Dukungan Sektor Finansial untuk Transisi Energi di Sektor Rumah Tangga

Jakarta, 9 Juni 2022 – Potensi pemanfaatan PLTS atap di sektor rumah tangga merupakan salah satu yang terbesar dalam mendorong transisi energi dan mencapai target bauran energi terbarukan Indonesia. Instrumen kebijakan yang tepat serta dukungan finansial yang menarik menjadi beberapa faktor pendukung dalam mendorong adopsi masif PLTS atap di Indonesia. 

Andriah Feby Misna, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, menyatakan bahwa Indonesia memiliki beberapa target nasional yaitu pencapaian bauran energi terbarukan 23% pada 2025, penurunan emisi 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan luar negeri pada 2030, serta mencapai status netral karbon pada tahun 2060. 

“Untuk itu kementerian ESDM menyusun berbagai strategi seperti RUPTL hijau di PLN dan mendorong penggunaan PLTS atap di sektor rumah tangga dan memasukkannya dalam program strategis nasional. Sebagai dukungan (pada PLTS atap), kami mengeluarkan Permen ESDM No. 26/2021,” jelasnya.

Feby menambahkan bahwa jumlah pelanggan PLTS atap saat ini sebanyak 4.377 rumah tangga, dan terdapat pertumbuhan signifikan sejak dikeluarkannya peraturan menteri yang mengatur tentang pelanggan PLN yang memasang PLTS atap pada tahun 2018.  

Feby tidak memungkiri bahwa saat ini masih ada kendala dalam implementasi Permen ESDM 26/2021, namun ia mengatakan saat ini pihaknya sedang berusaha mencari win-win solution supaya aturan tersebut dapat segera berlaku.

Selain regulasi yang masih belum optimal, hambatan lain untuk pemanfaatan PLTS atap di sektor rumah tangga adalah investasi awal yang masih relatif besar bagi masyarakat. Meski demikian, masih terdapat potensi pasar yang cukup besar di sektor rumah tangga.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menjelaskan, berdasarkan survei pasar bertahap yang dilakukan IESR sejak tahun 2019, menunjukkan potensi pasar PLTS atap sektor residensial di sejumlah kota besar Indonesia seperti Jabodetabek, Surabaya, Jawa Tengah dan Bali mencapai 34 – 116 GW.

“Potensi pasar transisi energi di sektor rumah tangga besar. Yang termasuk dalam kategori early followers dan early adopters ini perlu kita tangkap. Sebab mereka sudah cukup familiar dengan produknya (PLTS atap) dan sudah memiliki niat untuk pasang namun terkendala investasi awal yang cukup besar,” Fabby menjelaskan.

Masih dari hasil survei pasar yang sama, para responden berharap ada produk kredit dari bank dengan kisaran tenor 24 – 48 bulan dengan bunga rendah. 

Veronika Susanti, Digital Lending Division Head bank OCBC NISP menjelaskan bahwa sektor energi terbarukan menjadi salah satu perhatian dari pihak perbankan untuk mendapat pendanaan. 

“Saat ini kami memiliki program solar panel financing dengan dua skema. Pertama cicilan kartu kredit 0% dan Kredit Tanpa Agunan selama maksimal 36 bulan,” kata Veronika.

Ia menambahkan bahwa pihaknya bekerjasama dengan penyedia jasa panel surya untuk memudahkan pelanggan dalam mengakses skema pembiayaan PLTS atap ini juga untuk mempelajari teknologi sehingga makin memahami risiko dan peluang dari PLTS atap.

Fendi Gunawan Liem, pendiri dan CEO SEDAYU Solar juga menegaskan bahwa potensi sektor residensial untuk tumbuh dan berkembang sangat besar.

“Sektor residensial inikan sektor yang memiliki aturan pemasangan PLTS paling akhir, namun growth pelanggannya yang paling besar dibanding sektor lainnya,” jelas Fendi. 

Bank sebagai lembaga finansial perlu melihat PLTS atap sebagai aset berisiko rendah, untuk itu perlu mempelajari teknologi PLTS atap sehingga dapat membuat analisa risiko yang akurat. Dengan demikian bank dapat merancang skema kredit yang lebih ramah lagi dengan tenor yang lebih beragam dan suku bunga rendah.

