Sektor Komersial dan Industri Siap Dorong Penggunaan PLTS Atap

Jakarta, 15 Maret 2022 – Perkembangan PLTS atap di Indonesia dalam tiga tahun terakhir sangat pesat. Mengutip catatan Kementerian ESDM, terdapat kenaikan kapasitas terpasang yang cukup signifikan dari kurang dari 1,6 MW pada tahun 2018 menjadi 48,79 MW pada tahun 2021. Hal ini tentu merupakan hal yang menggembirakan. Tenaga surya telah menjadi energi bersih yang biayanya salah satu yang termurah saat ini. Penggunaan energi surya secara masif menjadi strategi pemerintah Indonesia untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Selain proyek PLTS skala besar, pemerintah mencanangkan PLTS atap sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) sebesar 3,6 GW.

Selain memanfaatkan potensi teknis energi surya di daerah tempatnya beroperasi, terdapat kebutuhan di sektor komersial dan industri untuk menggunakan energi yang bersih dalam produksi maupun operasional bisnisnya. Nurul Ichwan, Deputi Perencanaan Penanaman Modal – BKPM dalam webinar “Business Going Green” yang diselenggarakan Kementerian ESDM dan Institute for Essential Services Reform, menyebutkan bahwa sebanyak 349 perusahaan multinasional yang beberapa anak perusahaannya juga di Indonesia, telah mengeluarkan komitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan dalam aktivitas bisnisnya (RE100). 

“Selain itu, aturan lain seperti carbon border adjustment mechanism yang akan mulai diterapkan di Uni Eropa tentu mendorong perusahaan untuk beralih pada energi terbarukan supaya dapat kompetitif dengan tuntutan pasar, yang paling mudah ya PLTS atap,” jelas Ichwan.

Ichwan juga menambahkan bahwa sebagai offtaker, PLN memegang peran penting dalam proses transisi energi ini. 

“Pertimbangan besarnya ada di PLN, jika mereka tidak bisa menerima pasokan energi terbarukan dengan maksimal, proses transisi ini juga tidak akan berjalan cepat,” jelasnya.

Kebutuhan sektor industri untuk mengurangi emisi karbon dibenarkan oleh Karyanto Wibowo, Direktur Sustainable Development DANONE, yang menjelaskan bahwa perusahaannya terus berupaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari aktivitas bisnisnya, mulai dari efisiensi energi, carbon offsetting, dan pemasangan PLTS atap pada fasilitas pabrik.

“Kami berencana untuk menggunakan 100% energi terbarukan (RE100) pada tahun 2030, saat ini kami sudah memasang PLTS atap dengan total kapasitas sebesar 6,2 MWp di 5 lokasi. Dengan instalasi ini, energi bersih yang dihasilkan baru sebesar 15%, kami masih harus mengejar 85% lainnya sampai 2030,” jelas Karyanto.

Karyanto melanjutkan inovasi regulasi untuk skema power wheeling akan sangat membantu sektor industri dalam pemanfaatan energi terbarukan. 

Dari sisi pengembang, George Hadi Santoso, Vice President Marketing Xurya Daya menyoroti beberapa kendala pemasangan PLTS atap terkait perizinan dari PLN.

“Kendala banyak kami temui di Jawa Barat dan Jawa Tengah. PLN tidak responsif, dan belum menjalankan regulasi yang dikeluarkan Kementerian ESDM. Pernah juga kami diminta untuk menjadi konsumen premium terlebih dahulu,” jelas George.

Ketersediaan kWh ekspor impor juga masih menjadi permasalahan lambatnya alur pemasangan PLTS atap. 

Aries, Divisi APP PLN, yang juga hadir secara daring mengklarifikasi bahwa untuk aturan yang saat ini dijalankan PLN masih mengacu pada Peraturan Menteri ESDM 49/2018 yang diturunkan dalam Peraturan Direksi PLN nomor 18 dan 49. Aturan turunan untuk Peraturan Menteri ESDM nomor 26/2021 yang merupakan pembaruan Permen 49/2018 tentang PLTS atap masih dalam proses penyusunan oleh PLN. 

“Pelayanan di unit-unit PLN sangat dipengaruhi dengan kondisi antrian. Memang perlu diatur lagi mekanisme pelayanan di tiap unit supaya semua konsumen dapat dilayani dengan baik,” terang Aries.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia mengingatkan bahwa Permen ESDM nomor 26/2021 sudah resmi berlaku per 22 Januari 2022, jadi mestinya per tanggal tersebut sudah dilaksanakan.

“Harapan saya kondisi ini bisa segera diselesaikan sehingga ada kejelasan untuk pengurusan perizinan dari awalnya 15 hari menjadi 5 hari,” tukas Fabby.

Industri yang bergerak di bidang jasa yang hadir dalam forum ‘Business Going Green’ ini membagikan kiatnya untuk ikut ambil bagian dalam upaya dekarbonisasi ini. Antonius Augusta, Direktur Eksekutif Deloitte Indonesia, menyatakan bahwa di lembaganya aksi pengurangan emisi diturunkan pada aksi individual.

“Secara global, kami berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan pada 2030 di gedung kantor dan menggunakan kendaraan listrik sebagai kendaraan operasional. Di Indonesia sendiri, aksi sustainability dilakukan dengan melihat lagi metode kerja untuk mengurangi perjalanan dinas. Beberapa karyawan juga sudah ada yang menggunakan PLTS atap sebagai inisiatif pribadi untuk ikut mengurangi emisi,” jelas Augusta.

