarnya hanya 8% dari total pekerja yang dapat melakukan work from home, dari potensi 8% ini saat ini baru sekitar 1% pekerja yang melakukan work from home. Jika potensi ini dimaksimalkan, kita dapat menekan lebih banyak emisi jumlah perjalanan yang dihindari,” kata Fauzan.

Fauzan juga menambahkan pemilihan untuk meninjau pola transportasi di Jabodetabek disebabkan Jabodetabek dinilai sebagai suatu kesatuan area yang saling berinteraksi. 

Arij Ashari Nur Iman, modeller dari Tasrif Modelling Team, menambahkan bahwa dengan kondisi sistem transportasi yang ada saat ini solusi paling efektif untuk dekarbonisasi sektor transportasi adalah dengan membagi beban penumpang kepada berbagai moda (moda share). 

“Kendaraan listrik akan berdampak besar pada tujuan pengurangan emisi namun memerlukan dua kondisi yang harus dicapai untuk berdampak pada skala nasional yaitu meningkatkan sales share kendaraan listrik dan membuat kerangka kebijakan yang mendukung discard rate kendaraan ICE. Pergeseran moda ke kendaraan umum akan menjadi solusi yang sustain dalam konteks penggunaan bahan bakar dan sumber daya namun membutuhkan investasi besar di awal,” terang Arij.

Guru besar teknik sipil Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Taufik Mulyono menyatakan bahwa pemerintah Indonesia masih belum berani untuk membuat kebijakan (transportasi) yang mendorong adanya moda share

“Permasalahan moda share ini harus diatur oleh pemerintah dalam undang-undang, saat ini belum ada undang-undang. Kajian ini baik, karena saat moda share yang lebih advance dirasa sulit dilakukan, maka sama-sama masih transportasi jalan, namun dibagi (share) antar ruang,” katanya.

Agus juga mengingatkan tantangan implementasi jika rekomendasi kajian ini diadopsi dalam bentuk kebijakan atau peraturan.

Senada dengan Agus, Alloysius Joko Purwanto, Komisi Penelitian dan Pengembangan, Dewan Transportasi Kota Jakarta juga menyoroti penggunaan transportasi umum yang harusnya bisa lebih didorong lagi.

“Kebijakan saat ini ada yang berpotensi menimbulkan kontradiksi, seperti kebijakan insentif kendaraan listrik yang di satu sisi berpotensi untuk meningkatkan angka kepemilikan kendaraan pribadi dan berpotensi menambah kemacetan sebab angka discard rate kendaraan ICE masih rendah,” kata Joko.

Penggunaan bahan bakar nabati seperti biofuel juga dimasukkan dalam modeling  peta jalan dekarbonisasi transportasi ini. Edi Wibowo, Direktur Bioenergi, Kementerian ESDM, mengatakan bahwa hasil kajian ini secara garis besar sudah sejalan dengan peta jalan transisi energi Indonesia yang secara umum akan menambahkan kapasitas energi terbarukan pada pembangkit listrik dan sektor-sektor lain pun akan mengikuti untuk transisi ke sistem yang lebih bersih seperti bahan bakar nabati.

“Kami (di kementerian ESDM) terus mengembangkan bahan bakar nabati, saat ini sedang uji terap Biodiesel B40 dan jika prosesnya lancar tahun 2026 akan mulai digunakan. Upaya pengembangan ini sebagai wujud dukungan nyata pada rencana transisi energi Indonesia,” kata Edi.

Gonggomtua E. Sitanggang, Direktur, ITDP Indonesia menekankan pentingnya komunikasi publik untuk membangkitkan kesadaran bagi masyarakat. Ketika masyarakat memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup tentang pentingnya sistem transportasi rendah emisi, akan lebih mudah pula untuk melibatkan dan menggerakkan mereka untuk perlahan mengurangi ketergantungan pada penggunaan kendaraan pribadi.

