Pemerintah Bakal Prioritaskan Proyek PLTU

Lesunya keuangan memaksa pemerintah akan menata ulang penjadwalan pembangunan 35.000 megawatt (MW) khususnya untuk pembangkit berbasis bahan bakar gas. Dalam program 35.000 MW tertera porsi pembangkit gas sebesar 12.908 MW.

Direktur Jenderal Ketenalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andy Noorsaman Sommeng menyebutkan, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 pemerintah lebih mengutamakan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) ketimbang pembangkit listrik tenaga gas (PLTG).

Alasannya, kontruksi proyek PLTU rata-rata memakan waktu empat sampai lima tahun. Sementara proyek PLTG membutuhkan waktu konstruksi lebih cepat hanya sekitar sembilan bulan. “Maksudnya di dalam project management, mana yang lebih cepat ditaruh paling belakangan karena gampang. Yang paling lama didahulukan.” jelas Andi, Senin (16/10)

Selain itu, alasan pemerintah mengutamakan proyek PLTU karena metode merit order yang diterapkan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dalam merit order PLN akan memilih pengoperasian pembangkit listrik berbiaya murah. “Harga di ujung sudah ditetapkan maka bagaimana operasi PLN dalam biaya minimal. Mana paling minimal, itu yang didahulukan,” kata Andi. Saat ini harga rata-rata pembangkit listrik PLTU sekitar US$ 0.06 per kwh.

Keunggulang lain PLTU adalah, pembayaran pembelian listrik PLN dari PLTU terbilang lama. PLN baru akan membayar jika PLTU milik listrik swasta (IPP) maksimal beroperasi 5 tahun sudah commercial operation date.

Artur Simatupang, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), berkata, dari sisi bauran energi, pemerintah seharusnya konsisten dalam pelaksanaan RUPTL “Kami dari swasta hanya mengikuti, sebagai investor. Tapi kalo berubah terus ya susah.” ungkap dia kepada KONTAN, Senin (16/10).

Arthur khawatir, investor yang tadinya ingin membangun PLTG minggat karena kebijakan berubah. “Saya menduga PLTG ditunda karena ada perencanan tidak matang dari sisi supply bahan bakar gas,” ungkapnya. Ia mengakui, dari sisi logisik pengadaan gas lebih sulit dibandingkan pengadaan batubara.

Pengamat Energi dari Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menjelaskan, PLN malah perlu meninjau ulang rencana pembangunan proyek 35.000 MW. Ada sekitar 19.813 MW porsi PLTU pada RUPTL 2017-2026. “PLTU rentan berpotensi jadi stranded asset dalam 10-15 tahun mendatang. Permintaan listrik berubah dengan energi terbarukandan battery storage. Ditambah kemajuan teknologi yang mendorong efisiensi penggunaan energi,” ujarnya.

Kondisi Kelistrikan Nasional Tahun 2017

  1. Total Kapasitas Terpasang Pembangkit : 60.148 MW terdiri dari :
  • PLN: 41.049 MW
  • IPP: 13.913 MW
  • Public Private Utility: 2.434 MW
  • Izin Operasi non BBM: 2.392 MW
  1. Rasio Elektrifikasi nasional: 93.08%
  2. Konsumsi listrik nasional per Kapita: 978.64 kWh/Kapita
  3. Produk Listrik: 290 terrawatt hours (twh)
  4. Konsumsi Listrik: 247 twh
  5. Panjang Jaringan Transmisi: 49.799 kms
  6. Panjang Jaringan distribusi: 946.101 kms

Kemajuan Proyek 35.000 MW per 15 September 2017

Proyek PLN

  • Planning & Procurement: 5.884 MW (52%)
  • Planning: 4.090 MW (36%)
  • Procurement: 1.794 (16%)
  • Contracted: 5.372 MW (48%)
  • COD/Commissioning: 167.8 MW (2%)
  • Sedang konstruksi: 5,205 (46%)

IPP SWASTA

  • Planning & Procurement: 5.649 MW (21%)
  • PPA: 20.921 (79%)
  • COD/Commissioning: 605 (2%)
  • Sedang Konstruksi: 10.061 (38%)
  • Kontrak/PPA Belum Konstruksi: 10.255 (39%)