Pemilihan vendor dan supplier yang juga memiliki komitmen sustainability yang kuat menjadi salah satu strategi Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia. Marina Mallian, Human Capital Business Partner PwC Indonesia menjelaskan bahwa pihaknya lebih menitikberatkan sustainable action yang terintegrasi dalam aktivitas sehari-hari karyawan, seperti mengutamakan destinasi pertemuan lokal juga melakukan carbon offsetting.

“Untuk instalasi energi terbarukan seperti PLTS kami agak sulit ya karena gedung (kantor) bukan milik kami. Untuk penggantian kendaraan ke EV (electric vehicle) pun, ada kekhawatiran di kami akan ketersediaan infrastruktur pengisian baterai.”

IPP Track: Capai Target Perjanjian Paris melalui Dukungan Penggunaan PLTS oleh Swasta

Jakarta, 15 Maret 2022 – Indonesia memiliki sumber daya alam potensial guna mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Selain itu, keberadaan PLTS sebagai pembangkit listrik energi terbarukan dapat dikembangkan dengan cepat dan secara harga pun sudah kompetitif dapat mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan serta target penurunan emisi Indonesia. Melihat berbagai potensi tersebut maka perlu adanya komitmen dan dukungan terhadap akselerasi pengembangan PLTS.

Menjelang pergelaran Indonesia Solar Summit (ISS) 2022, Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) mengadakan empat kegiatan pendahuluan, salah satunya adalah IPP Track yang dilaksanakan pada Selasa, 15 Maret lalu.

Direktur Eksekutif Fabby Tumiwa mengatakan ISS  bertujuan untuk membahas lebih lanjut kontribusi akselerasi energi terbarukan, khususnya surya, terhadap green jobs dan upaya mencapai target 20 gigawatt melalui pipe line project  yang akan berdampak positif terhadap pemulihan ekonomi hijau Indonesia pasca pandemi.

Ida Nuryatin Finahari, Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan KESDM turut menyampaikan bahwa pemerintah akan berkomitmen pada target Perjanjian Paris. Salah satu  strateginya ialah melalui penetapan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. 

Dengan kecenderungan PLTS yang lebih murah dan masa pembangunan yang lebih cepat, maka pemerintah melalui RUPTL 2021-2030 menambahkan target PLTS sekitar 4,7 gigawatt,” ungkap Ida.

Lebih lanjut, ia mengatakan target kapasitas pembangkit EBT di tahun 2030 dalam RUPTL sebesar 51,6% merupakan angka yang lebih besar dibandingkan target Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Sejalan dengan itu, perwakilan dari Kementerian Kemaritiman dan Investasi, Ridha Yasser mengatakan kalau transisi energi ke energi terbarukan akan menjadi tren global dalam beberapa tahun ke depan. Pemerintah ini telah menyiapkan Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mendorong perekonomian yang didasarkan pada teknologi hijau serta membangun kawasan industri hijau di Kalimantan Utara. Hal ini merupakan respon terhadap tuntutan pasar global agar produksi dilakukan dengan memanfaatkan energi ramah lingkungan.

“Namun demikian, di tengah tren permintaan panel surya yang tinggi, fabrikasi panel surya di Indonesia masih mengalami kendala dan di satu sisi juga harus bersaing dengan manufaktur solar yang berasal dari luar negeri,” ujarnya. 

Acara IPP Track tersebut turut menghadirkan beberapa pengembang listrik independen (IPP), pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU), serta pengelola kawasan industri, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam diskusinya seperti PT PLN, Akuo Energy, PT Cikarang Listrindo, PT Tunas Energi, PT Energi Prima Nusantara, PT Bitung Inti Cemerlang, dsbg.

Umumnya, pihak swasta yang hadir mengungkapkan mereka sudah mendukung penggunaan EBT untuk operasionalisasi industrinya. Namun, pihak swasta juga masih menemukan kendala seperti perizinan, kurang siapnya dalam penggunaan PLTS atap, kemungkinan adanya permasalahan limbah akibat penggunaan battery storage energy system, dan belum terjangkaunya harga PLTS di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).

“Yang ingin ditekankan adalah konsistensi dari peraturan dan procurement yang ada, dari sisi implementasi perlu ada transparansi. Dan dari sisi TKDN, kami mendukung namun juga perlu melihat realitas lapangan agar persyaratan TKDN ini tidak menjadi kendala dalam mengembangkan PLTS di Indonesia. Jadi kalau pasarnya sudah terbentuk, industri dalam negeri akan muncul dengan sendirinya” ucap Komang dari Akuo Energy. 

Sebagai pihak yang akan memanfaatkan banyak penggunaan energi, pihak industri perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah dalam penggunaan energi terbarukan dari hulu hingga hilir. Hal ini turut ditempuh untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebagaimana yang telah direncanakan pemerintah.

Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 Disepakati, Indonesia targetkan tercapainya target 3,6 GW PLTS Atap di tahun 2025

Hadirnya kebijakan pemerintah tentang  PLTS atap di Indonesia sejak 2018 melalui Permen Permen ESDM No. 49/2018 terbukti telah meningkatkan adopsi PLTS atap dari awalnya hanya 609 pelanggan di tahun 2018 menjadi 4.262 pelanggan di tahun 2021. Di tahun 2021, Permen ESDM No. 49/2018 mengalami perbaikan menjadi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.

“Implementasi  Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 diharapkan dapat mendorong berkembangnya pasar PLTS atap, terlebih dengan ditetapkannya target 3,6 GW PLTS atap dalam Proyek Strategis Nasional (PSN),” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) yang juga merupakan Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI)  dalam Indonesia Solar Week 2022 (10/2/2022).

Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 merupakan perbaikan ketiga dari Permen ESDM No. 49/2018. Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 telah diundangkan sejak 20 Agustus 2021. Setelah sempat mengalami penundaan implementasi, akhirnya Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 disepakati untuk dilaksanakan pada 18 Januari 2022. Berikut perbandingan perbaikan ketentuan dari ketiga Permen ESDM tersebut:

Ketentuan

Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Atap

No. 49 tahun 2018No. 16 tahun 2019No. 26 tahun 2021
Ketentuan ekspor kWh listrik65%Sesuai Permen ESDM No.49 tahun 2018

100%
Ketersedian meter kWh ekspor-imporpaling lama 15 hari setelah SLO diterima PLNpaling lama 15 hari setelah SLO diterima PLN
Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkanpaling lama 3 bulanselama 6 bulan
Jangka waktu permohonan PLTS Atap paling lama 15 hari5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL)
Ketentuan konsumenHanya pelanggan PLNPelanggan PLN dan pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).
Ketentuan Konsumen PT PLN (Persero) dari golongan tarif untuk keperluan industriDikenai biaya kapasitas dan biaya pembelian energi listrik darurat
dengan formula:

Biaya kapasitas = kapasitas total inverter (kW) x 40
(batas beban minimum listrik menyala dalam satu bulan)) jam x tarif tenaga listrik.
Dikenai biaya kapasitas dengan
formula :

Biaya kapasitas = kapasitas total inverter (kW) x 5
(lima) jam x tarif tenaga listrik.
Dikenai biaya kapasitas dengan
formula :

Biaya kapasitas = kapasitas total inverter (kW) x 5
(lima) jam x tarif tenaga listrik
Mekanisme pelayanan berbasis aplikasiTidak diaturTidak diaturDiatur untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap
Ketersedian Pusat Pengaduan PLTS AtapTidak diaturTidak diaturDiatur
Ketentuan lainnyaDibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap

Melalui keterangan resmi ESDM, pemerintah mengharapkan perbaikan Permen PLTS Atap ini akan mendorong tercapainya target 3,6 GW PLTS Atap pada 2025. Target 3.6 GW PLTS atap merupakan usulan ESDM yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional yang tercantum pada Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 7 tahun 2021. Potensi dampak positif dari proyeksi tumbuhnya PLTS Atap 3.6 GW diantaranya dapat menyerap 121.500 orang tenaga kerja dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 4,58 Juta Ton CO2e. 

Sebagai bagian dari implementasi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 202, Fabby mendorong pemerintah  untuk segera membentuk Pusat Pengaduan PLTS atap sesuai pasal 26 dalam Permen ESDM tersebut. Selain itu, Fabby berharap agar proses pengajuan PLTS atap dan perizinan yang jelas dan singkat sesuai dengan ketentuan terbaru. Di sisi lain, persoalan yang sering dihadapi calon pelanggan seperti lamanya memperoleh meter exim dapat pula diatasi sehingga meningkatkan pemasangan PLTS atap kedepannya.

PLTS Jawab Kebutuhan Industri dan Komersial untuk Sediakan Produk Hijau

Semarang, 06 Oktober 2021 – Sektor industri dan bisnis menjadi sektor yang potensial untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Tuntutan pasar yang semakin kuat akan produk hijau (green product) mendorong sektor komersial dan industri beralih pada teknologi yang ramah lingkungan demi mempertahankan eksistensinya di pasar global. PLTS menjadi pilihan yang strategis bagi sektor komersial dan bisnis mempertimbangkan masa instalasinya yang relatif cepat, serta ketersediaan sumber energi surya yang merata di seluruh Indonesia. Selain itu, dengan berinvestasi pada PLTS dapat menekan biaya produksi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menjelaskan bahwa saat ini sejalan dengan usaha mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), sektor industri dihadapkan pada kewajiban nilai ekonomi karbon. Terutama untuk barang-barang yang diekspor seperti ke negara-negara Eropa, Amerika dan Jepang. Jejak karbon suatu produk yang melebihi batas maksimal yang ditentukan akan dikenakan pajak. Ditambah, kesadaran masyarakat tentang isu keberlanjutan (sustainability) semakin meningkat seperti dikatakan survei WWF dan The Economist yang menemukan bahwa pencarian pada search engine dengan kata kunci sustainability meningkat lebih dari 71% sepanjang 2016-2020.

Shareholder perusahaan-perusahaan sudah meminta agar semua perusahaan ini punya komitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan. Jadi kalau kita ingin Jawa Tengah menjadi pusat industri maka akses energi terbarukan harus dipermudah,” tutur Fabby pada webinar yang diselenggarakan oleh IESR dengan Pemerintah Jawa Tengah berjudul “Energi Surya Atap untuk Sektor Komersial dan Industri di Jawa Tengah” (6/10/2021). 

Secara umum, ditinjau dari adopsinya, jumlah pengguna PLTS atap di Indonesia kian meningkat. Berdasarkan data Direktorat Jenderal EBTKE, hingga bulan Agustus 2021 lalu, terdapat 4.133 pelanggan PLTS atap di Indonesia, dengan total kapasitas terpasang 36,74 MWp. Dilihat dari kapasitas PLTS atap berdasarkan wilayah, maka Jawa Tengah dan DIY menduduki peringkat ketiga dengan kapasitas PLTS atap sebesar 5,83 MWp.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka EBT Kementerian ESDM, memaparkan bahwa pemerintah memberikan prioritas pengembangan PLTS atap mengingat potensinya yang sangat besar, masa instalasi yang cepat, dan harganya yang sudah sangat kompetitif.