“Selain itu, penting juga untuk melihat relasi pemerintah nasional dengan pemerintah daerah, yang perlu digaris bawahi adalah peraturan perundang-undangan kita yang berkaitan dengan otonomi daerah, dimana yang memiliki budget dan otoritas adalah pemerintah daerah, sementara transportasi belum menjadi salah satu KPI (key performance indicator) bagi pemimpin daerah. Akibatnya budget untuk sektor transportasi masih minim,” kata Gonggom.

Prinsip Keadilan dalam Pembiayaan Transisi Berkeadilan Indonesia

Johor Bahru, Malaysia, 16 November 2023 – Menjelang COP28 di Uni Emirat Arab, terdapat perhatian yang meningkat terhadap upaya pembiayaan iklim. Pembiayaan iklim menjadi fokus penting untuk mendukung transisi yang adil menuju ekonomi berkelanjutan yang rendah karbon.

Transformasi menuju ekonomi rendah karbon dan pembiayaan transisi berkeadilan (just transition) memerlukan kepemimpinan pemerintah. Pemerintah dapat menangkap peluang pendanaan transisi energi dengan memastikan berjalannya transisi energi berkeadilan dan akuntabilitasnya. Sebagai contoh, pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang didukung oleh negara-negara maju untuk mempercepat transisi energi. Aspek keadilan harus menjadi prioritas dalam setiap kesepakatan pendanaan transisi energi.

Wira Agung Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa transisi energi tidak hanya sekedar menutup PLTU batubara dan mengganti ke pembangkit energi terbarukan. Namun, diperlukan perspektif yang lebih luas dari dampak yang akan ditimbulkan oleh transisi energi.

“Pendanaan transisi energi tidak melulu terbatas pada pembangunan infrastruktur, tetapi setiap aspek dari transisi berkeadilan juga harus dipertimbangkan. Transisi berkeadilan itu sendiri juga bukan hanya tentang tenaga kerja yang terdampak, tetapi juga mengenai masyarakat luas di sekitar wilayah pertambangan batu bara,” ungkap Wira dalam Asia-Pacific Climate Week 2023.

Selain itu, Wira juga menilai bahwa pendanaan JETP masih sangat minim dan belum cukup untuk memenuhi target yang telah ditetapkan. Sumber pendanaan ini masih didominasi oleh pendanaan yang berbentuk pinjaman (loans).

“IESR adalah bagian dari kelompok kerja teknis dengan Sekretariat JETP. Pendanaan JETP masih banyak berbentuk pinjaman, dan beberapa di antaranya bukan merupakan komitmen baru dari negara-negara donor. Hanya sekitar 1,62% yang kita terima berupa hibah (grants) untuk transisi yang adil. Masih ada kekurangan dana dan hal ini cukup ironis bagi saya. Bantuan perlu ditingkatkan daripada pinjaman,” tandasnya.

Pendanaan transisi energi seharusnya mencakup pendekatan komprehensif, termasuk pensiun dini PLTU batubara, penanganan wilayah penghasil batubara, peningkatan penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan transisi di lokasi pertambangan. Wira menganggap bahwa JETP masih kurang memiliki pendekatan yang komprehensif dan holistik.

“Pendanaan transisi energi juga sudah semestinya menjadi titik awal. Saat ini, Indonesia sedang dalam proses implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), menggunakan komitmen domestik dan berupaya untuk menyelaraskannya dengan JETP dan Energy Transition Mechanism (ETM). Pemerintah Indonesia perlu menghadapi berbagai tantangan ada di tingkat domestik, nasional, dan internasional,” imbuh Wira.

Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative (CPI) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa perdebatan di beberapa lembaga keuangan mengenai pembiayaan transisi berkeadilan.

“Masalahnya adalah terdapat perdebatan di lembaga keuangan, apakah pembiayaan transisi berkeadilan merupakan bagian dari pembiayaan transisi energi? Ketika kita membicarakan bagian yang ‘adil’, kita berbicara tentang sejumlah proyek yang penting dalam transisi energi. Ini bukan hanya beberapa proyek, tetapi perubahan besar secara menyeluruh dalam ekonomi. Jika tidak dikelola dengan baik, ini akan berdampak pada skala yang besar,” jelas Tiza.