Transisi Energi yang Berkeadilan Membutuhkan Kebijakan Atraktif, Regulasi, dan Akses Pembiayaan

Jakarta, 29 Maret 2022 – Transisi energi yang berkeadilan menjadi salah satu isu prioritas Kepresidenan G20 Indonesia 2022. Mencermati isu transisi energi yang berkeadilan, Yudo Dwinanda Priaadi, ketua Energy Transition Working Group, menjelaskan ada tiga isu terkait transisi energi yang akan didorong yaitu akses energi, teknologi, dan pembiayaan.

Transisi energi adalah perubahan seluruh sistem energi dari yang berbasis bahan bakar fosil menjadi berbasis energi terbarukan. Hal ini melibatkan reformasi multi-sektor untuk sampai ke sana. Memastikan akses energi disediakan dengan biaya dan cara yang terjangkau adalah penting sebagaimana disebutkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 7 yaitu energi yang terjangkau dan bersih. Oleh karena itu penyediaan infrastruktur energi bersih sebagai langkah awal transisi energi menjadi sangat penting.

Dalam konteks Indonesia, semua teknologi energi bersih saat ini dikembangkan oleh negara lain. Untuk menghindari Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara lain yang ‘menjual’ teknologinya, kita membutuhkan pengetahuan tentang teknologi dan bahkan harus mampu memproduksi teknologi itu sendiri.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menilai isu terpenting transisi energi saat ini adalah memastikan tersedianya pembiayaan yang cukup.

“Jika kita memiliki pembiayaan yang cukup, kita dapat mengakses teknologi dan membangun infrastruktur energi bersih. Pada saat yang sama kita juga akan menciptakan sistem ekonomi rendah karbon di dalam negeri,” ujarnya.

Luiz de Mello, Direktur Departemen Ekonomi OECD, menambahkan bahwa ada peluang untuk membuat kemajuan dalam ekonomi rendah karbon ketika dunia berusaha keluar dari situasi pandemi. Menurut dia, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan pemerintah, antara lain memobilisasi investasi untuk infrastruktur rendah karbon, menetapkan regulasi dan standarisasi, serta mengelola investasi tenaga kerja termasuk pelatihan dan pelatihan ulang bagi mereka yang sebelumnya bekerja di industri fosil.

“Di tingkat internasional kita juga membutuhkan koordinasi kebijakan karena kita menangani masalah global, maka kita juga membutuhkan solusi global,” tambah Luiz.

Pemerintah juga harus menyediakan regulasi dan perencanaan yang dapat diprediksi untuk menarik investor berinvestasi dalam proyek energi terbarukan. Frank Jotzo, Head of Energy, Institute for Climate Energy and Disaster Solutions, Australia National University, menekankan pentingnya menyediakan instrumen pengurangan risiko (de-risking instrument) untuk mempercepat transisi energi.

“Kami menyadari bahwa investasi yang dibutuhkan (untuk transisi energi) sangat besar, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mencari cara membiayai transisi tersebut. Perlu dipahami bahwa, pembiayaan ini adalah investasi yang produktif di mana sebagian besar uang digunakan untuk biaya awal, dan nantinya kita dapat menikmati energi bersih tanpa terlalu banyak mengeluarkan biaya,” jelas Frank.

Sebagai Presiden G20, proses transisi energi Indonesia menjadi sorotan. Masyita Crystallin, Penasihat Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Makroekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Indonesia, menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia mengupayakan transisi energi yang berkeadilan.

“Tentu kita bertujuan untuk transisi energi yang berkeadilan, artinya aset yang terlantar harus dijaga dan pekerja yang dulu bekerja di industri fosil atau pertambangan terlindungi,” jelasnya.

Masyita juga menekankan bahwa mekanisme kebijakan global harus siap juga untuk mendukung transisi yang terjadi di tiap negara.

Financier’s Club: Financing Solar Energy in Indonesia – Bahas Isu Pendanaan PLTS Dalam Transisi Energi

Jakarta, 18 Maret 2022– Pembiayaan transisi energi di Indonesia khususnya PLTS perlu untuk segera dimobilisasi. Potensi teknis energi surya di Indonesia yang besar, berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), hingga 20.000 GWp menanti untuk dipanen sehingga dapat mencapai target netral  karbon di tahun 2060 atau lebih cepat sesuai yang dikomitmenkan oleh pemerintah. Lembaga keuangan dapat menangkap beragam peluang pembiayaan PLTS dengan mengidentifikasi investasi maupun risikonya. Identifikasi investasi dan risiko dalam pembiayaan PLTS, kendala-kendala yang dihadapi lembaga keuangan untuk menyediakan skema pembiayaan PLTS, serta inovasi praktik pembiayaan didiskusikan  dalam Financier’s Club: Financing Solar Energy in Indonesia.  Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama  Kementerian ESDM dengan IESR sebagai pra-acara dari Indonesia Solar Summit (ISS) 2022 yang berlangsung secara hybrid di Jakarta.  