“Strategi jangka menengah yang didorong untuk pengembangan PLTS adalah PLTS atap yang ditargetkan sebesar 3,6 GW pada 2025. Selain itu PLTS skala utilitas juga terus kita dorong pengembangannya,” terang Chrisnawan dalam kesempatan yang sama.

Mendukung infrastruktur dan layanan menuju transisi energi, PLN juga harus berbenah menyiapkan adaptasi jaringan dan menyesuaikan dengan bisnis model yang mengakomodasi energi terbarukan dalam jumlah besar.

“PLTS atap ini berdampak ke jaringan PLN yang ada saat ini, karena sifatnya yang intermiten jadi PLN harus menyediakan unit standby untuk memberi suplai  listrik saat daya yang dihasilkan PLTS tidak bisa mencukupi kebutuhan listrik yang ada,” jelas M.Irwansyah Putra, GM PLN Jateng DIY.

Irwan juga menjelaskan dalam mendukung mekanisme pajak karbon, PLN sudah menerbitkan REC (Renewable Energy Certificate). Dengan membeli sertifikat ini, PLN akan menyalurkan listrik yang didapat dari energi bersih pada industri yang bersangkutan. 

Menyoal kebijakan untuk mendorong energi terbarukan di Provinsi Jawa Tengah,Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah menuturkan bahwa pihaknya telah menyiapkan ragam kebijakan. Namun, menurutnya untuk mendorong perubahan tertentu, dalam hal ini peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan (PLTS-red),dukungan kebijakan saja ternyata tidak cukup. 

“Perubahan itu lebih cepat terjadi kalau didorong oleh mekanisme market driven, jadi bukan sekedar memenuhi aturan tertentu. Dinas ESDM Jawa Tengah sudah mencoba membuat paket-paket kebijakan yang mencakup aspek market ini dengan masukan berbagai pihak seperti pemerintah, perguruan tinggi, dan NGO,” jelas Sujarwanto.

Pemerintah Daerah Jawa Tengah juga melakukan pendampingan bagi sektor komersial dan industri di Jawa Tengah yang bertransisi menuju industri hijau. “Ada beberapa langkah yang ditempuh untuk penerapan industri hijau yaitu pelatihan, memfasilitasi sertifikasi bagi industri hijau juga pemberian penghargaan industri hijau. Beberapa perusahaan di Jawa Tengah mendapat penghargaan ini,” jelas M. Arif Sambodo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah.

Peluang sektor komersial dan industri untuk mengadopsi PLTS semakin luas dengan tersedianya berbagai skema investasi PLTS seperti cicilan maupun sewa. Anggita Pradipta, Head of Marketing SUN Energy menceritakan bahwa ada tiga skema yang ditawarkan SUN Energy bagi calon pelanggan PLTS atap yaitu Solar Purchase, Performance Based Rental, dan Solar Leasing.

“Untuk sektor komersial dan industri yang ingin memasang panel surya namun terkendala di biaya pemasangan awal, kami rekomendasikan untuk mengambil skema performance based rental. Dengan skema ini, pelanggan akan terikat kontrak selama 15-25 tahun, dimana seluruh biaya pemeliharaan unit PLTS akan menjadi tanggungan SUN Energy, setelah kontrak berakhir baru aset menjadi milik customer,” jelas Anggi.

Mengejar dan Menjaga Momentum Kenaikan Energi Surya

Jakarta, 9 September 2021– Dalam setahun terakhir, terjadi perubahan dinamis di sektor energi. Batas waktu yang semakin dekat dari Perjanjian Paris dan laporan IPCC AR6 terbaru menyatakan bahwa waktu kita semakin singkat untuk menjaga kenaikan suhu. Hal ini telah mengangkat wacana tentang dekarbonisasi dan komitmen netral karbon (net-zero emission) dari seluruh dunia. Penyebaran cepat energi terbarukan adalah salah satu kunci penurunan emisi karena sektor energi adalah salah satu penghasil emisi terbesar. Faktanya, biaya energi bersih terus turun. Studi menunjukkan bahwa angin dan surya adalah yang termurah untuk 2/3 populasi dunia (BloombergNEF, 2020).

Energi surya akan menjadi tulang punggung dekarbonisasi karena fleksibilitasnya untuk dipasang di berbagai skala, mulai dari skala rumah tangga hingga skala utilitas. Sehingga memungkinkan instalasi tenaga surya secara besar-besaran di Indonesia “Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, dengan semakin murahnya biaya sistem energi surya dan kemampuannya untuk dipasang di berbagai skala daya, akan memungkinkan lebih banyak pihak untuk mengambil bagian aksi kolektif ini tidak hanya untuk menyebarkan energi terbarukan tetapi juga untuk memerangi krisis iklim,” Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR merangkum pidatonya saat peluncuran laporan Scaling Up Solar in Indonesia: Reform and Opportunity.

Caroline Chua, Senior Associate BloombergNEF Southeast Asia, sekaligus penulis utama laporan tersebut, menekankan bahwa pencapaian target energi terbarukan Indonesia sebesar 23% pada tahun 2025 membutuhkan upaya dua kali lipat dari kondisi saat ini.

“Target energi terbarukan Indonesia sebesar 23% dapat dicapai dengan memasang solar PV sebesar 18 – 23 GW. Solar sendiri dapat membantu Indonesia memenuhi target 2025 karena dapat digunakan dengan cepat dan teknologinya sudah tersedia dan semakin murah dari waktu ke waktu,” katanya.

Faktor keekonomian tenaga surya juga semakin kompetitif, dan di masa depan akan mengalahkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Tarif solar di Indonesia turun 76% dari 25 sen/kWh di 2015 menjadi 5,81 sen/kWh di 2020. Daniel Kurniawan, Analis Solar IESR mengatakan sudah ada minat dari pasar untuk berkembang di Indonesia.