Pesan untuk Para Pemimpin Negara Jelang COP 28

Jakarta, 3 November 2023 – Pertemuan para Pihak untuk Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP 28) akan segera diselenggarakan di Dubai, Uni Arab Emirate. Salah satu agenda pertemuan tahunan ini adalah untuk melihat perkembangan aksi berbagai negara untuk menangani krisis iklim. Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) hari Jumat 3 November 2023, Marlistya Citraningrum, Program Manajer Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR), menjelaskan bahwa menyongsong pertemuan tahunan para pemimpin dunia ini, Pemerintah Indonesia baru saja merilis dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan) dan berencana untuk mengumumkan dokumen resmi ini pada COP 28.

“Dalam dokumen ini, secara esensi cukup mengecewakan karena meski menjanjikan proyek-proyek energi terbarukan, namun masih sangat fokus pada energi terbarukan berskala besar (base-load renewables) seperti hidro (PLTA) dan geotermal (PLTP). Energi terbarukan yang bersifat Variable Renewable Energy (VRE) seperti surya dan angin dianggap sebagai proyek berisiko tinggi,” jelas Citra.

Selain keberpihakan pada VRE yang kurang, Citra juga menyoroti rendahnya komitmen untuk pensiun dini PLTU batubara. Dalam dokumen CIPP yang saat ini sedang dalam proses konsultasi publik, negara-negara IPG hanya bersedia memfasilitasi pensiun dini PLTU sebesar 1,7 GW. Dalam draf dokumen tahun lalu, Amerika Serikat dan Jepang awalnya bersedia untuk membiayai 5GW pensiun dini PLTU batubara.

“Padahal untuk mencapai target net zero emission Indonesia butuh mempensiunkan sekitar 8 GW PLTU batubara,” tegas Citra.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, menyetujui pentingnya kenaikan komitmen dan aksi iklim bukan semata-mata sebagai aksi iklim namun juga sebagai bagian dari pembangunan.

“Dalam draf RPJPN yang saat ini sedang digarap, kami menargetkan target pengurangan emisi kita naik ke 55,5% pada tahun 2030 dan 2045% pada tahun 2045 sebesar 80%. Hal ini menjadi keharusan untuk meningkatkan target dan ambisi iklimnya,” kata Medril.

Kita Tidak Punya Pilihan, Kita Harus Mencapai Netralitas Karbon

Jakarta, 25 Oktober 2023 – Industri merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan sektor terbesar yang mendorong kemajuan teknologi. Aktivitas ekonomi dari sektor industri telah mentransformasi perekonomian global. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa ini harus dibayar dengan tingginya emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer.

Untuk sementara waktu, masyarakat mencoba mencari cara untuk meminimalkan emisi GRK dari proses industri. Upaya ini akan menjadi langkah berarti dalam upaya mencapai emisi nol bersih di abad ini sebagaimana diamanatkan oleh Perjanjian Paris.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) pada acara Workshop “Diseminasi Peta Jalan dan Rekomendasi Kebijakan Dekarbonisasi Industri Indonesia” pada Rabu 25 Oktober 2023 mengatakan, IESR saat ini sedang menjajaki lima industri besar yakni semen, pulp & kertas, baja, tekstil, dan amonia serta mengembangkan peta jalan dekarbonisasi.

“Kami berada pada tahap awal dekarbonisasi sektor industri, dan kami memerlukan lebih banyak kolaborasi antar pemangku kepentingan karena begitu banyak pemangku kepentingan yang terlibat di sektor industri,” kata Deon.

Farid Wijaya, analis senior di IESR kemudian menjelaskan bahwa Indonesia telah memulai kerangka kebijakan industri hijau namun masih memerlukan lebih banyak perbaikan agar lebih kuat dan kontekstual.

“Lima industri yang kami incar memiliki motivasi tinggi untuk melakukan dekarbonisasi proses bisnisnya, namun saat ini masih terdapat tantangan seperti biaya dan kerangka kebijakan yang masih perlu diperbaiki,” jelas Farid.

Menyadari bahwa proses industri membutuhkan energi dari listrik dalam jumlah besar, untuk melakukan dekarbonisasi sektor industri, maka dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan juga merupakan suatu keharusan.