Membuka diskusi, Sahid Djunaidi, Sekretaris Jenderal EBTKE menegaskan bahwa target penurunan emisi hanya dapat dicapai apabila negara melakukan transisi energi sebagai langkah nyata. Potensi besar serta masa konstruksi yang singkat menjadikan energi surya sebagai andalan dalam penyediaan energi terbarukan di Indonesia. Menurutnya,beberapa bank telah memberikan skema pembiayaan PLTS atap, namun masih diperlukan inovasi pembiayaan agar dapat mendorong PLTS atap lebih masif. Saat ini, Kementerian ESDM bekerjasama dengan UNDP sedang menyelenggarakan program hibah insentif PLTS atap demi mendukung pengembangan PLTS atap di Indonesia.

“Tantangan dalam pengembangan PLTS adalah di sektor finansial karena beresiko tinggi, belum banyak pasar, serta kurangnya jaminan pembiayaan,” ucapnya.

Koordinasi dalam penyusunan kebijakan, maupun kerjasama antar pihak penting untuk mencapai target keuangan berkelanjutan dan target iklim. Hal ini diutarakan oleh Agus Edy Siregar, Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

“Agenda mitigasi perubahan iklim membutuhkan dana yang besar dan tidak bisa dipenuhi hanya dari APBN, melainkan memerlukan juga pembiayaan dari sektor keuangan,” tambahnya.

Edy mengatakan bahwa saat ini OJK telah menyusun beberapa dokumen dalam investasi di beberapa sektor berkelanjutan, di antaranya taksonomi hijau, persiapan pasar karbon, serta pelaporan perbankan terkait sektor yang dibiayai dan diharapkan terdapat mekanisme insentif dan disinsentif di sektor keuangan dan pembiayaan.

Menambahkan, Enrico Hariantoro, Kepala Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK menyebutkan bahwa sudah sedari lama OJK mendukung instrumentasi perbankan yang mendukung pembiayaan keberlanjutan (POJK 51/2017 dan POJK 60/2017). Menurutnya, terdapat beberapa aspek resiko yang sangat diperhatikan oleh perbankan, diantaranya pemahaman teknis, bagaimana mengawal ekosistem, serta payback period. Lebih jauh, ia berpendapat bahwa skema pembiayaan untuk PLTS bisa lebih variatif dan inovatif, misalnya menggabungkan elemen dari fasilitas, filantropi, teknis, dan menjadi satu dengan KPR agar masuk dalam comfort level pelanggan dan bankability dari penyedia keuangan. OJK senantiasa mendorong akselerasi pembiayaan PLTS melalui regulasi, tentunya dengan mempertimbangkan feasibility study (fs).

Di sisi lain, Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengatakan bahwa terdapat Energy Transition Mechanism (ETM) untuk menjawab tantangan transisi energi dengan tujuan utama mempendek usia ekonomi dari PLTU Clean Energy Facility (CEF), mendapatkan tambahan pengurangan emisi gas rumah kaca dengan membangun energi terbarukan Carbon Recycling Fund (CRF) untuk pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, serta memperoleh akses ke pendanaan yang lebih murah. 

BKF sudah melakukan insentif perpajakan untuk investasi seperti tax holiday, tax allowance, PPh DTP, pembebasan PPN, pembebasan bea masuk, fasilitas perpajakan dan kepabeanan, serta pengecualian pemungutan PPh 22. Menurut Adi, Keuangan sistem indonesia telah siap untuk menerapkan sustainable finance, didukung dengan green taxonomy. Di samping itu, BKF telah  telah melakukan mapping dengan 9 universitas, asosiasi, serta stakeholders. Adi mengatakan bahwa Bank Daerah berpeluang untuk membantu akselerasi pembangunan PLTS. Energi terbarukan berpotensi untuk menciptakan pemenuhan listrik secara mandiri. Keberadaan BPR, Perseroda bisa menjadi salah satu pintu untuk masuknya pembiayaan PLTS.