“Tantangannya di sini benar-benar untuk mereplikasi pengadaan solar. Saya pikir pasar sudah mengirimkan sinyal kuat bahwa mereka tertarik dengan Indonesia dan itu bisa dicapai. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana Indonesia dapat berpikir tidak hanya untuk mencapai target energi terbarukan tetapi juga untuk meng-dekarbonisasi sistem energinya,” katanya.

Awal tahun ini, PLN mengumumkan bahwa perusahaan setrum plat merah ini akan menjadi emisi nol bersih pada tahun 2060. Dalam draf baru RUPTL, rencana untuk menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara lama disertakan.

“PLN menyiapkan roadmap menjadi net zero-emission pada 2060. Dalam RUPTL baru kami juga memberikan ruang lebih untuk energi terbarukan dan memasukkan rencana pensiun PLTU batu bara. Menurut kami, semua PLTU batubara akan kami pensiunkan pada tahun 2056 dan akhirnya mencapai net zero-emission pada tahun 2060,” jelas Zainal Arifin, Executive Vice President Engineering, and Technology PT PLN.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sepakat bahwa tenaga surya akan menjadi kunci untuk mencapai target Indonesia sekaligus memerangi perubahan iklim.

“Kita perlu mengatasi masalah intermiten dan mengembangkan sistem penyimpanan energi. Dalam perencanaan kami, kami mengharapkan sistem penyimpanan energi berasal dari penyimpanan pompa-hidro yang dapat dikembangkan pada tahun 2030,” katanya.

Komitmen untuk mencapai net zero-emission telah diperbarui, namun perlu kita pastikan bahwa komitmen tersebut diwujudkan dalam perencanaan yang konkrit. Sehingga seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dapat menggunakan momentum ini untuk memanfaatkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia untuk kepentingan bersama yang lebih besar dalam memerangi krisis iklim.

Besarnya Potensi Teknis dan Potensi Pasar PLTS, Modal Bali untuk Wujudkan Provinsi Energi Bersih

Denpasar, 9 Juni 2021 – Miliki potensi teknis PLTS yang besar, hingga mencapai 26,4 GWp (IESR, 2021), Bali dapat andalkan PLTS untuk mewujudkan visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” di sistem energinya, salah satunya dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam berinvestasi di PLTS atap.  Hal ini menjadi pembahasan yang menarik pada seminar “Bali Menuju Provinsi Energi Bersih” yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), bekerja sama dengan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), dan Koperasi Amoghasiddhi, Bali.

Ida Bagus Setiawan, Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Ketenagakerjaan dan Energi Sumber Daya Mineral – Provinsi Bali menuturkan bahwa ditinjau dari sisi potensi maupun rekam jejak teknologi, PLTS merupakan energi terbarukan yang tepat untuk dikembangkan di Bali. Bahkan, Pemda Bali pun telah menerbitkan Pergub 45 tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih yang salah satunya mengatur tentang adopsi PLTS atap pada bangunan dengan luasan tertentu, baik bangunan publik atau swasta.

“Target PLTS Atap tahun 2021 adalah 0,5 MWp dan 7,5 MWp di tahun 2025. Target ini realistis dan mungkin akan lebih tinggi realisasinya jika ada dukungan dari pusat, daerah, dan masyarakat,” imbuhnya.

Chrisnawan Anditya, Direktur Aneka Energi Baru & Terbarukan, DJBTKE yang hadir secara daring pada kesempatan yang sama menjanjikan dukungan yang positif dari Kementerian ESDM  agar adopsi PLTS atap semakin masif lagi.

“Saat ini Kementerian ESDM sedang memfinalisasikan revisi permen ESDM no. 49 tahun 2018 dimana beberapa poin pentingnya adalah ketentuan ekspor yang lebih besar dari 65%, kelebihan akumulasi dan tagihan akan diperpanjang dari semula 3 bulan, mekanisme pelayanan berbasis aplikasi, waktu permohonan lebih singkat, dan perluasan ke pelanggan di wilayah usaha non-PLN (sekarang baru 34 dari 53 wilayah), serta pembinaan dan pengawasan. Salah satu hal yang kita dorong adalah standar performance dan aspek keselamatan tentang ketentuan pemasangan PLTS Atap SNI dalam Permen ESDM No. 2 tahun 2021,” ungkap Chrisnawan.

Lebih lanjut, Chrisnawan menuturkan bahwa hingga Maret 2021, sebanyak 3.472 pelanggan sudah memasang PLTS atap dengan kapasitas 26,51 MWp. Bali masuk 10 besar dengan 141 pelanggan dengan kapasitas 1,07 MW dimana pelanggan yang didominasi rumah tangga namun porsi dari sektor industri kapasitasnya lebih besar.

Menyoal keterlibatan masyarakat dalam menyokong perkembangan PLTS atap, Fabby Tumiwa, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) yang juga merupakan Direktur Eksekutif IESR, mengungkapkan bahwa ketersediaan informasi mengenai prosedur dan perizinan PLTS atap serta kemudahan akses terhadap informasi tersebut akan membantu masyarakat membuat keputusan investasi di PLTS atap. 

“AESI mendorong terciptanya ekosistem yang baik bagi PLTS, dengan memastikan Engineering-Procurement-Construction atau EPC yang kredibel, mempunyai standar yang baik, tenaga kerja yang terampil, dan skema pembiayaan yang jelas,” jelas Fabby.