“(Ketersediaan) kebijakan yang mendukung industri untuk mendapatkan pasokan listrik dari sumber energi terbarukan atau mengembangkan/memasang sendiri listrik terbarukan sangatlah penting,” kata Hongyou Lu, Peneliti Teknologi Energi dan Lingkungan, LBNL.

Lu menambahkan bahwa dekarbonisasi industri tidak bisa dihindari, namun memiliki banyak aspek dan berpotensi menumbuhkan perekonomian lokal, mengurangi polusi udara, dan membuat komoditas lebih kompetitif dalam perdagangan global.

Stephane de la Rue du Can, peneliti Kebijakan Energi – Lingkungan, LBNL kemudian menambahkan bahwa harus ada paket reformasi kebijakan yang lengkap untuk dekarbonisasi sektor industri, termasuk (1) target dan perencanaan pengurangan GRK industri, (2) inovasi, (3) elektrifikasi dan peralihan bahan bakar, (4) efisiensi energi, (5) efisiensi material dan ekonomi sirkular, dan (6) tenaga kerja dan komunitas lokal.

Endra Dedy Tamtama, Koordinator Pemantauan Konservasi Energi, Kementerian ESDM menyampaikan bahwa saat ini praktik efisiensi energi yang dilakukan oleh beberapa industri masih yang bersifat tanpa biaya atau berbiaya rendah. Hal-hal terkait revitalisasi alat yang memerlukan modal besar belum dilakukan.

“Karena saat ini tidak ada insentif fiskal yang diberikan kepada industri setelah menggunakan infrastruktur hemat energi, maka perubahan apa pun yang memerlukan biaya besar, meskipun akan lebih menghemat energi, belum sepenuhnya terlaksana”

Muhammad Akhsin Muflikhun, Pakar Teknologi PSE UGM, menekankan pentingnya kesiapan teknologi untuk mendukung dekarbonisasi industri seperti pemanfaatan hidrogen.

“Hidrogen telah menjadi fokus kami dalam teknologi penyimpanan energi. Kami mencoba membandingkan penyimpanan hidrogen vs baterai, sejauh ini masih terdapat kesenjangan efisiensi energi yang sangat besar setelah disimpan dalam baterai dibandingkan ketika disimpan dalam sistem penyimpanan hidrogen,” ujarnya.

Sri Gadis Pari Bekti, Tenaga Ahli Fungsional Madya, Kementerian Perindustrian sepakat bahwa teknologi akan menjadi game changer selama dekarbonisasi industri. Teknologi baru seperti CCS dan CCUS, serta hidrogen diharapkan mampu memenuhi kebutuhan energi di industri.

“Sebagai bagian dari dukungan kami kepada industri, kami memfasilitasi sertifikasi bagi industri. Sampai batas tertentu, pemerintah dapat membantu proses peningkatan kapasitas dan sertifikasi,” kata Bekti.

Untuk memperlancar dekarbonisasi industri, ketersediaan pembiayaan ramah lingkungan sangatlah penting.

PT PLN selaku pemasok listrik utama di Indonesia melalui Manajer Bioenergi-nya Yudas Agung Santoso mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan pemetaan kebutuhan energi khususnya dari industri karena dalam waktu dekat akan datang beberapa industri besar seperti smelter nikel.

“Bagi industri (dan yang membutuhkan) saat ini kami memiliki program Renewable Energy Certificate (REC), dimana kami mendedikasikan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan untuk menyuplai mereka yang berlangganan sertifikat sehingga bisa mendapatkan listrik ramah lingkungan,” ujarnya.

Nan Zhou, peneliti Senior Kebijakan Lingkungan – Energi, LBNL, dalam sambutan penutupnya menyoroti pentingnya Indonesia mengambil pembelajaran dari negara lain yang mulai melakukan dekarbonisasi industrinya.

“Kita tidak punya pilihan lain, kita harus mencapai netralitas karbon. Jadi, kita harus mengambil tindakan apa pun untuk mewujudkannya,” kata Zhou.