Edwin Syahruzad, Presiden Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang hadir pada kesempatan yang sama menginformasikan bahwa PT SMI sudah mengambil langkah strategis dalam pembiayaan PLTS. Di samping itu, PT SMI telah memberikan pembiayaan di semua jenis energi terbarukan seperti PLTMH, PLTA, PLTP, PLTB, PLTS, dan PLT Biomassa. Ia mengatakan bahwa komitmen PT SMI untuk proyek PLTS sangat bergantung pada project pipeline. 

Pipeline PLTS lebih berasal dari PLTS atap, saya rasa ini merupakan potensi yang harus digarap. Namun, pendekatannya agak sedikit berbeda dengan PLTS on-grid karena sumber penerimaan PLTS atap berasal dari kontrak-kontrak dengan pemilik gedung PLTS Atap di-instal, di mana pemilik gedung bisa jadi berada di luar sektor kelistrikan. Revenue model juga cukup berbeda dan menjadi ranah dari perbankan yang memiliki nasabah pemilik gedung yang dapat memperluas peluang bisnisnya dengan menggarap PLTS Atap,” ungkap Edwin.

Indonesia Perlu Menangkap Peluang Pembiayaan Transisi Energi

Jakarta, 22 Nov 2021 – Seiring berakhirnya COP-26 beberapa minggu yang lalu, diskusi lanjutan tentang “apa aksi selanjutnya” dilakukan untuk terus mengingatkan baik Pemerintah maupun masyarakat bahwa komitmen dan deklarasi yang dibuat selama konferensi harus dilaksanakan.

Bertindak sebagai pra-pembukaan Indo EBTKEConnex 2021, FIRE (Friends of Indonesia’s Renewable Energy) mengadakan dialog untuk mengetahui bagaimana Indonesia menyiapkan strateginya untuk mencapai target dan komitmen baru yang diumumkan selama COP-26 di Glasgow.

Sripeni Inten Cahyani, Staf Khusus Kementerian ESDM menjelaskan sikap Indonesia dalam konferensi tersebut. Awal tahun ini, Indonesia menyerahkan dokumen NDC terbarunya ke Sekretariat UNFCCC dan berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions) pada tahun 2060 atau lebih awal. Hal ini dapat dikatakan sebagai langkah yang cukup progresif karena di awal tahun belum ada pembahasan tentang isu ini.

“Indonesia menandatangani Deklarasi The Global Coal to Clean Power, yang salah satu komitmennya adalah menghentikan pembangkit listrik tenaga batubara pada tahun 2040-an, dalam rencana awal kami, penghentian penggunaan batubara sekitar tahun 2050-an, jadi ada akselerasi disini. Akselerasi ini berarti kami membutuhkan lebih banyak dukungan keuangan untuk menghentikan pembangkit listrik yang saat ini beroperasi dan menggantinya dengan energi terbarukan,” kata Inten.

Indonesia telah secara konsisten mendesak negara-negara maju untuk mendistribusikan dana ke negara-negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim dan transisi energi.

David Lutman dari Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menekankan bahwa dorongan untuk mengambil tindakan dapat diwujudkan dengan pengadaan energi terbarukan dalam skala besar dan itu berarti penghentian penggunaan batu bara. “Semakin cepat Indonesia melakukan transisi, maka akan semakin besar pula manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang bisa dipetik,” ujarnya.

Penting untuk mewujudkan komitmen yang sudah disepakati dan menunjukkan kemajuan yang dialami Indonesia dalam 2-3 tahun ke depan. Hal ini menunjukkan kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam menjalankan komitmen perjanjian internasional dan penanganan iklim. 

“Transisi (energi) ini bukan hanya tentang Indonesia, tetapi masyarakat internasional turut mengamati sehingga kita perlu menunjukkan kemajuan kita untuk menjaga akuntabilitas kita, dan kemudian untuk menarik lebih banyak bantuan internasional,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Fabby kemudian mengatakan bahwa tiga hal utama yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia untuk mempercepat transisi energi di Indonesia yaitu melakukan pensiun dini pembangkit batubara, meningkatkan proyek-proyek energi terbarukan, dan membantu PLN dalam hal lelang dan pengadaan energi terbarukan.

Pembiayaan yang cukup diperlukan dalam mentransformasi sistem energi. Pada COP-26, Pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) Energy Transition Mechanism (ETM) dengan Asia Development Bank untuk membiayai pensiun dini sejumlah pembangkit listrik tenaga batubara. Skenario pembiayaan lain yang dapat ditempuh Pemerintah adalah dengan mereformasi skema subsidi di Indonesia, yang saat ini banyak dikucurkan untuk energi fosil, dan mengalihkannya untuk sektor energi terbarukan.