Menurut Fabby, potensi pasar PLTS atap di Bali termasuk besar, terutama karena umumnya masyarakat Bali sudah menyadari pentingnya penghargaan terhadap alam sehingga penggunaan energi terbarukan seperti PLTS akan membuat semangat perlindungan lingkungan hidup menjadi lebih tinggi lagi.

IESR secara khusus telah melakukan survei persepsi rumah tangga, sektor komersial dan UMKM di Bali (2020) dan menemukan bahwa alasan tertinggi ketertarikan para responden dengan konsep PLTS atap, selain peduli lingkungan adalah penghematan listriknya mencapai 51,9%.

“Potensi pasar di sektor rumah tangga mencapai 23 persen, atau setara dengan 256.000 rumah tangga. Potensi sangat besar juga ada di sektor bisnis sekitar 35.000 usaha dan UMKM bahkan mencapai 71.000 UMKM. Jumlah ini juga menjadi peluang bagi pemerintah untuk melihat bahwa kontribusi masyarakat akan sangat signifikan untuk mendorong tercapainya penurunan emisi dan cita-cita Bali menggunakan 100 persen energi terbarukan,” tegas Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi IESR.

Ida Ayu Maharatni, Manajer Koperasi Amoghasiddhi mengakui penghematan biaya listrik yang drastis semenjak koperasinya memasang PLTS atap.

“Saat pandemi,  kebutuhan listrik naik sementara kondisi keuangan sulit, namun sangat terbantu dengan investasi PLTS di awal. Kami mengeluarkan biaya listrik sama dengan nol dalam 6 bulan,” ujarnya bersemangat.

Menjawab biaya investasi PLTS yang kerap menjadi pertimbangan masyarakat sebelum memasang PLTS atap, pihaknya menyediakan kredit energi di koperasi Amoghasiddhi bernama SvarnaSiddhi. Kredit ini masuk ke dalam skema kredit investasi jadi bunganya relatif menurun 2% dan dapat dilunasi sewaktu-waktu. 

“Dengan skema cicilan, koperasi kami justru menurunkan tenor PLTS atap menjadi maksimal 3 tahun pembiayaan,” jelas Ida Ayu Maharatni. 

Agung Prianta, Green Building Council Indonesia Bali menambahkan bahwa hasil survei yang GBCI lakukan menunjukkan sebanyak  87% masyarakat ingin diberi kredit dengan angsuran bulanan di bawah Rp 500.000 ribu rupiah.

Seiring dengan meluasnya pasar PLTS atap, maka semakin terbuka pula kesempatan kerja di bidang PLTS atap. Anthony Utomo, Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia memaparkan bahwa salah satu misi AESI adalah mencetak 1.000 Solar Preneur alias UMKM energi andalan, yang bergerak di bidang pemasangan PLTS atap dengan standar pemasangan dan kualitas terjamin.  “Potensi pasar untuk PLTS Atap sekitar 1,5 juta pengguna dengan nilai potensi pasar lebih dari 67 triliun. Target RUEN 6,5 GW bisa menyerap 812,500 sampai 1,500,000 tenaga kerja. Pasar ini besar, pasar ini juga mudah direplikasi. Upaya ini juga akan menciptakan Indonesia sebagai Solar Power House,” tambah Anthony

Saksikan siaran tundanya:

Komitmen Pemerintah, Kebijakan yang Konsisten dan Transparan, dan Instrumen yang Tepat Mampu Menarik Investasi Energi Terbarukan di Vietnam, Indonesia Kapan?

Ancaman perubahan iklim, krisis pasokan listrik, dan investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang semakin mahal merupakan beberapa faktor yang membuat Vietnam semakin serius beralih ke energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listriknya. Dalam dua tahun, Vietnam mampu meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari 100 MW (0,1 GW) menjadi 5 GW, hampir 50 kali lipat.

Kiat sukses Vietnam dalam mengakselerasi pengembangan energi surya  ini menjadi pembelajaran menarik untuk ditiru Indonesia. Hal ini pula yang menjadi bahasan dalam seminar daring seri Gigawatt Club episode kedua yang digelar oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul Bringing Indonesia to the Gigawatt Club: Vietnam Made It, and So Can We. Narasumber di seminar ini adalah Tran Viet Nguyen, Vice Director of Business Department of Vietnam Electricity Group (EVN), Pham Nam Phong, CEO Vu Phong Solar, dan Nguyen Thi Ha, Program Manager Sustainable Energy, Green Innovation and Development Centre, Vietnam. Sementara itu, selaku penanggap hadir pula Sripeni Inten Cahyani, Tenaga Ahli Menteri Bidang Kelistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Ridha Yasser, Kepala Bidang Program dan Investasi Energi, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kementerian Koordinasi Kemaritiman dan Investasi RI, dan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR.

Tran Viet Nguyen mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah Vietnam memudahkan Vietnam Electricity (EVN), perusahaan listrik negara Vietnam, untuk mengembangkan energi terbarukan, terutama PLTS.

“Selain memiliki target dan komitmen yang jelas, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan 13 (Decision 13) yang memberikan insentif berupa feed-in tariff (FiT) untuk berbagai jenis pemanfaatan energi surya, baik solar farm, floating solar, dan PLTS Atap,” jelasnya.

Melalui kebijakan itu pula, tersedia sejumlah model bisnis yang bisa dipilih pengembang sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Pengguna PLTS Atap dapat membeli dan menggunakan PLTS secara mandiri (disebut sebagai skema Capex/capital expenditure) dan menjual kelebihan listrik ke EVN seharga 8,38 sen USD/kWh (level FiT untuk PLTS Atap). Sumber pembiayaan mereka bisa mandiri atau menggunakan pinjaman lunak dari bank. 

Skema lainnya adalah direct/corporate power purchase agreement (direct PPA) yaitu perjanjian jual beli listrik antara perusahaan swasta penghasil listrik surya langsung pada pelanggan (pembeli) tanpa melalui EVN. Terdapat juga skema solar leasing yang memungkinkan kepemilikan pihak ketiga sehingga perusahaan swasta yang bergerak di bidang energi terbarukan atau perusahaan surya dapat berinvestasi dan memasang PLTS Atap pada pemilik fasilitas.

“Hingga kini, EVN sudah memasang sekitar 500 sistem di seluruh kantor kami, dan mulai menjalin banyak kerja sama dengan mitra lokal, kontraktor atau perusahaan EPC (engineering, procurement, and construction), serta bank atau lembaga keuangan untuk memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk berinvestasi di PLTS Atap. Pelanggan juga cukup menandatangani satu kontrak saja dengan bank atau dengan perusahaan EPC, dan mereka langsung bisa berinvestasi di PLTS Atap,” papar Nguyen.

Tidak hanya itu, pihaknya juga menyediakan informasi dan saluran konsultasi konsumen yang dapat diakses dengan mudah oleh publik, berupa platform EVNSolar. 

Kemudahan informasi penyedia jasa pemasangan PLTS dan kampanye penggunaan PLTS atap, juga menjadi hal yang diperjuangkan oleh organisasi masyarakat sipil di Vietnam, salah satunya oleh Green Innovation and Development Centre (GreenID).

“Kami menyediakan situs interaktif bagi para pengguna PLTS Atap untuk menceritakan manfaat yang sudah mereka terima dengan menggunakan PLTS Atap. GreenID juga melakukan berbagai pertemuan rutin melalui seminar daring untuk mendekatkan lebih banyak orang dengan PLTS Atap,” ungkap Nguyen Thi Ha. Menyoal kebijakan pemerintah Vietnam, meskipun kini telah keluar kepastian investasi energi terbarukan, Ha menyayangkan usia kebijakannya yang  tergolong singkat.

“Kami berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan jangka panjang untuk mempromosikan cetak biru PLTS di Vietnam. Selanjutnya, kami juga ingin menghubungkan lebih banyak bank dan lembaga pembiayaan untuk mempromosikan PLTS. Selain itu, standar teknis dan kualitas juga sangat penting dan perlu didorong,” harapnya.

Meski tidak menyangkal keterbatasan pemerintah, Pham Nam Phong dari Vu Phong Group beranggapan bahwa Decision 13 berkontribusi pada membaiknya iklim investasi PLTS bagi perusahaan swasta.

“Skema Opex (Operating Expenditure/Pembelanjaan Operasional) menjadi pilihan kami. Kami bertindak sebagai investor dan menjual pasokan daya kepada pelanggan,” katanya.

Phong mengamati bahwa bisnis PLTS Atap menjadi semakin berkembang di sektor komersial dan industri (C&I), antara lain dengan keterlibatan perusahaan multinasional yang tergabung dalam RE100 yang menargetkan penggunaan energi terbarukan dalam industri mereka.

Fabby Tumiwa membandingkan perkembangan PLTS di Vietnam yang jauh berbeda dengan Indonesia. Meski Indonesia lebih dahulu memanfaatkan panel surya di tahun 80an, namun total kapasitas energi terbarukan Indonesia sampai 2019 hanya 200 MW. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan Vietnam yang baru memulainya di tahun 2016. Ia melihat komitmen pemerintah Vietnam yang konsisten berkontribusi pada terciptanya lingkungan investasi PLTS yang kondusif. Selain menggunakan instrumen FiT, pemerintah juga mempermudah investor untuk memobilisasi pendanaan dari berbagai sumber, termasuk pendanaan asing, memberikan pembebasan sewa tanah selama 14 tahun sampai akhir proyek (tergantung lokasi), serta mengeluarkan berbagai insentif perpajakan.

“Indonesia perlu belajar dari pemerintah Vietnam yang melakukan proyek percontohan seperti direct power purchase agreement (PPA) yang memungkinkan pelanggan industri membeli listrik energi terbarukan dari pengembang secara langsung menggunakan jaringan listrik EVN. Apalagi dengan keberadaan perusahaan multinasional RE100 di Indonesia yang menargetkan penggunaan listrik dari energi terbarukan 100 persen sebelum 2030. Fleksibilitas ini menarik minat mereka untuk investasi atau berekspansi lebih lanjut di Indonesia,” kata Fabby. 

Fabby juga menyarankan agar pemerintah Indonesia membangun solar park.  Dengan skema ini, pengadaan lahan, perencanaan pembangunan infrastruktur dan transmisi dapat dilakukan  secara terintegrasi, dengan biaya yang efisien.

Menanggapi keberhasilan Vietnam, Sripeni Inten Cahyani mengakui Indonesia masih perlu banyak belajar. Menurutnya, pemerintah Indonesia dapat meniru penerapan skema bisnis PLTS yang beragam, penggunaan instrumen FiT, serta penyediaan informasi dan konsultasi yang memadai terkait PLTS.

“Saat ini, instrumen FiT sudah masuk dalam rancangan peraturan presiden tentang harga energi terbarukan. Jadi kita tunggu saja,“ ungkapnya.

Ridha Yasser menganggap bahwa hambatan pengembangan PLTS bukan karena aspek teknis. Pergantian staf yang kerap terjadi di instansi pemerintah, berikut dengan masalah egosentris struktural berpengaruh pada lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Namun, ia yakin masalah ini dapat segera teratasi dengan kerja sama yang lebih baik dan menggunakan metode yang tepat sehingga Indonesia bisa segera masuk dalam Gigawatt Club energi surya, seperti Vietnam.

Saksikan rekaman diskusi tersebut di:

Resmikan PLTS Atap Terbesar di Jateng: Keniscayaan Transisi Energi

Refleksi Satu Tahun Jateng Solar Province

Klaten, 6 Oktober 2020 — Satu tahun semenjak pencanangan Jawa Tengah (Jateng) sebagai  pionir provinsi surya (Jawa Tengah Solar Province)  pada 17 September 2019 oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Institute Essential Services Reform (IESR) yang juga didukung oleh Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), perkembangan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap di Jateng semakin meningkat. 

Provinsi Jawa Tengah sendiri memiliki potensi radiasi energi surya 4,05 kWh/kWp per hari, sedikit di atas rata-rata Indonesia (3,75 kWh/kWp). PLTS Atap merupakan solusi utama untuk pemanfaatan potensi tersebut. Pemasangan PLTS dapat membantu Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mencapai target bauran energi terbarukan dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED) tahun 2020 sebesar 11,60%.

Potensi Teknis PLTS Terapung di Jawa Tengah

Inisiasi Jateng Solar Province ini ternyata selaras dengan upaya PT Tirta Investama (Danone- AQUA) menggunakan listrik energi terbarukan. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Jawa Tengah ini pada 6 Oktober 2020 meresmikan instalasi PLTS Atap sebesar 2,9 MWp di pabriknya di Klaten. PLTS Atap yang dipasang di pabrik AQUA di Klaten terdiri dari 8.340 modul panel surya di empat gedung atap seluas 16.550 m2. Pembangkit ini dapat menghasilkan energi untuk 2500 unit rumah dengan daya terpasang 900 VA.

Sebagai bagian dari RE100, grup Danone secara global berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan 100% untuk operasionalnya pada 2030. Instalasi PLTS Atap merupakan bagian untuk memenuhi target tersebut. Dengan peresmian di Klaten, sampai 2020 Danone-AQUA telah mengoperasikan 5,67 MWp PLTS di empat pabriknya.   

Fabby Tumiwa,  Direktur IESR, yang menjadi penanggap di acara peluncuran ini mengapresiasi langkah PT Tirta Investama dengan pemanfaatan energi terbarukan yang dapat berkontribusi pada penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai komitmen Indonesia untuk mencapai target Paris Agreement. PLTS Atap juga memberikan kontribusi penting terhadap komitmen Jawa Tengah mewujudkan Jateng Solar Province

Dia juga menyoroti pula keterlibatan Total Solar selaku perusahaan multinasional yang awalnya berkecimpung di bidang minyak dan gas yang saat ini beralih ke sektor energi terbarukan.

“Investasi PLTS Atap oleh Danone-AQUA adalah fenomena menarik karena mempertemukan dua perusahaan multinasional yang saling bersinergi mendorong transisi energi global untuk memastikan kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat,” paparnya.

Menurutnya, transisi energi merupakan sebuah keniscayaan melihat banyaknya pelaku industri di dunia yang menetapkan target untuk menggunakan listrik yang bersih melalui pemanfaatan teknologi energi terbarukan. 

Menurut Fabby, investasi PT Tirta Investama menunjukan bahwa teknologi PLTS semakin terjangkau dan kompetitif harga listriknya. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa harga modul surya turun 90 persen dalam 1 dekade terakhir, harga listrik dari PLTS semakin murah dan dapat menandingi pembangkit fosil seperti PLTU. Pemanfaatan PLTS yang meluas juga menunjukan bahwa isu intermitensi energi terbarukan bukanlah kendala yang tidak dapat diatasi. Ini membongkar mitos yang selama ini beredar bahwa PLTS tidak handal dan mahal. 

Menyoal target pemerintah untuk bauran energi terbarukan sebesar 23 persen di tahun 2025, Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Kementerian ESDM  memaparkan bahwa masih ada selisih antara target dan perencanaan yang cukup besar yang harus segera diatasi. 

“Saat ini, proyeksi kita masih ada di 15 persen dari 23 persen,” ungkapnya.

Harris menjelaskan bahwa pemerintah sudah melakukan beberapa tindakan untuk memenuhi target selisih 8 persen tersebut.

“Pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) nomor 49 Tahun 2018 yang sudah mengalami perbaikan menjadi Permen nomor 13 Tahun 2019 dan nomor 16 Tahun 2019. Usahanya ini untuk membuat PLTS Atap menjadi lebih menarik tidak hanya di industri rumah tangga tapi tapi juga semua bangunan komersial,” imbuhnya.

Ganjar  Pranowo, Gubernur Jawa Tengah memuji langkah industri untuk penerapan energi ramah lingkungan. Ganjar menegaskan pentingnya transformasi perilaku dalam memasuki era transisi energi ini.

“Ada lampu tenaga surya untuk penerangan jalan yang mati karena tidak dirawat atau aki (baterai) nya hilang. Dana perawatan dari pemerintah pusat tidak tersedia tapi hal seperti ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu perlu payung kerjasama antar lembaga pemerintah, pelatihan untuk merawatnya serta perlu keseriusan dari berbagai pihak sehingga teknologinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan” ungkapnya.

Ganjar berpendapat Indonesia bisa bergerak lebih maju di bidang PLTS karena tersedianya bahan dasar pembuatan sel surya. Oleh karena itu Indonesia perlu membangun industri sel surya dan pendukung lainnya. 

“Bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia, kita pasti bisa membuat teknologi sel, modul surya, baterai yang bisa diproduksi massal untuk rumah tangga,”simpul Ganjar pula (US, FT).